Deni segera bersih-bersih badan setelah sampai di rumahnya. Sebelum mandi ia meminta Mbok Ran menyiapkan kompres untuk mengobati lukanya. Ini sebenarnya hanya luka kecil biasanya hanya saja jika tidak dikompres maka lebamnya akan sangat terlihat. Orang-orang akan berekspetasi lain apalagi ayahnya yang selalu curiga dan over protektive.
“Deni, kamu berkelahi ya hari ini?” ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam kamar Deni. Tidak biasanya ayah Deni sudah berada di rumah pada jam seperti ini. Ayahnya tahu karena Mbok Ran menyiapkan obat-obat untuk mengobati luka lebam Deni dan ayahnya yang sempat bertanya pada mbok Ran.
“Apa yang ayah bicarakan?” ucap Deni dengan santai sambil menyisir rambutnya menghadap ke cermin.
“Mbok sedang menyiapkan kompres buat luka kamu. Sini ayah liat!” ayah Deni menarik paksa wajahnya dan memeriksa. Tidak diragukan lagi. Pipi bagian kanan terlihat biru. Efek memarnya sangat terlihat jelas. Wajah ayahnya langsung berubah merah padam. Benar saja apa yang dikhawatirkannya, tanpa mengkonfirmasi api kemarahan ayah Deni tersulut lebih dulu.
“Tadi aku habis bertanding karate di sekolah. Aku tidak berkelahi yah” Deni melepaskan tangan ayahnya dengan paksa.
“Jangan bohong kamu Den”
“Aku sama sekali tidak bohong yah. Kalau ayah tidak percaya, silakan ayah konfirmasi ke sekolah”
“Awas kamu kalau bohong sama ayah” ayahnya meninggalkan kamar Deni dan berganti mbok Ran yang masuk ke kamar membawakan alat kompres.
“Den Deni tidak habis berkelahi kan?” kali ini mbok Ran yang mengintrogasi.
“Mbok tidak percaya ya sama aku? Aku tidak pernah berkelahi mbok di sekolah”
“Mbok percaya sama den Deni” ucapnya. Bagi Deni, mbok Ran sudah menjadi orang penting baginya. Mbok Ran yang baik dan perhatian yang selama ini telaten mengurusi kebutuhannya.
Sore itu Deni merasa tidak nyaman berada di rumah. Ia memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Setelah selesai mengobati lukanya, Deni melangkahkan kaki menuju perpustakaan kota yang berada tak jauh dari rumahnya. Deni memilih untuk berjalan kaki, baginya jalan kaki dapat mengobati kesedihannya. Berjalan kaki, melihat sekeliling, menyapa senja, ada begitu ragam rasa dan kejadian yang terjadi di sekitarnya. Itu cukup menghibur dan melupakan sejenak segala kejadian yang membuatnya lelah hari ini.
Udara dingin sedikit berhembus, beberapa lampu jalanan sudah mulai dinyalakan, segaris semburat senja menyumbul pada cakrawala. Sudah lama sekali ia tak berjalan seperti ini. Biasanya disaat hatinya tak nyaman ia akan berjalan-jalan sebentar menikmati cahaya malam atau berpasrah diri berdiri dibawah rintikan hujan. Selain cahaya malam, rintikan hujan adalah cara kedua untuk melabuhkan diri pada ketenangan.
Meskipun begitu, lagi-lagi ia sadar merasakan kesendirian di dunia ini. Rasa yang ia kubur dalam dalam kini muncul ke permukaan. Ia begitu merindukan ibu dan kakaknya. Sering kali ia merasa bahwa ia ingin menyusul keduanya. Pikirnya itu akan lebih baik. Ia tidak akan terikat dengan misi balas dendamnya.
Sama seperti sore-sore sebelumnya, perpustakaan kota selalu sepi dari pengunjung. Lebih sepi dari perpustakaan sekolahnya. Deni duduk di sudut kanan bangunan itu. Ia duduk menghadap jendela. Dari pandangan matanya ia bisa menangkap semburat senja yang indah dari gedung lantai dua. Dulu ia dan kakaknya sering melakukan ini berdua. Menikmati senja dari lantai dua rumahnya. Kemudian bermain apapun itu dan tertawa bersama.
