NEW MISSION
'Misi dalam hidup ini adalah bahagia dan bersyukur.'
Derap langkah cepat menyusuri tangga. Rumah bergaya melankolis dan monochrome ini terasa sunyi. Kedua pasang kaki menapak di atas lantai kediaman Fredy. Mereka adalah Alvin dan Joo. Awalnya Alvin tidak yakin membawa Joo ke rumah Fredy. Tapi karena gadis itu terus mendesaknya, Alvin akhirnya luluh dan dengan ringan hati membawa Joo ke studio pribadi Fredy yang ada di lantai dua.
"Jangan tidur dulu.. Aku mohon.. Fredy, kau harus tetap terjaga.." lirih Joo cemas.
"Kak Joo tenang saja, Fredy itu suka banget bergadang bahkan biasanya sampai nggak tidur." timpal Alvin akan kecemasan Joo.
"Beneran?" cicit Joo khawatir.
Alvin mengangguk. Tangannya meraih kenop pintu lalu menariknya ke bawah. Alvin yakin jika Fredy masih berkutat dengan pekerjaannya di dalam. Senyuman simpul dengan mudahnya terajut di bibir ranum Alvin. Punggung lebar berlapiskan kaos hitam itu masih duduk tegak di posisinya. Kanvas kosong juga masih ada di pusat ruangan studio. Sekarang Alvin tahu kenapa Fredy membeli peralatan melukis itu.
"Fredy, ada yang lagi mencarimu nih!" seru Alvin riang.
"Jangan ngaco deh, Al. Pergi sana ke kamarmu, aku lagi serius, gak ingin diganggu!" sahut Fredy kesal.
Alvin melirik gadis disampingnya. Perasaan kecewa tersamarkan dalam wajah Joo. Sepertinya Joo merasakan sikap kasar Fredy dalam ucapannya padahal sebenarnya bukan demikian, Fredy saja yang sikapnya cuek. "Hei, Fredy! Bersikap lembutlah pada idola nomor satuku ini! Asal kau tahu dia memohon padaku hanya untuk menemuimu,"
Di luar kesadarannya, kedua tungkai Joo melangkah menghampiri kanvas kosong di pusat ruangan. "Kanvas ini.. cat ini.. Kau yang menyiapkan semuanya untukku?" lirih Joo menyentuh tatanan rapi cat minyak.
Suara lemah ini. Getaran samar yang terasa pilu. Fredy merasakan kehadiran Joo. Lelaki yang sedang mendapati hambatan inspirasi itu menolehkan kepalanya ke belakang. Di sana sudah ada Joo yang mengamati peralatan lukis yang ia beli dan juga Alvin yang menyengir kuda di belakang gadis itu.
"Tidak, aku hanya memungutnya di dekat pembuangan sampah. Sayang banget kalau dibuang." dusta Fredy asal.
"Tapi cat ini semuanya masih tersegel." elak Joo tak percaya.
"Kalau itu aku membelinya," Fredy menunjuk kotak cat minyak di genggaman Joo. "Buat apa mungut kanvas kalau nggak punya cat? Rasanya kayak hidup tanpa tujuan yang dibiarkan kosong."
Joo menatap Fredy lirih. Ucapan lelaki itu terasa menyinggung hatinya. Entah apa hubungannya, tapi selama orang menyuarakan topik berat tentang hidup, Joo merasa tak tenang. Hatinya gelisah dan pikirannya kalut.
"Berhenti menatapku seperti itu, kalau mau melukis kau bisa pakai alat-alat itu. Melukislah, aku masih banyak pekerjaan." Fredy membuyarkan fokus utama Joo pada wajahnya. "Kau bisa disini ataupun pergi keluar Alvin." lanjutnya kembali memutar kursi kerjanya ke depan.
"Fredy memang seperti itu, Joo. Biarkan saja." bisik Alvin.
Alvin memilih pergi dari studio pribadi Fredy. Alvin sudah mendengar semua cerita Joo tentang pertemuan keduanya untuk melukis. Sebenarnya Alvin telah lama menanti hal seperti ini. Sahabatnya yang tak kenal baik dengan kaum hawa itu akhirnya bisa berinteraksi dengan mereka. Meninggalkan Fredy dan Joo berdua mungkin bukanlah pilihan buruk.
