Read More >>"> NADI (Garis Miring) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - NADI
MENU
About Us  

           Lukaku cepat membaik, namun keadaaanku tidak akan pernah berubah. Aku dirawat bukan di rumah sakit biasa melainkan di dalam rumah sakit jiwa dalam lima hari penuh. Aku tidak ingin dipindahkan ke rumah sakit biasa karena di sini ada Rasti yang merawatku, setidaknya aku mengenal seseorang di sini.

            Keadaan ayah aku tidak tahu, yang aku dengar ia telah ditangani pihak rumah sakit dan dikurung di salah satu ruangan. Aku tidak ingin melihat atau mengunjungi dia, mendengar dia masih hidup memuat tubuhku bergetar ketakutan. Sementara istri ayah seperti tak pernah ada, ia menghilang seperti bui. Aku berpikir mungkin ia melarikan diri di suatu tempat.

            Tepat hari ke-lima aku telah di perbolehkan untuk kembali pulang, namun kakiku tercekat. Bukan karena aku enggan untuk pergi atau aku betah di dalam rumah sakit jiwa ini, namun karena aku tak tahu ingin kemana. Tempat tinggal dulu memubuatku takut, aku ketakutan serasa ingin mati saja.

            “Aku akan mengantarmu, jangan khawatir.” Suara Haras membuyarkan lamunanku, ia berdiri tepat di hadapan ku dengan memasukan tanganya ke saku celana. Haras terlihat sangat keren dimataku.

            Aku kembali menyenduh, mengingat betapa miris nasib hidupku. “Aku tidak ingin pulang ke rumah itu lagi.” Kataku.

            Haras menyentuh pipi kananku, ibu jarinya bergerak menghapus tetesan air mata di pipi ku. Aku bahkan tidak tahu kapan air itu jatuh, ku pandangi Haras yang membalas memandangiku pilu. Tingkah Haras menyentuh hatiku, aku menariknya dan memeluk menutupkan wajahku di depan perutnya. Aku melepas semua kesedihanku disana.

            Haras menepuk punggungku pelan, ia menenangkan jiwaku. “Aku akan membantumu.”

            Kami pergi ke sebuah tempat yang jauh dari kota, namun tempat tersebut tidak terlalu sepi. Haras mengajakku ke kontrakan kecil yang tidak memiliki banyak ruangan, cuma ada dapur, toilet, kamar tidur dan ruang depan. Tempatnya sangat nyaman, aku bahkan hanya perlu membawa diri dan beberapa pakaian. Di sini peralatannya sudah cukup lengkap.

            Aku melihat Haras mengeluarkan uang lembaran ratusan yang cukup banyak, ia memberikan uang-uang tersebut kepada pemilik kontrakan. Haras mengatakan jika ia telah membayar untuk tiga bulan penuh, jadi sekarang aku dapat menggunakan kontrakan tersebut sebagai rumahku.

            “Bagaimana caraku berterima kasih?” aku memandang Haras yang melahap mie instan buatanku. Mie tersebut pengganti makan malam kami yang tertunda.

            “Hiduplah dengan nyaman di sini,” Haras tidak memandangku, ia lebih terfokus pada mie-mie itu. “Buka hari baru, jangan ingat apapun yang menyakitkanmu. Itu sudah cukup membalasku.” Lanjut Haras.

            Jantungku berdetak cepat, apa mungkin aku lelah? Aku terlalu terpukau dengan kebaikan Haras. Aku tahu jika dari dulu Haras adalah pria yang baik, tapi ini pertama kalinya Haras melakukan kebaikan untukku. Jujur aku sangat tersanjung dibuatnya.

            “Apa kau sudah menikah?” pertanyaan tiba-tiba yang ku keluarkan membuat Haras terbatuk kecil, ia bahkan memandangku bingung. “Jangan salah paham! Aku hanya takut jika kau pulang terlalu larut dan di usir diluar rumah karena seharian ini menemaniku.” Lanjutku dengan nada sedikit meninggi.

            “Hahahahaha!” Haras tergelak riang, “Aku sangat terkejut mendengarnya! Kau tenang saja tidak akan ada yang mengusir ku dari manapun, jikapun ada aku bisa tidur dimana pun jadi jangan khawatir.”

