Read More >>"> NADI (Elipsis) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - NADI
MENU
About Us  

           Aku tidak tahu dengan manusia lain, namun aku tahu bagaimana diriku. Aku terkadang bisa membenci orang-orang disekitarku dengan alasan yang konyol, atau aku bukanlah orang yang mudah percaya pada siapapun. Terkadang hati dan alur pikiranku yang mengendalikan semua gerakkan tubuhku. Aku tidak tahu dengan yang lainnya, tapi aku begitu.

            Aku bisa menebak hari ini akan datang, semua orang yang tidak lagi ingin ku lihat berkumpul. Mereka memandangku dengan guratan marah bercampur emosi, ada juga yang memandang rendah atau iba padaku. Dari semua ekspresi mereka tidak ada satupun yang membuatku tenang, aku tidak ingin dipandang dengan raut apapun meskipun itu raut memohon.

            “Apa lagi ini? Siapa dia?” tanyaku pada Edwin.

            “Ibu tirimu!” jawabnya.

            Ibu tiri katanya, khe! Aku tidak mengenal wanita yang dimaksud bahkan membayangkan wajahnya saja tidak pernah kulakukan. Aku tidak mengenalnya, ia orang asing untukku. Ingatanku berkata kalau ia hanya wanita yang dinikahi oleh ayah ku setelah ibuku. Kenangan? Omong kosong saja, rasanya aku mau muntah.

            “HAHAHAHAH!” gelakku sarkas memenuhi seisi ruangan, “Cuih! Kalianlah bajingannya! Aku tahu, kalianlah bajingan itu!” mataku membelalak murka. Ku pandangi mereka satu per satu dengan rasa jijik, aku bahkan memuntahkan isi dalam perutku kerenanya.

            Plak!

            Ya, tamparan dilayangkan ke wajah putihku. Seketika perih berjalar di seluruh pipiku, aku yakin dalam beberapa detik ada ruam merah yang muncul disana.

            “Kaulah bajingan itu berengsek!” Edwin menahan Haras untuk tidak murka dan menyelakaiku, “Bahkan jika kau jadi mayat, ulat tidak akan mau memakan daging busukmu itu!” Haras berteriak marah.

            Aku menyeringai sadis, raut wajah inilah yang sejak tadi ingin kutunjukkan pada mereka. Aku ingin menunjukan jika mereka tidak lebih baik dari lantai di ruangan ini, pantas di pijak.

            “Haras tenang!” bentak Edwin.

            Lisa melemparkan map putih ke Haras, “Skizofrenia, ia akan berbicara dan berpikir hal-hal yang tidak sebenarnya, tapi ia mempercayainya bahkan menjadikannya sebagai salah satu dari ingatan. Selama kami mengintrogasi, Aqila merasa bahwa ia sebenarnya adalah korban disini.” Terang Lisa.

            Haras melempar map tersebut kesembarang arah yang hampir melukai wajahku. Namun aku tidak mau bergeming, masih ku tantang mereka untuk beraksi.

            “Kebenaran harus dikatakan, bagaimana caramu melakukannya?” Edwin masih mendesakku berbicara.

            “Hahahaha! Selamat datang dalam permainan ku.” Aku menyeringai.

.

.

.

            “Kekasih? Mereka Pacaran?” tanyaku.

            “Ya, mungkin sekitar 3 bulan yang lalu, tapi kamu baru tahu?”

            Aku mengangguk mengiyakan. Edwin tertawa lembut dan mengajakku menjauh dari Haras dan Rima. Aku juga tidak mau dianggap sebagai teman yang terlalu mengurusi masalah orang.

            Bullshit! Akulah yang harusnya pacaran dengan Haras, kenapa harus Rima? Rima bahkan sangat tahu kalau aku yang pertama kali menyukai Haras. Sejak SMP aku sudah mengagumi Haras di club takewondo. Rima hanya orang asing, akulah yang mati-matian untuk mendapatkan Haras tapi kenapa Rima yang pacaran? Rima harus dihukum karena mengkhianatiku.

