Aku melewati waktu dengan cepat, tanpa berpikir apa makna dari kehidupan yang ku jalani. Rintangan, tantangan dan harapan tidak ada yang melekat hingga aku sadar aku juga pernah jatuh ke dalam lubang paling dalam. Jauh dari cahaya, hanya dekat dengan kegelapan.
Kabar yang ku dengar di stasiun televisi kadang kala menyangkut pembunuhan dan kematian. Aku menilai objek berita sebelah mata, hanya menganggap mereka salah satu dari manusia kurang beruntung dengan pilihan bodoh. Apa bagusnya memilih kematian sendiri? Aku tahu mereka juga tahu kalau tidak ada yang baik dari kematian. Andai kata aku membalik keadaan, bagaimana aku diposisi mereka? Mungkinkah aku juga memilih kematianku?.
Posisi itu aku pernah mengalaminya, aku sadar dan kini aku tahu mengapa mereka yang ku sebut tidak beruntung memilih kematian. Tidak ada jalan itu adalah jawabannya. Di depan mata hanya ada lubang besar namun tidak bisa kembali ke belakang, perasaan ini menyayat jiwa dan raga. Luka yang tak terlihat jauh lebih sakit, seakan hidup hanya ada derita tanpa bahagia. Aku hampir menemuinya, kematianku. Namun aku juga takut.
Kepergian dua orang yang satu harian penuh mengunjungiku kembali mengingatku akan kehampaan. Mereka membawakan aku duka tentang masa lalu, teman atau mantan temanku pergi tanpa alasan seperti saat mereka memutuskan untuk tak lagi seperti dulu. Entah masih adakah kabar duka yang akan ku terima, aku hanya membungkam kata-kataku.
Aku di kembalikan ke ruang yang jauh lebih kecil dari ruangan sebelumnya. Ukurannya sekitar dua kali tiga dan warna putih mendominasi ruangan, ada satu kasur dan meja kecil. Ini adalah kamar ku, kamar yang ku tempati hampir dua tahun.
Aku kembali ke duniaku, dunia hitam tanpa cahaya. Tiga lembar foto pemberian Dimas ku pajang di dinding dekat kasur. Ku amati setiap foto tersebut sambil mengingat kembali kejadian-kejadian yang ku alami. Namun, foto ketiga aku tidak kuat. Bukan karena aku tidak ingat, bahkan aku sangat mengingatnya.
Ruangan ini sangat sempit, bahkan tidak ada pendinginnya. Aku kepanasan disaat siang dan kedinginan di saat malam, belum lagi baju yang ku kenakan lebih besar dari ukuran tubuhku. Rantai besi yang mengekang kedua pergelangan tanganku membuatku tidak lagi leluasa. Mereka menjahui ku dari benda-benda tajam demi keselamatanku, tentu saja seperti itu karena ini rumah sakit jiwa dan aku adalah pasien mereka.
Mataku sayu seperti orang yang baru sadar dari mimpi panjang, kedua kantung mataku mulai menghitam. Tubuhku seperti tidak pernah digerakkan, semuanya lemah dan kaku. Aku tidak lagi ingat kapan terakhir kali aku berolahraga, rasanya sudah sangat lama aku tidak melakukannya.
Ku tatap kedua pergelangan tanganku beserta rantai-rantai yang mengekangnya, bekas-bekas luka itu menjadi objek mataku. Dulu sekali itu adalah bekas jahitan, namun seiring waktu itu seperti bekas luka biasa. “Kapan aku mendapatkan bekas-bekas itu?”
Aku bertanya pada diri ini, memaksanya mengingat dari mana bekas-bekas itu berasal. Mataku tergerak memandangi lagi foto-foto di depan, aku ingat sekarang bagaimana aku mendapatkannya, bekas-bekas lukaku.
“Kejadian ini yang ingin ku lupakan, namun sekarang aku memaksa untuk mengingatnya. Delapan tahun lalu, aku pernah menyayat nadiku!” Ujarku pada angin-angin hampa di ruangan.
