Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

ARE YOU READY? 

 

'Semua hal membutuhkan kesiapan, begitu pun untuk memulai sesuatu baru dan bangkit dari keterpurukan.'

 

"Elkie!"

Di tengah padatnya orang yang berlalu lalang melewati koridor, seorang gadis dengan rambut ikat kuda berhenti. Tatapannya mengedar ke sekeliling, mencari asal sumber suara. Suara yang terdengar akrab di telinga Elkie.

"Elkie, aku ada disini!"

Seorang gadis bersurai pendek dan bertubuh semampai menepuk lengan Elkie. Gadis itu tersenyum manis pada Elkie. Akan tetapi tatapannya tak semanis senyumnya.  Tatapan gadis itu-Rachel-tajam seakan ingin menerkam mangsanya membuat Elkie refleks mengambil satu langkah mundur.

"Bagaimana, Kak Marcel sudah putus dari Joo?" tanya Rachel tanpa basa-basi.

Pertanyaan yang sudah tertebak dalam batin Elkie terucap sudah. Ingin rasanya Elkie meluapkan seluruh emosinya begitu melihat wajah buruk rupa dalam topeng cantik di depannya. Semakin Elkie menuruti setiap perintahnya, gadis itu semakin tak tahu diri. Persahabatan yang seperti ini sudah tak bisa dipertahankan.

Tapi bagaimana pun Elkie ingin marah, ia tetap tak bisa menggambarkan emosinya dengan baik. Refleks tubuhnya sangat bertentangan dengan kata hatinya. Itulah satu-satunya hal yang Elkie benci dari dirinya. Dengan suara lirih Elkie menjawab. "Sudah, Kak Joo sudah memutuskan Kak Marcel."

"Terus?" Rachel seakan meminta penjelasan lebih.

"Kakak nggak mau putusin Kak Joo." jawab Elkie memberanikan diri menatap sorot mencengkam Rachel.

Mata lebar Rachel memicing, tangannya meraih pergelangan tangan Elkie lalu meremasnya pelan-pelan hingga kuku panjangnya menggores lapisan epidermisnya. "Pantas saja aku masih melihat Kak Marcel ngejar-ngejar Joo. Bahkan kakakmu yang tampan itu memeluk si jalang itu di depan umum! Kau ini kalau bantu sahabat yang ikhlas dong! Kalau bisa bikin Marcel sampai benci sama Joo!"

Elkie meringis pelan, cengkraman kuat Elkie di pergelangan tangannya sudah menyesakkan. Sekuat mungkin Elkie menepis tangan lembut tak beradab milik Rachel. "Belum cukup kah kau merebut kado kakak untuk Kak Joo? Tak puas kah kau berkunjung ke rumah setiap malam hanya untuk menyita waktu istirahat Kak Marcel? Masih kurang kah aku membantumu?"

"Aku tak akan merasa cukup jika Kak Marcel belum menyatakan cinta padaku. Aku menyukainya, bahkan tanpa melihat wajahnya sehari pun aku tak akan bisa beraktivitas dengan baik. Marcel itu sudah seperti oksigen bagiku." cercah Rachel.

Ucapan Rachel semakin memperkuat pilihan Elkie. Ya, Elkie telah memutuskan bahwa ia akan lepas tangan dari setiap perintah Rachel. Cukup Elkie saja yang menderita akibat berteman dengan Rachel, jangan sampai kakaknya juga ikut terpuruk. "Rachel, jika kau terus seper--"

Cepat-cepat Rachel menyela ucapan Elkie. "Ayo ikut aku!"

Bekas merah yang belum sepenuhnya hilang kembali tersentuh oleh tangan Rachel. Cengkraman gadis itu lebih erat daripada sebelumnya, bahkan kali ini Elkie tak bisa melepaskan tangannya dari kekangan kuat itu. Entah kemana Rachel membawanya, lagi-lagi Elkie tak bisa melawannya. Hubungan sahabat telah mengikat dan disalahartikan

***

Selama hari terus berganti, ruang latihan dance tak pernah sepi. Tiga hari lagi semua persiapan yang dilatih tekun akan ditampilkan dalam kompetisi dance nasional antar sekolah. Malam menjemput, seluruh anggota klub dance terus menguras tenaga mereka. Mematangkan kekompakan dan mengulang berkali-kali gerakan dance.