            Edwin meninggalkanku di taman, ia bilang kalau ia akan membantu yang lainnya menyiapkan makan malam. Setelah kepergian Edwin aku langsung berlari menuju tempat Rima dan Haras, namun aku tidak melihat Haras. Rima seorang diri disana dengan wajah sembab berlinang air mata.

            “Rima,” Rima menoleh ke arahku. Aku berjalan mendekatinya pelan. “Kau pacaran dengan Haras?” Tanyaku dengan wajah datar.

            Rima terkejut, “Aqila, aku minta maaf.” Ia mendekatiku dan menggengam kedua tanganku. “Sebenarnya sejak kau cerita kau menyukai Haras, aku sudah meyukainya lebih dulu. Aku minta maaf, akulah yang menyatakan perasaanku pertama kali. Aku takut kau merebutnya dariku.” Rima menggengam tanganku erat, ia terisak dan menyenduh.

            “Lalu kenapa kau menangis? Kalian putus?” aku masih bertingkah cuek.

            “I-itu bu-bukan begitu, ka-kami bertengkar masalah kecil.” Rima menatapku dengan mata lembutnya yang berlinang air mata.

            Aku menghempas genggaman Rima dari tanganku, “Kau Hamil?” Rima membulatkan matanya. “Tapi bukan dengan Haras? Kau selingkuh?” Rima terlihat terguncang.

            “Aqila, kau mendengar kami?” aku diam tak menjawab, “Aku tidak selingkuh! Sebenarnya aku ingin putus dengan Haras dan menggugurkan bayi ini, tapi haras marah dan membentakku. Haras bilang ia akan bertanggung jawab atas bayi yang ku kandung meskipun ia bukanlah ayah dari bayi ini.”

            “Kau merasa senang? Kau merasa sangat dicintai olehnya?” Rima mundur melihat emosi ku. “Kau yang dilecehkan dan Haras harus ikut terlibat, apa kau ingin hal itu juga?”

            Emosi Rima tak terbendung lagi, “Aqila! Aku tahu kau marah, tapi kau tidak berhak merendahkan ku. Kau tidak tahu kekejaman apa yang aku alami, aku merasa ingin mati saja dari dunia ini.”

            “Matilah,” Rima membelakkan matanya terkejut. “Kau bilang kau ingin putus dan mati bukan? Maka mati saja sana!” Aku mentatapnya nyalang.

            “Aqila...” ia melirih.

            “Aku dengar ayahmu kerja di perusahaan ayahnya Wawan? Jika Wawan tahu kau hamil aku tidak tahu bagaimana nasib ayahmu itu.” Rima terduduk lemas, “Aku akan tunggu sampai matahari terbenam, kau harus menghilangkan bayi itu dan putus dengan Haras atau kau tidak akan tahu apa yang bisa kulakukan padamu untuk melakukan keinginanku.” Rima menangis mendengar ancamanku.

            “Kenapa kau melakukan hal ini padaku!” Rima murka.

            “Cuih! Aku membenci orang sepertimu, tidak tahu malu.” Rima menatapku marah, “Kau bisa menggunakan penggaris yang selalu kau bawa untuk menusuk dirimu, jika kau takut sakit kau bisa melaukannya di dalam air.” Aku menoleh ke arah kolam renang.

            Rima memilih untuk diam, aku melangkahkan kakiku menjauhi Rima. “Kau takut aku merebut Haras, padahal kaulah yang merebutnya dariku, wanita hina!” lirihku menjauh.

            Disepanjang koridor vila, aku berpas-pasan dengan Wawan dan Zero, mereka terlihat tergesa-gesa menghampiriku terutama si Zero. Aku sudah tahu apa alasan Zero terlihat murka.

            “Aqila! Kau bilang kau suka sama Haras, tapi kenapa Edwin yang nembak kau? Kau tahu sendiri kalau aku sudah lama menyukai Edwin!” Wawan menahan Zero yang tersulut emosi.

            Plak!

            Tamparan itu kulayangkan ke pipi Wawan, “Apa yang kau lakukan!” berangnya marah sementara Zero hanya diam bingung.

