Kematian bukan hal yang pasti, bisa esok atau mungkin saat ini juga. Kematian bukanlah salah satu pilihan, tetapi merupakan takdir yang tidak dapat dirubah. Manusia hidup memiliki batas waktu, dan memilih mengakhiri kehidupan adalah suatu kesalahan. Aku tahu hal itu, namun melanjutkan kehidupan menyakitkan ini lebih buruk dari kematian itu sendiri.
Aku terguncang, dan siapa yang tidak terguncang saat mendengar kabar duka itu. Mungkin memang benar aku memiliki hati yang mati. Namun mendengar kedua teman atau bisa ku sebut mantan teman memilih mengakhiri kehidupan mereka dengan cara yang sadis membuat hatiku melebur.
Keheningan melanda ruangan persegi empat kali empat ini. Kedua pria gagah sudah tak lagi berada di dalam ruangan, mungkin mereka lebih memilih menikmati secangkir kopi panas. Kebetulan sekali rumah sakit jiwa ini memiliki kantin yang menyediakan kopi terenak, mungkin sejenis dengan sturbuck.
Hanya ada kami bertiga, aku, wanita si dokter psikolog bernama Lisa dan pria hidung mancung yang sering ku sebut dektektif bodoh bernama Dimas. Entah sudah berapa lama kami terduduk di ruangan sempit ini, tapi kuyakin matahari sudah tepat diatas kepala. Seorang suster membawakan makan siang untuk kami bertiga. Aku memang sangat lapar, namun pembicaraan ini membuat makanan tersebut hanya menjadi pajangan. Bercerita tentang kematian sadis yang mengerikan di depan makanan, siapa yang bernafsu?.
Dimas membolak-balik lembaran kertas yang entah apa itu, mungkin sebuah daftar riwayat hidup orang-orang yang berkaitan dengan tujuan pencariannya. Ia seorang dektektif dan ini adalah pekerjaanya, “Makanlah, aku tahu kau lapar jadi makanlah sambil becerita.” Dimas tidak melihat ku saat berkata, ia hanya fokus mencatat sesuatu yang bukan urusanku.
“Menyuruhku makan sambil becerita? Dia memang sudah gila.” Lirihku kesal. Aku tahu Dimas menggali informasi dan itu pekerjaanya. Namun bagaimana ia masih berambisi menyuruhku makan di tengah pembicaraan kami masih terkait kematian.
“Kau tidak bisa makan sambil becerita? Atau mungkin kau tidak bernafsu?” Dimas meraih ayam goreng dan memakannya. Ia menatap mataku, “Aku bahkan bisa menghabiskan ini semua meskipun di depanku ada kotoran.” Katanya santai.
“Kau psikopat? Khe!” Dimas terbahak padahal di dalam mulutnya masih ada ayam yang belum tertelan.
“Jangan pikirkan dia, kalau kau tidak mau makan tidak apa-apa. Namun kau masih bertanggung jawab untuk terus becerita.” Lerai Lisa.
Ku pandangi foto Zero 10 tahun lalu. Di foto itu hanya ada dia, Edwin dan Wawan saling merangkul tersenyum menghadap kamera. Suasana di dalam Foto tersebut sangat gelap yang memang acara ulang tahun Zero diadakan saat malam hari. Tidak ada yang mencurigakan di dalam foto tersebut.
Kembali ku pandangi wajah Lisa dan Dimas bergantian, “Aku tidak di undang saat acara tersebut, aku tidak bisa menceritakan apapun.” Kataku setenang mungkin.
“Berhenti berbohong! Kau juga ada di dalam foto tersebut.” Aku terkejut, bagaimana mungkin aku ada di dalam foto itu?, “Lihat baik-baik, bukankah ini dirimu?” Dimas menunjuk sosok seseorang yang terselip dalam foto tersebut dengan tangannya yang berminyak.
“Qila, kami membutuhkan cerita mu.” Lisa menatapku dengan raut wajah yang tidak bisa ku gambarkan.
“Oke, aku akan becerita. Namun apapun yang ku katakan percaya tidak percaya itulah yang sebenarnya ku alami.” Ku tatap kembali wajah mereka, “Saat itu-
.
.
.
