Read More >>"> Silver Dream (Fight! ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

FIGHT! 

 

‘Jangan pernah terhanyut dalam lingkaran masalah. Tak perlu meredamnya tapi hadapilah.'

 

Hari-hari mengerikan Joo dimulai. Ketika kebebasannya direngut tanpa batas. Seluruh keluarga Joo murka kepadanya karena telah membantah dan menyulitkan keinginan mereka untuk membuat Joo sukses dan bahagia. Perlu diingat bahwa bahagia yang dimaksud dalam definisi keluarga Joo.

Satu minggu telah berlangsung sejak Joo dibawa pulang oleh orang suruhan ayahnya ke rumah dan terperangkap di kamarnya. Joo butuh kebebasan. Ia ingin menghirup udara segar, pergi ke kampus, dan bertemu dengan teman-temannya terutama Fredy.

Jika boleh jujur, Joo sangat merindukan sosok Fredy sekarang. Ia ingin menjerit meminta pertolongan dan mencurahkan segala masalahnya pada lelaki yang faktanya lebih muda darinya itu namun lebih dewasa ketimbang Joo. Joo ingin memeluknya erat dan menangis frustasi dalam dekapannya karena ia semakin stress berada di kamar yang terkunci.

Joo memandang ke bawah dari jendela kamarnya yang berada dilantai dua. Rasanya ia ingin terjun bebas tapi kata-kata penyemangat dari Fredy dan bayangan teman-teman klub dance yang selalu peduli padanya selalu menahannya. Joo sudah menghabiskan setiap malamnya dengan melukis sampai tidak ada lagi media yang dapat ia gunakan untuk menekuni hobi dan mewujudkan mimpinya itu.

"Joo, kau sudah siap? Ayo berangkat!"

Rafa melongok dari celah pintu kamar Joo yang ia buka. Entah apa yang dilihatnya Rafa tiba-tiba melotot dan membuka lebar pintu kamar adiknya itu. Sudut matanya melirik arlojinya yang menunjukkan pukul setengah tujuh siang. Tapi kenapa Joo masih mengenakan rok piyamanya dengan rambut acak-acakan dan kantong mata serta lingkaran hitam yang sangat kentara jelas.

"Joo.."

"Aku sudah tak bisa ikut KKN kakakku yang paling tampan!" Joo menekankan setiap katanya kemudian sudut bibirnya terangkat sebelah dan tertawa tanpa suara.

Keadaan Joo sekarang sudah tak ada bedanya lagi dengan orang gila. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan dan tubuhnya semakin kurus. Belum lagi ditengah kacaunya keadaan tubuhnya, Joo malah tertawa sambil sesekali menjerit frustasi tak mau menuruti perintah Rafa untuk segera berbenah dan pergi ke rumah sakit menjalani pelatihan KKN.

"Semua temanku pasti sudah berangkat KKN! Greeze bahkan langsung berangkat KKN usai liburan. Aku tidak mau KKN! Aku tidak mau jadi dokter! Aku tidak mau!" racau Joo berjalan mendekati Rafa dan memukul lengan kakaknya keras-keras.

Rafa menahan tangan Joo yang hendak kembali memukulnya. Rafa menatap miris keadaan Joo. Sakit melihat fisik dan psikis adiknya tersakiti seperti ini. Jika diamati lekat-lekat Rafa juga dapat melihat beberapa sayatan di leher dan dan tangan kiri Joo. Meski tidak dalam tapi pasti terasa perih.

"Joo, maafkan kakak." sesal Rafa menggenggam kedua tangan Joo lalu mengusap setiap goresan luka yang ada dengan lembut. "Tapi--"

"Ini semua demi kebaikan dan masa depanmu." potor Joo getir dan melepaskan tangannya dari genggaman Rafa.

"Jika kakak kukuh mengajakku pergi ke rumah sakit lebih baik kakak keluar! Aku tidak mau ikut! Aku tidak suka rumah sakit! Aku takut darah, aku tak kuasa melihat setiap kesedihan disana, aku benci bau obat-obatan!" teriak Joo menunjuk pintu kamarnya yang terbuka lebar.

"Kunci aku lagi dan biarkan aku mati di dalam lingkup sepi ini!"

Amarah Joo meledak. Tangisnya pecah. Harapannya untuk bertahan lagi dan lagi harus goyah. Joo lelah bertahan. Tiga lawan satu terlalu mustahil baginya untuk menang. Ingin Joo melarikan diri sekarang juga tapi ia tak bisa. Kedua orang tuanya telah menjaga ketat keamanan rumah dengan memperkerjakan beberapa satpam.

Tubuh Rafa lesu. Ia tak mau meninggalkan adiknya dalam kekacauan. Ia juga merasa berat menekan adiknya terlalu dalam. Ia merasa bersalah dalam menyayangi adiknya.

"Ok, untuk hari ini aku tak akan mengajakmu ke rumah sakit. Kuharap kau makan sarapan yang kusajikan di meja makan. Aku tak lagi menguncimu tapi jangan pernah pergi tanpa seijinku dan ayah maupun ibu." Rafa mengutarakan keputusaannya. Ia memilih jalur aman dengan memberikan Joo kebebasan yang terbatas.

Joo menganggukkan kepalanya pelan. Langkah gontainya meluncur keluar dari kamar. Setidaknya ia merasa lega karena kakaknya tidak mengunci kamarnya. Joo jenuh berada dikamarnya. Di belakang, Rafa tampak ragu akan meninggalkan Joo di rumah sendirian namun tuntutan pekerjaan tak bisa ia tawar. Dengan berat hati Rafa berangkat ke rumah sakit.

***

Ruang konsultasi. Penuh keyakinan Fredy memasuki ruangan tenang itu. Sudah terhitung beberapa kali ia keluar masuk ruangan itu sejak kepulangannya dari liburan. Bahkan sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang konsultasi daripada studio pribadinya.

