Ika tidak bisa lama-lama bersembunyi di tempat Rahma. dua hari menginap, Ika meminta agar ibunya datang menjemput. Betapa terkejut ibunya begitu melihat kondisi Ika yang luka-luka yang tampak di sekujur tubuhnya. Meskipun Ika sudah meminta untuk merahasiakan ini dari kakaknya, namun ibunya tidak bisa.
Ayah dan Ibu Ika menceritakan kejadian yang dialami Ika. Ia meminta agar Gilang bisa berpikir jernih dan mencari solusi terbaik agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Selama satu minggu Ika mengurug diri di rumah. Ia tidak berangkat ke sekolah. Deni hanya bisa menanyai Ika lewat ponsel. Karena ia masih belum siap bertemu dengan Gilang, dengan orang tua Ika. Deni menelisik hatinya mungkinkah dendam itu masih bersemayam? Hanya Dido dan Rahma. Deni hanya menitipkan sebuah hadiah untuk Ika.
“Ini dari Deni. Dia berharap kamu suka” ucap Rahma.
“Terima kasih” Ika merasa senang. “Deni mana?” tanya Ika. Rahma hanya terdiam. Deni tak mengatakan sesuatu meskipun Rahma tahu alasan sebenarnya.
“Deni ada latihan untuk pertandingan karatenya. Tapi dia nanti bakal telpon kamu” ucap Dido. Rahma merasa tenang mendengar jawaban Dido.
^^^
Hari kedelapan, akhirnya Ika masuk ke sekolah. Deni merasa senang bisa akhirnya bisa melihat Ika setelah beberapa hari ia tidak bisa melihatnya.
“Bagaimana kondisi badanmu?” tanya Deni saat melihat Ika yang turun dari mobil yang mengantarnya. Hari ini ia tidak membawa sepeda motor karena orang tuanya belum mengizinkan Ika berangkat sekolah menaiki motor mengingat tubuhnya belum stabil.
“Aku sudah lebih baik. oh iya terima kasih ya hadiah yang waktu itu dititipkan pada Rahma. Aku suka” ucapnya malu-malu.
“Syukurlah kalau begitu” jawab Deni yang sama-sama malu-malu. “Kamu tidak membawa motormu?” tanya Deni.
“Iya. Mama masih belum mengizinkan”
“Kalau begitu pulangnya aku antar ya”
“Boleh”
Mereka berpisah menuju kelas masing-masing. Dari jauh Dido memperhatikan kedua sahabatnya. Hingga Deni berpisah dengan Ika karena arah kelas yang berbeda, Dido menghampiri Deni.
“Cie yang lagi PDKT” Dido tiba-tiba muncul di belakang Deni.
“Berisik Do” Deni berkata keras di telinga Dido.
“Sukses ya Den” Dido menepuk bahu Deni menggoda. Dido pergi keluar kelas untuk mengambil absen kelas di ruang guru.
“Do” Deni kesal dengan isengan-isengan Dido. Namun walaubagaimanapun ia memang merasa bahagia.
^^^
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Deni menghampiri Ika yang berada di ruang sekretariat OSIS.
“Den, maaf kamu pulang duluan saja. Aku ada agenda yang harus aku selesaikan di sini”
“Tapi kan kamu masih sakit Ka?” Deni setengah marah pada Ika. Tubuhnya masih lemah, dan ia harus meforsir untuk kegiatan ektra.
“Aku akan baik-baik saja. Percaya lah!” Ika tersenyum meyakinkan Deni.
“Kamu pulang jam berapa?” Deni melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. “Baiklah, kalau urusanmu sudah selesai, temui aku di perpustakaan. Aku juga harus mengecek beberapa soal untuk olimpiade nanti” Deni mendengus kesal. Sebenarnya ia melakukannya di rumah agar lebih fresh dan fokus. Setelah melakukan seleksi beberapa hari yang lalu, akhirnya Deni, Dido dan Rahma dinyatakan lolos seleksi peserta olimpiade perwakilan kota mereka. Ada 3 peserta yang terpilih untuk masing-masing bidang studi. Dan ketiga sahabat itulah salah satunya.
