Kehidupan tidak dapat dinilai hanya dari hasil akhirnya, namun kehidupan lebih tepat jika dinilai dengan rintangan apa yang telah kau lalui. Dua manusia bisa saja berakhir sama, tetapi sulit untuk bernasib sama. Saat berada di puncak kesulitan, manusia cenderung ingin mengakhiri secepatnya. Aku juga, aku pernah merasa ingin bertemu dengan kematian.
Dimas, si dektektif bodoh itu baru pertama kali kulihat tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia hanya makan, bahkan hampir semua makanan di atas meja habis olehnya. Jika Lisa tidak melarangnya untuk menjahui makan siang ku, kupastikan sudah berakhir di dalam perut Dimas.
Aku hanya bercerita, ia mengambil informasi. Namun aku tidak tahu apakah kasus kedua ini tidak menarik, sehingga membuat Dimas tidak berkata apa-apa. Begitu juga dengan Lisa, ia memang tidak terlihat menikmati cerita ku. Namun Lisa masih menghargaiku dengan terus fokus pada apa yang ku katakan, tidak seperti Dimas yang lebih suka menikmati makan siangnya.
Kertas dan pena terus bergerak di tangan kekar Dimas. Sementara Lisa lebih banyak diam, apa yang ku perbuat hingga membuat mood mereka terasa berbeda? Aku tidak tahu, namun disini tugasku hanya becerita. Hasil akhirnya siapa yang tahu?.
“Bagaimana?” Lisa membuka pembicaraan, pertanyaanya jelas bukan untuk diriku. Lebih tepatnya Lisa memastikan sesuatu pada Dimas.
“Apanya?” Dimas bertanya kembali seakan-akan tidak ada apapun.
“Yah...., kau bilang jika kasus kedua dibuka maka kasus pertama terpecahkan, jadi bagaimana?” Lisa menekan suaranya, dia tampak lesu. Aku pikir mereka sudah lelah, wajar saja karena sepanjang hari mereka hanya mengahadapi diriku. Di ruangan ini jelas sekali aku seperti patung, pasien yang terabaikan. Padahal kalau diingat kembali, mereka yang membutuhkan diriku. Aku jadi kesal.
Dimas hanya diam, ia tampak berpikir sambil menopang dagu dengan kedua tanganya. Entah apa yang ada di lembaran kertas yang ia tulis, namun Dimas sangat fokus menatap lembaran tersebut. Lisa, ia masih menunggu jawaban dari Dimas. Apakah aku penasaran? Sebenarnya tidak terlalu, namun aku juga ingin tahu.
“Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi, iya kan? Jadi bisakah aku pergi?” kedua bola mata mereka menatapku langsung, “Kalian sudah mendapatkan informasinya, jadi-“
“Jangan tanya aku,” Dimas memotong perkataanku, dan aku benci itu. “Aku tidak lebih tahu dari dia.” Tunjuk Dimas kearah ku.
“Apa? Kenapa aku? Apa kalian pikir aku paranormal yang tahu segalanya?” tatapku sinis. “Kalian mencari informasi dan seharusnya kalianlah yang memecahkannya.” Jawabku kesal.
Dimas dan Lisa menghela napas panjang, entah apa yang mereka pikirkan. Tatapan mereka seakan sedang merendahkan aku. Jujur, aku juga tidak bisa menyalahkan atau membenci tanggapan mereka. Seperti inilah aku, rasa penasaran membuatku menjadi jahat dan berakhir menciptakan pikiran-pikiran negatif. Aku punya alasan, dan alasannya yaitu mengandalkan insting.
“Aqila, kau dan aku sama. Kita tidak benar-benar sama, namun apa yang kau rasakan aku memahaminya.” Akhirnya Dimas mulai terfokus padaku, “Walau kami tidak bisa mengerti jalan pikiranmu, tapi kami mengerti. Hanya saja kau tahu, aku lebih tertarik dengan pikiranmu.” Dimas menatapku lekat, perasaanku seperti seseorang yang telah ketahuan menyembunyikan sesuatu.
“Instingmu,” Lisa angkat suara, “Pernah dengar istilah insting kematian?” Aku menggelengkan kepala, “Hal ini bisa diartikan sebagai dorongan yang tidak disadari yang muncul akibat ancaman terhadap kepribadian, ancaman perusakan dan ancaman kematian.” Jelas Lisa.