Setiap hari tanpa lelah Fredy berkonsultasi pada tantenya yang merupakan seorang psikiater kondang. Beraneka buku bertema gangguan jiwa khususnya bipolar ia serap dalam otaknya. Sejak kepulangannya Fredy semakin gigih mencari cara ampuh untuk menyembuhkan penyakit Joo.

"Kau masih belum memberitahu siapapun perihal penyakitnya?"

Fredy menggeleng dan tersenyum lirih. "Aku ingin merahasiakannya. Aku takut orang-orang disekitar Joo akan semakin khawatir dan membuatnya tidak nyaman."

"Tapi rasa khawatir itulah yang dibutuhkan pengidap bipolar, Fredy. Para penyandang bipolar menganggap suatu kekhawatiran sebagai rasa peduli orang lain padanya." gemas Reyna-tante Fredy.

Desahan pelan terdengar. Fredy memijit pelipisnya. Ia tak tahu dengan benar bagaimana cara untuk menyembuhkan penyakit Joo. "Apa salah jika aku hanya memberikan petuah dan membiarkannya berjuang sendiri?'

BRAK!

Reyna menggebrak meja kerjanya sendiri. Pola pikir Fredy yang pending-nya minta ampun sudah tak tertolong. Rayna yang sudah memahami betul sosok Joo dalam setiap reka cerita Fredy dengan cepat mengetahui apa yang gadis itu butuhkan. Keponakannya ini sangatlah bodoh dalam bertindak. Apa kepergian kakak iparnya masih meninggalkan luka baginya?

"Jadi aku salah ya.." lesu Fredy mengelus dadanya yang masih bergejolak akibat gebrakan ekstrim Reyna.

"Tentu saja!" sungut Reyna bersemangat. "Seharusnya kau ikut membantunya. Sudah tahu dia membutuhkan lebih banyak perhatian kau malah melepaskannya sendiri. Jika kau terus membiarkannya seperti itu dia bisa kembali depresi dan ingin mengakhiri hidupnya lagi terlebih hanya kau yang mengetahui kejiwaannya yang terancam."

"Terus aku harus apa?" tanya Fredy terdengar pasrah. 

Jari-jemari Reyna mendadak gatal. Ia meremas-remas tangannya akan respon keterlaluan Fredy. Lelaki itu benar-benar kaku dan membosankan. Untuk kedua kalinya Reyna menahan emosinya lalu membisikkan sebuah saran pada keponakannya itu.

"Permisi.."

Seorang gadis memasuki ruang konsultasi dengan beberapa map berisikan kertas tebal. Gadis itu menatap bingung sosok Fredy yang berbalik dari kursinya. Dalam sehari gadis itu sering bertatap muka dengan Fredy. Lama-kelamaan gadis itu jadi penasaan apa maksud Fredy berkunjung ke ruang psikiater.

"Fredy.."  sapa gadis itu lirih.

"Greeze.." sapa balik Fredy kikuk.

Ya, asal kalian tahu Greeze telah menjalani KKN-nya di salah satu rumah sakit tempat tante Fredy dinas. Selama KKN, Greeze seringkali bertugas sebagai pengantar berkas pasien. Tentu saja tugasnya itu membuatnya lebih mudah bertemu Fredy secara kebetulan.

"Fredy apa kau tahu bagaimana keadaan Joo sekarang?" desis Greeze cemas. "Pasalnya tiga bulan terakhir ini aku tak mendapat sedikitpun pesan dari Joo.”

Keras-keras Fredy menggeleng. "Kak Greeze maaf, aku harus segera pergi!" titah Fredy melesat keluar dari ruangan.

Penuh tanda tanya Greeze menolehkan kepalanya pada dokter Reyna. Sikap Fredy semakin aneh saja. Namun rupanya Reyna berbaik hati menceritakan kisah Joo yang ia dapat dari Fredy. Ya, Reyna juga akan turut membantu Joo pulih.

***

Puluhan missed call terpatri jelas dalam layar ponsel Fredy. Semua panggilan tak terjawab itu berasal dari satu nomor yang sama. Nomor asing tak dikenal. Dalam perjalanannya Fredy menyempatkan membuka akun chatting-nya dan disana ada pesan dari Alvin yang memberitahukan bahwa ia telah memberikan nomor Fredy pada Joo.

Segera saja Fredy menghubungi nomor asing itu. Fredy yakin nomor itu milik Joo. Tanpa ia pikirkan Joo membutuhkannya. Fredy hilang arah saat ini. Ia tidak tahu tempat kediaman Joo. Fredy harus segera bertemu Joo dan membantunya.

Tut tut tut..

Telepon tersambung.

"Ayo tolong angkat teleponnya.." gumamnya pelan.

Senyum Fredy mengembang tatkala teleponnya terangkat. Diseberang sana terdengar suara parau seorang gadis. Fredy khawatir bukan main. Tanpa banyak basa-basi ia meminta alamat Joo dan memberikan perintah pada sopir untuk segera membawanya ke rumah Joo.

Lima belas menit berlalu, Fredy telah sampai pada kawasan perumahan elit. Tepat di depan rumah nomor 11 Fredy berhenti. Sebuah rumah mewah berinterior modern ala-ala istana kerajaan Inggris yang dapat membuat siapapun takjub. Tak dapat dihihindari jika sedari tadi beberapa satpam yang berjaga di depan rumah Joo menatap Fredy penuh selidik.

***

Membiarkan pintu kamar Joo terbuka ternyata tak mampu membuatnya tenang. Gadis itu hanya ingin pergi keluar dari rumah. Di dalam rumah besar seorang diri semakin membuatnya terasa kosong dan sunyi. Sialnya, pengamanan di rumahnya sangat ketat. Joo tak bisa pergi jika seperti ini.