“Oke” Ika tersenyum dengan menatap punggung Deni yang menjauh. Ia tahu Deni kesal namun ia juga tahu bahwa Deni orang yang sulit untuk menolak permintaan orang lain.
Tepat pukul 17.30, Ika menemui Deni di perpustakaan sekolah. Deni kelelahan mengerjakan beberapa soal yang berhasil dipecahkannya. Deni meletakkan kepalanya di atas meja dengan mata yang tetap terbuka. Ia terkejut ketika seseorang menepuk bahunya.
“Hei” ucap Ika yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Kamu bikin aku kaget saja” Deni bangun dari tidurnya. “Sudah selesai urusannya?” Deni memasukkan kembali catatan-catatannya ke dalam tas.
“Sudah” Ika melihat jam tangannya. “Pulang yuk!”
Mereka berdua melangkah menuju parkiran. Sekolah sudah mulai sepi. Bahkan sangat sepi. Beberapa orang yang beraktivitas di sekret OSIS sudah pulang lebih dulu. Mereka langsung pulang begitu agenda rapat selesai.
Ketika Deni dan Ika berada di parkiran motor, beberapa orang tak dikenal mendatangi mereka. Ika mengenal beberapa diantaranya yaitu orang-orang yang menyerangnya tempo hari. Ika tidak ingin Deni terlibat dalam kasus ini. Namun Deni juga tidak akan meninggalkan Ika.
“Bos langsung habisi saja. Dua-duanya” ucap salah satu dari mereka.
Deni berdiri di depan Ika untuk melindunginya.
“Sabar-sabar. Hei lo, lo tau apa yang sudah diperbuat abang lo? Bukannya dia kapok dengan kejadian kemaren, malah dia menjadi-jadi. Nih lihat! Lihat! Ini luka yang diakibatkan abang lo”
“Kenapa kalian menjadi banci, beraninya sama perempuan” ucap Deni.
“Apa? Lo bilang kita banci? Berani sekali dia”
“Udah bos, habisi saja. Jangan buang-buang waktu” ucap salah seorang kawanan.
“Ika, kamu harus segera lari dari sini. Aku mohon” ucap Deni pelan. Ika ragu. Ia tidak bisa meninggalkan Deni dengan lawan sebanyak ini. Namun jika ia tetap di sana ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya kan merusak konsentrasi Deni menyerang lawan-lawannya.
“Aku akan segera kembali dan meminta bantuan” bisiknya pelan.
Deni bersiap-siap dengan kuda-kudanya untuk melawan satu persatu lawan yanga ada di hadapannya. Ia tak menyangka bahwa ‘hari ini’ akan benar ada dalam hidupnya. Setelah ia memilih untuk melepaskan segala amarahnya, ia pikir segalanya telah selesai.
Lawan yang harus ia hadapi berjumlah 6 orang. Selama mereka menyerang satu per satu sebenarnya bukan jadi masalah. Salah seorang diantara mereka maju untuk memberikan pukulan pertama, namun Deni berhasil melawan dan mengunci serangan dan menyerang balik. Satu lawan terjatuh lemah tak berdaya.
“Ternyata lawan kita cukup tanggus bos”
“Kita keroyok”
Disaat yang tepat Ika berhasil lari dan mencari bantuan pada siapapun. Ia menghampiri perpustakaan berharap penjaga perpustakaan masih berada di sana namun ternyata sudah tidak ada. Ika berjalan menuju gerbang luar sekolah, ia meminta pertolongan kepada siapapun.
Mereka menyerang bersama-sama. Awalnya Deni bisa menangani mereka semua. Selama mereka bertangan kosong, itu tidak masalah bagi Deni. Seseorang telah melemparkan tas ke kepala Deni, ia tidak sadar, tubuhnya limbung dan tersungkur. Deni terjatuh. Salah seorang diantara mereka mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya, ia langsung menusuk Deni dengan 4 tusukkan pada bagian perut dan bahu Deni. Sontak darah segera merembes ke seragam sekolahnya yang putih. kawanan itu segera meninggalkan Deni yang banjir darah.
