Jam Olahraga diisi dengan bermain voli dan basket. Aku duduk di bawah pohon yang rindang menatap teman-teman yang bermain di depanku. Teman-teman yang cowok memilih bermain basket dan cewek bermain voli. Cuaca siang ini tidak terlalu panas sehingga membuat teman-teman semangat bermain. Kami yang tidak ikut bermain hanya menjadi penonton dan penyemangat dari pinggir lapangan. Karel dan Wenny ikut bermain voli, sedang Banyu tak terlihat dari tadi sejak dimulainya pelajaran Olahraga. Teman-teman yang cewek lebih banyak memilih menonton permainan basket dari pada voli. Mereka bersorak untuk pemain yang mereka dukung sedang permainan voli sepi hanya beberapa yang masih setia melihat permainan teman-teman yang bermain voli. Angin berhembus perlahan mempermainkan dedaunan dan ranting-ranting. Aku menatap ke langit yang abu abu, mungkin nanti sore akan hujan. Dedaunan yang sudah kering jatuh satu persatu mewarnai tanah dan rerumputan dengan warna coklatnya. Rerumputan di pinggir lapangan terlihat sudah mulai panjang, aku melihat satu rumpun rumput dandelion yang sedang berbunga. Bunganya seperti bola –bola kapas yang halus. Bunga dandelion bergoyang lembut kemudian melepaskan diri dari tangkainya ditiup angin. Terbang... bersama angin, tinggi melayang dan menari indah. Aku tersenyum menatapnya. Mereka menghiasi langit di mataku, angin membelai lembut wajah dan rambutku.
“Hei...sudah berapa kali Abang katakan, kalau rambutmu harus dikasi penjepit di sini supaya jangan menutupi wajahmu bila terkena angin.” suara Bang Dega di sisiku, tangannya menyentuh rambutku dan menarik rambut yang sedikit menutupi wajahku karena hembusan angin. Aku menoleh, Bang Dega senyum. Aku ikutan tersenyum.
“Bunga Dandelionnya cantik kan.” ucap Bang Dega, aku mengangguk.
“Sepertinya di belakang rumah sudah habis tuh dipotong.” ucapnya, aku mengangguk lagi.
“Kemarin Bik Onah suruh Pak Ikin pangkas rumput keliling untuk membersihkan halaman belakang.” ucapku.
“O...sayang ya, padahal kalo lagi berangin begini pemandangan di belakang rumah pasti seindah ini dengan bunga dandelion yang menari dibawa angin.” ucap Bang Dega, aku mengangguk. Biasanya kalau rumput di belakang rumah di pangkas kami selalu melarang rumput dandelion ikut dipangkas juga. Tapi sekarang tidak lagi, Bik Onah yang selalu mengurus sesuatu di rumah membiarkan rumput itu juga dipangkas. Padahal aku sudah pesan supaya jangan dipangkas sama Bik Onah dan Pak Ikin tapi tetap saja dipangkas. Suara sorak sorai teman-teman mengalihkan perhatianku, aku menoleh ke teman-teman yang bermain Basket... Lalu kembali lagi melihat ke Bang Dega dan... Bang Dega... Dimana? Aku menoleh ke kiri dan kanan lalu melihat ke belakangku. Abangku yang jahil itu memang suka sekali menjahiliku. Mungkin dia bersembunyi... Tapi kosong, dia tidak ada dimana pun. Tidak mungkin tadi Bang Dega benar-benar ada di sini, dia menyentuh rambutku... Benarkah? Tidak Bang Dega sudah Tidak ada lagi di dunia ini... Aku memegang dadaku yang terasa sesak, Bang Dega... Bang... Kamu... Nafasku semakin sesak, tubuhku berkeringat. Ahhh...jantungku berdetak kuat dan terasa sakit...
“Jingga, kamu kenapa?” Karel dan Weny sudah ada di dekatku, aku tak mampu bicara hanya memegang dadaku.