Berbagai makanan bergizi tersaji di meja makan. Sudah terhitung satu hari penuh Joo tidak makan. Ia hanya meminum obat-obatan yang tersisa dalam kamarnya. Tudung makanan ia tutup kembali. Nafsu makan Joo hilang. Sekarang Joo hanya ingin meracik kopi namun sebelum tangannya sempat menggapai laci dapur, perutnya terasa mules. Rasa sakit itu semakin mengerang. Dengan tertatih-tatih Joo berjalan menuju kamar mandi.

Sesampai disana Joo langsung menyalakan keran, membiarkan air mengalir. Joo meremas perutnya yang terasa mual. Berulang kali Joo mencoba memuntahkan seluruh isi perutnya tapi selalu tak bisa. Hanya rasa mual yang menyebabkan kepala pening. Bibir Joo merintih pelan. Ia berusaha menjerit meminta pertolongan namun suaranya tercekat dan lidahnya terasa kelu akibat mual.

"Joo kau kenapa!?"

Derap langkah cepat mendekati Joo. Pantulan sosok Fredy dari cermin membuat Joo bernapas lega. Pancaran rasa khawatir terbaca jelas dalam wajah Fredy, lelaki itu memutar tubuh Joo hingga menghadap kearahnya. Wajah gadis itu sangat kacau balau, kulitnya pucat pasi, dan yang paling jelas tubuhnya terlihat semakin kurus sejak pertemuan terakhirnya.

"Joo kau tidak apa-apa?" panik Fredy tatkala Joo hanya menatapnya kosong.

"Kau jahat!" teriak Joo sumbang memukul dada bidang Fredy. 

Fredy menarik tangan Joo yang memukul dadanya, merengkuh tubuh rapuh itu dalam dekapannya. Fredy menyandarkan kepalanya pada bahu Joo. Tangannya menepuk punggung gadis itu pelan.

"Ja..hat.." ucap Joo yang lebih terdengar seperti bisikan.

Dari dekapannya Fredy merasakan tubuh Joo sangat lemah. Fredy tak bisa membiarkan gadis itu terus berada dalam udara lembab kamar mandi. Segera saja Fredy menuntun Joo memasuki kamarnya dengan bantuan para satpam yang bertugas di sekitar kamar Joo.

Fredy membantu membaringkan tubuh Joo ke dalam ranjang lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh kecuali wajahnya. Binar kesedihan terpancar dari kedua bola mata Fredy.

"Apa kau masih tak bisa menyakinkan keluargamu?" tanya Fredy mengusap kening Joo lembut.

Joo membuang muka dari tatapan cemas Fredy. Sebuah toples berukuran kecil yang tergeletak di atas nakas menjadi pelarian Joo. Joo meraih botol itu lalu sedikit mengubah posisinya dari yang berbaring menjadi duduk. Sontak saja hal itu membuat Fredy bingung apalagi saat Joo menuangkan kapsul dalam toples itu hingga memenuhi genggamannya. Sebelum Joo memasukkan kapsul itu ke dalam mulutnya Fredy langsung menggenggam erat tangan Joo dan mengambil semua kapsul dari tangannya.

"Kau bisa overdosis bila meneguk kapsul sebanyak itu!"

Joo memandang Fredy sinis. "Apa urusanmu?"

Pertanyaan Joo berhasil membuat Fredy mati kutu. Lelaki itu menggaruk tengkuknya. Tak mungkin ia berkata bahwa sangat mengkhawatirkan Joo. Jujur saja melihat keadaan Joo sekarang ini membuat Fredy merasa bersalah dan sakit hati. 

Dalam kebingungannya Fredy menangkap Joo kembali menuangkan kapsul dari toples yang sama. Lagi dan lagi Fredy segera menggenggam tangan Joo yang penuh kapsul lalu meraupnya. Tak cukup Fredy juga merampas toples di sisinya.

Obat Penenang / Antidepresan 

Toples dalam genggaman Fredy meluncur jatuh menghamburkan seluruh isinya. Tulisan yang tertera di bawah toples sungguh mengejutkan. Fredy tak menyangka kapsul itu adalah obat penenang.

"Pergilah! Aku tak ingin melihatmu! Aku ingin tidur!" emosi bipolar Joo memuncak.

"Kau tak seharusnya tidur dengan mengonsumsi obat!" sahut Fredy.

"Kau tak tahu Fredy!" teriak Joo frustasi menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Aku tahu!" Fredy mendudukkan dirinya di tepi ranjang Joo. "Kau membutuhkan orang yang selalu berada disisimu kan? Orang yang akan membantumu berperang menghadapi kejamnya rintangan hidup, orang yang bisa kau raih saat kau merasa sendiri."

Guling dengan mulusnya terlempar jauh menghantam pintu. "Ucapanmu tak semanis perbuatanmu, Fredy! Kau jahat! Aku benci padamu!"

Konsultasi rutin yang Fredy tekuni membuatnya mudah untuk memahami setiap tahapan depresi. Dengan melawan sikap keras kepala Joo tak akan membuat suasana membaik. Tanpa pikir panjang, Fredy berbuat sedikit agresif. Ia membaringkan tubuhnya disamping Joo. Lengannya menopang kepalanya dan sebelah lengannya lagi menarik pinggang Joo untuk menghadap kearahnya.

"Aku berjanji akan membantumu mulai dari sekarang. Ingatlah pada detik ini, menit ini, dan hari ini, seorang Fredy berjanji akan membantumu meraih mimpi sebagai pelukis. Aku tak akan lagi melepaskanmu dan akan selalu berada didekatmu." tutur lembut Fredy tak pernah lepas dari tatapan bingung Joo.

"Sekarang beristirahatlah dengan tenang, Joo. Berhentilah meminum obat-obatan itu." ujar Fredy tatkala Joo belum juga bergeming akan tindakan mengejutkannya.