“Pak, sini Pak, di sini” teriak Ika dari kejauhan. Ia sudah tidak melihat lagi kawanan itu, yang ada hanya Deni yang terkapar dengan penuh darah. Ika histeris melihat Deni yang tak sadarkan diri dengan darah yang membasahi seragam putihnya. Ika segera membawa Deni ke rumah sakit.
“Den bangun, tolong. Bertahanlah” Ika dan bapak-bapak itu mambawa Deni ke rumah sakit terdekat.
^^^
Di ruang tunggu rumah sakit, air mata Ika tak pernah berhenti mengalir. Ia terduduk sendiri menunggu kedatangan ayah Deni. Rahma dan Dido masih dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ika menatap kedua tangannya yang penuh dengan darah yang hampir mengering. Deni masih di tangani di UGD rumah sakit. Luka tusukan yang dideritanya terlampau parah.
“Kamu temannya Deni?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang diduga ayah Deni.
“Iya Om”
“Bagaimana keadaan Deni?” tanya ayahnya dengan wajah yang sangat khawatir. Belum sempat Ika menjawab, dokter keluar dari ruangan UGD.
“Bagaimana dok keadaan anak saya?’ ayahnya segera bertanya kepada dokter.
“Anak bapak kritis. Saat ini Deni akan segera dipindahkan ke ICU” ucap dokter, seketika para suster mendorong ranjang tidur Deni keluar dari UGD. Dilihatnya wajah Deni yang pucat serta perban-perban yang membelit sekujur tubuhnya yang terluka. Ika hanya bisa menatap wajah Deni dari jauh. Untuk 12 jam ke depan, suster tidak memperbolehkan siapapun untuk mengunjungi Deni. Ika hanya bisa melihat Deni dari kaca pintu kamar Deni, wajahnya basah dengan air mata.
“Om maafkan saya, gara-gara saya Deni menjadi terluka. Gara-gara membela saya Deni jadi begini. Maafkan saya om” ucap Ika dengan tangisnya yang tergugu.
“Kita doakan semoga Deni bisa segera sadarkan diri dan sehat kembali” ucap ayahnya yang menenangkan diri. Jauh dari dalam jiwanya, ia merasa sangat ketakutan. Setelah ditinggal pergi oleh istri dan anaknya, Fajar, satu-satunya harta yang ia miliki adalah Deni. Ia tidak ingin kehilangan anaknya untuk yang kedua kalinya.
Rahma dan Dido datang ke rumah sakit secara bersamaan. Ia segera bergabung dengan Ika dan ayahnya Deni.
“Semuanya gara-gara aku” Ika masih tergugu dengan tangisnya. Dalam detik yang menegangkan seperti ini, Rahma tahu persisnya apa yang sedang terjadi. Tapi ia tak tahu sampai kapan Deni bisa bertahan hidup.
“Ika, sebenarnya Deni..........” hari itu juga Rahma menceritakan segalanya yang ia tahu tentang Deni, tentang kematian Fajar, tentang Gilang, tentang rencana balas dendamnya, tentang amarahnya, dan tepat dipertemuannya yang kemarin Rahma tahu bahwa Deni sudah melepaskan amarahnya, Deni sudah memaafkan segalanya, “Dia juga sudah memaafkan kamu” kali ini Rahma pun ikut berlinang air mata.
“Bang Gilang harus tahu... Bang Gilang harus tahu. Ini semua gara-gara dia”
Seketika itu pula, dari kejauhan Ika melihat kakaknya berjalan gontai di lorong rumah sakit. Entah darimana ia menerima kabar penusukan Deni dan rumah sakit tempat Deni di rawat. Kehadiran Gilang membuat semua terkejut, untungnya ayah Deni sedang mengurus administrasi perawatan.