“Dadamu sakit ya? kamu juga berkeringat banyak.” ucap weny panik.
“Ayo kita ke ruang UKS.” ucap Karel, sambil membantuku berdiri dan memapahku. Weny juga ikutan memapahku, kami ke ruang UKS. Bu Sekar yang ada di ruang UKS segera membantuku untuk tiduran di ranjang.
“Kenapa teman kamu ini Karel?” tanya Bu Sekar.
“Saya juga ngak tahu Bu. Kami sedang jam olahraga dan bermain voli. Jingga hanya duduk dan menonton tapi saat kami melihatnya, dia seperti menahan sakit Bu.” ucap Karel lebih tenang dari Wenny yang masih memegang tanganku.
“Gimana kondisi kamu Jingga? Bagian mana yang sakit?” tanya Bu Sekar, aku tak bisa menjawab. Nafasku masih terasa sesak.
“Kita bawa ke rumah sakit aja Bu.” ucap Weny khawatir. Aku melambaikan tanganku.
“Jangan...t idak usah bawa aku ke rumah sakit, aku istirahat aja dulu nanti akan baik-baik aja...” ucapku perlahan dan terputus-putus menahan sakit di dadaku.
“Tapi kondisi kamu ini mengkhawatirkan.” ucap Bu Sekar khawatir.
“Tolong ambilkan handpone aku di tas, Karel. Aku akan telepon Om-ku” ucapku pelan. Karel mengangguk lalu bergegas pergi mengambil handponeku. Tidak lama kemudian Karel datang dengan nafas tersengal-sengal, mungkin dia berlari kemari. Karel menyodorkan handpone-ku padaku, lalu aku menelepon Om Handi.
“Om...” ucapku pelan.
“Iya Jingga, ada apa?” ucap Om Handi yang mungkin heran karena aku menelepon jam segini.
“Jingga sedang...di sekolah, tapi...nafas Jingga sesak sekali Om...dada Jingga sakit.” ucapku pelan dan terputus-putus menahan sakit.
“Dada kamu sakit?” tanya Om Handi.
“Tadi Jingga melihat Bang Dega...” ucapku pelan, Om Handi terdiam.
“Ada guru kamu di situ?” tanya Om Handi pelan.
“Ada Om.” ucapku.
“Berikan handpone kamu kepada gurumu Jingga.” ucap Om Handi, aku mengangguk sambil menyerahkan handpone-ku pada Bu Sekar. Lalu Bu Sekar menerima handpone-ku dan berbicara dengan Om Handi ditelepon. Setelah selesai bertelepon, Bu Sekar memberikan handpone-ku pada Karel.
“Ibu pergi dulu sebentar ya ke apotek.” ucap Bu Sekar. Nggak lama kemudian Bu Sekar datang dan Menyuntikkan obat padaku. Badanku terasa ringan dan sangat mengantuk, sesak di dadaku juga mulai tidak terasa lalu aku tertidur.
Aku terbangun dan melihat sekelilingku, aku dimana ya? Aku ada di ruang UKS sekolah? Kenapa aku di sini, aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi.
“Kamu sudah bangun?” aku menoleh dan melihat Bu Sekar berdiri di samping tempat tidur tempat ku berbaring.
“Kenapa saya ada di sini bu?” ucapku masih bingung.
“Kamu kelelahan aja, istirahat aja lagi. Sebentar lagi jam pulang sekolah. Kata Om kamu dia akan datang jemput kamu.” ucap Bu Sekar, aku menganggu. Memang tubuhku terasa lelah. Tadi aku ngapain ya? Aku mencoba mengingat kembali, aku ada di lapangan bersama teman-teman pada jam olahraga. Lalu... Bang Dega... Kepalaku jadi pusing, benarkah tadi itu Bang Dega... Kepalaku sakit karena mencoba mengingat semua. Aku menutup mataku, sebaiknya aku tidur lagi...