            Aku menekan kuat sendok yang ku genggam, “Kau bisa tidur disini jika itu terjadi.” Lirihku pelan berharap Haras tidak mendengarnya. Ku pandangi ia yang masih melanjutkan makan malamnya, aku berpikir jika Haras memang tidak mendengar apapun.

            Sudah seminggu sejak aku keluar dari rumah sakit dan menempati kontrakan yang disewa Haras. Kadang kala Haras mengunjungiku setiap ia ada waktu, ia bilang jika ia tidak mau aku merasa kebosanan di dalam kontrakan terus menerus. Haras juga sering membawaku keliling untuk berjalan-jalan.

            Aku tiba-tiba melihat luka jahitan yang ada di pergelangan tanganku, “Bagaimana kau menyelamatkanku waktu itu?” Aku menghentikan Haras untuk berjalan dengan menahan lengannya. Aku butuh jawaban.

            “Aku tidak sengaja melewati perkarangan rumahmu, aku mendengar suara jeritan wanita. Awalnya aku mengira jika itu mungkin pertengkaran suami dan istri, tapi kau keluar dari rumah tersebut dengan darah yang sudah mengalir deras dari pergelangan tanganmu.” Aku melepas genggamanku pada lengan Haras. “Saat itu aku langsung mengenalmu, aku berlari cepat menghampirimu. Namun kau sudah tidak sadarkan diri di tanganku, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku panik dan menghubungi ambulance, saat itu aku juga melihat ayahmu keluar dari pintu sambil membawa pisau di tangannya. Wajah dan bajunya penuh dengan bercak darah.”

            “Ayah, apa mungkin ayah yang melakukan semua ini?” ku pandang Haras yang menatapku datar. “Aku hanya ingat kalau aku hampir mati ditangannya. Bagaimana keadaan ayah sekarang?” tambahku.

            “Ia masih dirawat. Kau tidak ingin mengunjunginya?” tanya Haras.

            “Tidak!” jawabku langsung. “Aku takut.” Tambahku. “Oh ya, kenapa harus ke rumah sakit jiwa? Kau bisa membawaku ke rumah sakit biasa kan?”

            “Hanya rumah sakit itu yang paling dekat, lagian juga disana ada UGD nya jadi aku berpikiran tidak masalah membawamu kesana.” Haras masih memandangiku, “Aku juga takut ada sesuatu yang aneh dengan kalian, mungkin membawa kalian ke rumah sakit jiwa bisa menjawab pertanyaanku.”

            “Masalah rumit yang kami alami bisa jadi membuat ayah kehilangan kewarasannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika ayah berhasil membunuhku.” Kataku pilu.

            Haras mengengam kedua tanganku, ia menebar senyum bahagia di wajah tampannya. “Ada kedai es cream di sekitar sini. Mau kesana?” tawar Haras yang ku balas dengan anggukan.

            Kami mendatangi kedai yang Haras maksudkan. Tempatnya sangat indah untuk di bilang sebuah kedai, ini bahkan lebih baik jika dibilang sebuah cafe. Selain es cream banyak sekali menu yang bisa dinikmati, namun Haras bilang jika es cream di sini yang paling enak. Haras kemudian mengajakku duduk didekat pintu, kebetulan sekali dinding cafe tersebut terbuat dari kaca, jadi aku bisa menikmati pemandangan diluar ruangan.

            “Aku sudah pesan es creamnya, kamu suka rasa coklat kan?” aku mengangguk. “Kita tunggu sebentar ya.” Lanjut Haras dan mendudukan diri di depan ku.

            “Bagaimana kau tahu aku suka es cream coklat?” tanyaku penasaran.

            Haras tersenyum aneh, ia bahkan sedikit tergelak karena pertanyaanku. “Kau tidak akan suka jika aku beri tahu alasanya.” Jawabnya ambigo. “Oh ya, kamu mau bekerja disini?”

            Tawaran Haras membuatku tercengang, memang saat ini pekerjaan yang kubutuhkan. Aku tidak mungkin selamanya mengandalkan Haras, apalagi uang kontrakan harus ku kembalikan kepada Haras. “Apa boleh?” tanyaku padanya.

            “Tentu saja! Aku sudah menemui pemilik cafe, ia bilang jika kebetulan ia membutuhkan pegawai sebagai pelayan. Kau mau? Jika iya, mulai besok kau bisa bekerja disini.” Lanjutnya. Aku tidak percaya ternyata sangat cepat aku mendapatkan pekerjaan bahkan hanya dalam waktu seminggu lebih.

