Anak tetaplah seorang anak meskipun ia terlihat buruk, begitu juga dengan orang tua. Namun dunia ini yang mengubahnya, tak jarang kabar-kabar yang terlintas menyangkut kekejaman orang tua atau anak durhaka. Banyak alasan manusia melakukan yang tak sepantasnya ia lakukan, itu karena dunia yang suka membolak-balik keadaan.
Rasa benci yang muncul bisa karena banyak hal, iri, cemburu, baik hati, cantik, kaya dan lain halnya bisa memicu kebencian. Nekat mengikuti nafsu negatif yang berakhir penyesalan menjadi tantangan sendiri, tidak semua orang bisa dan tidak semua orang mampu. Tak banyak yang tahu jika kehidupan ini hanya permainan, yang dapat membunuh kita seperti bom waktu. tidak pasti kapan itu dan dimana itu.
“Apa yang terjadi?”
Rasti tergesah-gesah menghampiri Haras yang bingung campur ketakutan. Edwin datang berlari menuju kedua temannya.
“Ayah Aqila dibawa petugas kepolisian, kami menyelidikinya dan itu mungkin kasus pembunuhan.” Jelas Edwin.
“Ayahnya? Ia tersangka?” Rasti masih bertanya-tanya.
“Ada sidik jari di pisaunya, juga DNA darah di pisau tersebut cocok dengan darah korban namun juga ada beberapa darah Aqila disana.”
“Edwin! Kau adalah dektektif kan? Aku curiga ini bukan perbuatan ayahnya, tapi-“ kata-kata Haras dipotong Edwin.
“Aqila!” semua mata menatap Edwin terkejut. “DNA korban juga cocok di tubuh Aqila, aku curiga ini hanya perlindungan dari ayahnya. Pembunuhnya adalah Aqila.” Rasti bungkam karena terkejut.
“Kalian berdua harus mengurus penyihir itu. Jangan sampai aku turun tangan mengatasi masalah ini.” tegas Haras.
“Haras! Kami harus menyelidikinya, mungkin saja ia memiliki penyakit kejiwaan. Bagaimana ia melakukan pembunuhan dan motif kenapa hal tersebut dilakukan harus kita selidiki.” Balas Edwin.
“Aku akan membantu menangani kondisinya.” Tambah Rasti.
“Baiklah, tapi kalian harus ingat apa yang telah dilakukannya pada Rima dan Bimo.” Haras bergegas menjahui Rasti dan Edwin.
“Aku curiga Aqila tidak sendirian, ia mungkin punya koneksi yang lain.” Edwin menatap mata Rasti kemudian pergi.
Ada yang tidak tenang untuk ini, ia adalah Haras. Hari-harinya memantau Aqila dari jauh maupun dari dekat, ia membuat rencana untuk pelan-pelan mendekati Aqila demi mengetahui apa motif dibalik perbuatan kejamnya. Siasatnya pun ia laksanakan dengan hati-hati.
“Aku ingin ia bekerja di cafe mu.” Haras menghampiri Edwin yang lagi berdiskusi dengan Rasti.
“Ada alasan untuk ini?” tanya Edwin.
“Ia butuh pekerjaan, dan tempatmu yang memungkinkan aku bisa memantaunya.” Jawab Haras.
“Baiklah.”
“Haras! Kau harus ingat kalau bisa jadi ia memiliki masalah kejiwaan, jadi jangan gegabah. Kau sudah setuju untuk tidak menakut-nakutinya, jangan bawa perasaanmu kedalam kasus ini.” Rasti menambahkan yang dibalas anggukan oleh Haras.
.
“Tentu saja ada, apakah kau tertarik dengan pembunuhan?” Aqila tersentak.
“Aku sering berpikiran aneh beberapa tahun kebelakang. Kau tahu Bimo mengalami musibah di dalam rumahnya?” Aqila memandang Haras sendu.
“Aku tahu, Rasti yang memberitahuku. Ia sempat menjadi perawat disana sebelum ia memutuskan untuk pindah ke rumah sakit jiwa.” Jawab Haras.