Diantara semua orang yang menari dalam ruangan berdinding kaca itu, ada satu orang yang masih setia duduk di sofa sisi ruangan. Dia adalah Joo. Sebelumnya Greeze sudah mempersilahkan Joo untuk pulang duluan tapi gadis itu tetap kukuh ingin menemaninya. Tak peduli jika nantinya ia akan menjadi patung hidup karena tak berkutik sedikitpun, tatapan Joo juga kosong.

Dapat ditebak jika perilaku Joo sudah tak bersemangat seperti ini. Pasti ada hal atau masalah yang sedang Joo pikirkan. Tubuh Joo terlihat lemas. Amanah yang diberikan Greeze untuk menilai latihan dance kali ini telah pupus. Sejak awal dimulai latihan Joo sudah tak bisa fokus.

"Kak Joo, bagaimana latihan kita? Sudah bagus belum? Atau ada yang membuat kesalahan? Bilang saja,"

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tak ada pergerakan dari Joo. Gadis itu tetap diam tak menyahut pertanyaan Alvin yang tengah menunggu jawabannya.

"Kak Joo, ada apa? Sepertinya kakak sedang ada masalah,"

Mengikuti jejak Alvin, Elkie mendekat pada Joo dan mengambil duduk disamping gadis itu. Joo tersadar dari lamunannya dan langsung menolehkan kepalanya kesamping. Di sampingnya ada Elkie yang menatap Joo khawatir.

"Kak Joo baik-baik saja? Sakit ya..?" cemas Elkie khawatir.

"Greeze ada dimana?" lirih Joo.

"Kak Greeze sedang bicara sama Pelatih Raina," jawab Alvin.

Suasana hening. Tak ada pembicaraan lagi diantara ketiga orang itu. Joo kembali terlarut dalam pikirannya. Namun pandangannya masih fokus, tatapannya menatap lurus seorang lelaki berpakaian santai serba hitam yang masih sibuk menari di pusat ruangan sementara anggota dance lainnya beristirahat.

"Fredy.." gumam Joo pelan. Sangat pelan.

"Iya, dia Fredy." telinga Alvin masih berfungsi tajam untuk sekedar menangkap gumaman Joo. Syaraf-syaraf dalam telinganya dengan cepat menghubungkan sinyal ke otak. "Jadi benar kata Fredy bahwa kalian telah saling mengenal?" kejut Alvin kemudian.

"Dia bilang seperti itu? Kalian diam-diam membicarakanku?!" kali ini nada bicara Joo lebih keras, meski tatapannya masih terfokus pada Fredy yang tengah menari di depan.

Sebelum terjadi kesalahpahaman, Alvin menggeleng keras. Tak cukup, Alvin mengangkat kedua tangannya di depan dada lalu mengibaskannya. "Ti-tidak. Fredy hanya bercerita tentang pertemuannya denganmu di perpustakaan. Itu saja."

"Ciye.. Bisa jadi Kak Joo love at the first sight  Kak Fredy! Langka banget cowok cerita pertemuan pertamanya sama cewek kalau dia nggak tertarik." Elkie yang sedari tadi diam menimpali semangat. 

Ucapan Elkie sukses membuat Joo mengalihkan pandangannya. Joo menatap bingung Elkie. Joo yakin Elkie tahu hubungannya dengan kakaknya. Kenapa sikap Elkie seperti mencomblangkannya dengan Fredy? Laki-laki yang baru saja Joo kenal beberapa hari lalu.

"Elkie, apa maksudmu?"

"Gak baik tahu gibah orang, kalian lagi ngebicarain aku kan?"

Suara itu milik Fredy. Entah sejak kapan Fredy mendekat, tak ada yang merasakannya. Semua orang disekitar sofa terkejut, terutama Joo. Keterkejutan ini mengundang rasa canggung. Tak ada yang berniat mencairkan suasana.

"Ketahuan banget nih lagi gibahin aku." ucap Fredy berdecak lidah sambil menggelengkan kepalanya.