Joo mengerutkan keningnya. Fredy sudah benar-benar gila di pikirannya. Mana mungkin ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa obat penenang beharga jutaan itu.

"Aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu. Kuharap lagu ini dapat mengantarkanmu ke alam mimpi." seolah dapat membaca pikiran Joo, Fredy kembali menjelaskan sembari mengusak pelan surai kecoklatan Joo.

Kedua insan itu tetap dalam posisi mereka. Joo sama sekali tak bergerak memunggungi Fredy. Mata gadis itu telah terpejam sesekali tubuhnya bergerak gelisah. Namun rupanya suara Fredy mampu mengantar Joo ke dalam mimpinya. Terbukti dari gadis itu yang tak bereaksi tatkala Fredy bangkit dari posisinya.

Beraneka objek tergambar rapi dalam kanvas. Kumpulan kanvas penuh lukisan tersusun acak di setiap sudut ruangan. Ada lagi beberapa sketsa di kertas A3 dan dan A4 berserakan di lantai dan kolong ranjang Joo. Alat-alat lainnya seperti pensil dan warna juga memenuhi kamar Joo.

"Aku akan berusaha memperkenalkan lukisan-lukisan ini pada khalayak umum." tekad Fredy tersenyum mantap.

***

KRET! 

Pintu dari kamar 11 VIP terbuka perlahan. Siluet seseorang terpantul jelas dalam cahaya. Senja telah datang namun lampu dalam ruangan padam. Ruangan itu hanya mendapatkan cahaya dari jendela yang dibuka lebar-lebar.

Di dekat jendela, ada seorang gadis yang duduk membelakangi pintu. Gadis itu mengenakan pakaian rumah sakit, penutup rambut, dan selang infus masih tertancap pada punggung tangannya. Lukisan itu masih ada di tempat yang sama. Lukisan cantik yang mati-matian Elkie curi dari kakaknya. Lukisan hadiah anniversary dari kakaknya untuk Kak Joo.

"Rachel, aku datang.."

"Pulanglah, kau bukan lagi temanku." usir Rachel dingin.

JLEB!

Hati Elkie mencelos. Pertengkaran besar mereka masih membawa luka tersendiri. Elkie menundukkan kepalanya, menatap sebuket bunga mawar putih di tangannya. Sebuah mawar putih tanda ketulusan. Sahabat yang pernah mewarnai harinya telah terbutakan perasaan.

"Aku ingin menjengukmu, Rachel." Elkie mendudukkan dirinya di tepi jendela.

Gadis itu lagi-lagi terdiam, mengacuhkan keberadaan Elkie.

"Aku membawa bunga kesukaanmu, Chel." ceria Elkie menunjukkan sebuah buket bunga di depan wajah Rachel.

Bunga mawar putih yang malang. Tak selang beberapa detik Elkie menunjukkannya, Rachel melempar bunga itu ke jendela hingga jatuh ke dasar tanah. Elkie terbelalak. Ia tak percaya akan sikap Rachel. Gadis itu semakin menjelma menjadi pribadi yang kasar,

"Seharusnya Kak Marcel yang membawa bunga itu untukku!" seru Rachel menyeret infusnya mendekati ranjang.

"Kau sudah melupakan persahabatan kita, Chel?" tanya Elkie hampa.

TAK!

Sebuah bantal mendarat mulus mengenai kanvas yang berada di dekat Elkie duduk. Lukisan itu terjatuh. Beberapa glitter silver berterbangan di dalam ruangan. Elkie semakin terlonjak kaget.

"Bawa kembali lukisan jelek itu! Aku muak tiap kali membaca nama wanita jalang itu! Kalau bisa buang sampai aku tak bisa menemukannnya dan tak ada orang terdekat yang mengetahuinya terutama Marcel dan Joo!"

Perasaan cinta telah membutakan hati. Elkie tersenyum miris melihat sikap Rachel. Gadis itu menjadi egois, tak lagi memperhatikan orang-orang yang lebih memperhatikannya.

"Hidupku tak lama lagi akan berakhir." lirih Rachel.

Belum kapok, Elkie berjalan mendekati Rachel. "Kau tak boleh bilang seperti itu."

"Kenapa? Semua manusia pasti akan mati. Lagian dokter sudah memvonis kanker-ku memasuki stadium empat." ungkap Rachel melepas tudung kepalanya.

Dan begitu terkejutnya Elkie tatkala kepala bermahkotakan surai cokelat caramel itu tak lagi tersisa. Kepala Rachel botak dan mengkilap. Apa yang Rachel katakan sudah cukup memberikan bukti. Ya, gadis itu serius dengan perkataannya.

"Pergilah, jangan pernah lagi menghampiriku terlebih ke pemakamanku nanti. Jangan ajak Marcel juga! Lelaki itu.." Rachel meraung pelan. "aku sudah mengikhlaskannya." ucapnya dengan berat hati.

Satu butir air mata mencelos dari pelupuk mata Rachel. Cintanya bertepuk sebelah tangan sampai ia menghembuskan napas terakhirnya. Ending yang ia simpulkan sendiri memang. Seorang Marcel selamanya hanya mencintai Joo dan menganggap Rachel sebagai teman baik adiknya. Rachel harus bisa melepasnya.

"Tidak Chel, kau bisa bertahan, kau harus sembuh, dan esok hari aku berjanji akan mengajak kakak untuk kemari, menghiburmu agar cepat sembuh." ujar Elkie mengelus punggung tangan yang tertusuk jarum infus milik Rachel.

Rachel menatap sendu Elkie. Air matanya semakin menderu. Sahabatnya ini terlalu baik. Ia sudah bersifat kasar dan memanfaatkannya tetapi ia masih saja peduli. Rachel meremas selimutnya, ia menangisi hidupnya yang diprediksi singkat ini.