Saat bel tanda pelajaran hari ini usai, suasana halaman sekolah yang sepi menjadi ramai. Suara-suara siswa yang bahagia dan lega karena sudah bisa pulang mengisi kebisingan ini. Suara mereka sampai terdengar ke dalam ruang UKS, aku terbangun.
“Bu, Jingga sudah bangun?” suara Karel. Aku menoleh dan pandanganku terhalangi tirai penyekat. Aku bangun dan duduk di tempat tidur.
“Sudah, tapi tadi tiduran lagi. Coba kamu lihat.” ucap Bu Sekar, suara tirai disibakkan terdengar. Wajah Karel muncul dari balik tirai.
“Hai...Jingga, kamu sudah baikan?” ucap Karel sambil senyum. Aku menganggu, lalu muncul lagi Weny dan Banyu. Banyu datang untuk melihatku? Bukankah dia ingin kami seperti orang asing. Kenapa dia datang...
“Syukurlah... kami tadi sangat khawatir.” ucap Weny sambil merangkul bahuku. Handpone-ku berbunyi aku menoleh, handpone-ku ada di samping bantal aku meraihnya. Telpon Om Handi, aku mengangkatnya.
“Iya Om.” ucapku menjawab panggilan telepon dari Om Handi.
“Om sudah di depan sekolah kamu, kamu dimana ini?’ tanya Om Handi.
“Masih di ruang UKS Om, Jingga akan keluar sekarang ya Om.” ucapku.
“Oke, Om tunggu di depan ya.” ucap Om Handi lalu sambungan telepon terputus. Aku lalu turun dari tempat tidur, memakai sepatuku lalu berdiri. Karel menyerahkan tas sekolahku padaku. Aku menerimanya kemudian mengucapkan terima kasih pada Bu sekar dan permisi pulang. Wenny dan Karel berjalan di kiri dan kananku sedang Banyu di belakangku dia hanya diam dari tadi. Di depan sekolah Om Handi sudah menunggu, lalu aku pulang dengan Om Handi. Aku melambai pada Karel, Wenny dan Banyu.
“Gimana kondisi kamu?” tanya Om Handi sambil mengemudikan mobil.
“Baik Om.” Jawabku.
“Maaf merepotkan Om.” ucapku sambil menunduk.
“Tidak apa-apa, Om memang sedang tidak ada janji konsultasi siang ini.” ucap Om Handi sambil senyum. Lalu Om Handi bertanya mengenai sekolah baruku dan teman-temanku. Sesampai di rumah, Om Handi menyuruh Bik Onah memberiku makan. Selesai makan Om Handi mengajakku bicara di ruang keluarga.
“Sejak kapan kamu mengalami sesak nafas begitu Jingga?” tanya Om Handi.
“Mmm...” ucapku sambil berpikir...
“Kayaknya dua tahun terakhir ini Om.” ucapku tidak yakin kapan tepatnya aku mulai mengalaminya.
“Kamu sering melihat Dega?” tanya Om Handi, aku melihat ke Om Handi. Om Handi sudah tahu, sebaiknya aku jujur saja sama Om Handi.
“Iya.” ucapku pelan.
“Dimana saja kamu melihatnya?” tanya Om Handi.
“Di rumah, di sekolah.” ucapku pelan.
“Kamu ingat kan apa yang terjadi pada Dega?” tanya Om Handi pelan, aku mengangguk dan tertunduk. Mataku berkaca-kaca, kalau di ingatkan mengenai kejadian yang menimpa Bang Dega aku selalu tak dapat menahan air mataku.
“Maaf, Om mengingatkan kamu kembali dengan Dega. Om hanya ingin tahu apa yang sedang kamu alami ini.” ucap Om Handi lembut. Aku mengangguk.
“Tadi Bik Onah juga katakan kalau kamu sering menangis dan pingsan. Apa itu terjadi setelah kamu melihat Dega?” tanya Om Handi, aku mengangguk.