Bisikan Alvin menguap bersamaan dengan udara. Joo tak menghiraukan keberadaan Alvin. Hati Joo terasa resah, perasaan bersalah menghantuinya, dan sikap acuh Fredy meruntuhkan harapan Joo. Hampa sudah hidup Joo. Ia telah mengecewakan orang lain.
Dengan lemas Joo mendudukkan dirinya di kursi depan kanvas. Tatapan nanarnya mengedar ke sekitar hingga berhenti pada sebuah jarum tajam cukup besar di dekat kardus cat minyak. Joo tersenyum senang. Benda itu mungkin dapat menunjukkan rasa sakit dalam dirinya. Tanpa keraguan Joo mengambil jarum dan menyayatkannya ke lengan bagian bawah.
Jarum telah menancap pada permukaan kulit. Joo meringis pelan seiring dengan tangannya yang menusuk jarum ke bagian terdalam kulit, membentuk sayatan lebar. Aliran darah segar mengucur memenuhi lengan Joo. Dalam diam Joo menangis. Mungkin ini saat yang tepat. Joo mencabut jarum ditangannya lalu bersiap menusuknya tepat pada urat nadinya jika saja--
"Joo!"
Fredy berteriak kencang merampas jarum berlumur darah dari genggaman Joo. Kilatan amarah terpancar dari mata sipit Fredy. Lelaki itu dengan cekatan berlutut di depan Joo, membalut tangan Joo dengan sebuah kain. Jika dibiarkan darah segar milik Joo akan terus menetes membasahi lantai. Fredy harus menghentikan pendarahan yang dibuat oleh Joo.
"Apa sih yang kau pikirkan? Kau masih ingin mati? Bunuh diri di dekatku dan melemparkan semua bebanmu padaku? Kau ingin aku menjadi tersangka membunuhmu?!" marah Fredy tertahan.
"AKU INGIN MATI, TITIK!" jerit Joo histeris menghempaskan tangan Fredy yang ternodai bercak darahnya-membuat kain yang melilit di tangannya lepas. "Hidupku hancur, aku juga tak bisa membuat orang lain mengharapkan kehadiranku, mungkin orang-orang juga sudah muak dengan keberadaanku!"
Air mata Joo berjatuhan membasahi seluruh wajahnya begitupun darah yang menetes memenuhi permukaan lengannya. Fredy memejamkan matanya. Pikirannya juga bisa kalut melihat keadaan Joo sekarang sangat miris dan memprihatinkan.
"Kau pasti senang bukan jika aku tidak kemari? Tidak ada gadis aneh yang mengganggumu. Seharusnya aku tak kemari, aku tahu kau membenciku. Bodoh sekali aku," racau Joo sesenggukan.
"Aku--"
"Kau kira mimpiku itu bisa diremehkan? Kenapa kau memungut kanvas untuk tempatku melukis? Jika dari awal kau tak berniat membantuku seharusnya kau biarkan saja aku mati! MATI!" Joo semakin uring-uringan.
"Ayo ke rumah sakit! Tanganmu harus segera diobati!" Fredy kembali membebat tangan Joo yang terluka.
"Lepas lilitan kainnya, aku ingin--" sekuat mungkin Joo menahan pergerakan Fredy.
"Apa yang terjadi? Kenapa berisik sekali?" Alvin tiba-tiba datang memasuki studio. Joo menundukkan kepalanya dalam. Alvin adalah penggemar Joo. Kesedihan dan keputusasaannya dalam menjalani hidup akan membuat Alvin sedih. Cukup Fredy yang mengetahui sisi rapuhnya, Joo tak ingin menanamkan beban atau kebencian pada orang lain.
"Tidak ada kok, kau tahu sendiri kan dia ini suka berteriak dan bertingkah aneh?" ujar Fredy santai.
Perasaan Alvin menuntunnya untuk berjalan mendekat ke arah Fredy dan Joo. Posisi mereka sangat aneh. Apalagi Fredy yang berlutut di depan Joo. Tangannya menggenggam tangan Joo yang dibebat kain. Ya, Alvin menyadari hal tersebut.
"Oh My God! Tangan Kak Joo kenapa? Kenapa sampai dibebat segala?" heboh Alvin menyingkirkan tangan Fredy dari Joo. Kedua mata Alvin membola tak percaya. "Darah! Sebenarnya apa yang terjadi?!" desak Alvin.