Deni terperanjat saat bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang. Ia segera menoleh dan senang ketika melihat sosok Rahma berdiri di belakangnya.
“Kamu ternyata suka ke sini juga Den?” Rahma duduk di bangku sebelah Deni.
“Iya, sejak kelas satu SMP” ucap Deni. Ia terkejut bukan main, untuk kesekian kalinya ia bertemu dengan Rahma pada tempat-tempat yang tidak terduga. Entah sebuah takdir atau kebetulan yang tidak sengaja.
“Aku juga... tapi biasanya aku duduk di sudut kiri sana. Pantas saja kita jarang bertemu”
“Iya....” Deni tersenyum menatap Rahma yang mulai membuka beberapa buku yang dipegangnya. Kacamatanya bertengger di atas hidung Rahma dengan tali yang menggantung di lehernya. Seperti kacamata kakek, batinnya.
“Maaf ya, di rumah aku suka menggunakan kacamata ini karena aku sering meletakkan kacamata di sembarang tempat, jadi biar tidak mudah hilang” ucap Rahma seolah bisa menebak apa yang ada dalam benak Deni. Biasanya ia menggunakan kacamata tanpa tali ke sekolah, namun tetap saja kacamatana yang berbentuk bulat sempurna dengan lensa yang tebal menjadi kelemahannya tersendiri.
Deni hanya tersenyum dengan hati yang malu mendengar penjelasan Rahma.
“Kamu punya ilmu telepati ya? Ko bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan?” Deni mencoba mengakrabkan diri. Sudah saatnya ia menghangat pertemanannya dengan Rahma, ia rasa gadis yang ada di hadapannya ini bisa menjadi teman baiknya. Apalagi mungkin beberapa hari ini Deni membutuhkan teman bicara yang mungkin akan bisa mengerti keadaannya. Ia rasa Rahma adalah gadis yang cukup baik.
“Itu artinya kita punya radar dengan frekuensi yang sama, iya kan?” Rahma melihat ke arah Deni. Melihat wajah Rahma dengan jarak sedekat itu, Deni baru sadar bahwa Rahma memiliki lesung pipi hanya pada pipi sebelah kanannya. Deni menyadari bahwa sebenarnya Rahma adalah gadis yang cantik.
Keduanya lalu tersenyum bersamaan. Hal lain yang Deni suka adalah melihat orang yang sedang tertawa. Bagi Deni, tawa seseorang yang memancarkan kebahagiaan akan menyebarkan aura bahagia pada dirinya. Ia selalu senang melihat orang tertawa.
Beberapa jam mereka berdiskusi tentang novel yang terbit baru-baru ini. begitu panjang lebar mereka bercerita hingga pengunjung lain memintanya untuk tidak berisik.
“Ah iya maaf ya...” ucap Rahma saat seorang bapak-bapak yang duduk di meja samping mereka terganggu dengan suara diskusi mereka.
“Kamu sih kenceng banget ngomongnya” lanjut Rahma ke arah Deni.
“Kamu yang mulai kan”
“Iya tapi kamu juga...”
“Kamu”
“Kamu”
“Ekhm......” kali ini bapak itu berdehem menunjukkan bahwa ia terganggu. Deni dan Rahma menahan tawa bersama akhirnya mereka memutuskan keluar dari perpustakaan. Deni meminjam 2 buku novel yang ia masukkan dalam tas cangklongnya, sedangkan Rahma meminjam sebuah buku yang menarik perhatiannya. Keduanya berjalan menuju taman komplek rumah mereka.