“Pada saat seperti apa kamu melihat Dega.” Tanya Om Handi, aku melihat ke arah Om Handi...
“Ceritakan pada Om, supaya Om bisa bantu kamu.” ucap Om Handi lembut.
“Kadang saat aku menatap langit di belakang rumah dan juga di lapangan sekolah. Saat aku duduk sendiri di belakang rumah atau saat aku melakukan hal-hal yang sering aku lakukan dengan Bang Dega dan Bang Digo. Kadang Bang Dega dan Bang Digo datang bersamaan dan bercerita denganku.” ucapku pelan.
“Lalu...” ucap Om Handi.
“Saat aku mengalihkan mata dari mereka, mereka menghilang. Saat itu nafas Jingga terasa sesak, berkeringat dan pusing. Rasanya sakit sekali di dadaku Om, terkadang aku pingsan.” ucapku pelan.
“Apa kamu merasa ada yang salah denganmu?” tanya Om Handi, aku mengangguk.
“Aku tahu Bang Dega sudah ngak ada lagi, tapi kenapa dia muncul di sekitarku? Aku sulit mempercayai apa yang aku lihat sekarang Om. Kadang aku takut bahwa apa yang aku lihat adalah cuma halusinasi saja. Aku takut semua hanya imajinasiku saja termasuk teman-teman yang ada di dekatku sekarang ini.” ucapku, aku menahan isakku. Om Handi berdiri dan merangkulku.
“Tenang Jingga, kamu akan baik-baik aja. Om akan bantu kamu.” ucap Om Handi.
“Kamu pasti lelah, kamu istirahata aja ya. Tapi kamu harus konsultasi sama Om tiap minggu ya. Om akan buat jadwal untuk kamu. Tapi kalau kamu mau menemui Om diluar jadwal itu datang saja.” ucap Om Handi aku mengangguk.
“Om jangan bilang ke mama dan papa ya.” ucapku, tidak mau menambah pikiran mama dan papa lagi.
“Iya.” ucap Om Handi. Lalu Om Handi melepaskan rangkulannya dan menyuruhku istirahat di kamar. Om Handi lalu pulang.
Setiap hari Selasa sepulang sekolah aku bertemu dengan Om Handi, kami ngobrol tentang apa yang aku rasakan. Om Handi banyak mendengarkanku, rasanya hatiku lebih ringan mungkin karena aku merasa ada seseorang tempatku berbagi. Agenda rutin yang tidak pernah aku lupakan. Di sekolah Karel dan Weny jadi sering mengikuti aku kemana pun aku pergi. Aku katakan kepada mereka kalau aku baik-baik saja. Tapi mereka tetap saja mengikuti kemana pun aku pergi. Mereka berpikir aku menyembunyikan dari mereka kalau aku punya penyakit yang parah. Mereka sangat baik dan selalu memperhatikanku sedang Banyu... Dia masih sama hanya bila aku sedang di kelas sendiri dia selalu tetap tinggal di kelas. Apa dia juga berpikir yang sama seperti Weny dan Karel? Tapi itu mungkin baik untukku karena pesan Om Handi aku tidak boleh sering melamun. Karena mereka selalu ada disekitarku dan selalu mengajakku mengobrol aku jadi tidak punya waktu melamun. Di rumah Om Handi menyuruhku untuk kembali menekuni hobi lamaku, memotret. Walau objek utamaku sudah tidak ada lagi. Om Handi menyuruhku untuk pergi keluar dan memotret apa saja. Jangan hanya diam di rumah, aku harus punya kegiatan. Karena aku sudah kelas tiga aku juga harus memikirkan ikut Bimbel seperti teman-teman untuk persiapan ujian Nasional dan ujian perguruan tinggi. Karel mengajakku untuk bergabung di tempat Bimbelnya dan Banyu, masih ada bangku kosong katanya. Aku masih belum memutuskan ikuti saran Karel atau tidak. Menyenangkan bisa dengan mereka tapi... Akhir-akhir ini aku terganggu bila di dekat Banyu, ntahlah... Aku sering berpikir hal-hal yang seharusnya tidak perlu ku pikirkan.
