TRY AGAIN
'Jangan takut untuk memulai kembali karena semua keberhasilan berawal dari kata mengulang.'
Tut!
Sambungan telepon terputus. Alvin menjauhkan ponselnya dari telinga. Raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Tepat setelah Alvin merampungkan penampilannya, sang ibu tercinta menelepon hanya untuk memberikan dukungan dan semangat atas kompetisi yang ia ikuti. Siapa juga sih yang nggak senang mendapatkan untaian kata semangat dari sang ibu?
Ujung mata Alvin menelisik seluruh penampilannya, sesekali tangannya bergerak merapikan kemejanya yang kusut. Alvin harus segera kembali, pasti teman-temannya sudah menunggu.
Terasa sebuah kejanggalan. Satu kursi yang diperuntukkan untuk peserta-khususnya kursi dari tim dance Phoenix University-kosong dua bangku. Anehnya, ekspresi teman-teman lainnya santai. Alvin yakin satu dari dua bangku itu miliknya tapi siapa pemilik bangku kosong itu? Apa Alvin terlalu berlebihan mengharapkan teman-temannya menunggunya?
Fredy. Alvin baru menyadari bahwa tidak ada sosok Fredy di antara anggota klub dance. "Guys, Fredy kemana? Dia nggak pulang duluan kan?" tanya Alvin mengambil duduk di samping Greeze.
"Entahlah, Fredy menarik Joo pergi saat ia membuat keributan disini. Sepertinya Fredy marah pada Joo," jelas Greeze sedih.
"Marah? "
"Iya, tadi Kak Joo menangis dan berteriak histeris usai penampilan kita. Sepertinya Kak Joo sedang ada masalah." timpal Elkie yang duduk di sisi kanan Greeze.
"Mungkin masalah dengan kakakmu. Bukankah Marcel, cowok dari fakultas bisnis management itu pacar Kak Joo?"
Dalam sekali menjawab Alvin langsung melemparkan serangan pada Elkie. Sudah lama Alvin menaruh rasa curiga pada adik kandung Marcel itu. Alvin yakin sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyinggungnya. Kerja sama mereka dalam tim dance telah usai. Bukan masalah besar bagi Alvin jika akan terjadi perselisihan dengan Elkie nantinya.
"A-apa?" kikuk Elkie terlihat salah tingkah. Sorot matanya tak lagi menatap Alvin.
"Aku dengar-dengar Kak Joo memutuskan kakakmu karena dia telah menyakiti hatinya." Alvin berucap santai.
"Lalu kenapa?" tanya Elkie gelagapan.
"Sudah, Al. Jangan percaya sama gosip anak-anak kampus." lerai Greeze semakin pusing mendengar perdebatan kedua juniornya.
"Iya nih, jurinya sudah siap ngumumin pemenangnya tuh," rekan dance lainnya ikut menimpali.
Elkie dapat bernapas lega sekarang. Para seniornya menghentikan aksi Alvin yang menginterogasinya. Ya, meski tak sepenuhnya lega karena Elkie masih merasakan lirikan tajam Alvin. Tiap hari hidup Elkie semakin mendebarkan saja. Sikapnya yang dipantau jauh oleh Rachel membuatnya mau tak mau terus menabur benih kebencian pada Joo.
"Ok, untuk yang pertama terungkap adalah juara dua!" antusias salah satu juri yang mengumumkan juara kompetisi dance. "Selamat! Juara dua kami berikan pada Phoenix University dengan penampilan Yinyang Dance!"
Suasana tegang dalam deretan kursi tim dance Phoenix University seketika mencair. Mereka semua terkejut bukan main. Latihan sepanjang hari sampai larut malam yang telah menjadi rutinitas sekarang membuahkan hasil. Greeze sebagai pelatih dan pengarah gerakan merasa terharu. Tubuh Greeze diluar kesadarannya memeluk semua teman-temannya.
"Kita menang, guys!"
"Gak sia-sia kita latihan kerja lembur bagai kuda." kekeh Alvin menyengir lebar.
"Dimohon tim dari Phoenix University naik ke panggung untuk menerima penghargaan!"
Suara MC membuyarkan pelukan haru tim dance. Pembimbing mereka yang berdiri di dekat panggung melambaikan tangannya, menyuruh agar anak didiknya segera naik. Anggota klub dance saling melempar senyum bahagia lalu bergerak naik panggung.