            Pelayan cafe mendatangi kami. Ia mengantarkan es cream pesanan kami, pelayan tersebut meletakkan es cream coklat di depanku dan meletakkan es cream vanila di depan Haras. Pelayan tersebut juga mempersilahkan kami untuk menikmati es creamnya.

            “Aku tidak tahu kalau kau juga suka es cream. Tapi kenapa vanila?” tanyaku penasaran.

            “Entahlah, rasanya kadang membuatku bingung.” Mendengar jawaban Haras membuat keningku berkerut penasaran. “Kadang kala aku bingung membedakan apakah ini susu atau vanila. Ini terlihat seperti dirimu.”

            Aku terdiam mengaduk es cream coklat ku, ada rasa yang aneh dari dalam diriku saat mendengar perkataan Haras. “Kenapa begitu?” tanyaku bimabang.

            “Hahahahah!” Haras bahkan tergelak puas, “Dari dulu setiap melihatmu kadang kala kau terlihat seperti seorang malaikat, namun kadang kala kau juga seperti penyihir.” Ini sangat mengejutkanku, Haras memuji sekaligus menyindir tanpa memahami isi hatiku.

            “Itu terlalu kejam.” Jawabku kesal.

            “Hahahaha! Oke maafkan aku.” Aku masih memasang wajah muram, “Itu karena kau terlalu mudah untuk mematahkan hati ku.” Aku lagi-lagi terdiam dibuatnya. Ia tidak henti-hentinya membuatku bimbang dengan kata-katanya.

            “Hentikan menggodaku!” rengekku manja, “Lupakan aku, sekarang ceritakan tentang dirimu. Dimana kau bekerja? Dimana kau tinggal? Dan apa yang kau lakukan selama ini?”

            “Aku sebenarnya tinggal di sebuah desa jauh dari kota bersama keluarga. Pekerjaanku yang membawa ku terpaksa harus merantau kemari. Kegiatanku selama ini tidak banyak, cuma menjaga tahanan.” Jawab Haras santai sambil menikmati es cream vanilanya.

            “Begitu ya, bagaimana rasanya menikmati hari berdekatan dengan narapidana?” tanyaku.

            “Awal-awal sih menegangkan, namun seiring berjalan waktu jadi biasa saja. Kadangkala para narapidana tersebut curhat dengan masalah mereka, kadang kala juga mereka menyesali perbuatan mereka.”

            “Apa kesalahan mereka? maksudku adakah diantara mereka pernah melakukan pembunuhan? Bagaimana mereka menyesalinya?” Haras menatapku terkejut, entah apa yang ada di pikiranya saat itu.

            “Tentu saja ada, apakah kau tertarik dengan pembunuhan?” aku tersentak.

            “Aku sering berpikiran aneh beberapa tahun kebelakang. Kau tahu, Bimo mengalami musibah di dalam rumahnya?” aku memandang Haras sendu.

            “Aku tahu, Rasti yang memberitahuku. Ia sempat menjadi perawat disana sebelum ia memutuskan untuk pindah ke rumah sakit jiwa.” Jawab Haras.

            “Rasti? Aku lupa jika ia yang merawatku di rumah sakit. Haras, aku bertemu dengan Zero dan Wawan, mereka bilang kalau Bimo suka mencuri. Bahkan ia mengambil KTP ku, karena itu aku sampai dituduh yang melakukan kebakaran di rumahnya.”

            Haras terdiam, ia seperti tidak lagi bernafsu untuk memakan es cream vanilanya. Ia melepaskan genggamanya pada sendok es cream dan memandangiku lekat. Haras seperti ingin mengatakan banyak hal, apakah ia tahu sesuatu?.

            “Aku tidak tahu apapun. Kita semua sudah lama tidak berkomunikasi, bagaimana aku mengetahui hal itu?” Haras membuatku bungkam. Ia memasang wajah datar sampai membuat jari-jariku bergetar.

            Aku tersentak bangkit, “Aku ingin pulang, kau tidak perlu mengantarku.” Kataku dan langsung berlari menjahui Haras.

            Aku masuk ke dalam kontrakan dengan tergesa-gesa, bahkan tangan dan kakiku ikut bergetar. Aku mengunci setiap jendela dan pintu, menutupnya rapat-rapat. Firasatku mengatakan seseorang masih menungguku di luar, menatap kontrakan ku dengan wajah menyeramkan. Aku seperti sedang dibuntuti.