Sebuah gerakan tubuh Joo menjawab asumsi Fredy. Joo bangkit dari duduknya. Menghapus jarak yang tercipta di antara dirinya dan Fredy. Penuh keyakinan Joo meraih tangan Fredy lalu menariknya keluar dari ruang latihan dance.

"Ada yang ingin aku ceritakan padamu Fredy!"

Fredy terkejut bukan main. Kedua matanya melebar menatap tangan lembut Joo yang melingkar di pergelangan tangannya. Genggaman tangannya terasa lembab. Dalam langkahnya, Fredy menahan napas. Ada yang ingin Joo ceritakan padanya? Apakah itu? Jangan bilang jika itu cerita asmara Joo yang Fredy tak ingin tahu dan tak ingin mengetahui. Ah, belum mendengarkan saja Fredy sudah malas.

"Berhenti!"

Seseorang menghentikan pergerakan Joo dengan meraih sebelah tangannya yang tergantung bebas. Tarikan kuat lelaki itu menyebabkan tubuh Joo oleng dan ikut menarik tangan Fredy yang digenggamannya.

Fredy mendesis kesal. Suasana hatinya telah buruk. Dengan tatapan sebal Fredy menatap Joo yang telah menyeretnya untuk masuk dalam masalah pribadinya. Akan tetapi sepertinya Joo tak berpikir demikian. Saat ini gadis populer itu malah menatap tajam lelaki yang menunda perjalanannya dengan Fredy.

"Joo, ayo selesaikan masalah kita hari ini. Ikut aku dan bicarakan baik-baik. Jangan langsung ambil keputusan seperti ini!" Marcel-lelaki itu-menarik tangan Joo untuk ikut dengannya.

Kesempatan emas datang. Sekarang waktu yang tepat bagi Fredy melepaskan genggaman Joo dari tangannya. Cukup menariknya pelan, tangan Fredy sudah terlepas dari kekangan yang tak diinginkan. Sekarang tinggal berjalan santai saja di balik tatapan serius Joo dan lelaki yang terasa asing bagi Fredy.

"Fredy, jangan tinggalkan aku! Aku takut.." lantang Joo terdengar memperihatinkan.

Aksi Fredy tak sepenuhnya berhasil. Ternyata Joo menyadari Fredy yang akan pergi meninggalkannya. Joo tak mampu lagi bersama Marcel. Ia sudah benci setengah mati berdiri di dekat Marcel, apalagi lelaki itu masih menahan tangannya. Siapapun yang berani menjelekkan mimpinya, Joo tak akan pernah sepenuhnya memaafkan orang itu.

Akibat seruan Joo, Fredy memelankan langkahnya. Meski tanpa membalikkan tubuhnya, Fredy dapat merasakan suasana sedingin kutub selatan disana. Tak terdengar samar-samar pembicaraan di antara kedua orang dibelakangnya.

"Pergilah, jangan pernah mendekat pada Joo!" 

Teriakan suara berat itu seolah ditujukan pada Fredy. Dalam langkah pelannya Fredy bergidik ngeri. Siapa juga yang mendekati Joo? Dasar, lelaki posesif. Sekesal apa Fredy sekarang, ia tak akan tersulut emosi karena urusan orang lain. Lebih baik ia pergi.

"Jadi karena dia kau memutuskanku? Kau lupa janjimu untuk selalu mencintaiku di antara banyak pria yang mencintamu? Selama ini aku telah percaya padamu tapi--"

"Cukup Marcel!" Joo memotong pembicaraan Marcel, "Dia tak ada sangkut pautnya dengan hubungan kita! Lain kali kau harus meminta maaf padanya karena prasangkamu!"

"Lalu kenapa kau memutuskanku jika bukan karena dia?! Ayo jelaskan, Joo! Aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu". ucap Marcel semakin pelan di akhir kata. Marcel sadar sikapnya ini membuat Joo takut.

"Kau ini tak tahu apa pura-pura nggak tahu sih?! Masa kau nggak ingat pernah menulis apa di atas kanvas?" apa yang Joo ucapkan sudah cukup jelas untuk menggali ingatan Marcel.