“Mereka yang pernah merasakan dan mengalaminyalah yang bisa memilikinya. Kau punya itu, dan aku lebih tertarik pada instingmu.” Dimas masih menatapku lekat.
Aku bingung entah apa yang mereka maksudkan, namun untuk istilah memiliki insting kematian aku mengerti. “Aku tidak tahu apa yang kalian maksudkan, apa mau kalian. Tapi baiklah, apapun itu aku akan mencoba membebaskan rasa keinginan kalian.” Jawabku pasrah.
“Oke, sekarang bagaimana pendapatmu Dimas? Aku masih penasaran jawaban kasus pertama.” Lisa melipat kedua tanganya di atas perut. Ini sangat membuat penasaran, dan aku tertarik lebih dalam.
“Aku sudah memikirkan pelaku, pelaku ini bisa jadi orang yang sebenarnya. Namun kebenaran masih belum kita temukan, ibarat sudah ada rangka tapi gambar belum terlihat.” Dimas menatap ku dan Lisa bergantian, ia membagi kertas dan pena yang ada di sakunya, “Kalian coba pikirkan dan tulis pelaku kematian Wawan di kertas itu, setelah itu keluarkan opini kalian.” Putus Dimas.
Lisa mulai menulis begitu juga dengan Dimas, aku tidak bisa membaca apapun yang mereka tulis melalui gerakkan tangan mereka. Sudahlah, pada akhirnya mereka akan memberitahukan isinya. Tanganku perlahan mengerakkan sebuah nama, ini sangat menegangkan untukku
“Baiklah sudah selesai?” Dimas memperingatkan batasan waktu, “Kita mulai dari Aqila, sekarang tunjukan pada kami apa yang kau tulis.”
Ku gerakkan tanganku, lembaran kertas yang berisikan nama seseorang ku letakan di atas meja. Dimas dan Lisa mulai membaca apa yang aku tulis, mereka saling menatap. Aku tidak tahu apapun yang mereka pikirkan, tapi mereka terlihat sedang berbicara lewat kedua batin mereka agar aku tidak dapat mendengarnya.
“Bimo?” tanya Dimas santai, “Kenapa Bimo? Berikan opinimu.” Lanjutnya.
Bolehkah aku mencurigai mereka? Kenapa perasaanku seperti aku sedang di permainkan. Aku memutuskan untuk tak ambil pusing, toh mereka akan membagi opini mereka juga.
“Aku akan memberi jawaban yang keluar dari Insting Kematian,” mereka menunggu, “Wawan bisa dikatakan bunuh diri dan bisa juga dikatakan pembunuhan. Pembunuh yang tidak ingin membunuh pada akhirnya menyebabkan Wawan harus memilih kematiannya, Bimo satu-satunya yang dapat kupikirkan dengan segala kewarasanku. Aku tahu ini agak konyol, tapi Bimo dan Wawan pasti memiliki sesuatu yang dapat membuat mereka lebih baik menemui kematian mereka sendiri.”
“Tapi Bimo tidak mati, sampai sekarang ia masih berada di rumah sakit.” Lisa menyela pendapatku.
“Karena itulah aku menulis Bimo, kalau Bimo yang mati maka Wawan penyebabnya dan kalau Wawan mati maka Bimo penyebabnya.” Dimas dan Lisa memandangku bingung. “Kalian ingat saat Zero menghubungi Bimo dan ternyata itu adalah Wawan? Saat itu kupikir Zero ingin menghubungi Bimo untuk meminta dokumen yang tertukar, namun yang ia hubungi adalah Wawan. Artinya saat itu Wawan bersama Bimo dan Wawanlah yang mengangkat handphone Bimo. Juga handphone Wawan ada di tangan Edwin jadi pendapatku adalah Wawan bersama Bimo.”
“Bisa jadi Wawan meninggalkan handphonenya di Resto itu sebelum kau datang, dan Edwin mengambilnya.” Kata Dimas.
“Tidak, Wawan baru tiba beberapa menit sebelum aku tiba. Jika Edwin baru menemukan handphone Wawan maka ia tidak akan menyimpannya di saku, Edwin akan memberikan langsung padanya sebelum mereka berfoto bersama. Ekspresi Edwin saat itu juga seperti ia kebetulan menemukan handphone Wawan tanpa sadar sudah berada di sakunya, artinya handphone itu sudah lama disana.” Aku menjelaskan apapun yang ada dalam pikiranku.