.
.
.
8 tahun lalu
Sudah cukup lama aku menekuni pekerjaan ku menjadi seorang pegawai pemerintah, tahap demi tahap kulewati hingga pangkatku naik tingkat satu demi satu. Mungkin aku pernah menjadi seorang bawahan, namun sekarang aku memiliki bawahan sendiri.
Uang dari hasil gaji yang selama ini ku tabung akhirnya dapat ku gunakan untuk membeli sebuah rumah sederhana, aku tidak lagi tinggal dengan orang tua ku. Aku hanya memiliki satu orang tua yaitu Ayah, ia sudah bahagia dengan keluarga barunya. Ayah menikah dengan wanita yang biasa, sementara ibu lebih memilih untuk meninggalkanku selamanya. Ibu merasa surga lebih nyaman di tempati, tanpa ada aku dan juga ayah.
Hari pertama kepindahanku ke rumah baru sangat merepotkan, ayah bahkan kewalahan membawa barang-barang ku yang masih ada di rumahnya. Aku memutuskan untuk meminta agen perumahan membantu kami. Disinilah aku bertemu dengan Adam, ia jauh lebih berbeda.
“Aqila!” Ayah memanggilku, “Dimana semua piagam ini diletakkan?” tanyanya.
“Piagam?” Aku tidak ingat piagam apa yang Ayah maksudkan, “Piagam apa?” fokusku masih pada perabotan dapur yang mulai kususun rapi.
“Kemarilah!” pinta Ayah. Aku kemudian melangkahkan kaki jemu.
“Ini apa?” tanyaku pada Ayah, “Kenapa ayah bawa kemari?” tambahku.
“Kau bilang untuk membawa semua barangmu yang di rumah tanpa sisa, jadi kupikir kau juga membutuhkan ini. Lihat! Kau sangat senang saat mendapatkan yang satu ini,” kata Ayah sambil menyodorkan kepadaku benda yang ia maksudkan.
“Khe! Aku tidak ingin itu semua, sebaiknya dibuang saja.” Aku mengambil benda yang ditangan Ayah, memasukkannya kembali ke kardus dan membawanya pergi.
Mungkin kardus itu tidak tahan atau perekat yang di bawahnyalah yang tidak kuat, benda-benda tersebut berjatuhan dari bawah kardus. Hampir seluruhnya terbingkai rapi jadi saat terjatuh pecahan-pecahan kaca menyebar dan sedikit mengenai kaki ku.
“Kau tidak apa?” tanya Ayah khawatir. Aku hanya diam dengan perasaan dongkol. “Pergilah! Biar aku yang urus ini.” lanjutnya.
“Biar aku bantu paman.” Adam entah datang dari mana, ia melihat ayah memunguti kaca dan menggerakkan kakinya untuk membantu.
Aku seperti orang bodoh yang memperhatikan dua pria yang satu sudah cukup tua dan yang satu lagi seumuran denganku membungkuk mengutip pecahan-pecahan kaca. Aku tidak terkejut dengan kedatangan Adam tiba-tiba, seperti kataku tadi kalau aku meminta agen perumahan untuk membantu dan orang tersebut adalah Adam, jadi aku tidak lagi terkejut.
“Kau terluka,” Adam menatapku dari tempatnya, “Kakimu berdarah!” katanya sedikit menekan.
“Akan aku bersihkan di dapur.” Aku memilih meninggalkan mereka berdua disana dan menuju dapur untuk mengobati lukaku.
Setelah kubalut luka di kaki ku, aku kembali menyusun peralatan dapur yang masih belum tertata. Tidak lagi ku pedulikan apa yang Ayah dan Adam lakukan di ruang tengah, pikiranku masih terfokus pada barang-barang yang berada di depan mataku.
“Sudah kau obati?” Adam tiba-tiba muncul dari depan ku. “Lukamu.” Lanjutnya saat aku mentapnya heran.
