Game Start
'Semua permulaan tak akan ada yang berjalan sesuai harapan, awal dari sesuatu yang baru adalah kejutan dan misteri.'
Kosong
Caption dari postingan terbaru Joo. Setelah sekian lama hiatus dari media sosial, Joo kembali dengan mengunggah sebuah foto kanvas putih tanpa noda sedikitpun. Alvin mengerutkan keningnya. Tumben sekali Joo memposting kanvas tanpa lukisan. Biasanya seniornya itu pasti mengunggah hasil karya lukis atau OOTD-nya.
Diam-diam Alvin adalah penggemar Joo. Bisa dibilang Alvin adalah penggemar yang beruntung karena sering berkomunikasi dengan Joo. Semua ini tentu saja karena Greeze yang masih rajin latihan dan mengajak Joo untuk menemaninya.
Cukup lama Alvin memandang postingan terbaru Joo. Jemarinya memberikan tanda love untuk postingan Joo meski jujur saja Alvin kecewa dengan postingan ala kadarnya. Tenggelam dalam lamunannya, Alvin kembali tersadar. Seseorang telah merebut ponselnya.
"Apa yang kau lakukan dengan ponselku?"
Fredy datang dengan membawa satu cup mie di tangannya. Lelaki itu rupanya telah selesai berbenah diri. Fredy meletakkan mie cup-nya di atas meja dan memeriksa ponselnya. Layarnya yang menyala menampilkan salah satu akun Instagram orang lain. Jooliet_joo. Nama yang terdengar familiar.
Merasa pertanyaannya diabaikan, Fredy menoleh ke arah Alvin. Betapa terkejutnya Fredy melihat Alvin sedang menyantap mie buatannya. Menggeram sebal, Fredy merebut cup mie dari tangan Alvin lalu menatap tajam lelaki yang menyengir lebar tanpa dosa itu.
"Aku numpang stalking akun Kak Joo. Aku nggak punya kuota data. Nggak apa-apa, kan?"
"Kak Joo?" bingung Fredy sambil mengaduk mie-nya.
Alvin tersenyum lebar. Tubuhnya menghadap Fredy yang tengah menikmati makanannya. Alvin sedikit memiringkan kepalanya, menyusun kata untuk menjelaskan siapa orang yang sedang ia gilai. Sahabatnya ini memang kolot kalau diajak ngobrol tentang perempuan-maklum saja Fredy selalu menyibukkan diri di rumahnya ini.
"Senior yang tadi pergi bersama kakaknya di perpustakaan. Kau ingat kan?"
Penjelasan Alvin membawa petaka. Penegasannya mengundang keterkejutan Fredy. Fredy tersedak. Tangannya memukul-mukul dadanya, mulutnya dengan susah payah berucap air. Di samping Fredy, Alvin ikut panik. Alvin berlari terburu-buru mengambil air di dapur.
Seusai menyerahkan air, Alvin menatap Fredy bingung. Tingkah Fredy sangat aneh. Tak biasanya ielaki itu tersedak saat ia membicarakan seorang perempuan.
"Kenapa kau stalking akun senior itu di ponselku?" kesal Fredy setelah lebih tenang.
"Sudah kubilang aku nggak punya kuota data, kok masih ngotot sih! Jika aku punya kuota data, aku gak bakalan pakai ponselmu, Fredy!" jelas Alvin penuh penekanan.
"Tapi gak perlu kasih tanda love juga kali. Dia sudah punya kekasih tahu, bagaimana jika dia mikir aku gak jelas dan naksir dia!" heboh Fredy menunjuk Alvin dengan tatapan tajamnya.
Tawa Alvin pecah. Fredy sangat lucu saat marah. Mata sipitnya melotot bersamaan dengan bibir mungilnya yang bergerak cepat. Jarang sekali Fredy mengomel panjang lebar seperti ini pada Alvin. Apalagi mengomel tentang perempuan.
"Fredy, kau ini hiperbola banget sih. Nggak mungkin Kak Joo mengira kau menyukainya. Kak Joo itu selebritis Instagram. Banyak yang nekad menyukainya meski dia sudah punya pacar! Lagian mana mungkin dia mengenalmu yang seriusnya gak ketulungan dan suka mengurung diri?" Alvin menjelaskan.
"Tapi kami saling mengenal. Aku gak mau dia nganggep aku fans-nya. Apalagi dia itu cewek gila!" Fredy semakin uring-uringan mendengar cercahan Alvin.