***
"Bagaimana dengan hari ini?"
Pertanyaan itu Ryan tujukan pada putra sulungnya-Rafa. Saat ini keduanya bersama Yura tengah duduk di ruang keluarga. Setelan jas putih masih melekat di tubuh mereka. Sepertinya keluarga dokter ini baru saja pulang dan langsung beristirahat.
"Baik-baik saja."
"Apa Joo datang di pelatihan KKN?" tanya Yura tersirat rasa antusias.
Rafa menggeleng pelan. Mungkin gerakannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Yura.
"Tuh kan, dia pasti sibuk melukis karena peralatan yang kau belikan! Seharusnya kau hancurkan saja mimpinya biar dia mau tak mau menjadi dokter seperti kita!" tegas Ryan menyesali keputusan yang diambil Rafa.
Serba salah. Keputusan yang diambil Rafa tak berjalan lancar. Rasanya setiap perbuatannya di keluarga ini selalu dianggap salah. Kemarin Joo sudah marah dan membencinya karena kemunafikannya. Padahal dibalik itu Rafa ingin Joo tetap dapat melukis meskipun akan mengikuti jejak keluarganya untuk menjadi dokter, sekarang Ryan justru menyalahkan tujuan baiknya.
"Aku hanya tidak ingin Joo merasa stress, ayah. Kita harus bersabar, sulit memang untuk meluluhkan sikap keras kepala Joo. Sikap itu juga gen dari ayah."
"Joo tak akan ikut KKN jika kita terus bersabar. Kau mau adikmu lulus di usia tua?" Ryan tak setuju. ''Lusa hari terakhirku bekerja sebelum pensiun. Setidaknya aku ingin putriku yang menggantikan tempatku nantinya. Aku ingin mempertahankan keluarga dokter yang nenekmu buat!"
"Iya, betul itu kata ayahmu. Teman-teman mama juga selalu bertanya soal Joo. Mereka sangat menantikan Joo dapat menjadi seperti kita, Rafa. Memakai jas putih dan menyelamatkan nyawa orang."
Ini sebuah tekanan. Kedua orang tua Rafa memintanya untuk membuat Joo segera KKN apapun caranya. Pikiran Rafa terus bekerja, mencoba memikirkan jalan keluar yang terbaik. Ia disini adalah pihak netral. Rafa tak ingin menyakiti adiknya dan juga orang tuanya.
"Apa kalau Joo masih nggak mau ikut KKN, kita nikahkan saja dia dengan dokter-dokter muda yang ada di rumah sakit? Usia Joo sudah cukup dewasa dan jika ia menikah bisa menggenapkan status keluarga dokter." saran Yura yang terdengar gila.
"Ibu.."
"TIDAK MAU!"
Joo berteriak lantang. Dirinya sudah tak tahan mendengarkan perbincangan tegang keluarganya. Mereka semua bagaikan monster dalam hidup Joo. Mengatur dan mengekang hidup Joo. Ia benci hal semacam itu. Sangat benci.
"Joo, sejak kapan kamu berdiri disitu?" cemas Rafa begitu menyadari Joo sudah berdiri di penghubung ruang keluarga dan ruang tamu.
Angin lalu membawa ucapan kecemasan Rafa pergi jauh. Joo tak menyahuti kecemasannya. Kedua kaki Joo berdiri tegak dan bibirnya tertutup rapat. Wajah Joo merah padam, menahan amarahnya agar tidak meluap.
Sudut mata Joo terasa memanas. Joo tak bisa terus berdiri di depan keluarganya. Tanpa meninggalkan sepatah kata apapun, Joo berlari menaiki kamarnya. Rencana Joo untuk menyetujui permintaan keluarganya gagal. Joo sudah terlanjur kecewa dengan sikap mereka.
"Ada apa dengan Joo? Apa dia mendengar apa yang kita bicarakan?" heboh Yura.
Ryan mengusap wajahnya. Hembusan napas pelan lolos dari bibirnya. "Entahlah, aku tak pernah mengerti jalan pikirnya. Selama ini aku hanya ingin dia memiliki kehidupan yang baik di masa mendatang."
"Ayah dan ibu membuat Joo semakin tertekan."
