Bel pulang baru saja berbunyi nyaring. Pelajaran berakhir. Deni membereskan buku-buku pelajaran pelajaran miliknya. Tangannya masuk ke dalam kolong meja memastikan tidak ada barang yang tertinggal, namun ia terkejut ketika jari-jemarinya menyentuh suatu benda yang berada dalam kolong mejanya. Deni mengambilnya. Ia melihat sebuat benda berbentuk persegi panjang yang terbungkus kado dengan pita pink yang terikat kepadanya. Deni memastikan bahwa itu bukan miliknya namun sebuah diatas benda itu tertulis ‘Buat Deni’.
“Cie.... Den, dari secret admire ya?” Dido juga kaget melihat Deni mendapat hadiah. “Buka-buka” Dido lebih penasaran melihat isinya, meskipun dari bentuknya ia akan menebah bahwa hadiah itu berisi buku.
“Kamu tahu ini dari siapa? Atau siapa yang meletakkan ini di sini?” Deni mengalihkan pembicaraan. Tentu saja hal pertama yang ingin dia tahu adalah pengirimnya.
“Aku tidak tahu. Sudah buka saja barangkali di dalam ada petunjuk pengirimnya” Dido tampak lebih bersemangat.
Tangan Deni merobek selotip-selotip yang menempel. Ia membuka bungkusnya dan alangkah terkejut bahwa hadiah itu berupa buku novel yang pernah hendak ia beli di toko ketika ia bertemu dengan Rahma untuk yang pertama kalinya. Deni menebak Rahma yang memberi ini karena dia yang tahu Deni menginginkan novel ini yang memang sampai saat ini belum sempat ia beli dan beberapa waktu yang lalu ketika mereka berbincang di perpustakaan yang membicarakan novel terbaru. Tapi walaubagaimanapun juga di dalam isi hadiah itu tidak ada petunjuk lagi. Tidak ada pesan lagi.
“Dari siapa Den menurutmu?” Dido kecewa karena tidak mendapat petunjuk selanjutnya.
“Sepertinya dari Rahma. Iya benar. Karena aku pernah mau beli novel ini, tapi karena tinggal satu jadi aku biarkan Rahma yang membelinya di toko buku pertama kali kita bertemu. Kamu ingat kan waktu pertama kali kita bertemu Rahma di parkiran baseman mall?”
“Oooh waktu itu ya.... lebih baik kamu pastikan apakah benar-benar dia, bagaimana kalau ada orang lain selain Rahma?”
“Maksud kamu?” pertanyaan Deni lebih menyelidik. “Jangan-jangan sebenarnya kamu tahu siapa pengirim hadiah ini?”
“Mana mungkin aku tahu, aku kan bilang ‘barang kali’ ya siapa tahu kan”
“Benar juga sih” Deni segera memasukkan novel itu ke dalam tasnya. Setelah Dido juga selesaikan memasukkan buku dan catatannya. Mereka keluar kelas bersama-sama. Sesampainya di depan pintu kelas, Deni bingung. Siang ini Ia malas pulang ke rumah, sama seperti siang-siang sebelumnya. Hidupnya di rumah terlalu membosankan. Terlintas di benakna terkait topik yang disampaikan gurunya tadi siang. Sebuah tawaran yang menarik bagi Deni. Hal yang cukup ia kuasai dan ia suka. Sejak ia SD ia sangat menyukainya.
“Den, mau kemana sekarang?” tanya Dido ketika Deni menghentikan langkah kakinya sampai pintu kelas, seolah Dido mengerti apa yang dirasakan sahabatnya. Meskipun Deni tak pernah bercerita mengenai kondisi keluarganya, perdebatan-perdebatan kecil yang sering terjadi dengan ayahnya atau dendam pada kematian kakaknya, Dido dapat melihat dari mata Deni bahwa sahabatnya ini menanggung sebuah beban yang ia tak tahu apa. Namun Dido tahu bahwa Deni tidak betah di rumah atau pulang lebih awal. Kecuali jika ia merasa kelelahan atau ingin beristirahat.
“Menurutmu?” Deni bertanya balik. Kali ini ia kehabisan ide.
“Aku punya ide tapi aku tak tahu apakah ini akan menjadi ide yang buruk buat kamu. Tadi pak Prio memanggil aku ke kantor dan meminta aku untuk mendaftar pada seleksi peserta olimpiade Fisika yang akan diadakan beberapa bulan lagi, aku butuh mempersiapkan diri dengan mencari berbagai bahan dan referensi soal-soal. Ke toko buku Den” jelas Dido. Deni malah tertawa geli mendengarkan penjelasan Dido barusan. Dido bingung melihat Deni tertawa, seketika wajahnya melipat karena menurutnya ini bukan hal yang lucu.
“Setuju Do. Setuju. Tadi Pak Slamet juga memintaku untuk ikut seleksi peserta olimpiade Matematika” jelas Deni. Hanya saja Deni tidak menyangka bahwa mereka berdua sama-sama diminta untuk mendaftar seleksi, sepertinya takdir mengingnkan mereka untuk menjadi sahabat. Kali ini Dido yang balik tertawa. Akhirnya ia mengerti kenapa tadi Deni menertawakannya. Ternyata ia dan Deni sama-sama diminta ikut seleksi buat olimpiade. Setidaknya mereka akan memiliki kesibukan yang sama beberapa waktu ke depan.
“Oke, kita pergi sekarang” Dido dan Deni berjalan menuju parkiran sekolahnya. Mereka akan pergi dengan sepeda motor Deni karena hari ini Dido tidak membawa mobil. Lagipula dengan naik sepeda motor perjalanan mereka menjadi lebih cepat dan tidak terjebak kemacetan.
Sesampainya Deni dan Dido di pintu masuk toko yang mereka maksud, Deni melihat sebuah poster yang menarik yang ditempel di pintu masuk.
“Do, keren nih. Kapan-kapan kita datang yuk” Deni terlihat antusias melihat poster itu. “Lagi pula tempatnya tidak terlalu jauh”
“Sorry Den, aku kurang tertarik sama hal begituan”
“Yaah...” Deni kecewa mendengar jawaban Dido. “Tapi aku akan coba datang, barangkali aja menarik”
“Ya apa salahnya mencoba”
Poster dengan tulisan ‘Astronomi dan Manfaatnya’ tertera besar-besar di pintu masuk. Baru kali ini Deni melihat poster itu. Rupanya itu adalah kelas belajar yang terbuka untuk umum dan gratis yang diadakan oleh himpunan astronomi yang berada di kotanya. Sudah lama sekali Deni penasaran dengan kajian astronomi. Ia sama sekali tidak tahu apa itu astronomi.