            “Kau yang membuat Rima hamil?” Zero dan Wawan sama-sama terkejut. “Kau kira Haras tidak tinggal diam? Ia bahkan bisa membunuhmu, aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya tapi Haras bahkan akan bertanggung jawab atas perbuatan yang kau lakukan! Haras sangat menyukai Rima, kau tahu itu!”

             “A-apa yang kalian bicarakan?” Zero kebingungan.

             “A-aku mabuk saat itu, bagaimana ini? Jika ayahku sampai tahu aku akan-“ Wawan panik.

             “Aku sudah membereskannya, kalian harus pura-pura menyelamatkan Rima dan membawanya ke rumah sakit.” Kataku santai.

             “Kau membunuhnya?” mata Wawan membulat kearahku.

             “Kita harus melakukannya atau kau yang akan dibunuh, tidak dengan ayahmu maka Haras yang akan melakukannya.” Aku berjalan menjauh.

             “Bagaimana denganku?” teriak Zero.

              “Aku akan menolak Edwin jika kau ikut membantu,” jawabku. “Aku bahkan tidak menyukai pria itu sama sekali.” Lirihku pelan.

              Wawan dan Zero mengikutiku dari belakang, aku melihat sekilas Bimo dan Adam yang sembunyi-sembunyi bergerak menjauhi kami. Aku tidak yakin, tapi bisa jadi mereka berdua mendengar percakapan kami tadi.

              Sebentar lagi matahari terbenam, aku memilih untuk kembali ke kamar. Ku lihat hp Rima disana, aku mendekat dan menggapainya. Ku ketikan sebuah pesan singkat berisi ‘nadimu berhenti ditubuhku, itu pilihanku’ lalu ku kirim ke Haras, aku menyeringai puas setelah itu sekenario kami pun dijalankan.

              Rima masih selamat, aku tidak menyukai hal itu. Aku berharap Rima menderita karena itu aku dan Zero membujuk untuk terus membuka kasus agar batin Rima selalu tertekan. Tapi kedua orang tua Rima lebih pintar, ia bahkan memilih mundur dari perusahan  ayah Wawan dan membawa Rima pergi menjauh dari kami, sementara Haras juga ikut pergi. Sangat sulit menemukan keberadaan mereka berdua, Wawan yang merasa bebannya sudah pergi lenyap tidak lagi berniat membantu.

             Aku beralih ke Edwin agar aku bisa mencari tahu keberadaan Haras, keadaan mendesakku untuk berpacarann dengan Edwin. Zero marah padaku dan menganggap aku adalah pengkhianat, ia dan Wawan juga pergi meninggalkanku. Kejadian ini seperti angin, terlupakan begitu saja sementara rencana yang ku susun berantakkan sudah. Hanya Edwin yang ada disisiku, tapi aku tidak menyukai itu.

            Lima tahun berlalu, aku sebenarnya sudah melupakan kejadian itu. Aku juga tidak bisa bertemu dengan Haras dan putus dengan Edwin, aku berpikir untuk hidup tenang di sisa kehidupanku. Namun ternyata tidak bisa, keadaan mendesakku untuk tetap terjaga.

           “Bimo memiliki rekaman saat percakapan kita di vila. Jika para pemegang saham mengetahui hal ini aku tidak tahu bagaimana nasib ku.” Curhat Wawan, aku hanya menatapnya datar.

           “Kau dan Zero sudah meninggalkanku, tapi sekarang kau datang untuk memohon?” aku tergelak garing.

           “Kaulah yang hampir membunuh Rima! Kau gak bisa lari dari kenyataan!” Wawan mulai mengancamku.

           “Kasus sudah ditutup, aku tidak akan dihukum karena tidak ada bukti yang menjerumuskan ku. Rima bahkan sudah membuat pernyataan kalau kejadian itu ia sendiri yang melakukannya. Jika kasus dibuka maka cuma kau yang hancur.” Aku menyeringai puas dan meninggalkan Wawan.