“Kamu tidak apa-apa Dek?” tanya Gilang begitu melihat adiknya dengan seragam yang penuh darah. Darah Deni yang menempel pada seragam Ika.
“Aku tidak apa-apa. Tapi Deni. Ini semua gara-gara Abang kan?” tangis Ika pecah. Ia tak tahan lagi. Entah apa yang membuat ia begitu berbeda dengan Abangnya. Dirinya yang aktif dengan kegiatan positif sedangkan kakaknya justru bergabung dengan sekawanan preman yang bahkan merenggut nyawa manusia tak bersalah.
Gilang terduduk di bangku tunggu dengan penyesalan mendalam. Ia mengingat persis segala yang telah ia lakukan pada Fajar bahkan semenjak pertama kali melihat Deni masuk ke SMA-nya ia mengenali wajah Deni dengan sangat baik. Seorang adik yang menangis melihat kakaknya terkapar karena pembulian yang dilakukan Gilang. Ia jelas mengingat itu. Tapi hari ini Deni berkorban untuk melindungi adiknya. Adik semata wayang yang selama ini malu mengakui dirinya sebagai seorang abang. Namun meskipun begitu, Gilang sangat menyayangi Ika. Ia melindungi Ika dengan berpura-pura tidak mengenal Ika, itu pula yang Ika lakukan padanya. Namun semenjak Gilang berubah dan mengungkap beberapa kasih sindikat penyelundupan narkoba yang dilakukan salah saeorang kawanan itu, mereka marah kepada Gilang. Bocornya informasi bahwa Ika adalah adik kandungnya membuat mereka menyerang Ika sebagai wujud balas dendamnya. Mereka marah dan Gilang pun marah dengan serangan yang ia lakukan terhadap Ika. Gilang tidak bisa menahan untuk tinggal diam, akhirnya ia mengungkap kasus berikutnya yang menyebabkan salah seorang diantara mereka masuk ke dalam sel tahanan. Dan hari ini mereka membalas dengan serangan membabi buta.
Gilang menyesal membiarkan Deni menerima luka beberapa tusukan untuk melindungi Ika. Satu-satunya adik yang sangat ia sayangi. Harusnya Gilang yang menanggung kemarahan Tamo, bukan Deni. Harusnya mungkin dirinya yang terkapar di ruang ICU itu.
“Maafkan aku” ucap Gilang dengan mata yang berderai air mata. Ia sungguh menyesal telah melakukan semua ini semua kepada Deni. Ika dan Gilang sama-sama menangis tersedu-sedu. Rahma mencoba menenangkan Ika meskipun dalam hatinya pun sama terasa perih. Ingin rasanya Rahma berada di sisi Deni, menjaganya sama seperti yang pernah dilakukannya. Namun aahh....
^^^
Dua belas jam sudah berlalu. Masa kritis Deni sudah lewat namun dokter hanya mengizinkan seorang saja yang boleh masuk ruangan. Hanya ayahnya. Semenjak kejadian ini, ayahnya semakin kehilangan kepercayaan mempercayakan Deni kepada teman-teman Deni. Ia marah dan tidak mengizinkan siapapun masuk untuk menemani Deni. Ika semakin menyesal dengan kejadian ini. Rahma begitu mengerti dengan kondisi ayah Deni. Ayahnya pasti sangat ketakutan kehilangan putra untuk kedua kalinya.
“Ayo kita pulang saja. Kamu harus ganti baju dan beristirahat Ika” ucap Rahma dengan lembut. Namun Ika menolak, ia ingin tetap di sini menemani dan memastikan bahwa Deni akan baik-baik saja.
“Pulang saja kalian. Om tidak butuh kalian semua” setelah ayah Deni mengetahui duduk perkara kejadian yang sebenarnya, ia benar-benar marah. Sejarah kembali terulang.
Ayah Deni tertidur di sofa samping ranjang Deni. Hidungnya dililit selang oksigen dan disampingnya terdapat kardiogram detak jantung Deni. Dalam tidurnya, ayahnya bermimpi bertemu dengan istrinya, Fajar, dan Deni.