Sebentar lagi semua orang mengetahui sisi rapuh Joo. Bukan lagi Joo si top model, bukan juga si absurd Joo, dan tak lagi menjadi Joo yang penuh aura menyenangkan. Joo benci suasana seperti ini. Ia tak ingin dikasihani. Di keadaan seperti sekarang niatan Joo untuk bunuh diri semakin besar.
Joo mendongakkan kepalanya. Memperlihatkan wajah kusut dan sembab-nya. Joo berusaha meraih jarum yang telah diamankan Fredy di atas meja. Sebelum Joo meraih jarum itu, Fredy terlebih dulu mengambilnya. Fredy menatap Joo dalam-dalam lalu menghela napasnya seiring dengan kepalanya yang tertunduk.
"Jadi begini.." pada akhirnya Fredy memilih menceritakan semua kisah Joo yang ia tahu pada Alvin-tentunya tanpa meminta ijin dari Joo.
Selama Fredy bercerita, Joo tak bisa berhenti terisak. Sakit rasanya mendengar orang bercerita tentang sisi gelapnya, terlebih Fredy bercerita di depan Alvin-salah satu penggemarnya. Bahkan rasa sakit di tangannya tak sebanding dengan rasa sakit mendengar cerita kehidupan pahitnya.
"Kak Joo, nggak boleh bunuh diri. Kak Joo harus tetap hidup. Kak Joo nggak sendirian, meski keluarga Kak Joo menentang mimpi, kakak masih mempunyai Kak Greeze yang selalu menyayangi Kak Joo, penggemar yang selalu mendukung termasuk aku dan Fredy. Kami semua selalu menyukai setiap lukisan yang kakak posting di Instagram." ucap Alvin usai cerita Fredy.
Fredy memelototi Alvin. Apa yang ia bilang? Penggemar Joo? Yang benar saja, kalau mau menghibur seharusnya yang sesuai fakta. Tapi tatapan Fredy tak cukup mematikan bagi Alvin, sahabatnya itu justru menjitak kepalanya lalu mendesis pelan begitu Fredy menatapnya jengkel.
Melihat Joo terdiam membuat Alvin menjadi cemas. Alvin masih terkejut mendengar sisi lain dari diri Joo. Alvin bingung harus melakukan apa. Alvin ragu jika Joo mendengar semua ocehannya barusan. Tatapan gadis itu tampak tak lagi bernyawa.
Alvin tidak bisa bertahan dengan berdiam diri. Ia memutar otaknya, memikirkan cara agar dapat menghibur Joo. Setidaknya membuat tangisnya reda. Alvin melirik Fredy, lelaki itu hanya terdiam menatap Joo. Huh, Fredy memang tak bisa diharapkan untuk menenangkan seseorang yang lagi bersedih.
Sepasang kaki Alvin berlari kecil menuju pintu studio. Penuh senyuman Alvin melangkahkan kakinya. Bukan sekedar berjalan biasa melainkan berlenggak-lenggok layaknya model. Alvin membuat ekspresi wajahnya segenit mungkin.
"Kak Joo, lihat aku!" seru Alvin dengan suaranya yang dibuat-buat.
Joo tak berkutik. Gadis itu masih terlarut dalam pikirannya.
"Kak Joo!" panggil Alvin dengan suara centilnya.
Berhasil. Joo menoleh ke arah Alvin meski wajahnya terlihat kusut.
"Aku cinta Kak Joo!" seru Alvin lantang lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, membentuk sebuah hati yang besar. Tak cukup, Alvin juga memberikan satu kedipan mata andalannya pada Joo.
Tingkah konyol Alvin gagal. Joo masih belum juga tersenyum. Tenang, Alvin masih belum mengeluarkan jurus ampuhnya. Alvin mendekatkan telapak tangannya pada bibirnya kemudian melempar cium jauhnya tepat ke arah Joo.
"Kak Joo cantik deh, tapi lebih cantik lagi kalau tersenyum." Alvin tak pernah lelah berusaha menghibur Joo. "Senyum.." ucap Alvin menunjukkan senyum manisnya hingga kedua matanya tertutup.
Wajah Alvin sangat menggelikan. Fredy yang diam-diam memperhatikan apa yang Alvin lakukan bergidik ngeri dan menatap jijik sahabatnya itu. Berbeda dengan Fredy, tingkah Alvin berhasil membuat Joo mengulum senyum tipis. Alvin mengingatkan Joo akan kebiasaannya saat berjalan memasuki kampus. Joo jadi malu sendiri saat Alvin menirukannya.