Minggu siang Karel dan Weny mengajak aku pergi jalan-jalan. Sudah seminggu sibuk belajar hari minggu waktunya jalan-jalan ucap mereka. Kebetulan aku juga ingin keluar untuk memotret jadi aku menerima ajakan mereka. Dan ternyata bukan hanya kami bertiga yang pergi tapi Banyu juga ikut... Weny menyebutkan tujuan kami ke tempat wisata alam. Karel membawa mobilnya katanya dia baru saja dapat SIM jadi ini juga sekalian perayaan SIM barunya, ada-ada saja teman-temanku ini. Aku dan Banyu duduk di bangku belakang karena Weny langsung duduk di bangku sebelah Karel. Aku agak canggung padahal di sekolah kami juga duduk bersebelahan. Sepanjang jalan Karel dan Weny ikut bernyanyi bersama dengan suara audio mobil. Akhirnya kami tiba ditujuan kami, tempat yang indah. Banyak objek foto di sini, aku mengeluarkan kamera dalam tasku. Sambil berjalan di jalan setapak aku memotret apa aja yang ku lihat menarik. Sesekali aku memotret Karel dan Weny, Banyu berjalan agak jauh dari kami.
“Banyu sini dong jangan jauh-jauh.” ucap Weny, Banyu mendekati kami.
“Ayo foto bareng... Ini tahun terakhir SMU kita siapa tahu nanti kita ngak bisa seperti sekarang lagi.” ucap Karel. Banyu tidak menjawab tapi dia ikutan foto dengan Weny dan Karel. Sesekali kami meminta tolong orang lain untuk memotret kami berempat. Dan aku berpikir... Aku sudah punya objek foto sekarang... Mereka, mereka adalah objek fotoku, Karel, Weny dan Banyu. Karena itu aku memutuskan lebih banyak memotret meraka dari pada alam sekitarku. Lelah berjalan kami lalu duduk di rerumputan sambil menatap danau kecil di depan kami. Banyu duduk di sisiku, di sisiku yang lain ada Weny lalu Karel. Angin berhembus pelan, hari sudah sore suasana menjadi sejuk. Kami hanya diam, menikmati keheningan dan pemandangan di depan kami. Tiba-tiba...
“Haus.” ucap Weny.
“Iya.. minum sudah habis lagi.” ucap Karel, lalu Banyu menawarkan diri membeli minuman.
“Biar aku membeli minuman dulu.” ucapnya sambil bangkit dari duduknya, dan berjalan meninggalkan kami.
“Terima kasih Banyu.” ucap Wenny, Banyu tidak membalas perkataan Weny.
“Aku tidak menyangka Banyu bakalan mau ikut lo.” ucap Weny.
“Aku juga... tapi aku tetap mengajaknya. Siapa tahu kita beruntung haha...” Karel tertawa.
“Sejak kejadian itu dia tidak pernah mau ikut kemana pun kita mengajaknya.” ucap Weny, apa sekarang Banyu sudah kembali membuka hatinya untuk peduli terhadap teman-temannya?
“Iya, tapi kita tidak boleh menyerah untuk menariknya kembali menjadi teman kita yang dulu.” ucap Karel.
“Yup...aku setuju.” ucap Weny. Aku juga setuju... ucapku dalam hati. Tidak lama kemudian Banyu datang membawa kantongan plastik berisi beberapa minuman dan makanan.
“Asyiiik..sudah datang.” ucap Weny riang, Banyu meletakkan kantongan plastik itu di depan kami. Weny langsung mengambil sebotol minuman dan meminumnya. Benar-benar haus banget si Weny. Lalu kami satu persatu mengambil minuman. Kami duduk menghadap danau, diam tanpa ada obrolan hanya menatap danau dan langit. Angin mempermainkan rambut kami, langit yang indah...