10 tahun lalu
Pekerjaan ku sebagai pegawai pemerintah membuatku tak bisa memiliki banyak waktu. Hanya ada dua hari libur setiap minggu ditambah hari libur nasional. Mungkin aku bisa cuti namun untuk melakukan hal tersebut aku harus memiliki standar sesuai peraturan. Belum lagi aku bisa saja dilemparkan keseluruh pelosok Indonesia sewaktu-waktu. Inilah alasanku untuk mengakhiri hubungan dengan Edwin, sekitar dua tahun lalu.
Edwin pernah mendesakku untuk melakukan hubungan long distance relationship, ia bilang bahwa kami sanggup. Namun beranjak tiga bulan aku sudah menyerah, bukan berarti aku tidak lagi menyukai dia, lebih tepatnya karena aku sangat menyukai dia maka aku menyerah. Edwin masih punya banyak kesempatan untuk memilih wanita yang tepat dan selalu ada untuknya.
Kami masih berteman, namun hanya sebatas teman yang bisa menghilang. Dengan jarak yang memisahkan dan kesibukkan tidak mungkin kami bisa selalu ada. Pada akhirnya pertemanan kami ber-sembilan benar-benar pudar, tidak ada diantara kami yang seperti dulu. Bahkan aku dan Edwin juga berubah, beranjak dewasa kami memilih untuk nyaman seperti ini.
Seperti kematian, pertemuan juga merupakan takdir. Aku ditugaskan dinas keluar kota selama sebulan penuh untuk menghadiri workshop dan seminar yang berkaitan dengan pekerjaan. Saat-saat seperti ini merupakan liburan untukku, berjalan-jalan tanpa mengeluarkan dana masih menjadi hal paling ku senangi.
“Bagaimana roti dan kopi disini? Aku jadi teringat kalau dulu aku sering membelikanmu es cream.” Edwin duduk tepat berada di depanku. Ia menggunakan kemeja coklat dengan lengan kemeja yang tergulung. Kadang-kadang beberapa pelayan di Resto ini menyapanya akrab. “Kenapa kau hanya memesan kopi? Mau es cream?” tanyanya padaku.
“Aku akan menghadiri seminar 20 menit lagi, dan kopi membuat mataku tetap terjaga daripada es cream.” Edwin’s Resto, yah ini adalah Resto milik Edwin. Tidak heran jika ia disanjung dan dihormati para pelayan.
“Begitu yah. Omong-omong aku senang bisa melihatmu lagi, cukup lama kita tak bertemu. Bagaimana pendapatmu tentang bisnis ku? Ini terinspirasi dari dirimu loh.” Gelak Edwin.
“Aku kira kamu akan jadi pengacara atau hakim, ternyata kamu memilih untuk jadi pembisnis juga. Tempat ini sangat bagus, apalagi jika ini terinspirasi dari diriku. Tentu aku merasa sangat berharga disini.” Aku menatap Edwin dan memberikannya senyum kegembiraan.
“Kamu bisa kemari kapanpun kamu mau, aku sangat senang jika itu terjadi.”
Aku terdiam memikirkan perkataanya. Sangat sederhana, namun aku tahu arti dibalik kata-kata itu. Edwin masih mengharapkan hubungan ini, tidak sia-sia aku menstalker semua media sosialnya selama ini dan hasil yang ku dapatkan sekarang adalah dia masih belum memiliki pacar setelah berakhir denganku.
“Ini adalah takdir, aku ditugaskan keluar kota dan bertemu dengan mu. Tapi ini tak akan lama, aku hanya sebulan disini, setalah itu bye-bye.” Aku melambai-lambaikan tangan.
“Yah, yah sekarang kamu sudah jadi Aqila wanita super sibuk. Jadi untuk melanjutkan pertemuan ini bagaimana kalau kamu besok malam datang kemari, Zero akan merayakan ulang tahunya disini. Ada Wawan juga, kita bisa berkumpul mengadakan reuni.” Tawar Edwin.
Lama aku merenungkan tawaran tersebut, “Aku rasa bukan reuni namanya kalau tidak lengkap,” aku menatap Edwin tersenyum, “Tidak ada undangan yang kuterima artinya aku tidak diharapkan bukan? Lagian Zero masih sangat membenciku.” Itu adalah jawabanku dari tawaran Edwin.