"Menulis di atas kanvas?" Marcel mengulang pertanyaan terakhir Joo. Tak pernah sekalipun Marcel menulis di atas kanvas, yang ada ia pernah melukis di sana. "Aku tidak mengingatnya. Jangan seperti ini, Joo. Jelaskan saja!" desak Marcel tak bisa menghampiri jalan pikiran Joo.

Joo mendecih sebal. Ia tak tahu Marcel sebodoh ini. Kemana Marcel si otak cerdas yang dikenal Joo. Jangan-jangan ini hanya taktik permainan Marcel yang Joo tak ketahui? "Dasar Br*ngs*k! Kau menulis di atas kanvas bahwa kau tak pantas untukku dan menghina lukisanku seperti cakaran kucing! Puas kau?!" Joo membuang napasnya kasar. "Aku tak menyangka kau ingin dipermalukan di depan umum seperti ini, Marcel" ucap Joo penuh penekanan lalu membuang mukanya-disekitar sudah banyak orang menonton perdebatannya dengan Marcel.

Pertahanan yang Joo buat runtuh. Ini pertama kalinya ia meluapkan emosinya di depan umum dan disaksikan oleh banyak orang. Suara bisikan dan cibiran tentangnya saling membentur satu sama lain dan menggores pendengaran Joo. Joo tak sanggup lagi melihat ekspresi tertampar Marcel akibat ucapannya. Risih dengan suasana disekitarnya, Joo memilih berlari menerobos kerumunan orang-orang.

"Joo..' di lain kerumunan Greeze menggumamkan nama Joo. Ia tak tahu jika hubungan Joo dan Marcel diterpa masalah. Greeze menatap kepergian Joo nanar. Pikiran Greeze melayang tanpa arah.

Air mata Joo tak dapat terbendung lagi. Buliran bening itu jatuh dan membentuk aliran sungai kecil di pipi. Joo terisak. Hatinya tak tenang. Joo cemas akan sikap kasarnya pada Marcel. Tapi di bagian kecil hatinya, Joo merasa lega karena telah mengungkapkan semua amarahnya yang tertahan.

Joo terus berlari dan berlari. Menuruni anak tangga kampus menuju halaman luas yang telah sepi-hanya ada beberapa mobil dan motor. Joo menundukkan kepalanya, menutup sebagian wajahnya dengan tangan, dan berusaha meredam isakannya yang semakin menjadi.

Tanpa Joo sadari ia melewati Fredy yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya di dekat pintu utama kampus. Lelaki bertubuh mungil itu menatap datar Joo. Menatap punggung yang tertutup surai hitam panjang miliknya. Fredy yakin itu Joo meski ia tak sepenuhnya melihat wajahnya. Ingatan tajam Fredy masih mengingat penampilan Joo sebelumnya. Dress bewarna coral selutut yang dibalut gardigan cokelat.

"Fredy, jangan tinggalkan aku! Aku takut.."

Satu kalimat terakhir Joo berhasil menahan niatan Fredy untuk pulang. Satu kalimat yang terus terngiang dalam pikiran Fredy. Satu kalimat yang belum terpastikan dengan jelas. Fredy tak bisa menemukan jawabannya dengan melihat Joo sekilas. Tapi dari cara berjalan Joo terlihat ada yang berbeda. Gadis itu tak lagi berjalan penuh percaya diri. Tubuhnya tak lagi tegap melainkan membungkuk seperti menyembunyikan sesuatu.

Fokus Fredy menangkap seseorang lelaki yang sejak tadi duduk di bamper mobil bewarna silver. Lelaki itu memeluk Joo. Dilihat lamat-lamat Fredy sadar bahwa lelaki itu lelaki yang sama dengan yang menabraknya di perpustakaan. Lelaki yang kata Alvin adalah kakak dari Joo. Sekarang Fredy sudah menemukan jawabannya. Joo baik-baik saja. Kalaupun tidak baik-baik saja, kakaknya pasti bisa memulihkan perasaannya.

"Bodoh, untuk apa kau mengkhawatirkan gadis gila itu!" gumam Fredy berjalan meninggalkan kampus.

***

Sebuah meja bundar berdiri kokoh di pusat ruangan. Di atas meja berlapiskan kaca itu ada kedua pasang tangan bertumpu. Kedua gadis seumuran sedang beradu tatapan. Tatapan penuh kilat emosi. Mereka seakan dapat berbicara melalui tatapannya masing-masing.