           “Rima dan Haras sudah bersama, bayi itu bahkan tidak mati. Haras dan Rima memilih untuk membesarkannya, kau ingat kalau Rimalah yang mengkhianatimu!” Aku terdiam memandang Wawan, “Aku akan memberimu uang dan saham jika kau mau membunuh Bimo untukku.”

           “Kau harus menepati kata-katamu.” Wawan menyeringai puas.

           Dengan bantuan Wawan aku datang untuk bertemu dengan Zero, tapi Zero masih membenciku. Aku mendengar Zero akan mengadakan pesta di sebuah resto, aku pergi kesana dan ternyata aku bertemu dengan Edwin. Kami becerita salah satunya adalah Bimo akan melakuakan pemeriksaan besok di tempat Zero.

            Keesokkannya aku terpaksa meminum susu basi untuk bertemu dengan Bimo dan mencari informasi dari Zero. Saat itu adalah keberuntunganku karena Zero mengatakan kalau Bimo terbiasa merokok sebelum tidur. Aku di ajak Zero keruanganya dan ternyata ia kehilangan sebuah berkas yang penting.

            “Halo!” Zero panik. “Wawan?” Zero menatapku dan langsung menjauh, aku pikir ia tidak mau pembicaraanya didengar olehku.

            ‘Aku pikir ia tadi ingin menghubungi Bimo.’ Batinku.

             Cukup lama aku menunggu seperti patung, pada akhirnya aku memilih pergi. Ini seperti pungusiran secara halus oleh seorang Zero. Aku juga masih banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan jadi untuk apa aku berlama-lama disana.

             Aku hendak memegang engsel pintu, tapi Zero memanggilku mendadak. Ia menyuruhku untuk duduk di hadapanya. Aku bingung pada awalnya, tapi aku tetap melakukan apa yang Zero mau.

            “Saat ini hp Bimo ada di tangan Wawan.” Aku diam, “Wawan bilang kalau kau membantunya mengusir Bimo, ambilkan aku amplop yang dibawanya tadi.” Aku tidak suka dengan cara Zero memohon.

            “Katakan apa isi dari amplop tersebut, atau aku tidak akan membantumu.” Jawabku santai.

            “Aku melakukan malpraktik pada adiknya, rumah sakit akan mencabut semua pengobatan adiknya karena kebutuhan dana. Dokumen itu jika sampai ditangan media maka nama baikku dan rumah sakit akan tercemar.” Tanpa disadari Zero aku merekam suaranya.

             “Imbalannya tidak sedikit, kau harus menyiapkan hadiahku malam ini.” ujarku sambil memberikannya sebuah flashdisk, “Ini rekaman rekayasa, kau harus menyelamatkanku dengan itu.” aku bangkit dari dudukku.

             Zero menerimanya, “Jangan datang ke pestaku apapun yang terjadi!” aku hanya menyeringai mendengar kata-kata Zero.

             Malam harinya, aku berdiri di depan rumah Bimo dan Wawan sudah menungguku di seberang jalan. Wawan berjalan mendekat dan memberika hp Bimo padaku.

            “Datanglah lima menit sebelum aku datang.” Kataku dan berjalan masuk kedalam perkarangan rumah Bimo.

             Aku mengetuk pintu rumah, Bimo membukanya dan menyuruhku untuk masuk.

            “Aku kesini untuk mengembalikan hp mu yang jatuh,” kataku.

            “Aku tahu kau kesini bukan untuk itu.” Bimo menatapku nyalang, “Apapun yang kau tawarkan aku tidak akan menyetujuinya. Rumah sakit dan perbuatan Zero harus diproses agar mereka tidak semena-mena.” Ujarnya.

            “Ehem! Aku agak haus, boleh aku minta minum?” Bimo berjalan ke dapur, saat itulah aku mengganti rokok yang ia tinggalkan di meja dengan rokok yang sudah kuberi obat tidur. Tak lama Bimo datang dengan segelas air.

            “Terima kasih,” ujarku.