Perbincangan kami tidaklah panjang, aku juga tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama disana karena masih ada pekerjaaan yang menantiku. Hubungan ku dengan Zero juga tidak semulus dulu. Sejak aku berpacaran dengan Edwin, Zero langsung menjahuiku dengan alasan bahwa ia juga menyukai Edwin. Yah ini hanya masalah antara wanita, tapi saat itu aku masih memegang ego ku untuk lebih memikirkan diri sendiri daripada pertemanan yang hampir punah. Hingga sekarang Zero tetap tidak menyukaiku, ini alasan yang masuk akal bahwa aku tidak mendapatkan undangan itu.
Pagi-pagi sekali aku harus dilarikan ke rumah sakit terdekat karena keracunan makanan. Sebelum tidur aku tidak sengaja meminum susu yang sudah kadalursa yang ku beli di pinggir jalanan, dan itu membuat pagiku berantakkan hingga berakhir di UGD. Diperiksa dan diberi berbagai macam resep obat hingga terakhir berada di ruang administrasi membutuhkan waktu hampir dua jam.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi, saat aku keluar ruangan takdir mempertemukanku dengan Bimo dan Zero. Mereka berdua berjalan beriringan di koridor rumah sakit. Bimo menyapaku dan membuat kami bertiga terlibat perbincangan kecil.
“Apa kalian masih perang dingin?” tanya Bimo yang melirik aku dan Zero bergantian, “Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran para wanita, padahal masih banyak teri di lautan lantas kenapa harus bertengkar hanya demi satu teri.” Ledek Bimo pada kami.
“Daripada memikirkan masalah kami sebaiknya kau pikirkan kesehatanmu, berhentilah merokok dan ingat jantungmu Endut. Kau akan dioperasi jika sering-sering merokok, hentikanlah kebiasan merokok sebelum tidur Endut!” Zero hampir menjadi seorang dokter spesialis jantung. Ia baru menyelesaikan studinya akhir-akhir ini jadi bisa dikatakan ia masih menjadi dokter magang.
“Kau perokok? Sejak kapan?” tanyaku pada Bimo penasaran.
“Baru sebentar, sekitar empat tahun lalu.” jawab Bimo santai,”Oh ya, bagaimana kau tahu aku hobi merokok sebelum tidur Zero? Apakah Edwin menceritakanya padamu? Jadi sekarang kau dekat dengan Edwin ya?” Sakit sih mendengar perkataan Bimo, padahal Zero bukanlah siapa-siapa Edwin sementara aku sudah jadi mantan pacarnya. Namun mantan tetaplah mantan yang tidak lagi memiliki ikatan, jadi cemburu juga percuma.
“Begitulah, kau tahu ia bahkan yang menyiapkan kebutuhanku untuk acara malam ini. Edwin telihat perhatian padaku akhir-akhir ini.” Aku ingin menbungkam mulut Zero dengan lem, kata-katanya itu seakan ia sedang pamer padaku.
“Terserahlah. Aku akan pulang dulu dan maaf untuk nanti malam aku tidak bisa ikut, adikku sedang koma jadi aku yang bertugas merawatnya.” Aku terkejut saat mengetahui ternyata adik Bimo sedang sakit, “Terima kasih untuk perawatan gratisnya, aku akan membaca hasil lapnya di rumah saja. Aku harus pulang, bye Zero, bye Aqila.” Bimo pergi melambai-lambaikan tangan sambil menggenggam amplop coklat, kemungkinan itu adalah hasil pemeriksaannya hari ini.
Zero mengajak aku ke ruangannya. Sangat mengherankan untuku dokter magang sudah mempunyai ruangan sendiri. Zero menjelaskan jika pemilik rumah sakit adalah pamannya, jadi ruangan ini dan pemeriksaan gratis Bimo adalah hal yang mudah untuknya. Mungkin ia memang dokter magang tapi Zero sudah seperti pemilik rumah sakitnya.
“Kita bertemu mendadak, tidak ada lagi undangan yang tersisa. Jika kau mau datang nanti malam maka akan aku khususkan untukmu datang tanpa undangan, itupun kalau kau mau.” Kata Zero duduk anggun di singgasananya sambil membolak-balik berkas di atas mejanya.