“Tidak ku sangka rumah kita berada di komplek yang sama” Rahma mengelus-elus kucing yang berada di taman itu. Sedangkan Deni terduduk berpangku kaki melihat senja yang masih belum berakhir. Masih ada beberapa orang yang duduk di taman itu. Seorang ibu-ibu yang menggendong batita bersama ibu-ibu lainnya yang membiarkan anak-anak mereka bermain bersama di taman itu. Ibu-ibu itu terlihat asik membicarakan harga-harga bahan pangan yang akhir-akhir ini meningkat tajam dan beberapa pemuda terlihat asik bermain basket. Saat Deni masih SD, ia ingat bahwa dirinya dan kakaknya sering berkunjung ke taman ini. Saat SD, waktu bermain mereka memang banyak. Mereka bahkan menghabiskan waktu di taman hingga senja menghilang. Hingga ibunya menjemput mereka untuk pulang dan menyuruh mandi. Atau mereka yang lari berkejaran saat mobil ayahnya terlihat melintas di depan taman. Mereka berkejaran berebut pelukan ayahnya. Deni merindukan kakak dan ibunya.
“Oh iya Den, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” ucap Rahma membuyarkan lamunan Deni.
“Boleh” Deni menurunkan kakinya. Kali ini terdengar serius.
“Kenapa kamu baik sekali sama aku?” kali ini Rahma berterus terang. Selama hidupnya ia belum pernah menjumpai orang sebaik Deni selain Ika. Apalagi mereka tahu bahwa usia perkenalan mereka baru 3 hari.
“Apakah aku harus berkata jujur?” Deni tersenyum kecil. Ia merasa lucu akan pertanyaan Rahma. Baru kali ini ada seseorang yang mengajukan pertanyaan seperti itu pada dirinya. Mungkin karena Deni yang belum mengerti dengan kondisi Rahma. Tentu saja Deni tidak akan mengatakan kalau kebaikannya karena kondisi Rahma yang menyedihkan. Ia akan memilih kata yang lebih enak di dengar. Deni pun tidak ingin Rahma salah paham dengan kebaikan-kebaikan yang selama ini ia lakukan. Ia tidak ingin membuat Rahma salah paham.
“Iya, jujurlah” Rahma menjadi lebih bersemangat, ia ingin tahu.
“Maafkan aku Rahma kalau kebaikanku justru mengusik kenyamananmu” Deni berubah menjadi serius.
“Ah tidak juga. Jadi kenapa kamu begitu baik sama aku?” Rahma memaksa ingin tahu. ia tidak ingin menjadi orang yang menduga-duga atau berharap pada harapan kosong. Sebelum semuanya terlambat alangkah lebih baik ia segera tahu kebenarannya. Baginya segala sesuatunya harus jelas. Iya atau tidak adalah nilai yang sangat berarti bagi Rahma.
“Haaaah kenapa orang-orang mempermasalahkan sikapku sih?”
“Maafkan aku, bukan itu maksudku, aku.....”
“Ibu dan kakakku sudah meninggal. Ibuku menderita asma dan kanker. Beliau meninggal 2 tahun yang lalu dan kakakku meninggal karena dibuli di sekolah di SMA 1, SMA kita. Saat itu aku masih kelas 9 SMP. Seperti biasa aku dan kakakku selalu pulang sekolah bersama-sama, karena sekolah kami tak terlalu jauh saat itu aku menunggu kakakku di post satpam sekolahnya. Aku menunggunya lebih dari satu jam dari bel pulang berbunyi. Namun kakakku tak juga muncul akhirnya aku menyusulnya mencari ke seluruh penjuru sekolah, di sanalah Gilang dan komplotannya sedang asyik mengeroyok kakakku. Kakakku dipukuli hingga tubunya lusuh dan kepayahan. Rambutnya acak-acakkan, seragam putihnya ternoda dengan bercak-bercak darah yang keluar dari hidungnya. Aku yang mengetahui itu segera meminta bantuan satpam yang masih ada di pos sekolah. Aku segera membawanya ke rumah sakit namun kondisinya kritis dan tak dapat diselamatkan. Aku tak tahu kenapa kakakku dibuli. Ayah sudah meminta agar pihak sekolah mengusut kasus itu namun karena ayah Gilang adalah seorang jenderal TNI dan meminta sekolah menutup kasus ini, ayahku kalah dan sangat kesal. Sejak saat itu ayah sebenarnya tidak mengizinkan aku masuk SMA ini. bahkan sampai saat ini ayah masih marah padaku”
“Sejak kecil ibu selalu mengajarkan aku untuk selalu membantu dan melindungi orang lain. Sejak kecil aku dan kakakku berjanji untuk menjadi kuat agar bisa melindungi ibuku, dalam sakitnya, dalam penderitaannya. Dan kakakku, ia selalu melindungi aku padahal tubuh kakakku lebih lemah dibandingkan aku. Kakakku selalu menjaga janjinya pada ibu untuk selalu melindungiku. Karena itulah aku harus melindungi orang lain. Orang seperti ibu dan kakakku” Deni larut dalam ceritanya hingga ia tak sadar telah meneteskan air matanya.