            Harapanku berkata jangan sampai ia adalah ayah kandungku, namun aku lebih berharap jika ia bukanlah Haras yang aku tinggal sengaja di cafe tadi. Lampu semua kupadamkan, aku kepojokan ruangan terduduk diam. Kadang kala melihat keluar jendela dan meyakinkan diriku jika tidak ada siapapun disana.

            Hari pertamaku bekerja dengan keadaan yang memburuk, kantung mata ku membengkak. Aku tidak menangis, hanya saja ketakutan hingga tidur ku tidak lebih dari sejam. Semalaman aku terjaga, berharap-harap cemas jika mungkin saja seseorang mendatangi kontrakanku dengan sebilah pisau tajam di genggamannya.

            Pagi ini aku di tugaskan untuk menyapa tamu yang datang. Aku dilarang mengantarkan pesanan dan melayani pelanggan karena keadaanku yang tidak baik. Tepat pukul sepuluh pagi lonceng tanda tamu masuk ke dalam cafe berbunyi. Aku tidak menatap wajahnya, hanya sepatu hitam berbahan kulit yang menjadi pusat mataku.

Pelanggan itu berdiri di depanku, “Aqila!” panggilnya yang membuat wajahku langsung menoleh kearah si pelanggan. “Kau bekerja di sini?” tanyanya.

            Mataku membola, bukan karena wajah tampan si pelanggan, melainkan karena ia adalah orang yang aku kenal. “Edwin!” pekikku terkejut.

            Edwin tersenyum manis padaku, ia masih menunggu jawaban dari mulutku. Namun saat aku hendak menjawab, lonceng itu kembali berbunyi. Aku dan Edwin menoleh, badanku bergerak menuju punggung Edwin dan menjadikannya temengku saat aku tahu siapa yang datang kearah kami.

             “Aqila? Ada apa denganmu?” tanya Edwin terkejut.

             “Aku takut!” jawabku gemetar.

             Orang tersebut sudah tepat di depan mata ku, ia meliriku sedangkan aku memalingkan wajah ke arah punggung Edwin. Edwin terkejut dengan tindakan ku yang seperti balita ketakutan terhadap badut pesta. Edwin memberi salam pada orang tersebut ramah.

             “Haras! Senang bertemu denganmu.” Kata Edwin mengulurkan tangan. Haras tidak membalas uluran tangan Edwin. Ia hanya memfokuskan matanya kearahku.

              “Aku ingin bicara dengan Aqila!” kata Haras menekan. Edwin menoleh kearahku bingung, ia kembali menatap Haras.

              “Sepertinya ia sedang tidak ingin bicara. Sebaiknya kau bicara denganku saja.” Tawar Edwin.

              Kedua pria tampan tersebut akhirnya meninggalkanku, mereka menjauh mencari tempat yang nyaman untuk bicara. Hampir sejam penuh mereka pergi, hingga akhirnya Edwin kembali masuk tapi tanpa mengajak Haras. Edwin menghampiriku.

              “Ini salah satu cabang dari cafe yang kumiliki, aku pemiliknya.” Kata Edwin, aku teringat jika Edwin pernah memiliki sebuah cafe yang pernah ku kunjungi, ternyata cafe tempatku bekerja adalah cabang dari cafe tersebut. “Apa kau sudah mencicipi es creamnya?” tanya Edwin.  

              Aku mengangguk, mataku teralihkan oleh biram yang ada di pipi kanan Edwin. “Kau berkelahi?” tanyaku padanya. “Dengan Haras?”

             Ia hanya tergelak ringan, “Hanya masalah kecil. Sepertinya kau kurang enak badan hari ini, aku akan mengijinkanmu untuk tidak bekerja. Jagalah kesehatanmu.”

             Setelah diijinkan untuk cuti, aku bergegas kembali ke kontrakan. Perjalanan menuju kontrakan tidak terlalu jauh cukup melewati taman bermain maka masuk ke gang kecil maka aku akan sampai. Namun Haras menungguku, ia duduk di salah satu ayunan di sana.

             “Aku ingin bicara.” Kata Haras. Aku mencoba untuk mengabaikannya, namun ia mencekalku dengan tangan kekarnya. “Aku tidak akan menemuimu setelah hari ini.”