“Bagaimana kau menjelaskan tentang Wawan baru tiba tak lama baru kamu tiba di pesta itu?” Lisa mulai menunjukkan ekspresi penasaran.
“Tanganku!” aku menatap lekat kedua tangan ku, “Alasan kenapa kedua tangan ini berbau minyak tanah adalah karena Wawan menjabat tanganku. Bau minyak tanah ini akan melekat pada apapun dan itu sangat menyengat meskipun hanya berupa cipratan.”
“Edwin dan Zero juga menjabat kedua tanganmu saat itu,” lerai Dimas.
“Awalnya aku juga bingung darimana bau itu berasal, tapi orang yang paling tepat kupikirkan hanya Wawan. Dalam pesta tersebut Edwin dan Zero disibukkan untuk menyiapkan pesta, bau itu pasti bukan dari dalam pesta namun dari luar. Diantara mereka bertiga hanya Wawan yang memiliki alasan untuk keluar pesta.”Aku mulai berambisi untuk terus mengeluarkan semua apa yang aku pikirkan. “Zero sempat mencuci tanganya dengan obat pencuci, Edwin dan Wawan ke kamar mandi. Aku tidak tahu apa yang Edwin dan Wawan lakukan, tapi alasan kenapa cuma aku yang memiliki bau tersebut bisa jadi Wawan dan Edwin juga mencuci tangan.”
“Edwin hanya kebetulan atau ia juga bagian dari mereka?”Dimas masih penasaran. “Zero tahu Bimo suka merokok sebelum tidur dari Edwin bukan? Bukankah ini bisa jadi kemungkinan?”
“Dari dulu Edwin tidak suka dengan rokok apalagi baunya, aku tahu karena aku menstalking dia dan juga aku lama berpacaran dengannya. Edwin akan menjauh jika ada yang merokok didekat dia, sedangkan Bimo pecandu rokok maka ia dan Edwin tidak bisa bersatu. Zero tahu kebiasaan merokok Bimo bukan dari Edwin, aku tidak tahu kenapa, namun Edwin bukanlah orang yang suka membuka kebiasaan orang lain. dia bukan penggosip.”
“Zero memiliki kekuasaan dari Rumah sakit itu, rumah sakit punya hak untuk mengetahui kebiasaan pasiennya. Ini bisa jadi alasan yang masuk akal.” Lisa menambahi.
“Saat menjelaskan semua keburukkan Bimo kepada polisi hanya Zero dan Wawan yang angkat suara, mereka sangat kompak. Aku tidak tahu apakah Wawan mendapatkan informasi kebiasaan Bimo merokok sebelum tidur dari Zero atau sebenarnya Wawan sudah tahu sesuatu, tapi ini merupakan alasan kuat kenapa rumah Bimo kebakaran.”
“Jelaskan secara rinci kejadiannya menurut instingmu!” pinta Dimas.
“Zero dan Wawan terlihat lebih dari sekedar dekat, dan dokumen itu. Aku tidak tahu isi dokumen itu, tapi orang yang bisa saja mencabut gas dan menumpahkan minyak tanah adalah Wawan, ia tahu Bimo kebiasaan merokok sebelum tidur. Dengan alasan ini kebakaran itu dianggap sebagai kelalaian. Pesan masuk itu ada disaat kebakaran telah terjadi, sementara handpone Bimo ada di Wawan maka pesan itu bukan dari Bimo.”
“Mereka menjebakmu.” Aku mengangguk atas pernyataan Dimas, “Sekarang lihat gambar ini,” Dimas menunjukkan sebuah foto Wawan dan Zero sedang berlibur di paris. “Rumah sakit itu milik keluarga Wawan. Mereka berdua saudara sepupu.”
Aku tercengang atas perkataan Dimas. Aku tidak tahu kalau selama ini Zero dan Wawan adalah saudara sepupu, memang benar Wawan anak dari keluarga kaya raya dan begitu juga dengan Zero tapi aku baru tahu ternyata harta yang mereka miliki berasal dari satu produk.
“Jadi mereka sepupu?” tanyaku memastikan.
“Iya, namun tidak banyak yang tahu untuk menjaga perusahaan masing-masing. Mereka tidak mau dianggap lebih mengutamakan keluarga dalam menjalankan bisnis, jadi merahasiakan hubungan ini adalah satu-satunya cara. Ini juga terbongkar akibat kematian Wawan dan Zero.” ungkap Dimas. Aku sudah lama berada di rumah sakit jiwa ini, karena itu berita tersebut tidak pernah ku dengar.