Hening. Baik Ryan maupun Yura tidak menggubris gumaman kecil Rafa. Mereka melayang dengan pikirannya masing-masing. Sulit memang untuk menjelaskan sikap Joo pada kedua orang tuanya yang telah menuntut lebih. Sekarang ini Rafa lebih sering memikirkan perasaan Joo yang pastinya lebih banyak menyimpan luka.
***
Malam semakin larut, keadaan diluar juga semakin tenang. Di dalam studio pribadinya, Fredy sibuk memantau komputernya, sesekali jemari lentiknya megutak-atik alat composing musik. Fredy sangat serius. Ya, inilah tempat dimana Fredy menghabiskan waktu sepanjang hari. Tempat ia mencurahkan semua kegemarannya.
Sebuah studio pribadi milik Fredy. Sebenarnya ruangan ini hampir sama dengan ruangan klub dance di kampus. Sekeliling ruangan dilapisi cermin kecuali sisi depan Fredy duduk yang dipasang sebuah jendela kaca berukuran besar yang menghubungkan langsung dengan keadaan luar. Jendela itu menjadi pencerahan tersendiri bagi Fredy. Tak hanya itu, studio pribadi Fredy bisa dibilang memiliki alat yang lengkap. Disana ada grand piano putih besar yang berdiri disisi kanan ruangan bersama dengan gitar akustik di sampingnya. Dibelakang piano juga ada drum. Tak lengkap, di dekat meja kerja Fredy ada rak-rak buku yang tinggi menjulang. Sebegai pelengkap juga ada TV LED beserta sound di atas. Pokoknya siapa yang masuk dalam studio pribadi Fredy pasti akan lupa waktu dengan semua fasilitas yang ada. Salah satunya Alvin.
"Kok ada kanvas?"
Sesuatu yang terasa asing menyambut kedatangan Alvin. Ada gerangan apa kanvas kosong berdiri di atas kayu penyangga. Apalagi kanvas itu diletakkan di pusat ruang studio. Alvin mendengus sebal. Rupanya sahabatnya itu sudah masuk ke dunia yang ia buat. Alvin kemudian memutuskan menghampiri Fredy.
"Kau bikin lagu lagi?"
Fredy tak menjawab. Kedua matanya terpejam. Jari lentiknya mengetuk teratur di meja. Kedua telinganya disumpal oleh headset. Huh, kalau sudah begini Fredy memang sulit diganggu. Pada akhirnya Alvin lelah sendiri dan memilih duduk di sofa berukuran sedang dekat meja kerja Fredy.
"Oh ya!" tiba-tiba Alvin berseru lantang. Ia berdiri menghampiri Fredy yang menghentikan pekerjaannya. "Kau tadi kemana setelah kita tampil? Kudengar kau pergii bersama Joo? Apa yang kalian lakukan berdua sampai nggak kembali?"
Binar tajam Fredy memantul dalam tatapan penuh penasaran Alvin. Sahabatnya yang satu ini selalu berisik dan tak bisa berlama-lama tenang ataupun diam. Fredy hanya menatap Alvin. Hati dan pikiran Fredy tak ingin terbuka untuk menceritakan kejadian yang telah berlalu bersama Joo.
Telunjuk Alvin mengarah ke depan wajah Fredy. "Kau tahu?" Alvin tersenyum lebar. "Tim dance kita menang! Kita juara dua, Fredy! Wow-nya lagi kita dapat voucher liburan ke Bali selama tiga hari dua malam!" heboh Alvin melompat-lompat.
Fredy terdiam. Wajah imutnya tak menunjukkan kebahagiaan sedikitpun. Fredy justru kembali fokus dengan pekerjaannya. Berita menggembirakan seperti itu tak bisa membuat sosok jenius seperti Fredy tersenyum.
"Fredy, kau nggak suka tim dance kita menang? Kita bakal liburan lho.. LI-BU-RAN!" Alvin menekankan setiap kata yang ia ucapkan guna menyakinkan Fredy, terlebih di akhir kalimatnya
"Kenapa bukan uang saja hadiahnya?" kecewa Fredy.
Alvin memutar bola matanya malas. Apa sih yang dipikirkan Fredy? Kalau dari sudut pandang Alvin lebih baik liburan daripada uang. Iya sih, uang lebih bermanfaat tapi bukankah dengan liburan dapat mempererat hubungan antar anggota klub dance dan menyegarkan pikiran?