            Kata-kata Haras membuatku terpaksa menurutinya. Aku terduduk di ayunan samping Haras, dapat kulihat jika wajah Haras juga membengkak. Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya ia benar-benar bertengkar dengan Edwin.

            “Aku dari SMA sangat menyukaimu.” Aku menolehkan wajah terkejut, “Kau sangat baik padaku seperti malaikat. Kadang kala aku melihatmu singgah di kedai pinggir jalan hanya untuk membeli sebungkus es cream coklat, kau menikmatinya dengan senyum ceria. Saat-saat itu sangat membahagiakan untukku.” Haras tidak memandangku, ia hanya menundukan wajanya.

            “Saat kita dipuncak aku mendengar kalau Edwin telah menyatakan perasaanya padamu. Saat itu aku menganggapmu seperti penyihir jahat, kau sangat pandai untuk menghancurkan hatiku. Kau tahu kalau saat itu aku bahkan berniat untuk membunuh seseoarang.”

            Aku tercengang dengan apa yang dikatakan Haras, membunuh? Apa mungkin maksudnya membunuh ku?, “Kau berpacaran dengan Rima.” Jawabku mantap.

           “Aku tahu, bahkan saat aku berpacaran denganya hatiku tidak bisa melupakanmu. Kau memang penyihir jahat untukku.” Haras masih menunduk.

            “Kau hampir membunuhnya? Kau ingin membunuh seseorang dan itu Rima?” tanyaku wa-was.

             Haras bangkit dari tempat ia duduk, ia masih tidak ada niat untuk menatap wajahku. “Aku tidak akan pernah ingin menemuimu, jangan bertemu denganku!” kata Haras dan pergi meninggalkan diriku. Ia menjahuiku dengan meninggalkan sejuta pertanyaan dalam pikiranku.

            “Bukan kau yang melakukanya, aku tahu itu!” teriakku pada Haras yang sudah menjauh. Aku tidak bisa memahami apa yang ada di dalam pikirannya dan kenapa ia dan Edwin beradu jotos. Pertanyaan-pertanyaan itu lenyap, aku bahkan tidak berani untuk menanyakanya pada Edwin.

             Kadang kala aku berniat untuk mengunjungi ayah di rumah sakit, tapi langkah kakiku selalu tertahan di pintu masuk. Ketakutanku lebih besar dari pada kerinduanku pada ayah. Aku sudah berkali-kali mendatangi rumah sakit dan tidak pernah bisa melangkahkan kakiku masuk.

            “Aqila!” Rasti memanggilku dari arah belakang, ia mendatangiku. “Kenapa kau kemari?” tanyanya.

             Aku hanya diam, dan rasti membawaku untuk mengikutinya. Rasti membawaku keruanganya, ia menundukanku di sofa di dalam ruangan. Aku memperhatikan sekeliling ruangan, tidak ada yang menarik untuk mataku.

            “Minum tehnya,” Tawar Rasti.

            Aku menerima tawarannya, “Kau sekarang seorang dokter psikolog?” tanyaku.

            “Sangat susah untuk mencapai keadaanku sekarang, sampai aku pernah berniat mati karenanya. Namun aku tahu kalau kesusahan adalah awal dari kesuksesan. Kau lihat sekarang, aku berhasil meraihnya.” Rasti terlihat santai dimataku.

            “Aku juga pernah ingin mati, tapi aku juga takut.” Aku tergelak kecil mengatakan hal tersebut.

            “Kau bisa cerita padaku, aku dokter jiwa.” Mataku menatap Rasti, ia tersenyum lembut untukku. Dari dulu ia sudah seperti kakak buatku.

            “Sejak kepulangan kita dari puncak aku seperti dikejar-kejar nasib buruk. Rima hampir mati tepat di depan mataku, Bimo terbakar di rumahnya dan ayahku hampir saja membunuh ku.” Aku terdiam sejenak, “Haras menghilang sejak tiga bulan lalu, ia juga membuatku ketakutan setiap malam.” Aku menunggu jawaban dari Rasti.

            “Kau ingin di rawat disini?” tanyanya.

             Aku menatap Rasti bingung, “Aku bukan pasien!” tolakku, “Cukup hanya ayahku yang disini, aku tidak ingin bersama denganya.”

             “Ku kira kau akan mengunjungi dia?” Aku tercengang, “Jalani harimu seperti biasa, jika kau membutuhkanku maka kau bisa kesini kapan pun kau mau.”