Tawa Alvin lenyap ditelan udara. Mulutnya terbuka lebar. Kali ini ia yang terkejut oleh penuturan Fredy. Tapi kesadaran Alvin dengan cepat kembali. Tawa Alvin pecah. "Nggak mungkin kau mengenalnya, Fredy. Mana mungkin kau yang setiap ngampus di perpustakaan kenal Joo, si gadis populer!"
"Serius gadis seperti dia populer? Sebenarnya selera cowok jaman sekarang itu gimana sih? Gadis itu malu-maluin, cengeng, dan juga gak jelas banget."
"Maksudmu?" tawa Alvin melebur menciptakan keheningan.
"Masa waktu di perpustakaan kemarin dia menangis di depanku gegara kekasihnya. Baru kenalan dia langsung cerita tentang kisah cintanya padaku." ucap Fredy sembari menyeduh mie-nya.
Keterkejutan Alvin berkali lipat. Joo menangis karena bercerita tentang kekasihnya. Ternyata dibalik wajah datarnya di klub dance itu Joo sedang ada masalah dengan kekasihnya. Alvin merapatkan tubuhnya pada Fredy. Ia dengan antusias meminta Fredy menceritakan ulang kisah Joo. Hingga berakhirlah malam kedua lelaki itu dengan bercerita tentang Joo.
***
Dua belas tepat tengah malam. Di sunyinya malam Joo masih terjaga. Ia menatap kosong kanvas putih di depannya. Joo benar-benar kehilangan semangat dan inspirasi untuk melukis. Seharusnya Joo senang saat Rafa telah membelikan semua peralatan melukis yang dibutuhkan. Hanya ada saja kendala. Inspirasi dan perasaan Joo terus meluap.
"Joo belum tidur?"
Seseorang memasuki kamar Joo yang tak terkunci. Rafa dengan pakaian santainya berjalan menghampiri adiknya yang berdiri di balkon kamarnya. Pelan-pelan Rafa menghampiri Joo. Rasa khawatir menyelimuti hati Rafa. Joo telah berubah. Gadis yang masa kecilnya selalu ceria itu menjadi pemurung karena cita-cita yang bertentangan.
"Apa yang kakak lakukan disini?"
Kedua sudut bibir Rafa terangkat. Joo menyadari keberadaannya ternyata. Rafa berdiri di samping Joo. "Memastikan kamu udah tidur."
Joo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sorot matanya menatap gemerlap bintang yang bertaburan di atas. Sesekali Joo juga tersenyum takjub melihat gemerlap malam. Indah dan terang. Joo ingin dapat bersinar di kemudian hari dengan lukisannya.
"Joo, nggak tidur? Sudah malam, besok masih harus berangkat ke kampus."
"Nggak bisa tidur, Kak. Beberapa jam lagi juga sudah pagi. Kakak sendiri juga belum tidur tuh," jawab Joo tanpa mengalihkan pandangannya dari gemerlap malam.
Rafa menghela napas. Bagaimana tubuh Joo nggak kurus dan lesu jika ia tidur terlampau malam seperti ini. Kebiasaan Joo ini tak bisa dibiarkan. Kurang tidur bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Rafa menarik bahu Joo untuk menghadapnya.
"Kamu sering tidur tengah malam seperti ini, Joo?" tanya Rafa menatap Joo teduh.
Joo hanya mengangguk pelan.
"Astaga Joo! Kamu harus berhenti seperti itu mulai sekarang. Gak boleh tidur terlalu larut.." cemas Rafa menarik tangan Joo masuk kamar.
Sementara Rafa melepaskan tautan tangannya untuk menutup pintu dan tirai yang menghubungkan balkon, Joo berdiri mematung di belakang Rafa. Joo tak akan bisa tidur. Beberapa jam lalu Joo hanya lelah mengubah posisi tanpa bisa terlelap.
"Tidurlah, aku akan menemaninmu." ucap Rafa duduk di sofa seberang ranjang Joo.
"Aku nggak bisa tidur. Jika dipaksakan kepalaku akan pusing, Kak." jelas Joo frustasi.
Lagi dan lagi Rafa menghela napas pelan. Ia kembali berdiri dan menuntun Joo menuju ranjangnya. Tanpa banyak bicara Rafa naik ke ranjang adiknya dan berbaring disana. Tangannya menepuk bagian kosong disampingnya. Ya, Rafa gemas sendiri melihat Joo yang hanya memandangnya tanpa bergerak sedikitpun.
"Naiklah, aku akan membuatmu tidur nyenyak."