BRAK!

Pintu terbuka. Tatapan sengit kedua gadis di ruang tamu buyar. Keduanya menatap seseorang yang telah ditunggu. Lelaki bertubuh atletis semampai dengan wajah kusut baru saja pulang dari kampus. Dia adalah Marcel.

"Kak Marcel, aku punya--"

"Aku tidak bisa mengajari kalian hari ini. Kalian kerjakan saja sebisanya." seolah tahu apa yang akan diucapkan Rachel-teman Elkie-Marcel segera menyelanya.

"Tapi besok harus dikumpulkan," ucap Rachel dengan wajah memelasnya.

"Kerjakan saja bersama Elkie, tanyakan kesulitan kalian pada dosen besok." ujar Marcel berjalan menaiki tangga dengan langkah gontai.

Diam-diam tangan Rachel mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Kedua matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Amarahnya meledak. Dengan tatapan berapi Rachel menatap Elkie yang fokus mengerjakan tugas.

"Elkie, apa yang kau lakukan?" desis Rachel merebut pena Elkie dari tangannya.

"Kerjain tugas lah, sini kembalikan penaku!" tanpa rasa takut sedikitpun Elkie meminta penanya.

Tak lantas mengembalikan pena pada si pemilik, Rachel justru melempar jauh pena itu ke arah Elkie. Beruntung refleks Elkie cepat sehingga ia dapat menghindar dari lemparan kencang itu. Sikap Rachel sekarang sudah keterlaluan. Apa ia berniat melukai sahabatnya sendiri hanya karena egonya?

"Kenapa kau hanya diam saja? Seharusnya kau bujuk Kak Marcel agar mengajari kita!" kesal Rachel menggebrak meja pelan.

"Kakak terlihat sangat lelah, Rachel. Aku ingin membiarkan dia beristirahat. Kakak sudah hampir di penghujung semester pasti banyak tugas." jelas Elkie berusaha tenang.

"Alasan, kau mana tahu dia lelah kalau nggak tanya! Itu hanya muslihatmu saja agar kakakmu tidak mengajari kita!"

Sikap Rachel semakin melunjak saja setiap harinya. Kekagumannya pada kakaknya sungguh menjijikkan. Jika saja Rachel bukan sahabat Elkie, ia pasti sudah menampar keras pipi Rachel hingga merah atau mengusirnya dari rumah.

"Kau bilang menyukai kakakku tapi sikapmu tak menunjukkan bahwa kau menyukainya." Elkie tak habis pikir dengan jalan pikiran Rachel. "Kau anarkis, Rachel! Hatimu sekeras apa sampai tak bisa membaca wajah orang lain! Kau juga yang membuat Kak Marcel seperti ini. Kau telah merusak kebahagiaannya bersama orang lain. Kau menghancurkan kebahagiaan orang yang kau sukai!"

Rachel mati kutu. Ucapan Elkie menusuk hatinya. Lidahnya terasa kelu untuk mengelak pernyataan Elkie. Entahlah, tak selintas satu pun kata untuk membalas ucapan Elkie. Tak tahu apa yang harus dilakukan sebenarnya, Rachel meraih tasnya dan bangkit dari duduknya. Sepasang kaki jenjang tereksposnya melangkah keluar dari kediaman Elkie.

Air mata Elkie lolos dari pelupuk matanyanya. Rasa penyesalan memenuhi hati Elkie. Satu-satunya sahabat yang ia miliki menjerumuskannya. Rachel yang dulu selalu tersenyum dan suka membantu telah berubah menjadi gadis yang mengerikan. Gadis yang terobsesi dengan kakak kandungnya. Gadis yang akan melakukan apapun demi dapat bersama kakaknya meski perbuatannya akan melukai orang yang Rachel suka. Seperti saat ini, Rachel memperkeruh hubungan asmara Marcel dan Joo.

Bodoh. Elkie tak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri yang bersedia membantu Rachel untuk dekat dengan kakaknya. Ya, semua upaya Rachel untuk menghancurkan hubungan Joo dan Marcel melalui sebuah perantara. Dan perantara itu adalah Elkie. Seharusnya Elkie tidak mengenalkan Rachel pada kakaknya.