“Sudah.” Jawabku singkat menekan kata-kata di tenggorokan ku.
“Aku tidak tahu kau sangat berbakat dulu,” Adam menopang badanya dengan melipat tanganya di atas meja bar depan ku.
Aku meliriknya sekilas, “Apa maksud mu?” kataku sambil memalingkan wajah.
“Ayahmu bilang jika kau tidak menyukai piagam-piagam itu maka ia akan membawanya pulang kembali,” Adam memandangku lekat. “Ayahmu juga bilang kau mendapatkannya sejak SD, namun saat SMA kau berhenti melakukannya.” Adam masih memandangku lekat.
“Dia sangat blak-blakan padamu, padahal kalian adalah orang asing.” Kataku masih dengan perasaan dongkol.
“Aku bukan orang lain, aku temanmu dan dia adalah ayah dari temanku jadi tidak masalah kalau kami terlihat akrab,” Kata Adam dengan senyum lebarnya, “Oh ya, bagaimana kau bisa mendapatkan itu semua?”
“Apanya?” aku menekan suaraku. “Katakan dengan jelas, aku tidak paham maksud mu.”
“Puisi-puisi itu,” aku menolehkan wajah ke arah Adam langsung. “Kau sangat berbakat ternyata.” Tambah Adam masih dengan senyum lebarnya.
Aku tidak menjawab Adam, aku lebih memilih untuk melangkahkan kakiku menjauhinya. Namun aku kalah cepat, Adam tenyata menahan lenganku dengan tangannya yang besar.
“Lepaskan aku!” bentakku padanya, Adam masih terdiam dengan wajah yang menyeramkan. Tidak ada lagi senyum lebar yang biasa ia lemparkan disana. Ku tatap Adam dengan nyalang, “Jangan ikut campur dengan urusanku!!”
Adam akhirnya melepaskan tangannya, bisa kutebak kalau ia membuat lengan ku memerah karena genggamanya yang terlalu kuat.
“Kasus Rima,” Aku terdiam dan terpaku di tempat saat mendengar adam melirih, “Saat itu ak-“
“Kalian mau makan siang!” Ayah tiba-tiba datang di saat yang tidak pas, “Makananya sudah sampai.”
Kami akhirnya makan bersama, karena di dalam masih berantakkan dan berabu maka kami memutuskan untuk makan di halaman belakang. Aku sengaja menyipakan meja dan bangku kayu untuk kugunakan saat bersantai disana.
“Apa menyenangkan menjadi agen perumahan?” tanya Ayah pada Adam.
“Pada awalnya mungkin sangat sulit, namun sekarang sudah tidak lagi Om. Ini pekerjaan yang membuatku senang, siapa tahu kalau aku akan bertemu kembali dengan Aqila karena pekerjaan ini.” jawab Adam dengan senyum cerianya.
“Aqila tidak pernah menceritakan teman-temannya padaku, ia sangat tertutup.” Adam menatapku heran. “Ada sesuatu yang terjadi diantara kalian?” lanjut ayah memandang kami berdua.
Tring!
Aku menghempaskan sendok dan beradu dengan piring sehingga meninggalkan bunyi. Ku bangkitkan badanku berdiri, ku lihat Ayah dan Adam memandangku terkejut. “Aku sudah kenyang, aku akan kembali kedalam.” Kataku pergi meninggalkan mereka.
Hari sudah hampir mendekati gelap, Adam tidak bisa berlama-lama disana begitu juga dengan Ayah. Ia harus kembali bekerja dan ayah akan kembali esok hari untuk membantuku.
“Aku harus pulang, terima kasih makan siangnya.” Kata adam padaku.
“Ada yang ingin ku tanyakan,” tambahku sebelum Adam pergi. “Kau tahu sesuatu tentang kasus Rima?” Adam menatapku terkejut, ia bungkam untuk beberapa saat.
“Soal itu, kau yang lebih tahu dari aku.” Jawab Adam.