***

Malam telah larut. Rumah mewah ini tetaplah sunyi. Satupun dari keluarga Joo belum ada yang pulang. Satpam-satpam dengan setia berdiri di setiap sudut rumah. Sepasang kaki bergerak menuruni tangga menuju dapur.

Sejak Fredy bernyanyi untuk Joo sampai saat ini gadis itu masih tertidur pulas. Sudah terhitung lima jam sejak kedatangannya. Dan ini pertama kalinya Fredy bertamu dalam waktu yang lama.

Sup ikan serta daging panggang tersaji dalam meja makan. Sepertinya ini makanan yang disiapkan untuk Joo. Fredy bernapas lega. Ia hanya perlu menghangatkan seluruh makanan tanpa perlu memasak. Ya, Fredy akan membuat Joo makan sebelum ia pulang.

"Siapa kau?"

Fredy membalikkan tubuhnya. Seorang pria jangkung berjas putih berdiri menatapnya penuh selidik. Wajah pria itu terasa familiar di benak Fredy. Fredy pernah melihatnya tapi lupa dimana. Ah benar, ini kakak Joo yang pernah Alvin ceritakan.

"Selamat malam kak," Fredy menyambut hangat kedatangan lelaki itu. "Aku pacarnya Joo." ujarnya mantap.

Lelaki itu mengerutkan kening. "Pacar?"

Fredy menganggukkan kepalanya. "Aku disini untuk menemaninya. Sekarang Joo telah tidur dan aku akan menghangatkan makanan yang kakak buat untuknya." jelas Fredy sembari mematikan kompor di belakangnya.

"Apa Joo tidur dengan baik?" tanya Rafa tersirat rasa ragu.

Lagi-lagi Fredy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum bangga. "Joo tidur sangat cepat saat aku bernyanyi untuknya." Fredy mengambil langkah maju mendekati Rafa. "Aku juga telah membuang semua obat antidepresan yang ia simpan." ungkap Fredy serius.

Ucapan Fredy sulit dimengerti Rafa. Obat antidepresan. Apa yang ia bicarakan? Setahu Rafa, Joo memang selalu sulit tidur tapi bukan berarti ia menekan tidurnya dengan obat antipresan kan? Kedua matanya menatap binar lugu dalam manik mata Fredy. 

"Kakak tenang saja, aku akan berusaha membuat Joo sembuh." Fredy menyakinkan. "Oh iya, sebaiknya aku pulang saja karena kakak telah datang. Sepertinya Joo belum makan hari ini, aku sudah memanaskan semua makanan. Kakak bisa membawanya ke atas dan meminta Joo memakannya."

"Kak aku pulang, terima kasih telah mengijinkanku masuk." pamit Fredy membungkukkan tubuhnya lalu beranjak pergi meninggalkan kediaman Joo.

"Tunggu!"

Langkah Fredy terhenti. Suara berat Rafa menahannya.

Rafa mengambil langkah mendekat. "Bukankah di telepon tadi kau berkata teman dari Joo, kenapa barusan kau mengaku pacarnya?" Rafa menatap tajam Fredy. "Siapa kau sebenarnya, dan apa yang kau bicarakan tentang obat antidepresan?"

Fredy mendesis pelan. Ia tak menyangka lelaki di depannya adalah seorang yang perfectionis. Terlalu peduli dengan detail. Hembusan napas pelan keluar dari bibir Fredy. Fredy membalas tatapan tajam Rafa.

"Aku akan menjelaskannya jika kakak memberi kebebasan untuk Joo esok hari. Sudah terlambat untuk mengurus proses KKN-nya dan ia lebih baik tetap masuk di semester semestinya." ujar Fredy membuat kesepakatan tanpa persetujuan lawannya.

Fredy kembali merajut langkahnya namun tiba-tiba terhenti. "Esok aku akan datang."

Kali ini Fredy benar-benar pulang. Ia keluar dari rumah Joo, meninggalkan Rafa yang masih diam termenung menatap kepulan kuah yang mendidih. Rafa menanggalkan satu kancing kemajanya. Terlalu sesak memikirkan masalah Joo.

***

Fredy menepati janjinya. Keesokan harinya, di hari minggu ia kembali datang ke rumah Joo. Penampilannya lebih santai. Sebuah kaos santai dibalut kemeja bergaris kotak-kotak dengan celana longgar selutut berbahan kain. Keadaan rumah Joo juga berbeda dari sebelumnya. Kali ini tak ada para satpam yang berjaga.

Jemari lentik Fredy bergerak menekan tombol bel rumah. Kaki Fredy menghentak-hentak pelan seiring jemarinya menekan. Jam sembilan sudah bukan terlalu pagi lagi untuk bertamu.

Pintu terbuka. Seorang wanita cantik paruh baya bak replika dari wajah Joo berdiri di tengah pintu. Mimik dari wanita itu sulit untuk ditebak. Fokusnya menyorot penampilan Fredy sacara detail. Rupanya Fredy telah mengganggu aktivitas wanita itu, terlihat dari celemek yang melekat ditubuhnya.

"Aku mengenalnya, Ibu. Kau bisa masuk." seorang lelaki tiba-tiba muncul di belakang wanita paruh baya itu.

Sebelum pergi wanita itu menatap Rafa untuk memastikan ucapannya. Hingga akhirnya wanita itu pergi meninggalkan putra sulungnya dengan tamu asingnya.

Rafa meminta Fredy masuk dan berbincang di ruang tamu. Kedua lelaki yang terpaut usia cukup jauh itu saling beradu tatapan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Rasa canggung dan dingin menyelimuti aura disekitar mereka.

Rafa berdeham. "Rupanya kau tidak main-main."

Fredy tersenyum tipis mengiyakan.

"Oh ya, bagaimana kau tahu bahwa aku kakaknya Joo? Sejak kemarin kita masih belum pernah bertemu padahal," heran Rafa.