"Kak Marcel, maafkan aku.." lirih Elkie menangis dalam diam.

***

Sudah kesekian kalinya orang-orang berlalu lalang melewati Joo. Gadis itu menatap sebal keadaan di sekitarnya. Joo tak tahan berada di tempat yang berisikan orang-orang sakit. Ya, sekarang Joo sedang ada di rumah sakit. Di sana ia duduk sendirian menunggu kakaknya yang tiba-tiba dapat panggilan ke rumah sakit.

Tahu tugasnya belum selesai seharusnya Rafa tak menjemput Joo. Ingin rasanya Joo marah pada kakaknya. Selama ini Joo tak pernah meminta Rafa untuk menjemputnya tapi lelaki itu tak pernah absen menjemputnya sejak kepulangannya dari Singapura.

Rafa meninggalkan Joo mati bosan di kursi tunggu. Ponsel Joo sudah mati begitupula uang sakunya telah habis. Joo tak bisa pulang jika tidak menunggu kakaknya selesai dengan urusannya. Pantat Joo sendiri juga sudah panas setelah satu jam penuh duduk.

Joo bangkit dari duduknya. Ia memutuskan berkeliling rumah sakit untuk mengusir rasa bosannya. Seharusnya Joo senang ia ada di rumah sakit. Joo adalah mahasiswi fakultas kedokteran. Berada di rumah sakit adalah kesenengan tersendiri seharusnya tapi Joo sama sekali tak suka dengan bau obat di rumah sakit, Joo takut setiap ia melihat darah, dan Joo tak ingin menjadi dokter.

Dalam perjalanannya Joo tak lelah memandang sekitar. Para perawat yang mendorong tempat tidur berjalan, beberapa lansia yang duduk di kursi roda, orang-orang di meja resepsionis, dan kebagiaan seorang ibu yang sepertinya telah berhasil melahirkan buah hatinya dari salah satu ruangan yang sedikit terbuka.

"Jooliet! "

Langkah Joo terhenti. Seorang wanita paruh baya berjas putih berdiri tak jauh di depannya. Dia adalah dokter Yura-ibu Joo. Wanita itu tersenyum mengampiri Joo. 

"Apa yang membuatmu kemari sayang? Tumben sekali putri kesayangan ibu ke rumah sakit?" tanya Yura lembut.

Joo menatap datar sang ibu. Sejak ibunya memintanya berhenti bermimpi menjadi pelukis, hubungan antara Joo dan Yura terasa canggung dan kaku. Keduanya tak pernah berbicara dan hanya saling berbicara lewat ekspresi dan bahasa tubuh.

"Joo, ibu sudah minta maaf padamu. Ayolah bicara, jangan diam saja. Ibu merindukan Jooliet." Yura memeluk tubuh kaku Joo singkat.

"Aku menunggu Kak Rafa." ujar Joo singkat.

Jawaban Joo merangsang keterkejutan Yura. Joo yang merasakannya, mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. Tak ada yang aneh dari jawaban Joo, kenapa ibunya bersikap berlebihan?

"Jadi Rafa beneran mengurus proses KKN-mu hari ini? Kau telah bersedia menjadi dokter?!" Ibu senang mendengarnya, Joo." heboh Yura kembali memeluk Joo erat dan kali ini lebih lama.

Setelah sekian lama Joo tak menolak pelukan ibunya. Sudah lama Joo tak merasakan kehangatan pelukan seorang ibu. Tapi pikiran Joo yang masih menelaah perkataan ibunya membuat tubuhnya sulit bereaksi. 

Mengurus proses KKN? Bersedia menjadi dokter? Apa-apaan itu? Setelah beberapa menit berpikir Joo mengerti. Joo tahu maksud Rafa mengajaknya kemari. Hari ini memang penuh amarah. Joo menatap ibunya yang tersenyum lebar. Sebelum semuanya terlambat, Joo berlari. Entah kemana tujuannya, Joo harus menghentikan Rafa. Harus. Joo tak ingin menjadi dokter.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" bingung Yura menatap kepergian Joo yang berlari kencang menyusuri koridor.