“Rasti? Aku lupa jika ia yang merawatku di rumah sakit. Haras, aku bertemu dengan Zero dan Wawan, mereka bilang kalau Bimo suka mencuri. Bahkan ia mengambil KTP ku, karena itu aku sampai dituduh yang melakukan kebakaran di rumahnya.”
Haras terdiam, ia seperti tidak lagi bernafsu untuk memakan es cream vanilanya. Ia melepaskan genggamanya pada sendok es cream dan memandangi Aqila lekat. Haras seperti ingin mengatakan banyak hal.
“Aku tidak tahu apapun. Kita semua sudah lama tidak berkomunikasi, bagaimana aku mengetahui hal itu?”
Batin haras bercampur aduk, ia tidak bisa mengendalikan emosinya di depan Aqila sesuai janjinya pada Rasti. Haras merasa dongkol dengan reaksi Aqila yang seperti orang linglung, lupa segala hal dan mengganti kebenaran sesuai kehendak hatinya sendiri. Aqila terganggu dengan reaksi Haras, ada perasaan was-was ketika ia berhadapan denganya. Aqila memilih untuk menjauh dari orang yang terlihat mencurigainya.
“Aku ingin bicara dengan Aqila!” kata Haras menekan. Edwin menoleh kearah Aqila bingung, ia kembali menatap Haras.
“Sepertinya ia sedang tidak ingin bicara. Sebaiknya kau bicara denganku saja.” Tawar Edwin.
Edwin dan Haras menjauhi Aqila untuk berdiskusi.
Bugh!
Pukulan keras dilayangkan Edwin tepat dipipi kiri Haras hingga ruam kemerahan membekas disana.
“Kita uda sepakat untuk tidak membawa emosi, kau mau semuanya hancur!” Edwin marah.
Bugh!
Kali ini pukulan Haraslah yang membekas di pipi kiri Edwin.
“Pertama Rima, kemudian Bimo dan sekarang Ibunya sendiri. Kau pikir aku akan diam saja selama pembunuh itu masih berkeliaran? Aku masih punya Rima dan Gilang di rumah, bagaimana kalau dia tahu itu? Kau bisa menjamin ia membiarkan Rima hidup!” bentak Haras.
Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!
Adu jotos pun terjadi, tidak ada yang ingin mengalah meskipun wajah mereka berdua sudah penuh dengan ruam kebiruan. Hingga mereka lelah dan memilih untuk mengakhiri pertengkaran yang entah untuk apa dan karena apa.
“Skizofrenia!” Haras menatap Edwin. “Rasti bilang Aqila bisa jadi mengidap penyakit itu, karena itu ia mengangap khayalannya sebagai kenyataan dan melupakan kenyataan yang sebenarnya. Aku juga baru menemukan jika Zero dan Wawan bersamanya selama ini.”
“Berengsek! Jadi mereka dibalik kekejaman ini!” Haras murka.
“Kau tenanglah dulu! Kami akan menyelidiki lebih lanjut masalah ini, sebaiknya kau menjauh dari Aqila karena ia sudah tak lagi mempercayaimu.” Jelas Edwin.
“Aku tidak mau melihat wajahnya lagi di hadapanku, jika ia menggangu keluargaku maka aku yang akan bertindak nekat pada nya.” Setelah mengatakan hal tersebut Haras pergi menjauh.
Setelahnya hari menjadi lebih baik untuk Aqila, ia bekerja dan hidup dengan damai seperti tidak pernah melakukan suatu kesalahan apapun, atau menyesali apapun. Namun itu hanya sementara, Zero dan Wawan mendatangi Aqila secara diam-diam. Dunia serasa tak setuju dengan kedamaian Aqila.
“Mereka merencanakan untuk membongkar kejahatan kami, sialnya mereka punya bukti.” Zero menyesap batang rokok ditanganya begitu juga dengan Wawan.
“Aku berhenti, apa mau kalian aku tidak peduli.” Jawab Aqila datar.
“Haras dan Rima merawat anak itu, mereka sudah membentuk keluarga.” Wawan membawa emosi Aqila muncul.