Kurva datar itu bergerak naik di setiap sudutnya membentuk lengkungan. "Aku akan menceritakannya jika kakak memperbolehkan Joo keluar sekarang."

Kedua mata Rafa menyipit. "Dasar, kau tidak akan menjelaskan jika mengajak Joo pergi."

Tawa ringan menggema pada ruang tamu. "Tentu saja aku tak akan ikut bersama Joo. Joo akan pergi bersama dua sahabat karibnya. Kakak tahu Greeze kan?"

Greeze. Nama itu masih melekat dalam pikiran Rafa. Gadis seumuran Joo yang menjadi teman pertama Joo sejak kecil. Kedua mata Rafa memicing. Lelaki muda didepannya ini semakin mencurigakan saja.

"Kau tak ada niat menculik Joo kan?" parno Rafa.

"Tidak akan pernah."

 

Usai berdebat cukup panjang dan membuat berbagai kesepakatan, Rafa mengizinkan Fredy ikut bersamanya memasuki kamar Joo. Kamar Joo tak terkunci. Begitu terbuka ternyata gadis itu masih terlelap di bawah selimut tebalnya. Terangnya sinar yang menembus celah-celah jendela sama sekali tak mengusik tidurnya.

"Wow! Baru kali ini aku lihat Joo tertidur lelap sejak kepulanganku!" Rafa terperangah tidak percaya.

Mata sipit Fredy membola. "Benarkah?"

Rafa mengangguk. "Hm, selama ini setiap aku masuk ke kamarnya dia selalu berdiri menghadap balkon dengan wajah kusutnya bahkan beberapa kali kamar ini kosong karena Joo sering kabur." 

Senyum bangga menghiasi wajah Fredy. "Ini semua karenaku, nyanyian yang kusuarakan untuknya sebelum tidur."

Rafa menunjuk wajah Fredy dengan jari telunjuknya. "Benar sekali, kemarin Joo bahkan tidak mau makan malam. Ia tidak mau tidurnya terganggu."

"Ok, sekarang tinggal membuatnya terbangun, sarapan, dan tersenyum." 

Arah pandang Rafa tak pernah lepas dari Fredy. Lelaki yang masih memiliki kesan misterius di benaknya itu berjalan mendekati ranjang adiknya. Tanpa meminta izin padanya, Fredy langsung menyibakkan selimut yang membungkus tubuh ringkih Joo. Tak cukup, Fredy juga bergerak menyibakkan rambut Joo yang menutupi berbagai sisi wajahnya. Berlaga seperti seorang pacar yang romantis Fredy membisikkan sesuatu di telinga Joo.

"Joo, ayo pergi melukis." bisik Fredy menyadari Joo menggeliat pelan.

"Perlihatkan lukisan terbaikmu ke suluruh dunia." Fredy kembali berbisik lebih pelan.

Bisikkan Fredy menggelitik telinga Joo. Terlebih deru napas Fredy tarasa dalam pori-pori kulit Joo. Perlahan Joo membuka matanya. Begitu matanya terbuka lebar Joo tak dapat menahan keterkejutannya. Senyuman manis seorang Fredy menjadi hal pertama yang ia lihat. 

"Bangun sayang, cepat mandi gih lalu dandan yang cantik. Aku tunggu di bawah ya," serasa penebar serangan jantung Fredy berucap manis sembari mengacak-acak rambut Joo.

Diam-diam Fredy menahan gelak tawanya. Reaksi Joo akan sikapnya sangatlah lucu. Mungkin gadis itu masih berasa di dalam mimpi. Wajahnya bersemu merah, tatapannya konyol, juga tangannya yang menggaruk kepalanya bingung.

"Sudah jangan kebanyakan ngelamun. Mimpimu sudah berakhir pagi ini." usai berucap seperti itu Fredy pergi meninggalkan kamar Joo.

Joo menatap takjub punggung Fredy. Kedua telapak tangannya menampar pipinya keras-keras sebelum Rafa menghentikannya. "Cepat berbenah, pacarmu sudah menunggu. Oh ya, kakak nggak akan mengizinkanmu pergi jika kau tidak sarapan bersama di bawah."

Rafa pergi. Berbaga tanda tanya penuh misteri ia tinggalkan. Pacar? Apa maksud Rafa? Joo tidak mengerti. Dan lagi, kenapa pagi-pagi Fredy datang berkunjung ke rumah? Sejak kapan Fredy sering bertamu di rumahnya? Atau mungkin Rafa salah paham menganggap Fredy pacarnya mengingat akhir-akhir ini ibunya frustasi memincut seorang dokter muda kenalannya?

***

"Joo pergilah bersama mereka. Lepaskan semua bebanmu dalam kebebasan ini. Aku akan menjemputmu nanti."

Fredy menundukkan kepalanya. Kedua kelopak matanya terpejam. Seolah-olah ia merasa berat melepas Joo. Keberadaan seluruh keluarga Joo baik kedua orang tuanya dan Rafa tak menyurutkan perbuatan manis Fredy. Sementara di teras, Greeze dan Alvin yang telah lama menunggu tersenyum geli melihat tingkah Fredy.

Kedua tangan Joo terulur menyentuh lengan Fredy. "Kenapa kau tak ikut juga? Apa yang akan kau lakukan disini tanpaku?"

"Meminta restu untuk dapat meminangmu di kemudian hari." bisik Fredy mendadak cheesy. "Meskipun dalam mimpi." bisik Fredy buru-buru menambahkan sebelum timbul kesalahpahaman.

Suara gemeretak gigi terdengar cukup keras. Tangan Joo mengepal kuat. Segera Fredy menuntun Joo untuk turun menemui Alvin dan Greeze. Sebelum kedua rekannya pergi, Fredy mengedipkan sebelah matanya untuk mengingatkan rencana yang sudah ia susun sedemikian rupa pada Joo.

"Nak, ayo masuk dan berceritalah."