“Sekarang tunjukan padaku apa yang kalian tulis?” aku masih penasaran dengan opini dektetif bodoh dan dokter psikolog.
Mereka bersama-sama memberikan aku kertas yang mereka tulis. Saking penasarannya aku dengan opini mereka, aku langsung membuka kedua kertas tersebut. Namun yang ku temukan hanyalah kertas kosong tanpa noda. Ku tatap kedua wajah itu dan dibalas senyum oleh Lisa sementara Dimas tergelak penuh kemenangan.
Sudah ku tebak kalau aku sedang dipermainkan oleh kedua orang bodoh ini. “Hanya kertas tanpa tulisan padahal aku sudah penasaran.” Lirihku kesal.
“Kami butuh strategi untuk membuatmu angkat suara. Tipe orang sepertimu semakin penasaran semakin kau akan jahat. Hahahah!” Dimas masih tergelak.
Aku menghela napas pasrah, sudah ku bilang dari awal kalau mereka itu lebih kuat dari aku. Aku hanya pasien di rumah sakit jiwa, sementara mereka seorang psikolog dan dektektif meskipun mereka lebih bodoh dari aku.
Lisa kembali fokus pada masalah, entah mereka terima atau tidak dengan opiniku namun aku rasa mereka masih memikirkan sesuatu. Aku tahu apa yang ku katakan tidaklah sempurna semuanya, tapi inilah yang ku pikirkan dan inilah yang mereka sebut dengan insting kematian.
“Kembali ke topik!” pinta Lisa, “Ada pertanyaan yang membuatku bingung.” Aku dan Dimas menatap kearah Lisa, “Bukankah Bimo akan mengunjungi adiknya malam itu? Lantas kenapa ia berada di Rumah?”
Aku lupa yang satu itu, tepatnya tidak pernah ku pikirkan sebelumnya. Pikiranku kacau dan tidak ada petunjuk apapun alasan Bimo tidak jadi datang ke rumah sakit. Apa yang terjadi? Bagaimana kejadian yang sebenarnya? Alur, bagaimana alurnya?. Aku memegang kuat-kuat kepalaku, entah kenapa tapi aku merasa pusing tak tertahankan.
“Siapa yang tahu berapa lama Wawan bersama Bimo.” Jawab Dimas santai.
“Itu Dia!” pekik ku tiba-tiba, “Wawan, dokumen, adik Bimo, kebakaran dan pesan!” mereka berdua menatapku. “Setelah kejadian itu aku dan Edwin datang mengunjungi Bimo. Ia terlihat kacau, seluruh badannya diperban. Di meja sebelah Bimo ada sebuah dokumen hasil pemeriksaan Bimo sebelumnya, padahal dokumen itu tertukar. Pesannya, Adik Bimo memang mengalami malpraktik tapi bukan teman Zora yang melakukannya. Perawatan gratis, pengobatan adiknya yang koma adalah jawabannya!” kali ini aku terlalu bersemangat.
“Rumah sakit.” Kata Dimas, aku mengangguk mengiyakan. “Bimo tidak pernah menjadi peminum atau pemakai, ia hanya seorang perokok.” Tambahnya.
“Darimana kau mengetahui itu?” tanya Lisa pada Dimas.
“Aku mendatangi rumah sakit sebelum kemari, untuk meminta penjelasan Bimo. Namun ia bahkan tidak bisa apa-apa di atas kursi rodanya memandang foto sang adik,” Dimas memberikan laporan tes kesehatan Bimo, “Ia negatif pemakai dan peminum.” Terangnya. Aku tidak membaca laporan tersebut saat mengunjungi Bimo.
“Tidak ada teman magang Zero, semua cerita buruk tentang Bimo itu hanya alasan. Wawan mendatangi Bimo untuk mengambil dokumen. Yang membuat Wawan lama adalah Bimo telah membuka isi dokumen itu, ini adiknya dan ia tidak pernah menjual adiknya. Ia di tahan dalam rumahnya, mempunyai hobi merokok sebelum tidur adalah alibi padahal kebakaran itu disengaja. Wawan pelaku kebakaran dan Bimo memiliki dendam, Bimo pelaku kematian Wawan.” Jawab ku serius.