"Jadi kapan liburannya?" kekeh Fredy melihat wajah kebingungan Alvin.
"Minggu depan, tanggal dua puluh enam.” jawab Alvin dengan polosnya.
Fredy memiringkan kepalanya, menimang-nimang aktivitasnya di hari itu lalu menggeleng pelan. "Aku nggak bisa ikut, aku harus menyelesaikan proyek lagu yang kubuat."
Wajah sumringah Alvin luntur. Lelaki itu mengerucutkan bibirnya sebal. "Ya! Setiap hari kerjaanmu bikin lagu aja sih! Buat siapa nantinya lagu yang kau buat? Kau tak pernah mengeksplor kemampuanmu, Fredy!" Alvin menghela napasnya sejenak. "Lebih baik kau refreshing dengan tim dance! Ke Bali!"
"Hei, gini-gini aku mau bikinin lagu untuk salah satu artis pendatang baru yang digadang-gadang bakal sukses!" protes Fredy tak terima. "Sudahlah, kau nggak mau bersih-bersih dulu?"
"Sungguh?! Siapa kalau boleh tau? Pasti penyanyi itu Alvin Renando." heboh Alvin.
Fredy menggeleng-gelengkan kepalanya, Alvin terlalu percaya diri. "Mandi dulu gih, kau nggak gerah habis nge-dance dan beraktivitas seharian di luar?"
"Kau lupa seorang Alvin tak mengenal kata lelah?" Alvin menyengir lebar. "Kayaknya aku ganggu banget nih, yaudah deh aku mandi dulu!" tak lama kemudian Alvin berjalan keluar dari studio pribadi Fredy.
Konsentrasi Fredy kembali. Studio pribadinya kembali mendapatkan ketenangan. Tak ada si perusuh yang tak pernah lelah mengganggunya. Segera Fredy kembali fokus dalam kunci-kunci tangga nada yang ia buat. Fredy sangat suka memproduksi lagu tak peduli dengan tubuhnya yang kelelahan sehari ini.
***
Pagi-pagi sekali Joo sudah siap berangkat ke kampus. Entah habis mimpi apa, tiba-tiba Joo yang setiap saat malas pergi ke kampus jadi bersemangat 45. Joo tak sabar ingin bertemu dengan Fredy. Sejak Fredy menenangkannya, Joo merasa masih memiliki harapan dalam dirinya
Masih sama dengan hari-hari sebelumnya, Joo dengan pakaian rapi dan modis berjalan melewati kedua orang tuanya yang sedang mengisi perut dengan pasokan makanan bergizi. Tungkai Joo melangkah keluar rumah dan pandangannya menatap lurus meski sorot matanya terkesan kosong.
SET!
Sebuah uluran tangan membentang, menghalangi jalan menuju pintu keluar. Tungkai Joo dengan sendirinya berhenti. Joo menatap datar Rafa yang berdiri di dekat pintu. Joo memutar bola matanya malas, firasat Joo sudah tak tenang akibat melihat wajah rupawan Rafa. Detik-detik musibah besar akan terjadi.
"Good! Kamu tahu banget kalau kakakmu ini gak suka menunggu!" sebelum terlihat tanda-tanda Joo akan melarikan diri, Rafa lebih cepat menarik tangan Joo untuk keluar.
"Ayah, ibu, aku akan buat anak bandel ini jadi anak patuh! Kami berangkat!" seru Rafa menahan tawanya sambil menolehkan kepalanya ke belakang-menatap kedua orang tuanya yang tersenyum mendukungnya.
Sedikit gerakan kasar, Rafa berhasil membuat adiknya masuk ke dalam mobil sekaligus memakaikan sabuk pengaman untuknya agar tidak kabur. Jeritan dan sumpah serapah Joo memenuhi mobil. Rafa membuka jendela di kursi pengemudi dan juga kursi disampingnya.
"Kak turunkan aku! Aku harus ke kampus!" teriak Joo tak peduli dengan orang-orang di sepanjang jalan bisa memandangnya sinis.
"Ngapain juga ke kampus, sekarang kamu tuh tinggal pelatihan KKN!" Rafa tak akan mudah untuk dikibuli.
"Aku dapat tugas tambahan, harus dikumpulkan hari ini juga!"
"Wah.. wah.. adikku tercinta ini ternyata jago juga kalau urusan bohong," kekeh Rafa memutar setirnya perlahan.