“Kau tidak telihat tulus. Karena kau sedang berulang tahun aku tidak bisa mengucapkan atau memberikan apapun, mungkin dengan aku tidak hadir kau terlihat bahagia. Anggap itu kado untukmu.” Kataku sinis, aku tidak suka Zero yang berubah seperti ini.
“.....” ia terdiam dan sibuk melempar berkas-berkas di atas mejanya.
“Kau mencari sesuatu?” tanyaku.
“Gawat, aku salah memberikan map pada Bimo. Dimana hp ku? Aku harus cepat menghubungi dia.” Zero mendadak gelisah hanya karena keteledorannya, namun mungkin berkas yang di pegang Bimo sangat penting hingga ia jadi panik begini.
Sekali, dua kali, hingga lima kali pangilan tak terjawab. Zero mencoba menghubungi kembali dan sebuah suara membalas panggilannya.
“Halo!” Zero panik. “Wawan?” Zero menatapku dan langsung menjauh, aku pikir ia tidak mau pembicaraanya didengar olehku.
‘Aku pikir ia tadi ingin menghubungi Bimo.’ Batinku.
Cukup lama aku menunggu seperti patung, pada akhirnya aku memilih pergi. Ini seperti pungusiran secara halus oleh seorang Zero. Aku juga masih banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan jadi untuk apa aku berlama-lama disana.
Malam pun tiba, ku pandangi laptop kecilku yang menampilkan media sosial Edwin. Jujur aku penasaran dengan acara mereka malam itu, jadi mungkin dengan menstalker Edwin aku bisa mencari tahu sedang apa mereka. Jam menunjukan pukul delapan malam, tapi tidak ada tanda-tanda apapun di media sosialnya. Namun tiba-tiba sebuah status baru muncul.
‘Ada es cream malam hari ini, tidak ku makan dan akhirnya meleleh. Ia yang bisa melelehkan hatiku entah ada dimana, jika tidak malam ini mungkin aku tidak akan bertemu dia selamanya.’
Apakah ini suatu kode jika ia ingin bertemu denganku? Haruskah aku pergi?. Entah apa yang ada dipikiranku hingga berani menggerakkan kakiku pergi ke acara itu. Aku tahu aku tidak diundang tapi itu acara dimana tempatnya dibangun karena diriku, seakan aku tak rela jika tempat itu menjadi kebahagian orang lain padahal akulah dasarnya. Aku memutuskan untuk hadir kesana, hanya karena ada Edwin sang mantan kekasih.
Acaranya sangat meriah, saat aku masuk kedalam mataku melihat Zero, Wawan dan Edwin saling merangkul menghadap kamera. Aku mendekat tepat saat kamera mengambil gambar, aku rasa aku ada di dalam gambar tersebut sekilas. Edwin melihatku dan mendatangiku begitu juga Wawan dan Zero.
“Aqila? Kau datang juga?” Wawan menjabat tanganku dan memeluku sebagai salam pertemuan. Tiba-tiba Edwin menarikku dan menggengam tanganku. “Ouch! Ada yang marah, hahahah!” gelak Wawan.
“Dasar bodoh!” meskipun pelan aku yakin tadi Edwin memaki, entah untukku atau untuk Wawan namun matanya menuju kearah Wawan. Mungkinkah ia masih cemburu?
Zero memisahkan aku dengan Edwin, ia mengenggam kedua tanganku erat. “Aku kecewa karena akhirnya kau datang,” sinisnya. “Kenapa selalu ada kau sih?” katanya terdengar sedikit menekan. Zero terlihat marah.
“Kau ini, teman sendiri datang kemari malah tidak senang,” Wawan menambahi. “Selesaikanlah masalah kalian berdua, aku akan ke toilet dulu.” Wawan pergi meninggalkan kami bertiga.
Edwin meraih saku dan mengambil sebuah handphone, “Wawan melupakan hpnya, aku akan menyusul dia.” Dan akhirnya hanya ada aku dan Zero.
Zero mengabaikanku, ia pergi menuju meja yang bertumpukkan makanan ringan. “Kau mau roti? Roti disini sangat enak,” katanya.
“Aku tahu itu, begitu juga dengan kopinya. Sayang aku belum mencicipi es creamnya.” Jawabku sinis.