            “Kau dan Wawan sama bejatnya, aku dan Haras ingin memasukanmu dan gengmu kedalam sel tahanan. Namun Rima menolaknya, ia bilang kalau ia tak mau lagi berurusan denganmu dan pergi mengasingkan diri.” Sindir Bimo. Aku tidak ambil pusing apa yang ia katakan, tujuanku adalah menghancurkan Bimo.

            “Kau mengancam Wawan dengan bukti itu, kau juga mengancam Zero dengan dokumennya. Bimo, kau sudah menerima perawatan gratis selama ini. Aku tahu kau marah karena kasus adikmu, tapi itu hanya kecelakaan.” Aku meyakinkan Bimo.

            Bimo menyesap rokoknya, aku melirik dan membatin senang. “Pergilah! Aku tidak mau mendengar omong kosongmu!” tak lama mengatakan itu Bimo terlelap.

           Dengan gerak cepat aku mencari dokumen dikamarnya. Dokumen sudah ku temukan, namun aku tidak yakin dengan rekaman itu. Aku berpikir jika Bimo tidak mungkin hanya punya satu, ia pasti menyimpan salinanya. Jika aku bisa menghapus semua bukti tidak berarti Bimo akan diam. Aku melihat puntungan rokok yang masih hidup, ide untuk membuat kebakaran terlintas dalam pikiranku.

           Gas kubuka dari tutupnya, minyak tanah ku tuangkan ke seisi rumah. Rumah Bimo sangat kecil, mudah saja untukku bergerak cepat. Akibat memegang minyak tanah, tanganku jadi bau, aku sudah mencucinya namun tidak bisa hilang. Aku meninggalkan KTP ku disana  dengan sengaja.

           Edwin membuat status di media sosialnya. Aku keluar dari rumah dan api mulai menjalar, aku menghubungi Wawan untuk berangkat ke pesta Zero dan sekenario pun dimulai.

           “Aku akan mengantarmu pulang, jadi pastikan kau beristirahat dengan tenang malam ini. Jangan buat diriku sakit!” Aku menatap mata Edwin bingung, “Jika kau tidak istirahat kau akan sakit dan otomatis aku juga merasa sakit jika kau sakit.” Lanjutnya sambil tersenyum.

            Edwin tidak masuk, hanya sampai di seberang jalan wisma. Ia tak banyak bicara cukup kata-kata pamit yang ia ucapkan. Kepergiannya hingga batas mataku tak bisa lagi melihat baru ku alihkan badanku ke tempat lain. Aku pergi sedikit lebih jauh dari wisma dengan berjalan kaki, dua orang bersandar di depan mobil mewah menungguku.

          “Ini yang kau cari.”

          Amplop coklat ku serahkan kepada Zero. Wawan merampasnya sebelum Zero dan membakar amplop tersebut tepat di depan mata kami. Tidak ada yang ingin menghentikan Wawan, kami berdua hanya diam.

          “Hapus semua bukti yang bisa menghancurkan hidup kita! Aku tidak mau lagi membahas atau mengingat apapun tentang ini dan perbuatan di masa lalu.”

           Kami membuang wajah malas mendengar celotehan Wawan. Zero memberikan ku sebuah amplop yang aku inginkan, hasil kesehatan Bimo.

          “Kenapa kau menyuruhku membawa ini?” tanya Zero.

          “Aku hanya penasaran dengan cerita kalian di kantor polisi, apa itu benar?” kataku.

          “Khe! Kau kira itu benar? Tentu saja itu hanya bohongan, hahahaha!” gelak Wawan. “Tapi kau tidak membunuh Bimo seperti keinginanku.” Raut Wawan berubah.

          “Meskipun ia masih hidup, tapi ia sudah seperti mayat. Bimo tidak akan bisa melakukan apapun bahkan untuk mengancam kalian lagi ia tidak mampu, jadi jangan khawatir.” Jawabku malas.

          “Aku tidak tahu apa rencanamu selanjutnya, namun jika kau melawan kami kau akan tahu akibatnya!” Zero mengancam, ia masuk ke dalam mobil diikuti oleh Wawan. Mereka pergi menjauh.