“Ku dengar kau memiliki skizofrenia, serahakan dirimu dan beri alasan jika kau memiliki penyakit skizofrenia maka hukumanmu akan diringankan.” Kata Zero menjatuhkan puntungan rokok dan menginjaknya.
“Jika kau tidak mau, maka kami bisa melakukan apapun hal lebih kejam untukmu selain menghapus semua kekayaanmu. Kau bahkan akan bisa membunuh tidak hanya ibu tirimu karena itu.” Setelah itu Wawan dan Zero pergi. Aqila hanya diam di tempat.
Aqila mendatangi Rasti dan meminta Rasti untuk merawatnya, ia bersembunyi di dalam rumah sakit jiwa. Rasti berpikir jika menyembunyikan Aqila bisa membantu mencari tahu kebenaran, Edwin juga setuju dengan hal itu. Sekarang hal yang menjadi fokus pencarian Edwin dan Rasti hanyalah kejahatan Zero dan Wawan sementara Aqila sudah berada di tangan mereka.
Lama Edwin dan Rasti mencari bukti memecahkan kasus membuat ingatan Aqila akan wajah keduanya pudar. Zero dan Wawan kembali menuntut Aqila untuk menyerahkan dirinya, membebaskan mereka dari rasa tanggung jawab. Pembunuhnya juga adalah Aqila sendiri dengan tanganya, jadi apapun hasilnya yang dirugikan tetaplah Aqila.
Aqila setuju dengan permintaan Zero dan Wawan, tapi Zero dan Wawan harus memberikan Aqila waktu satu hari bertemu dengan ayahnya sebagai imbalan. Mereka sepakat, tepat hari ini Aqila pergi menemui ayahnya.
“Aku bukan anak yang berbakti, tapi kau juga bukan ayah yang dapat ku kagumi.” Ayanya tak banyak bicara, ia hanya menyenduh. “Tapi Maaf sudah menanggung kekejaman dunia ini bersamaku. Ayah tahu aku takut dengan kematian, jadi apapun yang kulakukan ayah jangan khawatir karena aku tidak akan pernah berani menemui ibu dan kematianku.”
Aqila pergi meninggalkan ayahnya, “Jangan lagi! Berhentilah nak!” teriak ayahnya dari kejahuan.
Aqila menuju Perpustakaan Nasional, ia dapat informasi jika Wawan ada di lantai 24 paling atas. Saku jaket Aqila sudah menyembunyikan penggaris besi yang berukuran sama dengan punya Rima. Entah apa yang ada di pikiran Aqila namun pandangan matanya kosong.
Di lantai dua puluh empat ada sebuah ruangan yang tidak sembarangan orang bisa masuk, selain petugas atau yang berwewenang dilarang untuk memasuki ruangan tersebut. Pintu kecoklatan terbuka dengan tergesa-gesa, pria berumur kembali menguncinya dari dalam. Ia bergerak menuju meja dan lemari, membongkar isinya menghamburkan benda-benda yang ada di dalamnya. Badanya berkeringat dingin, wajahnya pucat dan napasnya tidak teratur, ia butuh sesuatu yang dapat menenangkannya.
“Kau mencari ini?” Wawan terkejut melihat Aqila berdiri di pinggiran balkon.
“Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa masuk?” napas Wawan tidak teratur, ia cukup terguncang saat melihat Aqila yang tidak seperti biasa.
Aqila mengangkat plastik bening yang berisikan jarum dan beberapa obat-obatan. Dengan pelan-pelan Aqila melepaskan plastik tersebut dari tangannya hingga jatuh. Wawan tercengang atas tindakan Aqila.
“Hei! Apa yang kau lakukan!” Wawan berlari mendekati balkon, ia menatap miris pada benda-benda yang ada di plastik bening tersebut sudah terjun bebas. “Apa kau tahu itu harganya berapa!” Wawan tersulut emosi.
Aqila menghadap Wawan, “Aku tidak peduli!” tegasnya, “Yang aku pedulikan adalah kau akan tersiksa tanpa itu, jika kau mau kau bisa terjun untuk mengambilnya.” Aqila tak berekspresi.
Darah di tubuh Wawan mendidih, hasrat untuk mencari ketenangan mulai muncul dari alam bawah sadarnya. Ia berlari kembali ke ruangan mencari di setiap sudut ruang obat penenangnya.