“Jingga.” suara memanggilku... Aku noleh ke Banyu, Banyu sedang menatap langit. Banyu sepertinya tidak memanggilku.
“Jingga.” suara itu... Bang Dega... Aku melihat ke belakangku... Hanya beberapa orang yang berjalan. Aku mengetok kepalaku pelan dengan tanganku. Jingga... Bang Dega tidak mungkin di sini. Bang Dega sudah pergi. Tapi suara itu... Itu suara Bang Dega terasa sangat nyata sekali. Tidak Jingga... Bang Dega sudah tidak ada lagi... Nafasku menjadi tidak beraturan, aku merasakan dadaku sesak. Jantungku berdetak kencang. Aku memegang dadaku dan menunduk. Ahh...aku menarik nafas pelan mencoba mengatasi sesak di dadaku.
“Jingga... Jingga...” Bang Dega memanggilku lagi,bukan itu bukan suara Bang Dega... Seseorang menguncang bahuku, aku tersadar. Aku melihat ke depanku, Banyu menatapku khawatir. Sesak di dadaku perlahan berhenti.
“Jingga.” suara Weny dan Karel, aku melihat ke sampingku. Weny dan Karel juga kelihatan khawatir.
“Tidak apa-apa.” ucapku pelan lalu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
“Kalau kamu sakit, ayo kita pulang.” ucap Karel.
“Aku tidak apa-apa kok.” ucapku tidak enak telah membuat mereka khawatir.
“Sebaiknya kita pulang.” ucap Banyu, akhirnya kami memutuskan pulang. Ahh... kenapa aku merusak suasana. Banyu membantuku berdiri..
“Aku baik-baik aja.” ucapku lalu melepaskan tanganku dari pegangan Banyu. Aku merasa tidak nyaman, jantungku kembali berdetak cepat saat Banyu menyentuh lenganku. Bukan karena gangguan panik seperti tadi tapi ini berbeda. Banyu membiarkanku berjalan mendahului dia. Saat pulang Karel dan Weny tidak seceria tadi. Mereka diam dan musik yang terdengar dari audio mobil pun terdengar pelan. Aku menutup mataku, aku merasa lelah... Maaf ya teman-teman. Aku merusak kegembiraan yang kami rasakan...
Aku menceritakan kepada Om Handi tentang apa yang terjadi saat kami jalan-jalan ke tempat wisata. Om Handi duduk di depanku, kami dipisahkan oleh meja kerja Om Handi. Aku sedang ada di ruang konsultasi Om Handi.
“Jingga, kamu harus merelakan masa lalu. Masa lalu memang membahagiakan tapi jangan karena masa lalu kamu kehilangan masa depanmu. Relakan Dega, jadikan dia ingatan yang indah dalam kenanganmu. Kenangan indah yang akan membuatmu tersenyum jika mengingatnya bukan menangis.” ucap Om Handi lembut. Aku menunduk.
“Nikmati waktumu sekarang dengan teman-temanmu, orang-orang yang mengasihimu dan perduli padamu.” ucap Om Handi lagi.
“Kadang aku berpikir mungkin aku sudah gila Om.” ucapku.