Rahma ikut bersedih mendengar cerita hidup Deni. Tanpa ragu jari-jemari Rahma bergerak dan menghapus air mata yang membasahi pipi Deni. Sentuhan tangan Rahma membuat Deni terkejut. Ia menundukkan wajahnya.
“Oleh karena itu aku harus kuat Rahma. Agar aku tidak seperti kakakku, agar aku bisa melindungi orang lain” ucapnya, agar aku bisa membalaskan dendam kematian kakakku, batinnya.
“Den kamu tau kan kalau Ika....”
“Iya, aku tau, adiknya Gilang kan?”
“Hm...” Rahma hanya mengangguk. Sekarang Rahma mengerti kondisinya, posisinya. Ia sekarang tahu mengapa Deni begitu baik padanya, begitu melindunginya. Ini semua semata-mata karena ibu dan kakakknya. Deni memperlakukan dirinya seperti pada anggota keluarganya. Bukan alasan lain yang ia sendiri pun tak tau mengharapkan apa. Walaupun begitu Rahma senang karena Deni mau membuka diri kepadanya. Ia mulai menceritakan bagian dari hidup yang menurutnya tidak akan pada sembarangan orang Deni bercerita.
“Tolong rahasiakan ini ya Rahma, pada Ika bahkan Dido sekalipun” ucap Deni.
“Tentu saja” Rahma tersenyum memberi semangat
Keduanya terdiam hingga tiba-tiba tubuh Rahma menggigil, perasaan sakit menjalari tubuhnya. Air matanya ingin mengalir, namun ia menahannya. Ia tak tahu kenapa ia ingin menangis. Napasnya tiba-tiba menjadi sesak. Gawat, asmanya kembali kambuh. Rahma memalingkan wajah dan memegangi dadanya. Napasnya tersengal. Deni menyadari perubahan pada Rahma.
“Rahma kamu tidak apa-apa?” tanya Deni gugup melihat Rahma kesakitan. Ia segera memeriksa tas Rahma dan mengambil 2 butir obat seperti waktu sebelumnya. Deni segera memberikannya pada Rahma agar ia menelannya. Butuh waktu agar kondisi Rahma membaik. Barulah 5 menit kemudian kondisinya membaik. Ia bisa tenang kembali.
“Bagaimana keadaan kamu Rahma?” tanya Deni terlihat khawatir.
“Mungkin karena aku kedinginan jadi asmaku kambuh” kali ini Rahma berbohong.
“Kalau begitu, pakai ini” Deni melepaskan jaketnya dan menyelimutkan pada tubuh Rahma. “Ayo aku antar pulang. Hari sudah mulai gelap dan udaranya terasa dingin. Aku harus memastikan kamu pulang dengan aman” Deni menuntun Rahma berdiri. Tubuhnya limbung untungnya Deni segera menahannya dan memegangi lengan Rahma. Sejenak Rahma menyeimbangkan posisi berdirinya beberapa detik. Ia memperkuat pegangannya pada lengan Deni. Ia memperbaiki posisi jaket yang ia kenakan dan menarik sleting dan menutup tubuhnya dengan rapat. Deni terlihat khawatir.
Dalam perjalanan pulang, Rahma lebih banyak terdiam. Deni merasa tidak enak untuk mengajaknya bicara, ia takut Rahma masih merasa tidak enak badan. Meskipun ia berada dalam kondisi yang tidak diinginkan, ia membiarkan suasana begitu hening dan dingin.