Tring!
Dentingan besi dan lantai berbunyi, Aqila melemparkan penggaris itu ke arah Wawan. “Kau tidak akan menemukan obatmu dimanapun karena semua sudah terjun ke bawah, kau bisa mengantinya dengan itu. Banyak pengguna obat-obatan melakukan hal tersebut jika mereka tak sanggup membelinya.”
“Kau mau aku menyayat nadiku dan menghisapnya?” Wawan tercengang, “Kau mau membunuhku, itu alasanmu yang sebenarnya.” Napas wawan dan suhu tubunya mulai tak teratur.
“Dalam satu menit jika kau tidak melakukannya maka kau akan mati tersiksa, jika kau keluar dari ruangan ini maka semua orang akan tahu kau adalah pengguna obat-obatan. Kau tidak punya pilihan kecuali mengikuti caraku.”Aqila berjalan santai menuju pintu keluar.
“Aku akan menuntutmu karena ini! Aku akan membalasmu!” teriak Wawan.
Syat!
Wawan memilih menggoreskan nadinya tanpa rasa takut dan cepat mengisap darahnya. Aqila menyeringai sadis.
“Kau tidak punya bukti, di ruangan ini tidak ada CCTV karena kau tidak ingin mereka tahu kau adalah pengguna obat-obatan.” Wawan mendengarkan namun masih asik menghisap darahnya sendiri, “Kau juga tidak akan mampu melakukan pembalasan karena penggaris yang kau gunakan terdapat racun yang mematikan. Selamat tinggal.”
Wawan tercengang, ia menoleh ke arah Aqila cepat. Mulutnya yang penuh darah terbungkam tak bisa berkata apa-apa. Aqila memegang engsel pintu dan membukanya, kaki Wawan bergerak cepat mengejar Aqila. Namun saat pintu tertutup, kesadaran Wawan memudar. Ia tumbang dengan darah mengalir deras dari nadinya dan matanya terpejam rapat. Saatnya Wawan menemui malaikat kematiannya.
Di sebuah rumah sakit seorang wanita menyuntikan obat penenang pada lenganya, akhir-akhir ini ia mendapatkan masalah yang serius sehingga ia butuh ketenangan. Sambil beristirahat sejenak di sofa ruangan, wanita itu memejamkan mata. Bunyi pintu terkunci menyadarkannya.
“Aqila! Apa yang kau lakukan disini?” tanya Zero pada Aqila yang berjalan mendekat.
“Aku baru saja memadamkan listrik di rumah sakit ini, mereka sedang memanggil teknisi untuk memperbaikinya karena jika tidak di perbaiki maka banyak pasien yang akan meninggal secara mendadak.” Aqila duduk di hadapan Zero.
“Apa mau mu?” tanya Zero.
“Aku mendengar detakan jantungmu berdebar-debar, itu mengganggu ku dan aku pikir aku ingin menghentikanya.” Qila menyeringai.
Zero bangkit dari duduknya, berlari menuju pintu keluar namun pintu tersebut sudah terkunci. Ia berlari menghadap kamera CCTV, melambai-lambai meminta bantuan.
“Apa kau lupa listrik disini mati, jadi percuma saja. Tidak akan ada yang menolongmu.”
Aqila bangkit, ia berjalan santai menuju Zero dengan mata kosong dan seringai di wajahnya. Zero berlari ketakutan lantaran Aqila menggengam pisau bedah yang di temukannya di atas meja dan membalut kedua tanganya menggunakan sarung tangan, ia menuju ke segala arah dan melempar apa yang ada di hadapanya ke arah Aqila. Aqila semakin mendekat memojokkan Zero, Aqila siap untuk menghantamkan pisau tersebut.
“Bagaimana jika kau tidak bisa menggunakan kedua tanganmu dan pengelihatanmu? Kau pasti tidak akan bisa menjadi seorang dokter lagi. Hahahaha! Setelah membuatmu seperti itu aku akan memasukanmu kedalam jeruji besi, setidaknya kau harus hidup tersiksa.”