           Paginya Edwin datang menjemputku untuk menjenguk Bimo. Aku melihat keadaan Bimo yang tak sadarkan diri berbaring di ranjang, aku bahkan tak bisa melihat wajahnya karena perban yang melilit tubuhnya. Edwin keluar menemui teman lama katanya, aku ditinggal berdua dengan Bimo. Hp dan amplop kemarin kuletakkan di atas meja.

          “Bagaimana temanmu?” tanyaku pada Edwin saat kami pulang kembali ke wisma.

          “Ia baik-baik saja.” Jawabnya.

          “Tadi itu Rasti kan?” Edwin mengalihkan matanya kearah ku. “Kalau kau bertemu lagi denganya katakan kalau aku pun tak ingin melihatnya.” Setelah itu kami hanya dalam keheningan.

          Aku membeli rumah baru, alasanku hanya aku tak ingin hidup dengan ayahku terlalu lama apalagi ia membawa pengganti ibuku yang sangat ku benci. Di rumah ayah aku tak merasa senang karena wanita itu, jadi aku memutuskan untuk memisahkan diriku.

          Aku bertemu dengan Adam, ia membantuku selama aku pindahan. Adam anak yang baik sejak aku mengenalnya dari SMA, ia tak banyak bicara dan paling bijak diantara kami. Namun aku tahu Adam memiliki apa yang dimiliki oleh Bimo, itulah yang membuatku harus menunjukkan diri jika Adam ada dibawah kekuasaanku, ia tak boleh gegabah.

         “Cukup kau diam, atau kau juga akan bernasip sama seperti yang lain.” kataku dengan nada menekan mengancam Adam sebelum ia pergi beranjak dari rumahku.

         Setelahnya aku hanya mendapat kabar ia pergi keluar negeri dan menetap disana. Adam memilih pilihan bijak untuk menjauhiku, tapi tanpa sepengetahuanku ia sering datang mengunjungi Bimo dan mulai balik menyerangku.

          Hari-hariku berantakkan sesudahnya, aku menanam saham dengan uangku juga uang kantor yang aku selipkan namun hangus dibawa lari. Aku memiliki banyak hutang, belum lagi aku dibawa ke pengawasan internal untuk diperiksa. Lima tahun aku menyelipkan dana dan berjalan baik, tapi aku ketahuan oleh mereka. Saham-saham yang yang diberikan Wawan dan Zero kepadaku juga tak berjalan mulus, ini pasti siasat. Aku bisa mencium bau kalau aku sedang dijebak.

          “Kalian menjebakku? Kalian menyebarkan apa perbuatanku agar menutupi kekejaman kalian?!” aku membentak dua orang yang berdiri di depan ku.

          “Kaulah yang menjebak kami!” Wawan emosi, “Kenapa kau meletakkan sembarangan dokumen dan Hp bimo? Kau ingin kami di periksa polisi kan? Kau ingin menghancurkan kami!” Wawan memperlihatkan urat nadi kemarahannya.

          “Kalian memang pantas untuk hancur!” aku membentak.

           “Gara-gara kau nama baik kami dan perusahaan hancur, kau tidak lagi punya kekuasaan untuk kami berdua. Dengar! Kau yang akan kami buat menderita selama sisa hidupmu, pembunuh!” Zero menekan suaranya.

           Sisa hidupku setelah itu benar-benar hancur, Zero dan Wawan memang berani menindasku hingga aku tak lagi memiliki apapun. Mereka mudah saja melakukan itu dengan kekuasaan yang mereka miliki. Ayah dan istrinya membawaku kerumah yang lebih kecil, mereka bahkan kehilangan rumah mereka menebus semua hutang-hutang ku. Aku cukup tertekan menanggung semua beban ini, itu membuatku gila dan pikiran negatif mulai mendatangi ku.

           Aku berjalan gontai ke dapur, mataku mencari benda tajam yang bisa memenuhi hasrat ku. Aku menemukannya, benda yang bisa memotong daging hanya dengan sekali tebas. Kulirik mataku menghadap tajaman pisau, ku lirik pergelangan tanganku yang menyembunyikan aliran darah. Aku berniat untuk ini, aku harus menemui ibuku dan ketakutanku, kematian.