Tepat sebelum maghrib, Deni sampai di depan rumah Rahma.
“Assalamu’alaykum Tante” ucap Deni.
“Wa’alaykumussalam” Ibu Rahma menjawab salam Deni. Perhatiannya segera teralih ke wajah pucat Rahma. “Rahma kamu kenapa sayang?” ibu Rahma segera membelai wajah anaknya.
“Ibu aku ingin istirahat”
Ibu Rahma mempersilakan Deni untuk duduk sementara ia mengantar Rahma istirahat di dalam kamarnya. Dalam hitungan menit ibu Rahma kembali dengan membawakan minuman untuk Deni.
“Bagaimana kondisi Rahma tante? Tadi asmanya kambuh sewaktu kami berada di taman”
“Nama kamu siapa Nak?” tanya ibu Rahma berpura-pura tidak tahu.
“Saya Deni, saya tinggal di komplek sebelah”
“Deni, terima kasih sudah mengantar Rahma begitupun dengan beberapa hari yang lalu.
“Sama-sama tante”
“Sejak kecil Rahma menderita asma. Ini bukan penyakit genetik. Ada kelainan pada paru-paru Rahma. Anakku bisa saja sembuh asal menjalani operasi namun Rahma selalu menolak. Menurut Rahma, penyakit yang dideritanya ini hanya masalah kecil karena itu akan kambuh selama ada pemicunya, Rahma bisa saja menghindari pemicunya namun faktanya ada kondisi-kondisi yang tak diinginkan yang ia pun tak bisa mengendalikannya. Tubuh Rahma juga lemah, sedikit saja ia kelelahan, ia akan langsung drop. Terima kasih Nak Deni sudah membantu Rahma beberapa waktu ini. Rahma juga sering bercerita tentang nak Deni di sekolah”
“Anakku itu tidak memiliki banyak teman. Karena ruang geraknya terbatas ia tak bisa terus bersama teman-temannya yang aktif beraktivitas. Oleh karena itu Rahma lebih sering sendiri. Tante bahkan takut sekali karena sakitnya, Rahma jadi terisolasi dari lingkungannya. Tapi tante bersyukur sejak Rahma berteman dengan Nak Deni, tante melihat wajahnya lebih ceria. Tante melihat semangat hidupnya kembali” mata ibu Rahma memerah dan terlihat genangan kecil di sudut matanya. Bagaimanapun ia sangat berterima kasih kepada Deni karena sudah membawa kehidupan yang baru untuk putrinya. Meskipun ibunya tidak tahu hubungan apa yang terjadi pada mereka sebenarnya, namun setidaknya saat ini atau beberapa waktu ini ia bisa melihat wajah ceria Rahma yang selama ini redup dari kehidupannya.
Melihat sosok ibu seperti ibu Rahma, tiba-tiba Deni merasa rindu pada ibunya. Sudah lama sekali ia belum berziarah ke makan ibu dan kakaknya. Biasanya setiap bulan Deni selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibu dan kakaknya. Deni juga seakan bisa merasakan betapa sayangnya ibu Rahma terhadap anaknya. Tentu saja ibu akan selalu melindungi anaknya apapun yang terjadi.
Deni pulang ke rumah dengan mata yang basah. Rindu yang menggebu tiba-tiba memenuhi rongga hatinya. Ia rindu pelukan ibunya, ia rindu genggaman tangan kakaknya. Tangan mungil dan kecil itu mengenggenggam erat ketika mereka berjalan bersama atau menyebrang jalan. Deni tahu betapa sayangnya Fajar terhadap dirinya. Jika ia tahu kakaknya akan pergi secepat itu, rasanya ia tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Deni juga teringat kembang senyum kakaknya setiap kali mereka bertemu sepulang sekolah. Ah Deni rindu semuanya. Rindu ibu dan kakaknya. Malam itu Deni hanya meringkuk di kamarnya. Ia merasa sepi yang luar biasa. Air matanya meleleh membasahi bantal tidurnya. Ia memeluk rindu itu hingga pagi tiba berganti hangatnya cahaya matahari.