“Kamu tidak gila sayang. Kamu selalu terbawa suasana dan berhalusinasi tentang Dega, seakan-akan Dega masih ada seperti dulu. Dan ketika kamu sadar Dega sudah tidak ada kamu mengalami gangguan panik. Kamu merindukan saat-saat bersama Dega dan Digo. Dega dan Digo adalah sosok yang sangat melekat kuat dalam dirimu, karena mereka selalu ada untukmu. Mereka selalu memanjakanmu dan menjagamu. Setelah kepergian Dega, Digo juga memutuskan pergi dari sini. Kamu kehilangan mereka berdua secara mendadak, membuat hatimu merasakan sakit yang mendalam. Papa mamamu pun sepertinya merasakan hal yang sama sehingga sekarang mereka melampiaskan kesedihan dan kemarahan mereka kepada pekerjaan mereka. Mereka lupa kalau kamu juga merasakan hal yang sama dan butuh dukungan mereka. Tapi jangan salahkan mama dan papamu, mereka juga tidak bermaksud tidak memperdulikanmu Jingga. Mereka sedang terluka juga. Digo juga sama, perasaannya sebagai saudara kembar Dega pasti sangat sakit. Kamu tahu kan kalau mereka berdua tak terpisahkan. “ ucap Om Handi, Bang Dega dan Bang Digo memang selalu bersama.
“Ikatan mereka berdua itu begitu kuat, Digo mungkin merasa tidak bisa tetap di sini. Ingatan tentang Dega dan semua kenangan di kota ini membuatnya sulit menerima kepergian Dega. Hal itu mungkin membuatnya memutuskan pindah ke kota lain. Om kemarin menghubungi Digo, dia sehat dan sepertinya sudah mulai bisa menerima semuanya. Om harap kamu juga mulai melepaskan Dega dan menerima semuanya.” ucap Om Handi, air mataku menetes.
“Bukan melupakan Dega tapi mengingatkanmu selalu bahwa Dega sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia ada di hatimu dalam sebuah kenangan.” ucap Om Handi.
“Lihatlah di sekelilingmu, kamu katakan ada 3 orang temanmu yang selalu ada untukmu. Mereka tidak memandangmu aneh, mereka menerimamu apa adanya.” ucap Om Handi.
“Mereka adalah orang-orang yang mengasihimu, buatlah hari-hari yang menyenangkan dengan mereka sama seperti dengan Digo dan Dega.” ucap Om Handi lagi. Aku teringat Karel dan Weny juga Banyu... Iya mereka sekarang yang mengisi hari-hariku, kenapa aku harus terus tenggelam dalam ingatan tentang Bang Dega. Aku... Kalau aku merelakan Bang Dega. Apakah aku akan melupakan Bang Dega.
“Om, aku tidak ingin melupakan Bang Dega. Siapa yang akan mengingatnya, semua orang akan melupakannya...” ucapku pelan.
“Bukan dilupakan, seperti yang Om katakan tadi. Simpan Dega dalam kenangan yang membuatmu selalu tersenyum jika mengingatnya.” ucap Om Handi.
“Aku takut lama kelamaan aku akan melupakan Bang Dega, kami sudah berjanji bahwa kami bertiga akan selalu bersama dan saling mengingat satu dengan yang lain.” ucapku, Om Handi berdiri dan mendekatiku. Om Handi memutar kursi yang ku duduki menghadap ke Om Handi lalu bersimpuh di depanku sambil memegang sandaran lengan kursi yang ku duduki.
“Jingga... jangan merasa bersalah karena merelakan kepergiannya. Jangan merasa bersalah kalau kamu akan bahagia tanpa Dega. Dega juga pasti ingin kamu bahagia tanpa dia. Apa yang selalu di katakan Dega padamu. Jangan bersedih, Jingga ngak boleh bersedih. Itu yang selalu diucapkannya. Karena itu setiap kamu sedih Dega selalu menghiburmu dan melakukan hal-hal konyol untuk membuatmu tersenyum. Kamu ingat?” ucap Om Handi, aku mengangguk. Bang Dega memang selalu menghiburku bila sedih, melakukan hal-hal konyol. Mengajakku jalan, makan dan membelikan apa yang ku mau. Air mataku semakin mengalir deras. Om Handi berdiri lalu memelukku, aku terus menangis.
“Menangislah, luapkan kesedihanmu jangan ditahan.” ucap Om Handi. Aku memegang jubah praktek Om Handi erat. Aku merindukanmu Bang Dega, tapi aku harus melepaskanmu... Maafkan aku...
*