"Kak Joo tersenyum! Uh.. Manis banget! Kak Joo cantik banget kalau senyum kayak gini." Alvin melompat-lompat heboh dan tertawa bangga.
Senyum Joo semakin merekah. Tawa cekikian Alvin menularkan virus. Joo tak bisa menahan tawanya hanya dengan merasakan kebahagiaan Alvin. Fredy bangkit berdiri. Ia yakin Joo telah sepenuhnya tenang sekarang.
"Joo, beneran kamu nggak mau menangani lukamu di rumah sakit?" tanya Fredy masih was-was, tatapannya tak bisa lepas dari tangan kiri Joo yang terluka.
Joo menggeleng pelan bersamaan dengan senyumnya yang pudar.
Perubahan raut wajah Joo membangkitkan kepanikan Fredy. Wajah gadis itu kembali murung. Apa Fredy salah bicara? Keceriaan yang Alvin bangun lenyap sudah. Sebelum Joo bersedih tanpa alasan yang jelas, Fredy harus mencoba mencegahnya.
"Melukislah, Joo." kikuk Fredy.
Joo memandang Fredy aneh. Hanya memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Aku akan membukakan cat-nya untukmu. Kau mau warna apa?" Fredy semakin menatap Joo dalam, mencoba menulusuri tatapannya yang terasa hampa.
"Hitam." jawab Joo singkat.
Dengan cekatan Fredy menusuk segel cat dengan jarum yang bersih lalu memberikannya pada Joo. Ya, Fredy tak akan memberikan jarumnya pada Joo. Fredy masih takut jika Joo akan berusaha melukai dirinya sendiri.
"Apa ada warna lain yang kau butuhkan?" tanya Fredy menatap Joo yang tengah menggoreskan kuas di atas kanvas.
"Cie.. Yang kulihat sekarang beneran Fredy? Kok dilihat-lihat boyfriend material banget ya.." goda Alvin giliran merasa jijik melihat perhatian langka Fredy pada Joo.
Fredy menghampiri Alvin yang menyengir lebar. Akan Fredy terkam ganas kucing liar yang mengganggu ketenangannya. Fredy kini telah berdiri di depan Alvin yang tengah memasang senyum konyol. Bagus, Alvin benar-benar bersikap jinak sekarang. Mudah sekali bagi Fredy untuk menjitak kepala Alvin.
"Sana pergi kalau cuma mau alay disini!"
Serangan Fredy tak membuat Alvin berhenti menggoda sahabatnya itu. "Aku mau lihat Kak Joo melukis. Aku harus tetap disini, tak akan kubiarkan kau membuat Kak Joo menangis lagi!" ujar Alvin bergerak mendekat menghampiri Joo.
Gelap. Satu kata yang mendeskripsikan lukisan Joo. Permukaan kanvas sudah hampir tertutup rapat oleh satu warna. Hitam. Warna yang diminta Joo pada Fredy. Salah satu alis Alvin berkerut bingung. Alvin tak mengerti kenapa harus hitam di antara banyaknya warna?
"Selesai.." lirih Joo.
"Apa?! Selesai?!" kejut Alvin.
Joo menatap Alvin bingung. Ekspresi Alvin terlalu berlebihan. Salah memang jika hanya ada satu warna yang menghiasi permukaan kanvas?
"Kak Joo yakin lukisan ini sudah selesai?" tanya Alvin memastikan.
Joo mengangguk. "Iya, inilah yang terpikir olehku saat ini. Hidupku gelap, hidupku kosong, dan hidupku sunyi. Tak ada orang lain yang nyaman bersamaku, semuanya menjauh pergi." Joo mejelaskan.
Mendadak jiwa seni Alvin meledak. Tangan Alvin mengambil kuas dari tangan Joo. Dengan gerakan cepat Alvin membuka beberapa segel cat. Segera Alvin mencampurkan beberapa cat ke dalam palet. Pelan-pelan Alvin menambahkan sesuatu pada lukisan Joo.
"Bulan ini Kak Joo. Ada karena ingin menyinari gelapnya malam dan berbagi cahaya pada bintang-bintang disekitarnya." jelas Alvin menggambarkan sebuah bulan purnama besar pada lukisan hitam kosong Joo.