Kali ini si dektektif dan dokter psikolog seperti menerima opiniku. Penjelasanku tidak ada cela, handphone dan dokumen di meja kamar Bimo saat itu memperkuat jika bukan bimo yang mengirim pesan ke aku.
“Bagaimana keadaan Bimo sekarang?” tanyaku.
“Dia baik, hanya saja seperti orang yang terkena stroke. Ia tidak bisa bicara, menggerakan tangan dan kaki pun tidak bisa. Sejak adiknya meninggal dia-“
“Adiknya meninggal!” aku terkejut, Dimas menatap heran padaku.
“Iya adiknya meninggal. Setahun sejak Bimo masuk rumah sakit pengobatan adiknya dihentikan, pihak rumah sakit tidak bisa menanggung dua pasien yang memiliki penyakit serius tanpa biaya ditahan lebih lama. Kondisi adiknya juga tidak bisa diselamatkan, karena itu pihak rumah sakit memilih untuk menyelamatkan Bimo.” Jelas Dimas.
Aku cukup terkejut mendengar pernyataan Dimas.
“Jadi bagaimana Wawan meninggal? Bagaimana Bimo membunuhnya dengan keadaan dia seperti itu?” Lisa kembali bertanya.
“Bukan bagaimana, namun apa alasan Bimo ikut campur kematian Wawan? apa yang mereka miliki sehingga bisa saling membunuh?” kali ini Dimas yang bertanya.
“.....” aku hanya diam tanpa kata.
“Aqila? Kau tahu sesuatu kan?” tanya Lisa padaku. Namun aku masih tetap diam.
“Sepertinya Aqila mulai goyah. Kita menemukan pelaku namun tidak memiliki dasar. Ini sama aja dengan sia-sia, kasus pertama belum sepenuhnya terselesaikan. Padahal kasus kedua juga masih menanti.” Lisa mulai terlihat lesu.
“Aku memikirkan sesuatu,” Mereka menatapku, “Kematian Wawan memang Bimo alasannya, Adiknya dan dokumen itu. Bisakah rumah sakit menghentikan pengobatan untuk membunuh? Tidak ada yang tahu kasus malpraktek dan dengan membunuh maka kasus yang tak terbuka tak akan pernah ada. Namun sayang, Bimo membaca dokumen itu. Mungkin dokumen penghentian pengobatan. Kematian adiknya sudah direncanakan, tapi mereka tidak bisa membunuh Bimo.”
“Kenapa?” tanya Lisa.
“Kebakaran dan polisi, media sudah mengetahuinya. Pesan itu, jika aku tidak datang ke pesta pasti aku akan langsung ke rumah Bimo, aku akan jadi tersangka. Pengirim pesan ingin aku menutupinya, namun aku tidak terbukti bersalah karena Zero. Ia berpura-pura membelaku agar aku tidak mencurigai dia, Zero tahu aku memiliki insting kematian. Bimo pelanggan tetap rumah sakit, dengan alasan kondisi keuangan dan kesehatan adik Bimo maka rumah sakit membuat pilihan. Hal ini tidak dianggap sebagai kesalahan rumah sakit, kasus malpraktek lenyap sudah.” Aku tak lagi bersemangat. Mereka juga tahu apa akhirnya.
“Dendam masih melekat, maka kematian jadi pilihan.” Jawab Lisa, “Wawan menutupi kejahatan malpraktik dan menciptakan dendam.”
“Bukan, itu bukan tujuan Wawan. Bimo mungkin memiliki hal lebih bagus dari kasus malpraktik, kasus rumah sakit lebih tepat untuk Zero bukan untuk Wawan.” Sela ku.
“Lalu, apa ancaman yang dimiliki Bimo?” Lisa tergerak untuk lebih dalam mengetahuinya.
“Aku menjawab sudah!,” kali ini suaraku beradu dengan sesak dan perih di dada. “Wawan yang bertanggung jawab atas kasus Rima!” aku memberang.
Dimas menahanku untuk tak memberontak, “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
“Rima hamil, Wawan penyebabnya karena itulah Zero ingin menyerah mencari bukti dengan alasan dia menyukai Edwin, tapi sebenarnya Zero tahu kalau Wawan yang harus disalahkan. Entah bagaimana Bimo mengetahuinya, dan menyimpannya selama ini. Adiknya mengalami malpraktik dan Wawan bersama Zero menutupi kasusnya, dokumen pun terbuka. Bimo marah, ia akan mengungkapkan kasus Rima, tapi ia juga terkena dampaknya. Akhirnya mereka menargetkan aku, saat Zero mengetahui aku ada disana, karena itulah ia tak ingin aku datang ke pesta.” Jelasku lirih, aku menahan kesedihan. Air mataku tidak boleh terlihat.