Zero menggunakan obat pencuci tangan sebelum mengambil roti-roti itu. Seorang dokter sangat menjaga kesehatanya, itu adalah hal yang wajar. Sejak kami ditinggal berdua, kami tidak membuka pembicaraan. Tidak ada diantara kami yang ingin memulai.
“Saat itu Rima hamil, kau mengatakannya padaku kau mencurigai ia hamil meskipun alasanmu tidak cukup kuat.” Aku terkejut Zero mengungkit kejadian 5 tahun lalu. “Kita berdua sampai meminta penjelasan kedua orangtuanya, kau dan aku mendesak agar kasusnya tidak di tutup. Namun pada akhirnya itu sia-sia saja.”
“Kau menyerah karena aku berpacaran dengan Edwin, kau marah dan memutuskan untuk membenciku selamanya.” Kataku lirih.
“Pada akhirnya kaulah penyebab kita semua hancur! Semua berantakkan karena dirimu! Kenapa hal ini terjadi pada kita semua itu karena kau!” Zero membentakku di tengah keramaian, ia bahkan tidak peduli jika semua mata memandang kami.
Edwin dan Wawan mendatangi kami saat mendengar teriakkan Zero.
“Ada apa dengan kalian? Haruskah disaat seperti ini kalian bertengkar?” tanya Wawan. Kami berdua diam, Zero membuang muka. “Aqila katakan sesuatu!”
Drrrttt!
Tanda pesan masuk datang dari handphone ku. Aku langsung membukanya, takut jika itu dari atasanku.
‘Adikku koma karena malpraktik jantung, aku sangat lemah jadi bantu aku. Akan aku kasih kebenaran tentang Rima.’
Bimo mengirimkan pesan itu padaku. Aku terkejut membacanya, entah bagaimana kesimpulan di kepalaku adalah ini perbuatan Zora.
“Kau melakuakan malpraktik pada adik Bimo? Benarkah kau yang melakukannya? Jawab aku Zero!” teriakku frustrasi.
“Kau gila ya! Kenapa kau menuduhku!” ia balik membentak.
Aku hendak menjambak dan mencabik-cabik wajah Zero, namun Wawan dan Edwin menahan kami berdua. “Bagaimana dirimu bisa disebut seorang teman! Kau berengsek! Apa kasus Rima juga kau yang melakukannya!” hampir saja ada perkelahian diantara kami jika tidak ada Wawan dan Edwin.
“Aqila tenanglah, ada apa denganmu sebenarnya?” tanya Edwin yang ikut-ikutan panik.
Tiba-tiba seorang polisi datang mencariku, mereka kemudian membawa aku pergi. Tidak hanya aku, Wawan, Edwin dan Zero juga ikut. Aku pikir ini kerjaan Zero karena kegaduhan yang kubuat. Namun aku sangat terkejut saat polisi itu mengatakan kalau rumah Bimo kebakaran akibat gas meledak dan api muncul karena minyak tanah yang tumpah. Mereka mencurigai kami tepatnya mencurigai aku.
“Aku tidak tahu apapun! Aku bahkan tidak tahu dimana rumahnya, baru beberapa menit yang lalu dia memberikan pesan untukku. Bagaimana mungkin kalian mencurigai aku?” disini aku meminta keadilan.
“Kami menemukan KTP anda di tempat kejadian, dan tangan anda terdapat bau minyak tanah. Pergi ke pesta dengan pakaian bukan untuk ke pesta, seperti seakan anda tidak ada rencana untuk datang kesana. Anda ingin mencari alibi?” selidik salah satu polisi padaku.
“Anda tidak bisa menuduhnya begitu saja!” Edwin tiba-tiba marah, “Dia dari tadi bersama kami, bagaimana bisa yang melakukan pembakaran itu adalah dia! Aku bahkan bisa menunjukkan kalau dia ada sejak sejam yang lalu,” Edwin mengambil kamera dan memperlihatkan foto aku terselip di dalamnya.
“Memang benar kebakaran baru terjadi beberapa menit lalu, tapi rencana tersebut bisa saja dilakukan sebelum wanita ini datang ke pesta.” Terang si polisi, “Bagaimana KTP Anda ada di TKP? Bisa coba Anda jelaskan?” tanya si polisi.
Kami semua terdiam, cuma Zero yang sibuk menelepon seseorang.