             “Apa penyakit ayahku serius?” tanyaku penasaran.

             Rasti menatapku lekat, “Mungkin ia mengalami gangguan kecemasan. Kehidupannya yang tidak lagi mudah bisa menjadi penyebabnya.” Aku mengangguk paham, “Atau mungkin ia sudah sangat lama mengalaminya, dan itu dapat menyebabkan skizofrenia.” Rasti masih memandangku datar. Raut wajahnya kadang tenang kadang menggangu pikiranku.

              “Aku tidak ingin membahas ini lagi. Aku akan memulai hidup baru, cukup hanya aku sendiri.” Kataku lantang.

              “Aku paham, mulai tinggalah di daerah ini. ku dengar kau sudah dapat pekerjaan? Mulai harimu dari awal lagi, aku akan membantumu jika kau butuh pertolongan.”

.

.

Present day

               Sejak saat itu hari-hariku berubah. Aku memulai kembali dari awal dengan pekerjaanku, kadang kala Rasti dan Edwin membantuku jika aku ada dalam masalah. Hanya mereka berdua yang masih tinggal dan peduli denganku. Aku mencoba melupakan apapun yang pernah kualami, bahkan aku tidak pernah meilhat wajah Ayah lagi. Aku tidak tahu bagaimana keadaanya, namun Rasti bilang jika ia masih baik-baik saja.

                Namun aku juga tidak mengerti, tawaran Rasti untuk merawatku di rumah sakit jiwa tempat ia bekerja aku mengambilnya. Dua tahun lalu, aku memilih menerima tawaran Rasti, ia menyiapkan segala cara untukku menjadi pasien. Aku juga tidak mengerti kenapa ketakutan itu datang lagi padaku. Kejadian-kejadian yang menimpahku menjadi mimpi buruk.

                Rasti bilang kalau aku hanya mengalami gangguan kecemasan, padahal hampir enam tahun aku terlihat baik-baik saja. Rasti membantu untuku bersembunyi dari rasa kecemasan, ia mencoba menghilangkan rasa takutku. Edwin juga sering menjenguk ku dan membawa beberapa bacaan yang bisa kubaca.

                Sebulan setelah aku masuk ke dalam rumah sakit jiwa ini, Rasti dan Edwin menghilang seperti angin. Mereka berdua meninggalkan diriku tanpa memberi kabar. Aku sudah terbiasa berpisah dengan teman-temanku dulu, jadi ini bukanlah suatu kejutan untukku jika mereka pergi mendadak seperti ini.

               Masih kupandangi wajah-wajah yang ada di dalam foto tersebut, kegilaan wanita yang hampir mati kata Dimas itu mengartikan jika ia adalah aku. Foto kasus ketiga mengingatkanku bagaimana aku bisa masuk kedalam ruangan ini, juga menginatkanku akan ayah yang hampir kulupakan.

             Sejenak aku berpikir dalam kebingungan, “Aku harus bertemu dangan Rasti dan Edwin.” Kataku pada angin kehampaan. Mereka pasti tahu lebih dari aku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Citranicha

    Hai cerita yang bagus :)
    Udah aku like yaaa~
    Suka banget sama diksinya..
    Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!

    Comment on chapter Koma
Similar Tags
Evolution Zhurria
283      173     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Teman Khayalan
1395      598     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
Hear Me
460      328     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Perjalanan Move On Tata
417      274     0     
Short Story
Cinta, apasih yang bisa kita katakan tentang cinta. Cinta selalu menimbulkan rasa sakit, dan bisa juga bahagia. Kebanyakan penyakit remaja sekarang yaitu cinta, walaupun sudah pernah merasakan sakit karena cinta, para remaja tidak akan menghilangkan bahkan berhenti untuk bermain cinta. Itulan cinta yang bisa membuat gila remaja.
Secret World
2945      960     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
SUN DARK
349      213     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
LUKA TANPA ASA
4778      1576     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Unexpected You
311      215     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
LASKAR BIRU
6979      1971     6     
Science Fiction
Sebuah Action Science-Fiction bertema Filsafat tentang persepsi dan cara manusia hidup. Tentang orang-orang yang ingin membuat dunia baru, cara pandang baru, dan pulau Biru. Akan diupdate tiap hari yah, kalau bisa. Hehehe.. Jadi jangan lupa dicek tiap malamnya. Ok?
Special
1147      628     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.