“Deni, kamu mau kemana?” tanya ayahnya menatap punggung Deni yang menjauh bersama istrinya dan Fajar.
“Aku ingin ikut ibu dan kakak, yah” ucap Deni.
“Tidak Deni. Kamu harus tetap bersama ayah di sini” ucap ayahnya. Wajahnya begitu rapuh dan kuyu. Deni menghentikan langkahnya. Ia menatap kakak dan ibunya meminta persetujuan. “Ayah mohon, kamu harus tetap bersama ayah” air mata ayahnya menetes. Deni tidak tega membiarkan ayahnya menangis. Lama semakin lama, pandangannya mengabur.
Suara ketukan pintu suster membangunkan tidurnya. Ayah Deni terbangun dan mengusap wajahnya yang berkeringat. Aneh sekali padahal kamar inap Deni dilengkapi AC dengan suhu yang cukup dingin. Ia baru saja bermimpi buruk.
Deni masih belum sadar dari tidurnya. Ayahnya duduk di kursi samping ranjang Deni. “
“Maafkan ayah Den. Ayah janji, ayah akan lebih perhatian. Cuma kamu kini satu-satunya yang ayah miliki. Kembalilah bersama ayah, Den” ayah Deni menggenggam tangan anaknya dengan erat. Ia benar-benar menyesal karena selama ini terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lari dari perasaan sepi yang dialaminya. Padahal Deni pun merasakan hal yang sama. Mereka sama-sama kesepian namun dirinya seakan lupa pada dunia, membuatnya semakin terkubur dalam kesepian yang mendalam.
“Kita akan mulai kehidupan kita dari 0. Ayah mohon bertahanlah, demi ayah. Kita sama-sama menghadapi kehidupan ini. Berdua. Kita harus bekerja sama, sesama lelaki sejati” air mata sudah jatuh berbulir-bulir di pipi ayahnya. Sudut mata Deni pun muncul genangan air mata.
Deni bisa mendengarnya. Deni bisa mendengarnya. Ayahnya menggenggam tangan Deni semakin erat, semakin dekat. Sedikit demi sedikit mata Deni terbuka.
“A..yah” ucapnya pelan.
Ayahnya segera memanggil suster.
Seminggu kemudian Deni sudah diizinkan pulang. Di rumah, ayahnya masih belum mengizinkan teman-teman Deni untuk datang berkunjung. Ia ingin menghabiskan dan mencurahkan waktu bersama putra satu-satunya tanpa gangguan dari siapapun. Hingga Deni benar-benar pulih.
Pelaku-pelaku penusukan Deni sudah tertangkap. Diparkiran terdapat kamera sisi tivi yang dapat merekam wajah-wajah pelaku. Mereka memang bukan siswa SMA 1 namun mereka memiliki hubungan dengan Tamo, Gio, dan kawanan lainnya. Gilang juga sudah menyerahkan diri ke kantor polisi terkait kasus pembulian dan kematian Fajar. Namun ayah Deni memilih untuk memaafkan dan menutup kasus itu.
Ayah deni ingin menutup dan melupakan masa-masa kelam yang sudah terjadi. Ia mengajak Deni untuk pindah ke Jepang. Perusahaan ayahnya membuka cabang di sana. Ia rasa di sana mereka dapat hidup aman juga melupakan kejadian-kejadian yang sempat menjadi warna hitam dalam kehidupan mereka. Deni bisa menetap dan bersekolah di sana. Cukup sudah ayahnya merasakan ketakutan yang luar biasa. Ayahnya tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Sejak saat itu pula ayah Deni berjanji pada dirinya mencurahkan perhatian pada Deni seutuhnya, memperhatikan segala kebutuhan anak semata wayangnya, mencurahkan kasih sayang dan tak akan berlaku egois lagi.
Deni diminta untuk mempertimbangkan tawaran ayahnya. Ia merasa bahwa keputusan ayahnya memang benar. Ia sudah memafkan semuanya namun entah kenapa ia ingin menutup semuanya. Ia ingin memulai hal yang baru.