***

Bus kota masih setia berhenti di halte pemberhentian dekat kampus. Ini adalah bus terakhir yang lewat. Sesekali beberapa orang menaiki bus. Di salah satu kursi bus, Alvin asyik menonton video dance. Alvin seolah masuk dalam dunianya sendiri hingga tak menyadari kehadiran seorang gadis yang duduk di sampingnya.

Gadis di samping Alvin terlihat lemas. Kepalanya terus tertunduk. Tak ada pergerakan spesifik dari tubuhnya. Beberapa menit berlalu sampai bus memutuskan melaju akan tetapi gadis itu masih terdiam tak berkutik. Sedangkan Alvin yang berada di sampingnya telah selesai menonton video. Alvin kemudian memasukkan ponselnya di tas.

"Astaga!" kejut Alvin menyadari bahwa kursi kosong di sampingnya telah terisi.

Keterkejutan Alvin rupanya tak sepenuhnya mengusik gadis di sampingnya. Gadis itu sepertinya tertidur karena tetap menundukkan kepalanya hingga surai ikalnya menjuntai menutupi wajahnya. Tapi jika dilihat dari penampilannya, gadis di samping Alvin terdengar tidak asing. 

Alvin mengalihkan atensinya dari gadis itu. Kedua iris kecoklatannya menatap keluar jendela. Hari sudah gelap. Hari ini sungguh melelahkan. Latihan tanpa henti seusai jam kuliah demi kompetisi dance. Alvin berniat tidur mengikuti jejak gadis di sampingnya tapi sebuah suara isakan tertahan menahan niatannya.

Sumber dari isakan itu terasa ada disekitar Alvin. Dilihatnya kepala gadis di sebelah menggeleng pelan. Tangannya meremas ujung kemeja. Alvin yakin sumber suara isakan itu dari gadis di sampingnya. Perlahan Alvin menundukkan kepalanya, mencoba memastikan.

"Kak Greeze!" untuk kedua kalinya Alvin terkejut di dalam bus.

Benar. Gadis itu mendongakkan kepalanya dengan wajah kusut dan mata sembabnya, menatap Alvin. Gadis yang sedang menangis seorang diri itu adalah Greeze. Alvin menatap datar Greeze. Pertama kalinya Alvin melihat Greeze menangis selama mereka menjalin pertemanan.

"Kak Greeze, kenapa menangis?" setelah terdiam cukup lama Alvin memecah keheningan.

"Joo.. Joo.. dia.. Joo.." ucap Greeze tak bisa berbicara dengan baik.

'Kak Joo kenapa? Apa terjadi sesuatu padanya?" tanya Alvin sedikit panik.

Greeze menyeka air matanya kasar. Ia menatap nanar Alvin. "Dia putus dengan pacarnya." ucap Greeze dalam tangisnya. Greeze lalu menghela napasnya. "Selama ini dia ada masalah tapi aku sebagai sahabatnya tak mengetahuinya."

Alvin menahan napasnya. Ternyata Greeze baru tahu masalah Joo. Berarti bisa disimpulkan Joo hanya menceritakan masalahnya pada Fredy. Sahabatnya yang sering uring-uringan dan menyebut Joo gadis gila. Alvin menatap Greeze yang semakin terisak.

"Pantaskah aku disebut sebagai sahabatnya?"

Alvin menatap lirih Greeze. "Mungkin Kak Joo tak ingin membebani Kak Greeze."

"Tapi kami itu sahabat! Tak bisa jika hanya berbagi kebahagiaan saja, aku ingin dia memiliki tempat bersandar jika punya masalah." Greeze tak setuju dengan pernyataan Alvin.

Sebuah kehangatan terasa pada sela-sela jemari Greeze. Tangan Alvin menggenggam erat tangan Greeze membuat gadis itu menatapnya tak mengerti. Tatapan lembut Alvin mengundang berbagai tanda tanya transparan disekitar kepala Greeze.

"Tenang saja, aku sudah tahu masalah Kak Joo. Dia ada masalah dengan pacarnya hanya gegara kado anniversary mereka, kan?" ucap Alvin tersenyum tipis.