Joo memutar kepalanya ke samping kiri, mengernyitkan dahinya tak mengerti.
"Aku sudah urus semua tugasmu dari dosen. Kau sendiri juga tahu kan?" Rafa mengerling nakal, ia sangat suka menggoda Joo.
Joo memukulkan punggungnya ke bantalan kursi. Ia benci pada kakaknya. Rafa terlalu mudah untuk menghancurkan rencana Joo. Jika seperti ini Joo sudah lemas, ia tak bisa melarikan diri dari semester KKN yang menyeramkan.
"Aku akan menggelinding bebas, aku tak mau ke rumah sakit!" geram Joo mencoba membuka pintu mobil tapi--
"Sudah kukunci pintu mobilnya. Kau tak bisa keluar Joo. Nikmati saja.."
Oh My God! Joo telah kehabisan cara untuk kabur. Tak banyak hal yang bisa dilakukan di dalam mobil. Joo mengacak rambut lurusnya hingga sedikit kusut, ia menggigit bibirnya menahan emosi. Di sampingnya, tangan kiri Rafa sibuk mengutak-atik tape radionya. Mencari sebuah lagu yang menyenangkan untuk menemani perjalanan mereka.
"Banyak kok teman dari kampusmu yang ikut pelatihan di kakak." ungkap Rafa.
Joo membuang mukanya menatap luar jendela. "Whatever!”
Lagi-lagi Rafa hanya terkekeh. Melihat wajah kusut Joo seolah hiburan tersendiri baginya. Lebih baik melihat wajah kusut karena marah seperti ini ketimbang wajah kusut karena bekas kesedihan dan tangis. Entah kenapa firasat Rafa hari ini terasa bagus.
***
Dua pekan sudah hubungan Marcel dan Joo semakin renggang. Tak ada kabar, tak pernah tatap muka, dan tak pernah sedikitpun Marcel melihat Joo di area kampus. Marcel merasa resah. Ia masih mencintai Joo. Sungguh. Hari-hari Marcel terasa hampa tanpa Joo.
Sekarang ini Marcel sedang berjalan beriringan bersama Elkie. Hanya kesunyian yang ada. Kakak beradik itu sama sekali tak berbicara sepatah katapun sejak memasuki kampus. Sampai sekarang ini Elkie merasa canggung jika bersama kakaknya. Elkie merasa bersalah telah mencampuri hidup Marcel tanpa sepengetahuannya.
"Kak Marcel!" panggil Elkie mencoba membuang jauh-jauh kekhawatirannya.
Dehaman berat Marcel menjawabnya.
"Lusa aku akan berlibur! Tim dance kami menang juara dua di kompetisi kemarin!" girang Elkie bersemangat.
Marcel tak bergeming berarti. Ia hanya mendengar setiap ucapan bernada riang Elkie tanpa berniat untuk menimpalinya. Sejak perdebatan hebatnya dengan Joo di lorong klub ekstra, Marcel menjadi lelaki yang dingin bahkan jarang sekali berbicara.
Sekelebat bayangan Joo tiba-tiba melintas dalam benak Marcel. Bukankah Joo sering terlihat bersama anak-anak klub dance? Mendadak Marcel menjadi tertarik dengan topik yang dibahas Elkie. Ini bisa jadi kesempatan bagi Marcel untuk memperbaiki hubungannya dengan Joo.
"Liburan dimana? Kau tega nggak ngajak kakakmu yang super tampan ini?"
Elkie mengacungkan jari telunjuknya. "Ke Bali, tiga hari dua malam!" langkah Elkie memelan, Elkie mendongakkan kepalanya, menatap wajah Marcel. "Kakak mau gantiin posisiku disana? Aku tak begitu tertarik dengan liburan itu kok,"
Marcel menghentikan perjalanannya. Tangannya menahan langkah Elkie. Marcel merasa ada yang aneh dengan Elkie. Untuk pertama kalinya adiknya itu menyerahkan kesempatan beharga dengan mudah kepadanya. Apa Elkie tak ingin menikmati hasil kerja kerasnya dengan teman-temannya? Dalam hati Marcel juga tak terhasut apapun untuk menggantikan liburan Elkie. Marcel hanya ingin tahu rincian dari liburan klub dance.
"Kau siapa?" tanya Marcel mengambil langkah mundur, menjauhi Elkie.