Tak puas Alvin menambahkan beberapa bintang di sekitar bulan. "Kak Joo harus tahu kalau bintang-bintang ini adalah semua orang yang diam-diam dan terang-terangan menyukai Kak Joo, termasuk aku. Mungkin Kak Joo bisa saja muncul sendirian, tapi sayangnya tidak dengan bintang-bintang ini. Mereka membutuhkan cahaya milik Kak Joo." Alvin mengakhiri sentuhan terakhirnya.
"Seperti ini lebih bagus." Alvin takjub sendiri memandang lukisannya.
Sudah lama Alvin tidak melukis. Terakhir kali yang tersimpan dalam memorinya saat sekolah dasar karena Alvin memilih mengambil sekolah khusus tari setelah lulus. Kebahagiaan Alvin kali ini berbeda dengan sebelumnya, Alvin menyadari Joo tersenyum tulus memandang lukisannya.
"Wow, ternyata kau pandai juga melukis." celetuk Fredy memperhatikan kanvas.
Alvin menyengir lebar. Ibu jarinya mengusap sisi hidungnya. "Apa sih yang Alvin gak bisa?' sombongnya terkikik pelan.
"Alvin terima kasih.." lirih Joo tanpa mengalihkan pandangannya dari kanvas.
"Terima kasih?' bingung Alvin.
"Terima kasih telah menjadi bintangku." gumam Joo pelan.
Tutur kata lembut Joo terasa tulus. Alvin dapat merasakannya. Jiwa Alvin serasa melayang dari raganya. Ini pertama kalinya ia merasa sedekat ini dengan Joo. Iya, selama di kampus Alvin sering berbicara atau bertegur sapa dengan Joo tapi tidak sedekat ini.
"Alay mode on, bintang kalau begitu tolong antar bulan pulang ya!" titah Fredy merasa geli dengan perbincangan dua orang di dekatnya. "Hari sudah malam, saatnya bulan harus menyinari gelapnya malam bersama bintang. Cepat antar bulan ke tempatnya! Sebelum hari berganti!"
Kedua mata Fredy semakin minimalis saja tatkala memicing seperti itu. Alvin tahu maksud Fredy. Fredy sebenarnya ingin ikut bergabung dengan imajinasi yang Alvin ciptakan. Namun Fredy terlanjur salah memasukinya, ia justru berniat membuang imajinasinya jauh-jauh.
"Kak Joo, ayo aku antarkan pulang. Fredy udah ngusir kita nih," ucap Alvin pura-pura marah pada Fredy sambil melambaikan tangannya pada Joo.
"Ayo Kak Joo! Kita buat dunia ini terang dengan kehadiran kita!" ceria Alvin.
Joo terdiam menatap Fredy. Lelaki itu terlihat berbeda. Sikap hangat yang ia tunjukkan saat di tangga darurat dan taman tidak lagi ditemukan sekarang. Padahal Joo mengharapkan Fredy memberinya semangat ataupun sekedar berucap padanya sebelum ia pulang bersama Alvin. Namun selama Joo menunggu, bibir Fredy tetap terkatup, yang ada lelaki itu berjalan kembali ke kursi kerjanya.
"Pulanglah, aku tahu kenapa orang tuamu mati-matian menyuruhmu menjadi dokter. Siapa juga yang mau membeli lukisan jelek itu? Tanpa sentuhan Alvin pasti lukisan itu tak akan hidup!" ujar Fredy membelakangi Joo.
Kata-kata yang Joo tunggu bukanlah yang ia harapkan. Kata-kata semangat yang ia nantikan hanyalah angan semata. Kenyataannya Fredy malah melemparinya dengan kata-kata pedas. Hati Joo yang telah tenang kembali resah. Joo ingin menangis lagi.
"Jangan dengarkan si cebol itu, Joo. Aku tahu lukisanmu bagus, mungkin memang suasana hatimu saja yang sadang buruk sehingga tak maksimal. Kapan-kapan sodorkan saja lukisanmu sesungguhnya pada Fredy biar dia makan ucapannya sendiri!" cercah Alvin menggebu-gebu sambil menarik Joo keluar dari ruang studio pribadi Alvin.