Aku ingin bertanya lebih jauh lagi, namun Ayah datang menghampiri kami.
“Aku ingin berfoto dengan Aqila, bisa nak Adam fotokan kami.” kata Ayah dan dibalas anggukan oleh Adam.
Itulah saat foto ketiga diambil, aku dengan ayah dan rumah yang baru ku beli. Adam orang yang mengambil foto tersebut. Setelah mengambil foto itu, Adam menghilang lagi seperti angin. Kabar yang kudengar ia pergi ke luar negeri selepas pergi dari rumah ku. Pada akhirnya aku tidak mendengar apapun dari Adam, mungkinkah ia tahu sesuatu tentang kasus Rima?.
Waktu berjalan dengan cepat, ayah membawa istrinya untuk tinggal di rumahku. Aku tidak menyukai hal itu, tapi keadaan Ayah lebih membuatku dongkol. Ia bermain saham dengan perusahaan yang tidak jelas, meminta modal dari bank dengan jumlah yang tidak kecil. Uang ayah dibawa lari, dan sekarang ayah krisis ekonomi belum lagi hutang yang ia bawa cukup besar.
Aku kacau, aku berantakkan saat itu. Setiap hari aku harus melihat ayah sembunyi-sembunyi bahkan polisi sampai mendatanginya. Semua tabunganku habis untuk menutupi hutang-hutang ayah namun itu tidak cukup, Ayah bahkan meminjam uang dari renternir atas namaku. Sungguh ini masalah terbesarku hingga kepalaku seakan mau pecah.
Aku terpaksa harus menjual rumahku dan menggantinya dengan rumah yang lebih kecil. Aku tidak tahu apa yang ada di kepala istri Ayah karena masih mau bertahan denganya, padahal ayah memiliki banyak sekali hutang disana-sini. Mungkin karena Ayah masih memiliki ku, setidaknya ia masih punya tempat tinggal. Jika ia pisah dengan ayah mungkin ia tidak tahu dimana ia akan tinggal. Aku sangat tidak menyukainya.
Hariku bertambah kacau, aku dicurigai melakukan sebuah korupsi sampai aku diselidiki oleh pengawas internal. Atasanku telah melarikan diri ke luar negeri, ia melarikan uang yang cukup besar. Aku pernah dimintanya untuk mencairkan dana melalui rekeningku dan karena itu aku dituduh membantunya melakuakan korupsi, mereka juga mencurigai uang yang kudapat untuk melunasi hutang-hutang ayah. Aku sudah di cap sebagai pegawai yang banyak memiliki hutang karena tindakan Ayah meminjam uang atas namaku, akhirnya aku tidak lagi dipercaya. Mereka memecatku karena takut aku akan menjadi penerus atasanku.
Tidak ada lagi yang kumiliki, harta, pekerjaan, teman bahkan keluarga semua pergi seperti angin. Aku tidak tahu kesalahan apa dimasa lalu yang telah kulakukan, mengapa sekarang nasibku harus seperti ini?.
Aku memasuki rumah yang kosong dan remang, aku pikir ayah sedang bersembunyi lagi disuatu tempat untuk menghindari para penagih hutang. Aku berjalan perlahan-lahan mencari sakelar lampu ruangan. Saat lampu menyala, aku melihat ayah menatapku lekat penuh kebencian. Ayah juga menggengam sebuah pisau yang biasa kugunakan untuk memotong daging.
“A-ayah, ada apa denganmu?” kataku dengan nada penuh ketakutan.
“Apa aku membuatmu susah? Kau selalu pergi dari rumah sejak ibumu tidak ada, aku membuatmu susah kan?” tanya ayah mendekatiku perlahan-lahan.
Aku ketakutan, pikiran negatif muncul dari dalam kepalaku. Apa yang ayah lakukan dengan pisau itu?
“A-ayah! Ke-kenapa denganmu? Cepat lepaskan pisau itu!” pekikku gemetar.