Kedua bola mata Elkie terbelalak. Sikap kakaknya terlalu berlebihan. Elkie menghapus jerak yang diciptakan Marcel. "Aku serius jika kakak mau gantiin posisiku. Disana ada Kak Joo. Kakak bisa liburan bersamanya. Melihat kakak setiap hari bersikap cuek membuatku sedih. Aku ingin kakak kembali bahagia dan bersikap hangat pada semua orang seperti dulu."
"Kenapa?" tanya Marcel tak sepenuhnya percaya.
Netra Elkie terpejam cukup lama. "Mungkin terdengar munafik, tapi mau bagaimana lagi. Karena aku tahu, hanya Kak Joo lah sumber kebahagiaan kakak." Elkie tersneyum kikuk tak bisa mengontrol kadar emosi dalam hatinya.
Marcel termenung. Pikirannya meresapi setiap kata-kata Elkie. "Kau nggak tahu aku dan Joo sudah putus?" Detik berikutnya Marcel menggeleng pelan. "Bukan, maksudku Joo yang memutuskanku sepihak."
Lengkungan kurva ke atas tersimpulkan dari bibir Elkie. Elkie tak menyahuti pertanyaan Marcel. Elkie tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Di sisi lain Elkie tak ingin berbohong tapi di suatu alasan, Elkie merasa takut.
Elkie meringis pelan. "Kak aku gak bisa lama-lama lagi, mata kuliah bakal dimulai nih," langkah Elkie kembali terajut, kali ini lebih kencang. "Aku akan kasih info jika Kak Joo ikut dan meminta pergantian orang pada liburan!"
Tubuh Elkie bergerak menjauh dari Marcel. Senyumnya masih terpatri jelas menghiasi wajahnya. Elkie melambaikan tangannya pada Marcel. Gambaran yang Elkie lukiskan di wajahnya sekarang adalah rekayasa. Elkie tak sepenuhnya bahagia, ia menderita seorang diri dan memendamnya dalam-dalam di lubuk hatinya.
Jarak sudah semakin jauh. Elkie segera membalikkan badannya ke dapan. Semua raut bahagia Elkie pudar dalam sesaat, hitungan detik mungkin. Elkie tak menemukan kebahagiaannya, ia merelakan kebahagiaannya demi orang lain.
SRET!
Di persimpangan lorong, seseorang dengan gerakan cepat menarik tangan Elkie hingga terhempas menghantam dinding. Elkie meringis pelan.
"Elkie, apa yang kau lakukan?"
"Apa yang kau bicarakan dengan kakakmu tadi? Kau memberikan waktu liburanmu pada Kak Marcel agar dapat bertemu Joo?"
Dia lagi! Elkie kenal baik suara halus mencengkam ini. Pemilik dari suara itu adalah Rachel. Elkie lelah. Ia tak mau menghabiskan waktunya hanya untuk berselisih dengan Rachel. Elkie sudah tak peduli lagi mau Rachel sahabatnya atau tidak. Yang Elkie utamakan adalah bagian dari keluarganya daripada teman busuk seperti Rachel.
"Bukan urusanmu, Rachel. Kak Marcel keluargaku, suka-suka mau aku berikan voucher liburanku padanya," sinis Elkie menghempaskan tangan Rachel kasar.
Rachel menegang. Baru kali ini seorang Elkie menentangnya. Tak ada yang aneh memang. Usia mereka sepantaran dan tak ada yang melanggar norma tapi.. Rachel merasa sakit hati menatap Elkie. Wajah kalem Elkie memerah tatapannya setajam belati.
"Berhenti suruh aku ini itu untuk mendekatkanmu pada kakak! Jika kau seperti ini terus aku tak akan pernah menyesali memutus tali persahabatan kita." amarah Elkie tersulut.
Elkie tertawa hambar. "Ternyata benar ya, mencari musuh itu lebih gampang daripada mencari teman." Jari telunjuk Elkie terangkat mengarah pada wajah Rachel. "Bahkan sahabatpun bisa jadi musuh."
Kacau sudah. Rachel tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ucapan Elkie tiap hari semakin melukai hati Rachel. Sikap kasarnya kian menyayat permukaan hatinya. Kedua mata Rachel terpejam. Rachel harus bisa bertahan. Sekuat mungkin Rachel membuka matanya meski terasa berat. Rachel harus kuat.