Yura yang sedari tadi memantau setiap tingkah perilaku Fredy pada putrinya mempersilahkan tamunya untuk masuk. Ya, inilah kesepakatan yang dibuat Fredy bersama Rafa. Rafa bersedia memberi Joo kebebasan asal Fredy mau bercerita di depan keluarganya.

"Apa sebenarnya hubunganmu dengan adikku? Teman ataukah pacar?" pertanyaan pertama dilontarkan oleh Rafa setelah mereka duduk di ruang tamu.

"Aku pacarnya." Fredy menelan ludahnya. "Kami baru jadian empat bulan."

"Apa kau yang mempengaruhi Joo selama ini? Kau tahu, sejak semester ini ia jadi sering bolos dan banyak tugasnya terbengkalai sampai gak bisa ikut KKN dan mengulangi semester!' tuduh Ryan menatap Fredy tidak suka.

Refleks Fredy menggeleng. "Bukan seperti itu!" serunya tak menerima tuduhan.

"Lantas apa?" Ryan semakin menantang.

"Yang saya tahu sejak kami berpacaran, Joo itu takut darah, ia benci berada di rumah sakit, ia tidak suka mencium bau obat-obatan apalagi meraciknya. Dan sejak ia kecil ia hanya memiliki satu mimpi." Fredy menarik napasnya dalam-dalam. "Menjadi pelukis, mimpi yang sering kalian pandang sebelah mata."

"Kau mendukung mimpinya itu, Nak?" Yura menanggapi lembut cerita Fredy.

Fredy mengangguk. "Tentu saja, saya akan mendukung semua keinginan Joo asalkan dia bahagia. Menjadi pelukis adalah mimpi yang luar biasa. Putri anda bisa menghasilkan karya seni berkelas setiap saat dan siapa tahu suatu saat nanti ia bisa menjual setiap lukisannya atau mengadakan pameran di sebuah gedung megah. Suatu kebanggaan bukan?"

Fredy kembali melanjutkan. "Dengan melukis pula Joo dapat melampiaskan seluruh perasaannya dalam media seni yang indah. Melukis sebagai terapi penyembuhan bipolarnya dan menghasilkan uang. Kegiatan yang penuh nilai positif bukan?' Fredy mengakhiri penjelasannya dengan senyuman tipis.

Keluarga Joo terperangah mendengar cerita Fredy, namun tidak dengan Rafa. Lelaki itu terlihat menahan amarah. Wajahnya memerah dan kedua matanya menatap Fredy tajam. Firasat Fredy benar, tak lama Rafa bergerak maju mencengkram kerah kemejanya.

"Beraninya kau bilang Joo bipolar? Kau tak bisa sembarangan memprediksi penyakit mental itu!"

"Joo memang mengidap bipolar tipe dua. Dokter yang mengatakannya padaku. Joo depresi akibat kalian semua, keluarganya!" tangan Fredy menepis cengkraman kuat Rafa. "Kalian terlalu menekannya untuk menjadi dokter. Tindakan kalian itu ketakutan terbesarnya! Joo sudah besar, ia sudah dapat mempertimbangkan mimpi yang terbaik untuknya!"

"Asal kalian tahu, tiap malam Joo tidak bisa tidur dengan tenang. Saat ingin tidur Joo harus meminum obat antidepresan berdosis tinggi untuk meredam kegelisahannya. Bahkan ia sering mengonsumsi kopi sebagai alasannya tidak bisa tidur. Lebih parahnya lagi Joo beberapa kali mencoba membunuh dirinya sendiri karena ulah kalian!" Fredy terbakar emosi. Ia tak habis pikir dengan cinta yang diberikan keluarga dokter ini.

Napas Fredy memburu, beban dalam dadanya terasa terangkat setelah ia berhasil mengungkapkan beban Joo yang ia rasakan. Hanya saja beban itu seolah dimasukkan kembali ke dalam diri Fredy tatkala sebuah tamparan keras menimpa pipinya.

"Berhenti mengarang cerita! Joo putriku sehat akal dan batin. Ia hanyalah anak nakal bukan pengidap bipolar seperti yang kau ceritakan!" geram Ryan.

"Aku berucap jujur, paman. Kau bisa membawa Joo ke psikiater untuk memastikan. Aku sebagai pacar Joo hanya ingin membela mimpinya, memperjuangkan kebahagiaannya agar ia bisa sembuh dari bipolar dan rasa depresinya."

"Putuslah dengan Joo! Membiarkan bersamamu hanya akan menghancurkan masa depannya!" seru Ryan tak mau mendengar setiap penjelasan Fredy.

"Sayang hentikan!" Yura menahan lengan suaminya. Wajahnya sudah berlumur air mata. Yura terhanyut dalam cerita Fredy. "Menanggapi cerita dengan emosi bukanlah hal yang baik. Itu hanya cerita pacar Joo, kita harus membuktikan ucapannya."

"Aku hanya ingin kalian sadar betapa pentingnya kebahagiaan Joo. Biarkan ia memilih pilihan hidupnya. Berhentilah mengatur hidup Joo sebelum penyesalan tak berujung merengut kebahagiaan kalian semua. Pikirkanlah mimpi Joo sebagai pelukis ketimbang dokter." Fredy berdiri, tubuhnya membungkuk singkat. "Terima kasih telah mendengarkan ceritaku. Aku pergi dan akan mengantar Joo pulang dengan selamat dan penuh senyuman."

Fredy pergi. Keluarga Joo benar-benar seram. Semuanya berisi sekumpulan orang berhati dingin-mungkin kecuali ibunya. Pantas saja Joo depresi. Siapa juga sih yang tahan ditekan setiap hari untuk menuruti puncak kejayaan hidup sesuai jalan yang mereka inginkan?