Ayah tidak mendengarkan apa yang ku katakan, ia masih berjalan perlahan-lahan hingga aku membentur tembok dibelakang tubuhku. Aku terkepung tidak bisa melarikan diri, Ayah meletakan tajaman pisau pas diarah nadi leherku. Ia berceloteh tidak jelas, aku sudah berharap-harap cemas.
“Aku sangat menyayangimu Aqila, dunia ini sangat kejam untuk kita berdua. Apa sebaiknya kau kuantar ketempat ibumu?”
Mataku membulat memproses semua perkataan Ayah, apa maksudnya? Mungkinkah ia ingin membunuh ku?. Kenapa? Kalau ada yang harus mati bukankah itu seharusnya Ayah, ialah yang membawaku ke kehidupan yang menyeramakan. Namun bagaimana mungkin Ayah menjadi seorang yang terlalu kejam begini.
“Kau ingin aku mati?” tanyaku memekik.
Ayah terdiam, ia menatapku lekat. Pelan-pelan Ayah menjauhkan benda tajam itu dari leherku, ia melepaskan aku. Pikiranku mengatakan untuk melarikan diri, kakiku bergerak pelan dan berubah menjadi cepat. Aku berlari menjauh. Namun Ayah mencekal kakiku hingga aku terjatuh.
“Kau mau lari kemana?” Ayah sangat menyeramkan, ia bukan seperti Ayahku.
“A-ayah,” badanku gemetar, suarku tercekat. Aku merintihkan air mata tanpa isakkan. “Jangan begini, kau seperti bukan ayahku!” bentakku.
Ayah mencekik leherku, hampir membuatku kesusahan bernapas. “Kau akan ku antarkan bertemu ibumu,” kata ayah. Aku ketakutan dibuatnya.
Ayah mengangkat pisau setingginya, mataku membulat memandangnya. Ingin memberontak juga tidak bisa, aku memejamkan mata saat ayah berkata ‘Kau akan menemui ibumu’ dan mulai menjatuhkan benda tajam itu, setelahnya-
“Huh! Huh! Huh...” Aku terbangun di tempat asing. Aku berpikir ini adalah dunia lain karena ruanganya di dominasi warna putih, tapi seorang suster mendatangiku. “Dimana aku?” tanyaku padanya.
“Di rumah sakit jiwa, seorang teman membawamu kemari.” Aku tersadar jika ternyata aku masih berada di dunia. Aku belum mati. “Bagaimana tanganmu terluka?”
Aku menatap kedua pergelangan tanganku yang terbalut perban, tapi tiba-tiba aku teringat ayahku. “Dimana ayahku?” tanyaku menatap sang suster, aku terkejut pada apa yang ada dihadapanku. “Rasti?” aku memastikan.
“Apa kabar Aqila,” Rasti tersenyum padaku. “Ayahmu sedang dalam perawatan kami.” tambahnya. “Bagaimana dengan lukamu? Kenpa itu bisa terjadi?”
Kembali kutatap pergelangan tanganku, “Aku tidak ingat apapun, yang aku tahu akhir-akhir ini kehidupanku rumit dan aku kebingungan. Aku merasa ingin mati saja, namun Ayah lebih mengejutkanku. Ia membawa pisau dan hampir membunuhku.” Jawabku lemas.
“Apa ayahmu yang melakukannya?” tanya Rasti padaku.
“Aku tidak tahu, apakah Ayah yang melakukannya atau aku sendiri yang melakukannya. Akhir-akhir ini pikiran tentang kematian mendatangiku, tapi aku takut mati. Apa Ayah yang melakukannya?” aku menjawab dengan bimbang. “Siapa yang membawaku kemari?”
“Itu aku! Aku yang membawamu dan Ayahmu kemari.”
Suara itu, pria yang menyelamatkan ku adalah seorang temanku dulu, ia adalah Haras.
Hai cerita yang bagus :)
Comment on chapter KomaUdah aku like yaaa~
Suka banget sama diksinya..
Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!