"Elkie, kau jahat!" seru Rachel melengos pergi berjalan melalui Elkie.
Jiwa Elkie yang masih terselubung kemarahan tak rela jika Rachel pergi begitu saja. Seperti yang Rachel sering lakukan pada Elkie, gadis itu tak segan menarik kasar tangan Rachel yang berjalan terburu-buru.
"Jangan bersikap seolah kau yang tersakiti, disini kau lah yang menyakitiku." Elkie membanting tangan Rachel lalu memilih mengakhiri pertemuannya dengan seseorang yang tak diinginkannya.
Tanpa Elkie ketahui di belakang Rachel terdiam menatap kepergiannya. Bibir berlapis lipstik blood red itu menyuarakan nama Elkie. Sangat lirih. Mungkin hanya bibirnya yang berucap tanpa suara. Bayangan punggung Elkie terlihat buram. Kepala Rachel terasa berat dan--
BRUK!
Tubuh Rachel terjatuh. Dengan sisa tenaganya, Rachel menjerit meminta pertolongan, tapi yang keluar dari bibir gadis itu hanyalah rintihan lemah. Tangan lemas Rachel meremas rambutnya. Kepalanya sakit seperti dipukul beton berkali-kali. Kelopak mata Rachel sudah tak mampu lagi membuka. Gelap. Kesadaran Rachel hilang. Tubuh Rachel terkapar tak berdaya di sunyinya lorong fakultas kedokteran.
***
Seorang diri Fredy berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Panasnya mentari masih terasa terik dan menyengat. Pakaian baseball membalut tubuhnya. Selama menunggu keputusan dosen tentang pengajuan journal-nya, Fredy memang tak banyak disibukkan dengan kegiatan di kampus. Lelaki itu sering kali bermain baseball ataupun futsal jika merasa kosong.
Di halte seberang jalan terlihat renggang tak banyak orang yang duduk disana-begitupun dia masih belum tampak disana. Fredy menahan napasnya. Jujur saja Fredy tak suka menunggu. Hanya saja menunggu yang akan dilakukan Fredy ini juga terjadi karena keluputannya. Fredy lupa menanyakan jadwal kuliah Joo. Fredy baru sadar jika keduanya di fakultas dan semester yang berbeda. Parahnya lagi Fredy tak memiliki kontak Joo maupun Greeze. Ah, Joo memang selalu merepotkan Fredy.
Lingkar karet menyumpal kedua telinga Fredy. Lelaki itu kini menyandarkan lengannya di tiang halte bus. Bus sudah datang tapi orang yang ditunggunya belum kunjung datang. Bagaimana ini? Haruskah Fredy tetap menunggu Joo atau pergi pulang? Fredy bimbang.
Fredy menolehkan kepalanya ke belakang. Kursi halte bus telah kosong, mungkin semua orang yang duduk telah naik bus. Keadaan di sekitar Fredy tak menunjukkan keberadaan Joo. Fredy menganggukkan kepalanya, tungkainya bergerak menaiki bus. Sudah Fredy katakan bahwa ia benci menunggu.
***
Decitan tempat tidur berjalan memberikan jeda setiap orang dalam ruangan UGD. Seorang pasien baru datang dengan keadaan kritis. Dengan lemas Joo menutup pintu. Joo tak tahan berada dalam ruangan ini. Ingin rasanya Joo menangis sekarang. Rasa sesak, kepanikan orang-orang disekitarnya, bau khas rumah sakit menjadi salah satu kebencian Joo akan profesi dokter yang dituntut keluarganya.
Pelan-pelan Joo menangkap seorang gadis terbaring tak berdaya di atas kasur. Yang Joo dengar selama perjalanan, gadis ini ditemukan di kampusnya sudah dalam keadaan tak sadarkan diri tanpa ada saksi yang melihat kronologis kejadian.
"Denyut nadinya lemah, alat-alat vitalnya tak stabil. Kita harus melaksanakan penanganan khusus!" tegas Rafa yang kebetulan menangani si pasien.
Bersama tim pelatihan KKN yang lain, Joo berdiri menyaksikan proses penyelamatan gadis itu. Rafa dengan cekatan memeriksa begitupun dengan para perawat dan teman-teman Joo yang mengambilkan beberapa alat yang diperlukan. Di belakang, Joo tak fokus, pikiran Joo melayang. Joo ikutan panik. Ia melupakan janjinya.