Kedua mata sembab Greeze melebar. "Kok kamu tahu?"

"Aku kan penggemar nomor satunya Kak Jooliet, pasti tahu dong!" bangga Alvin. Senyum tipisnya berubah menjadi cengiran lebar.

Greeze menuntun tangan Alvin dalam genggamannya untuk memukul paha lelaki disampingnya. "Aku serius Alvin! Kau tahu dari mana Joo ada masalah? Apa dia cerita padamu?"

Alvin meringis pelan. "Senyum dulu dong, baru aku cerita. Yang bentar lagi mau kompetisi gak boleh sedih,"

Huh! Sikap bawel Alvin kambuh. Sulit bagi Greeze tersenyum jikalau pikirannya saja tidak tenang. Pasti Alvin juga berada dalam kerumunan pertengkaran Joo dan Marcel, kalau nggak denger gosip sepulang sekolah.

Pikiran Greeze buyar. Kedua tangan Alvin menarik sudut bibirnya keatas, membentuk senyuman kaku. "Fredy. Joo menceritakan masalahnya pada Fredy."

Senyum buatan Alvin di wajah Greeze luntur. "Apa? Fredy?! Bukankah Fredy sangat risih jika Joo mendekatinya? Kok bisa Joo cerita pada Fredy? "

Alvin mengendikkan bahunya lalu menggeleng pelan. "Sudahlah, percaya saja pada Fredy. Cuek-cuek begitu Fredy itu sebenarnya perhatian kok. Aku yakin Fredy telah memberikan solusi yang terbaik untuk masalah Kak Joo."

"Tapi--"

"Sekarang Kak Greeze harus fokus untuk kompetisi dance. Lusa bukan waktu yang lama, Kak Greeze nggak boleh banyak pikiran." tahu Greeze akan gelisah, Alvin memotong ucapannya.

Ucapan Alvin tak mampu menyakinan Greeze. Greeze menatap Alvin datar namun Alvin justru menatap dalam Joo dan menganggukkan kepalanya. Tatapan Alvin seolah berkata bahwa Greeze bisa mempercayai ucapannya maupun sikap Fredy.

"Kak Joo akan baik-baik saja. Sebagai penggemar nomor satu-nya, aku tahu dia adalah gadis yang kuat. Percayalah, Kak Greeze.”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Akai Ito (Complete)
6740      1343     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
I'm Growing With Pain
13946      2101     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Backstreet
1353      566     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
Sunset In Surabaya
366      266     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Do You Want To Kill Me?
5963      1693     2     
Romance
Semesta tidak henti-hentinya berubah, berkembang, dan tumbuh. Dia terus melebarkan tubuh. Tidak peduli dengan cercaan dan terus bersikukuh. Hingga akhirnya dia akan menjadi rapuh. Apakah semesta itu Abadi? Sebuah pertanyaan kecil yang sering terlintas di benak mahluk berumur pendek seperti kita. Pertanyaan yang bagaikan teka-teki tak terpecahkan terus menghantui setiap generasi. Kita...
Si 'Pemain' Basket
4903      1306     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
373      271     1     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
Kemana Perginya Ilalang
709      457     0     
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
Raha & Sia
3380      1280     0     
Romance
"Nama saya Sia Tadirana. Umur 17 tahun, siswi kelas 3 SMA. Hobi makan, minum, dan ngemil. Sia nggak punya pacar. Karena bagi Sia, pacaran itu buang-buang waktu." *** "Perkenalkan, nama saya Rahardi. Usia saya 23 tahun, seorang chef di sebuah restoran ternama. Hobi saya memasak, dan kebetulan saya punya pacar yang doyan makan. Namanya Sia Tadirana." Ketik mereka berd...
Cinta Tak Terduga
5199      1650     8     
Romance
Setelah pertemuan pertama mereka yang berawal dari tugas ujian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia di bulan Maret, Ayudia dapat mendengar suara pertama Tiyo, dan menatap mata indah miliknya. Dia adalah lelaki yang berhasil membuat Ayudia terkagum-kagum hanya dengan waktu yang singkat, dan setelah itupun pertemanan mereka berjalan dengan baik. Lama kelamaan setelah banyak menghabiskan waktu...