“Kau tidak memiliki bukti!” bentak Zero.
“Aku memiliki rekaman pengakuanmu.” Jawab Aqila santai.
Zero menahan tangan Aqila yang menghantamkan pisau mendekati bola matanya. Dengan cepat pisau itu terlempar dan Aqila buru-buru meraihnya. Zero menahan kaki Aqila hingga Qila tersungkur, Zero meraih tabung APAR didekatnya menghantamkanya ke kaki kanan Aqila berkali-kali. Pelan-pelan Aqila dapat meraih kembali pisau itu meskipun kakinya kesakitan.
Syaaat!
Aqila menggoreskan luka di leher Zero. Zero cepat menutup aliran darah yang mengalir deras dengan kedua tangannya dan berdiri ingin beranjak pergi, tapi kakinya di cekal oleh kaki kiri Aqila. Zero tersungkur menahan sakit di lehernya, ia sudah tersedak kehabisan napas. Aqila mendekat menindihi Zero.
“Baiklah kita akhiri sampai disini!” napas Zero tersendat-sendat.
Aqila memaksa Zero menggengam pisau bedah itu dengan kedua tanganya yang berdarah, ia mengarahkan tajaman pisau tepat dimana darah mengalir keluar.
“Karena ini sudah terlanjur, maka kau akan berakhir disini!” kata Aqila menggerakkan kedua tangan Zero menyayat lehernya sendiri. Aqila melakukannya seperti sedang menyembelih hewan.
Zero mengakhiri hidupnya, ia sudah menemui malaikat kematian. Aqila beranjak dari jasad Zero dan pergi menuju runagan lain. Tempat dimana Bimo berada.
Aqila masuk ke dalam, menghampiri Bimo yang tenang di kursi rodanya. Bimo ingin berteriak melihat jika sebenarnya Aqila yang datang dengan jalan tertatih dan bercak darah di tubuhnya, namun Bimo tidak bisa melakukan itu melihat kondisinya. Tepat dihadapan Bimo, Aqila berhenti.
“Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tahu kau akan membawa masalah untukku. Maafkan aku.” Niat Aqila tertunda karena ada suara derap kaki mendekat.
Aqila bersembunyi di balik pintu, Adam datang membawa nampan makanan. Saat Adam berjalan menuju Bimo saat itulah kesempatan Aqila keluar ruangan, ia tidak ingin ketahuan di tempat ini.
“Kenapa wajahmu kaku begitu?” tanya Adam pada Bimo, ia mengamati pandangan mata Bimo ke arah pintu dan menolehkan wajahnya juga ke sana. Namun Adam tidak menemukan apapun. “Ada apa kawan?”
Adam mendekat, bercak kemerahan di lantai menghentikan langkahnya. Adam memeriksa bercak apa itu, ia mencium bau anyir saat menyentuhnya. Dengan sigap Adam berlari keluar dan melihat sekeliling koridor, tapi tak menemukan apapun.
Listrik rumah sakit kembali menyala, para perawat berlarian ketakutan. Adam menahan salah satu perawat, meminta informasi.
“Ada apa?” tanyanya.
“Dokter Zero ditemukan tewas di ruanganya.” Jawab perawat itu lalu bergegas pergi.
Adam dengan cepat mengambil sebuah hp, menekan nomor seseorang. “Edwin! Zero meninggal dan Bimo mungkin saja hampir dibunuh jika aku tidak datang. Apa mungkin ini Aqila?”
Aqila berdiri di hadapan tumpukkan sampah yang dibakar, ini adalah hari pembakaran sampah dan ia yang bertugas membantu pekerja mengumpulkan sampah-sampah yang beserakkan. Di balik api yang berkobar terdapat barang bukti yang dibakar Aqila, ia harus sembunyi dan menyembunyikan apapun yang terjadi.
Aqila berjalan gontai, akibat hantaman pada kaki kananya ia jadi tidak bisa berjalan normal. Dua pria gagah mendatanginya, meminta Aqila menemui seseorang yang katanya Aqila tahu siapa orang tersebut. Namun saat berhadapan dengan kedua orang yang memintanya bertemu tidak ada satupun ingatan dalam benak Aqila.