Di lain sisi, suasana di ruang tamu kediaman Joo sangat tegang. Ryan masih bergejolak akibat penuturan Fredy begitupula Rafa yang sedari kemarin menaruh rasa curiga pada Fredy. Sementara Yura terus terisak menenangkan kedua anggota keluarganya.

"Lebih baik kita bawa Joo ke psikiater saja untuk memastikannya." lirih Yura sedih.

***

Langit biru membentang luas menemani mentari memantulkan sinarnya. Cuaca minggu ini sangat bagus untuk berjalan-jalan. Sinar mentari tak terlalu terik. Sesekali semilir angin berhembus bersama gelembung balon di kawasan taman. Beberapa burung merpati saling mengejar di udara.

Geeze mengambil kanvas yang telah berisi lukisan cat minyak dengan objek sebuah air mancur taman dari tiang penyangga lalu bergerak mengeringkannya. Tak ingin kalah Alvin meletakkan kanvas baru di tiang penyangga. Ia menatap ceria Joo yang sedang duduk sambil memegang kuas.

"Apalagi objek selanjutnya putri Jooliet?" goda Alvin melihat senyuman manis yang tak pernah lelah terpatri dari wajah Joo.

"Aku ingin menggambar seseorang yang kucintai." gumam Joo tersenyum malu.

"Aku siap menjadi objek-mu selanjutnya Joo. Aku orang yang kau cintai kan?" sahut Alvin dengan gerakan cepat berdiri tegak di hadapan Joo.

Joo tertawa pelan melihat kelakuan Alvin. "Tentu saja aku mencintaimu Alvin. Kau vitaminku. Tapi.."

"Ya! Berarti Kak Joo tidak mencintaiku!" Alvin menghentakkan kakinya keras-keras kecewa dengan jawaban Joo.

Joo terkikik pelan. Sedari tadi Alvin tak pernah lelah mengundang tawanya. "Aku cinta Alvin. Ketua fansclub-ku dan penyumbang first love postingan instagram-ku.

"Ayam dan cola datang!"

Seruan familiar itu membuyarkan perbincangan kecil Alvin, Joo, dan Greeze. Mereka bertiga secara serempak memusatkan fokus pada seorang Fredy yang berjalan menghampiri mereka dengan dua kantong plastik di tangannya dan menggendong tas gitar di punggungnya.

Alvin berlari menghampiri Fredy. Mengambil dua kantong plastik dari tangan Fredy. "Good Job, bro! Kita semua memang lagi lapar!" semringah Alvin.

Fredy mencebik pelan menanggapi Alvin. Entah kenapa Fredy suka menimpali cuek setiap tindakan ekstra Alvin. Tapi kini hanya satu yang ingin Fredy pastikan untuk pertama kali. Dengan santai ia berjalan mendekati Joo yang masih duduk di depan kanvas.

Cukup banyak lukisan yang terpapar sinar matahari. Mulai dari lukisan abstrak hingga keindahan alam di taman seperti langit biru, bunga bewarna-warni, dan air mancur. Manik mata Fredy bertemu dengan milik Joo. Gadis itu menatapnya penuh binar. Senyumnya mengembang manis.

"Joo, apa kau senang hari ini?"

Joo menganggukkan kepalanya keras-keras lalu tersenyum lebar. "Sangat senang! Terima kasih, Fredy!" pekiknya dengan suara melengking yang sukses membuat Fredy menutup kedua telinganya.

Dari kejauhan Greeze dan Alvin terkikik pelan melihat interaksi Fredy dan Joo. Sangat lucu untuk ditonton.

"Ya kalian! Yuk makan dulu. Ayam gorengnya enak banget nih!" seru Alvin.

Fredy menatap Joo lembut. "Kau harus makan Joo."

Joo menganggukkan kepalanya dan langsung berlari ke arah Greeze dan Alvin yang telah menyantap makanan terlebih dahulu. Fredy senang. Rencananya berjalan lancar meski masih banyak hal yang ia cemaskan dari keluarga Joo terlebih reaksi buruk yang ia terima tadi. Tapi asalkan Joo bahagia ia merasa lebih tenang.

"Pelan-pelan saja makannya, aku tak akan merebutnya. Lagian aku sudah makan disana." Fredy mengusap sudut bibir Joo yang penuh saus.

"Uhuk! Uhuk!"

Greeze pura-pura batuk. Ia geli sendiri memperhatikan tingkah lembut Fredy pada Joo.

"Duh, bibirku juga penuh saus nih, nasinya juga terasa nempel di dagu!" seru Alvin sambil mengunyah makanannya.

"Kalau Alvin yang makan mah, aku sudah biasa!" kikik Fredy memilih meninggalkan ketiga temannya yang makan dan melihat-lihat setiap lukisan Joo.

Lukisan yang indah. Berbeda dari terakhir kali Fredy melihat hasil karya monoton Joo. Kali ini Joo lebih sering memadukan warna kontras dan menyatukan harmoni yang kuat. Fredy tersenyum. Fredy yakin Joo mampu menjadi seniman lukis yang sukses. Pastinya sembuh dari bipolar.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta tanpa kepercayaan
454      340     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
Aku Tidak Berlari
567      407     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Be Yours.
1896      1039     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
IDENTITAS
649      433     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Pangeran Benawa
35277      5794     5     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Itenerary
33928      4293     57     
Romance
Persahabatan benar diuji ketika enam manusia memutuskan tuk melakukan petualangan ke kota Malang. Empat jiwa, pergi ke Semeru. Dua jiwa, memilih berkeliling melihat indahnya kota Malang, Keringat, air mata, hingga berjuta rahasia, dan satu tujuan bernama cinta dan cita-cita, terungkap sepanjang perjalanan. Dari beragam sifat dan watak, serta perasaan yang terpendam, mengharuskan mereka tuk t...
I have a dream
262      213     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
Sibling [Not] Goals
976      537     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
DELUSI
499      346     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.