Pikiran Joo resah. Sudut matanya melirik beberapa orang yang sibuk memeriksa pasien. Di dalam ruangan itu juga ada Rafa yang sedang mengejutkan jantung pasien dengan alat kejut listrik. Ini mungkin kesempatan bagus. Perlahan Joo membuka kenop pintu. Pelan, sangat pelan, Joo berjalan keluar dari ruang UGD.
Setelah dirasa tepat Joo menutup pintu. Joo tanpa kendali mendorong pintu yang mengundang bunyi cukup keras. Satu kata umpatan lolos dari bibir Joo. Sebelum tertahan oleh Rafa, segera Joo berlari kencang. Joo harus keluar dari rumah sakit. Joo tak tahan berlama-lama disini.
"JOO!" gema sebuah suara berat dari dalam.
***
Peralatan lukis yang cukup memadai belum juga tersentuh. Meskipun hanya sebatas kanvas putih berukuran sedang, satu paket cat air bersama kuas dan palet. Jarang sekali Fredy membuang uangnya untuk membeli benda yang ia tak bisa memakainya dengan baik. Tangan Fredy terulur memegang kayu penyangga kanvas lalu tersenyum kecut.
"Siap-siaplah nasibmu akan berakhir mengenaskan. Aku akan membuangmu besok."
Fredy berjalan menuju meja kerjanya. Setiap hari dalam hidup Fredy adalah kesibukan. Seluruh anggota tubuhnya fokus membuat sebuah musik yang menyenangkan. Fredy ingin jadi musisi hebat yang bisa menghasilkan karya menyegarkan dalam berbagai konsep.
"Mungkin untuk lagu selanjutnya bisa bergenre ballad." gumam Fredy asyik dengan kertas-kertas berisikan lirik lagu dan kunci-kunci nada.
***
"Al, aku sangat berterima kasih padamu karena selama ini kau telah banyak mem-bantuku."
Alvin mengerutkan dahinya, menatap Greeze yang berjalan lurus di sampingnya. Pandangan gadis itu selaras dengan langkahnya. Sikap Greeze aneh hari ini. Sangat aneh. Cara bicaranya yang biasanya blak-blakan cenderung kasar berubah menjadi manis dan halus. Makhluk apa yang sebenarnya merasuki tubuh Greeze?
"Aku sudah resmi keluar dari klub dance. Senin depan aku akan berangkat KKN, jadi aku harus banyak belajar dan fokus sekarang." ungkap Greeze tersenyum tipis.
"KKN?" bingung Alvin.
Greeze tertawa renyah. "Kelihatan muda banget ya, sampai kau nggak percaya aku akan berangkat KKN?'
Hari ini tingkat kepekaan Greeze memang sangat tinggi. Alvin saja sampai takut karena sikap Greeze yang terasa aneh baginya. Memang benar, Alvin tak menyangka jika Greeze-kakak seniornya-akan segera menjalankan tugas KKN-nya. Kalau begitu Alvin juga tak memiliki banyak kesempatan mengusili Greeze ataupun memandang wajah idola nomor satunya. Siapa lagi kalau bukan seorang Jooliet Maharani.
Tunggu, orang yang dipikirkan Alvin ada di sana. Iya, jauh di dekat gerbang masuk kampus. Siluet gadis yang sedang berjalan mendekat di sana adalah Joo. Alvin menyimpan dengan baik mengenai proporsi tubuh Joo dalam ingatannya. Apa yang dilakukan gadis itu hingga belum juga pulang?
"Ish, sok malu-malu lagi sekarang," Greeze memukul pelan lengan Alvin.
"Al, antarkan aku ke rumah Fredy. Please, help me!" heboh Joo mengejutkan Alvin dan Greeze. Begitu berhenti Joo langsung berbicara. Peluh dengan lancar membanjiri pelipisnya, napas Joo juga sudah tak teratur.
Alvin mendadak ikut panik. Wajah Joo memelas, melihatnya Alvin jadi tak tega. Sementara Greeze disampingnya merasa ada yang ganjil dengan sikap Joo. Ya, akhir-akhir ini Greeze merasa Joo lebih sering bersama Fredy-teman barunya-ketimbang bersamanya.
"Ayo cepat!" seru Joo tak sabaran.
***