“Siapa kalian?” tanya Aqila pada Edwin dan Rasti.
Setelah itu Edwin dan Rasti tidak henti-hentinya meminta informasi dari Aqila, hingga tepat lima hari barulah Aqila membuka suara.
.
.
.
“Akhhhhh!!! Pergi kalian semua!!!”
Aqila histeris di ruanganya, ia meminta semua yang ada di hadapannya menjauh meninggalkanya sendirian. Rasti yang selaku dokter jiwa menyuruh untuk semua yang ada di dalam keluar dari ruangan. Qila butuh menenangkan diri.
“Ia harus menjalani terapi dan di rehab.” Saran Rima.
“Aku tidak tahu, tapi pihak kepolisian harus memantau dia terus jika tidak kita tidak tahu siapa korban berikutnya.” Kata Adam.
“Aku dan Rasti akan membantu semaksimal mungkin.” Jelas Edwin.
“Kalian harus memantau dia selalu dan jangan sampai ia keluar dari ruangan ini.” tegas Haras.
Ayah Aqila diam-diam menangis, “Tolong maafkan Aqila, dia sudah banyak menderita karena aku.” Rasti menenangkan ayah Aqila. “Apapun yang terjadi paman hanya bisa meminta tolong pada kalian.” Ayah Aqila tidak bisa menahan air matanya.
Seorang suster membawa nampan sarapan masuk ke dalam kamar Aqila, “Aaaaaa!” teriak suster tersebut sambil melepaskan nampan ditanganya spontan.
Edwin dan teman-temanya bergegas masuk ke ruangan, mereka tercengang saat Aqila tak lagi berada di kursi dengan lilitan tali melainkan terbaring lemah di lantai dengan darah menyebar kesegala arah. Aqila seperti putri tidur bersama mawar merah mengelilingi tubuhnya.
“Bagaimana bisa?” tanya Haras tercengang.
Rasti memeriksa nadi Aqila, ia menggelengkan kepala tanda jika Aqila sudah tidak bisa diselamatkan. Semua mata membola terkejut melihat kejadian naas tersebut, bahkan ayahnya sudah tak lagi sanggup menopang badan yang untungnya langsung di tahan oleh Adam agar tidak terjatuh. Ayah Aqila menangis histeris. Rima menyembunyikan tangisannya di balik pelukan Haras.
Edwin mendekati jasad Aqila, ia terus mencari bagaimana Aqila menyayat nadinya sendiri. Mata Edwin menatap curiga pada kilatan cahaya yang mantul di dekat tangan Aqila. Edwin mengambil sarung tangan di sakunya dan mengambil benda tersebut.
“Ia menggunakan ini untuk menyayat nadinya.” Terang Edwin sambil menunjukan tiga buah foto pemberiannya pada Aqila. “Ia memiliki banyak ide untuk melakukan pembunuhan, bahkan hanya dengan tiga lembar kertas. Sangat sulit dipercaya.” Tambah Edwin
Tidak mudah memilih kematian menjadi pilihan terakhir dalam hidupmu, bahkan jika jalan terjal yang ada di depanmu bukan berarti kematian adalah jawaban dari semua keadaan. Mereka yang berhasil menghindarinya adalah mereka yang beruntung, namun keberuntungan itu tidak lepas dari pencarian. Kadang kala keluarga, teman, kasih sayang, cinta dan impian akan masa depan menjadikan sebuah keberuntungan itu.
Kematian yang menjadi pilihan terakhir mereka adalah karena pemikiran panjang. Tidak ada yang ingin mati jika masih memiliki keberuntungan, bagi mereka yang tidak ada alasan untuk hidup di dunia ini yang dapat menggerakan niat terjahat dalam diri manusia mengendalikannya pada akhir yang kejam.
Kerena itu, hidupmu bukan hanya milikmu namun bisa jadi milik keluargamu, temanmu, orang yang kamu sayangi bahkan bisa pula milik orang asing yang baru kamu temui.
TAMAT
Hai cerita yang bagus :)
Comment on chapter KomaUdah aku like yaaa~
Suka banget sama diksinya..
Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!