***
Reschedule. Satu kata dari bahasa asing yang membuat Greeze pusing bukan kepalang. Bukan karena masalah arti. Greeze tahu arti dari kata tersebut adalah penataan ulang jadwal. Hari ini terlalu banyak perubahan dan berita mendadak yang diterima Greeze. Beberapa menit lalu Elkie menghubunginya dan memohon agar jadwal liburannya diberikan pada kakaknya. Jujur saja, Greeze tak terima dengan keputusan seenak jidat Elkie tapi gadis itu berhasil meyakinkannya dengan segala alasan jitunya sampai Greeze tak mampu menolaknya.
Tak cukup sampai disitu, kemarin Alvin mengabari bahwa Fredy tak ingin ikut liburan. Bobby juga masih dalam tahap penyembuhan atas penyakitnya. Akan sangat menyayangkan jika kesempatan berlibur seperti ini banyak yang berhalangan hadir. Oh ya, Greeze melupakan Ino-salah satu anggota klub dance-yang juga merelakan voucher berliburnya demi janji kencan yang ia buat dengan pacarnya bertepatan dihari yang sama.
Greeze menutup resleting kopernya. Ia telah selesai berbenah. Lusa, liburan yang ia nantikan datang. Greeze mendudukkan dirinya di tepi ranjang, jari-jemarinya menyapu rambutnya ke belakang.
"Bagaimana ini..? Rugi banget kalau dapat voucher liburan untuk tujuh orang tapi yang dateng cuma lima." gerutu Greeze memijat kepalanya.
Desahan pelan keluar dari bibir Greeze. Gadis itu membanting tubuhnya ke atas ranjang. Langit-langit kamarnya yang bewarna jingga menjadi fokus utamanya. Greeze berpikir keras. Disini ia yang diberi tanggung jawab untuk meng-handle kegiatan tim dance sampai acara berlibur selesai.
Kosong. Tak ada ide yang melintas. Greeze mengalihkan pandangannya. Sebuah bingkai fotonya bersama Joo tengah tersenyum bersama menjadi perhatiannya. Greeze menggulingkan tubuhnya pada nakas dekat ranjang lalu meraih bingkai foto tersebut.
"Bodoh! Harusnya aku mengajaknya!" kesal Greeze pada dirinya sendiri. "Kan akhir-akhir ini Joo kelihatan murung dan banyak masalah, berlibur adalah solusi terbaik!" heboh Greeze menjelentikkan ibu jari dan jari tengahnya.
Tak berselang lama kebahagiaan Greeze terhempas. Kekalutan kembali menyelimuti hati Greeze. "Masih tersisa satu lagi! Siapa ini yang harus mengisi tempat Fredy?" gumam Greeze mendongakkan kepalanya, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya.
Greeze resah. Tubuhnya berguling ke kanan-kiri berusaha meredakan rasa frustasinya. Kakinya menghentak-hentak seprai kasur hingga kusut. "Ngajak siapa lagi? Rejeki banget kalau orang-orang biasa aku berikan voucher liburan ini."
Kepala Greeze menggeleng keras-keras, bibirnya menggeram pelan. Orang itu harus Fredy! Greeze meraih ponsel di dekatnya. Dia sudah bekerja keras, dia wajib merasakan hasil dari pencapaiannya. "Aku harus bisa membujuk Alvin agar membuat Fredy bersedia ikut! Harus!" tekad Greeze mencari kontak Alvin.
***
Dari beberapa bus yang berhenti di halte, bus bewarna biru ini adalah bus terakhir yang beroperasi hari ini. Di balik bus, Alvin dan Joo masih nyaman dalam posisinya. Mereka duduk berdampingan dalam diam. Beberapa kali Alvin mengajak Joo untuk naik bus, namun ia selalu menolaknya dan berkata tak ingin pulang.
"Ini sudah yang terakhir, Kak Joo." tegur Alvin.
"Bintang boleh meninggalkanku sendirian kok, kan aku bisa bertahan tanpa bintang." racau Joo menatap lurus ke depan.
"Tapi bintang ingin ber--"
Dering ponsel Alvin memutus perkataannya. Alvin merogoh saku kemejanya untuk mengambil ponselnya. Nama Greeze tertera di dalam layar ponsel. Kedua alis Alvin berkerut. Tumben sekali kakak kelasnya itu menelepon selarut ini.
"Al, bujuk Fredy sampai mau ikut liburan! Aku nggak mau tau! Pokok Fredy harus pergi berlibur!" sambutan unik Greeze begitu Alvin menggeser warna hijau layar ponselnya.