          Syaat!

          Tegores sudah, darah menjalar menuju lantai ruangan. Mataku sayu menghadap jendela dapur melihat pantulan cahaya matahari. Tiba-tiba cahaya lampu menyala, aku menolehkan wajah yang kulihat hanya wania tua bodoh itu. Ia menjatuhkan kantung belanjaanya, ia menjerit dan mendatangiku. Wanita itu mengambil kain bersih menghentikan darah yang terus menerus keluar dari tanganku.

          “Aku membencimu sejak melihatmu pertama kali,” mata wanita itu menatapku takut, “Aku ingin menghilangkanmu dari hadapanku!” Pisau yang ku gengam sejak tadi terangkat tepat di depan mata wanita itu, ia semangkin ketakutan.

          Hampir saja, aku hampir saja melukai wanita itu jika ayahku tidak datang untuk menghalangi keinginanku.

          “Cepat pergi dari sini!” teriak ayah.

           Aku mendorong ayah hingga jatuh mengantam meja, kepala ayah mengeluarkan banyak darah segar. Aku bergerak cepat mengejar wanita itu yang mematung melihat kondisi ayah,  aku mencekik lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Ia memberontak dan bebas dari cengkramanku, namun aku cepat menarik kakinya hingga jatuh.

          Wanita itu memohon dibawahku dengan tangisan pilu, ia menjerit dan meminta untuk aku berhenti. Tapi hasratku untuk menghilangaknnya terlalu besar, pisau yang ku pegang ku angkat setinggi mungkin. Sekarang aku siap untuk menebasnya.

          Syaaat!

          “Qila!” jerit ayah.

           Aku menoleh dengan wajah yang memerah karena darah segar menghantam wajahku. Ayah membulatkan matanya pada apa yang ada dibawahku, aku melirik dan melihat wanita itu tak lagi berdaya. Tubuh dan kepalanya tak lagi menyatuh, setelah itu aku hanya tergelak kemenangan. Aku berjalan gontai menjauh tanpa mempedulikan aliran darah yang ada di tanganku. Saat aku keluar aku melihatnya, Haras ada didepan mataku namun kesadaranku memudar akibat banyak darah yang terbuang, aku terjatuh.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Citranicha

    Hai cerita yang bagus :)
    Udah aku like yaaa~
    Suka banget sama diksinya..
    Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!

    Comment on chapter Koma
Similar Tags
selamatkan rahma!
425      287     0     
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
No, not love but because of love
1766      672     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
4539      1224     20     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...
Words Unsaid
573      318     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
always
1049      563     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
Crystal Dimension
284      192     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Abnormal Metamorfosa
1932      663     2     
Romance
Rosaline tidak pernah menyangka, setelah sembilan tahun lamanya berpisah, dia bertemu kembali dengan Grey sahabat masa kecilnya. Tapi Rosaline akhirnya menyadari kalau Grey yang sekarang ternyata bukan lagi Grey yang dulu, Grey sudah berubah...Selang sembilan tahun ternyata banyak cerita kelam yang dilalui Grey sehingga pemuda itu jatuh ke jurang Bipolar Disorder.... Rosaline jatuh simpati...
ADIKKU YANG BERNAMA EVE, JADIKAN AKU SEBAGAI MATA KE DUAMU
21      9     1     
Fantasy
Anne dan Eve terlahir prematur, dia dikutuk oleh sepupu nya. sepupu Anne tidak suka Anne dan Eve menjadi putri dan penerus Kerajaan. Begitu juga paman dan bibinya. akankah Anne dan Eve bisa mengalahkan pengkhianat kerajaan? Siapa yang menikahi Anne dan Eve?
My Doctor My Soulmate
61      55     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
The Girl In My Dream
385      270     1     
Short Story
Bagaimana bila kau bertemu dengan gadis yang ternyata selalu ada di mimpimu? Kau memperlakukannya sangat buruk hingga suatu hari kau sadar. Dia adalah cinta sejatimu.