“Aku punya bukti!” kata Zero setelah mengakhiri panggilan, “Ini rekaman CCTV rumah sakit tempat aku magang,” Zero menunjukkan sebuah video pertemuan kami di Rumah sakit, “Saat itu kami sedang berbicara pada korban, dia adalah teman kami saat SMA. Anda lihat tangganya, ia mencuri KTP Aqila dari dompetnya.”
Aku terkejut saat melihat video rekaman CCTV tersebut. Bimo seakan sangat handal dalam mengambil barang tanpa celah. Bisa ku sebut ia seperti pencuri cekatan.
“Korban adalah orang yang tidak mampu, ia sebenarnya seorang pencuri. Karena itulah ia sangat ahli dalam mengambil dompet Aqila. Korban seorang perokok, penjudi dan pemakai jadi mencuri untuk kebutuhan hidupnya. Selama ini kami diam karena bagaimanapun juga ia adalah seorang teman.” Wawan menjelaskan.
“Kenapa hanya KTP? Kenapa dia tidak mengambil uangku?” tanyaku penasaran.
“Kau baru keluar dari ruang Administrasi, apa kau yakin di dompetmu ada uangnya?” Zero memekik kesal.
“Tap-“ tanganku di genggam Edwin, ini isyarat untuk aku diam.
“Kau bilang kau dapat pesan dari korban? Apa itu benar?” selidik polisi itu lagi.
“Itu hanya iseng, teman saya ini cukup terkejut mendengar bahwa ia dijadikan pelaku.” Bela Zero padaku.
Entah bagaimana polisi itu akhirnya membebaskan kami setelah menahan kami hampir empat jam. Namun saat berada di dalam Zero terlihat membelaku mati-matian bahwa aku tidak bersalah. Aku jadi merasa menyesal atas perbuatanku selama ini padanya.
“Tidak perlu berterima kasih,” kata Zero padaku sinis. “Aku hanya tidak suka kau disalahkan padahal kau tidak salah. Seperti kau menuduhku melakukan malpraktik.”sindirnya.
“Kau memberikanya pemeriksaan gratis, dengan jabaan yang kau dan keluargamu punya mungkin saja menutupi hal itu adalah hal yang mudah. Aku tidak paham apa yang terjadi, sejak membaca pesan itu pikiranku jadi buruk padamu.” Mataku menatap Zero meminta penjelasan.
“Kau akan menyesal mendengar kebenarannya,” tambah Wawan.
“Bimo seorang yang gila uang, ia menjual adiknya sendiri demi mendapatkan uang. Saat itu aku memiliki teman yang magang di rumah sakit paman, ia ingin melakukan percobaaan untuk tugas akhir. Ia mau membayar berapa pun yang ingin menjadi bahan percobaanya. Bimo pasien tetap di rumah sakit, ia mendengar pembicaraan kami dan memutuskan untuk mengorbankan adiknya. Saat kegagalan terjadi, Bimo menyalahkan kami dan rumah sakit. Ia meminta bayaran, pada akhirnya rumah sakit memberikannya perawatan gratis. Namun semakin lama ia semakin melunjak.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku
“Ia meminta banyak uang padaku dan mengancam rumah sakit jika tidak memberikanya, rumah sakit bahkan nekat mencabut biaya perawatan jika ia masih mengancam. Pada akhirnya ia melibatkan dirimu juga untuk membantu rencananya,” tambah Wawan.
“Sekarang ia sedang di rawat di rumah sakit paman, kami tidak akan meminta bayaran untuk perawatan. Pihak rumah sakit bilang jika Bimo tidak dapat bergerak, dan sekujur tubuhnya hangus terbakar. Berkunjunglah untuk melihatnya dan bertanya padanya jika penjelasan kami tidak memuaskan penasaranmu.” Zero pergi dan diikuti oleh Wawan.
“Aku akan mengantarmu pulang, jadi pastikan kau beristirahat dengan tenang malam ini. Jangan buat diriku sakit!” Aku menatap mata Edwin bingung, “Jika kau tidak istirahat kau akan sakit dan otomatis aku juga merasa sakit jika kau sakit.” Lanjutnya sambil tersenyum.
.
.
.
Hai cerita yang bagus :)
Comment on chapter KomaUdah aku like yaaa~
Suka banget sama diksinya..
Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!