“Jadi itu bukan anak Haras namun anak Wawan? Ada bukti untuk ini?” tanya Lisa.
“Aku tidak tahu itu bayi siapa, namun bukan Haras yang membuat Rima melakukan hal bodoh itu. Ayah Rima bekerja di perusahaan Wawan, kehamilan Rima bisa saja menghancurkan reputasi perusahaan. Wawan pewaris ayahnya, ia tidak akan membiarkan Rima menghancurkan miliknya.” Aku sangat membenci diriku saat mengatakan kata-kata tersebut.
“Kau tidak mengatakan hal itu sebelumnya?” Dimas menekan suaranya.
“Wawan yang menyelamatkan Rima saat itu, bagaimana aku mencurigai dia? Saat aku tahu Zero dan Wawan sepupu alur di kepalaku terasa nyambung. Mereka hanya menciptakan alibi. Kematian Wawan dilakukan karena dendam Bimo.” Jawabku dengan wajah kesal.
“Bimo dalangnya namun bukan pelakunya.” Mataku dan Lisa menatap Dimas terkejut, “Ada orang lain, ia bisa jadi perantara kematian Wawan dan Zero.”
“Siapa itu?” tanyaku lesu.
“Saat kalian mencurigai Bimo, aku punya satu orang yang sangat kucurigai. Ia tertutup disetiap kejadian,” Lisa merapikan jas dokternya santai. “Edwin.”
“E-Edwin?” Aku terkejut, tapi tidak dengan Dimas.
“Ia tahu kau menstalkingnya, karena itu ia membuat status baru dengan keyakinan kau datang ke pesta. Ia mengisyaratkan kau untuk diam, ia memaki Wawan, ia mencucui tangan dan kasus Rima ia mencekalmu mendekati Haras dan Rima yang bertengkar. Undangan, dan aku rasa karenanyalah kau bisa masuk ke pesta tanpa undangan. Ia menyelamatkanmu.”
“Apa masalahnya dengan itu semua?” aku kembali bertanya.
“Kasus pertama mungkin bisa dibilang kebetulan, tapi kasus kedua ia adalah penyelamat. Penyelamat itu ibarat peramal, mengetahui sebelum kejadian.” Pemikiran Lisa ada benarnya, “Pertanyaanya adalah apakah Edwin hanya sekedar tahu atau dia juga terlibat?”
“Mungkin memang benar Bimo penyebab Wawan dan Zero meninggal karena ia memiliki alasan. Bagaimana Bimo melakukannya masih jadi pertanyaan, dan juga apakah Edwin terlibat atau hanya kebetulan juga masih menjadi pertanyaan. Pesan tersebut benarkah Wawan yang mengirim atau adakah orang lain yang masih belum terungkap?” aku bertanya-tanya dengan pikiranku.
“Kita sudah terlalu jauh, kasus ini membuatku lelah.” Dimas bangkit dan merapikan semua berkas-berkasnya diatas meja, “Kita lanjutkan Besok saja.” Lisa juga ikut bangkit.
“Kau sudah terlalu lelah Aqila, kembalilah dan beristirahat.” Kata Lisa khawatir. Aku hanya membalas mereka dengan diam.
“ini,” Dimas memberikanku lagi selembar foto, “Jika kau tidak mau menceritakannya tidak apa-apa, namun kau harus memberitahukan kepada kami insting kematianmu setelah mengingat kejadian ini.” lanjutnya.
“ini?”
“Kasus ketiga, 8 tahun lalu!” Jawab Dimas.
“Siapa yang meninggal?” aku lemas, sangat lemas.
“Tidak ada,” Dimas dan Lisa bersiap pergi, “Hanya Wanita disebelah pria itu yang hampir meninggal.” Lanjutnya dan pergi berbarengan dengan Lisa.
Hanya ada aku sekarang di ruangan sempit dan hampa ini.
“Ini..., foto ini....” tanganku bergetar menggengam selembar foto tersebut, “Aku hampir memilih menemui kematian karena kejadian ini.”
.
.
.
Hai cerita yang bagus :)
Comment on chapter KomaUdah aku like yaaa~
Suka banget sama diksinya..
Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!