"Apa?" Alvin meminta pengulangan, maklum saja Greeze terlalu cepat berbicara dan kalau sudah cerewet begini ngomongnya hampir seperti orang-orang yang lagi kumur.
"Fredy harus ikut liburan! Aku gak mau tahu caramu bagaimana, yang jelas dia harus ikut bersama kita. Ada Joo juga!" titah Greeze.
Alvin menjauhkan ponselnya dari telinga. Cercahan Greeze sungguh membuatnya pening. "Fredy bilang--"
"Sudah kubilang aku gak mau tahu, kalau kau sampai nggak bisa ngajak Fredy berlibur, aku bakal menyerahkan tempatku padamu. Ketua klub dance."
Tut!
Sambungan telepon terputus dengan kalimat ancaman. Dasar, Greeze tak memberi kesempatan bagi Alvin untuk berbicara. Penyakit Greeze rupanya kambuh. Brutal. Satu penyakit Greeze yang sewaktu-waktu bisa kambuh dan menularkan imbasnya pada orang-orang disekitarnya.
Ponsel Alvin kembali bergetar. Nomor yang sama. Belum saja Alvin memasukkan ponselnya dalam saku gadis itu kembali memanggilnya. Alvin mendecih sebal. Penuh keterpaksaan ia mengangkat kembali telepon dari Greeze.
"Jangan lupa lusa kita sudah liburan, bersiaplah dari sekarang sekalian ajak Fredy!"
Tut!
Sabar. Ini adalah penampakan Greeze yang sedang brutal. Alvin mengelus dadanya. Ia lupa jika liburan yang dinantikan sudah dekat dan belum ada persiapan apapun.
"Siapa Al?"
Alvin menolehkan kepalanya ke samping kanan. Joo sedang menatapnya lesu menunggu jawabannya. Mungkin Joo merasa ada yang tidak beres dari diri Alvin. "Kak Joo, kalau kamu gak mau naik bus, ayo aku carikan taksi!" Alvin berdiri dari kursi halte.
Joo menggelengkan kepalanya. Tubuhnya enggan beranjak dari posisi duduknya.
Satu helaan nafas resah keluar dari bibir Alvin. Alvin mengacak rambutnya bingung harus bagaimana bersikap pada Joo agar ia pulang tanpa menyinggung ataupun menyakitinya.
"Kak Joo, aku harus segera pulang."
"Aku ikut!"
Kedua netra Alvin melebar. Semangat Joo seketika membara saat ia menyerukan ingin pulang bersamanya.
"Aku nggak mau pulang! Aku ingin ikut denganmu dan bertemu langit!" akhirnya Joo bangkit dari duduknya.
"Langit?" Alvin semakin keheranan.
"Iya, langit tempat kita bersinar terang!"
Dengan bodohnya, Alvin malah menunjuk gelapnya sapuan biru pekat di atas. Alis Alvin naik-turun menatap Joo sesekali menatap langit di atas. Jujur, Alvin tak mengerti maksud dari perkataan Joo.
Joo menghentakkan kakinya sebal. "Ayo pulang ke rumah tadi. Aku ingin bersamamu dan Fredy.." ucap Joo semakin pelan. "Meski dia sering membuatku sakit hati."
Napas Alvin tertahan. Ia baru tahu maksud Joo. Sekarang ia tahu siapa yang dimaksud langit oleh Joo. Alvin cukup pintar dalam menebak jika ia telah menemukan kata kuncinya. "Jadi Kak Joo ingin kita menerangi sikap Fredy yang jutek itu?" simpul Alvin.
Joo tersenyum membenarkan apa yang Alvin simpulkan. Ya, inilah pilihan terakhir Joo. Memutuskan bermalam di rumah Alvin dan Fredy. Sebenarnya Joo ingin Alvin menelantarkannya sendirian di tengah keramaian malam seperti ini tapi Joo yakin Alvin tak akan mungkin meninggalkannya sendiri. Alvin pasti takut jika Joo mencoba melakukan percobaan bunuh diri lagi.
"Baiklah, jika Kak Joo maunya seperti itu, aku juga bisa minta bantuan Kak Joo nanti."
"Bantuan?"
Alvin menarik tangan Joo untuk berjalan pulang. Ini rahasia. Alvin tak akan mengungkapkannya. Alvin hanya tersenyum pada Joo. Ia senang dapat berada sedekat dan senyaman ini dengan idola kampus.
***