Tersimpan rasa ragu, Joo naik ke atas ranjangnya. Baru saja ia menarik selimut untuk menghangatkan tubuhnya, Rafa menarik tubuh Joo ke dalam pelukannya. Menyandarkan kepala Joo dalam dada bidangnya. Jemari-jemarinya merapikan rambut Joo yang berantakan lalu tangannya beralih menepuk pelan punggung Joo. Setiap Joo tak bisa tidur, Rafa selalu tidur bersama adiknya.
"Tidurlah.." Rafa terus menepuk punggung Joo.
Di dalam wajah lelahnya, Rafa tersenyum tipis. Rafa telah berhasil membuat Joo tertidur. Dengan tatapan teduhnya Rafa menatap wajah tenang Joo. Tangannya bergerak membelai rambut Joo pelan.
"Joo, maafkan aku telah memberimu harapan palsu hari ini." Rafa memejamkan matanya sejenak lalu kembali membukanya perlahan. "Aku ada di jalan ayah dan ibu. Aku akan membuatmu menjadi dokter dan meninggalkan kegemaranmu dalam melukis."
Tujuan utama kepulangan Rafa tetap akan terlaksana. Rafa memiliki target akan membuat Joo berangkat KKN di Singapura. Bermuka dua. Itulah Rafa. Ia akan memberikan sedikit keleluasaan Joo dalam melukis dan setelahnya ia akan memaksanya mengabdi sebagai dokter untuk mengembangkan citra keluarga dokter yang telah dibangun kakek dan neneknya.
***
Terangnya sinar mentari pagi ini menggambarkan suasana hati Joo. Gadis itu telah kembali seperti biasanya. Hari ini Rafa mengantarnya ke kampus. Sekarang Joo ada kuliah pagi. Di dalam mobil, Joo mencegah Rafa yang ingin mengantarnya masuk. Ia tak akan membiarkan Rafa terlambat pergi ke rumah sakit hanya karenanya.
Bagaikan artis papan atas, Joo langsung melambaikan tangannya begitu turun dari mobil. Sepatu hak tingginya menuntut untuk berjalan anggun. Beberapa orang yang berlalu lalang di halaman utama kampus tertawa geli melihat tingkah Joo. Gadis itu dengan percaya diri berjalan ala model, sesekali melemparkan cium jauh untuk para penggemarnya yang meneriaki namanya keras-keras.
Sepanjang menaiki tangga masuk, Joo selalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kampus. Gestur tangannya mengibaskan rambut namun tiba-tiba langkah Joo harus terhenti ketika ia merasakan menabrak sesuatu. Aroma yang Joo hafal luar kepala. Kehangatan yang sama. Takut-takut Joo menengadahkan kepalanya. Benar. Orang yang Joo tabrak adalah Marcel.
"Marcel.."
"Joo, kau kemana saja kemarin-kamarin? Kok kamu nggak pernah angkat telepon dan balas pesanku? Kau juga tidak memberiku kabar. Ada apa lagi denganmu? Apa ada masalah?" tanya Marcel bertubi-tubi.
Khusus hari ini suasana hati Joo tak akan berubah secepat biasanya. Joo terlanjur senang. Hari ini untuk pertama kalinya dalam sebulan bisa tidur nyanyak dan tubuhnya terasa segar. Joo hanya tersenyum manis menghadapi pertanyaan Marcel.
"Bukankah kamu yang memintaku putus? Kau berkata aku tak pantas untukmu. Kau ingin aku mengejar-mengejarmu?" ucap Joo sakartis, sebelah sudut bibirnya terangkat sinis.
"Apa sih, Joo? Aku tak pernah bilang seperti itu. Aku mencintaimu apa adanya." bingung Marcel menggenggam tangan Joo.
Sebelum semakin erat, Joo menepis genggaman tangan Marcel. "Kau memang tak pernah bilang tapi kau melukisnya. Oh satu lagi, kau juga menulis bahwa lukisanku jelek!"
"Apa yang kau bicarakan Joo?" Marcel semakin bingung saja.
"Pikir saja sendiri! Mulai sekarang ayo putus. Aku menuruti permintaanmu untuk putus!" Joo melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Hampir di penghujung anak tangga terakhir langkahnya terhenti. Joo menatap beberapa orang yang memperhatikannya.
"Semua lelaki disini! Kalian adalah kekasihku! Aku mencintaimu!" seru Joo sembari membentuk sebuah tanda cinta di atas kepalanya lalu melempar wink pada para lelaki yang berteriak kegirangan.
"Tuh kan, dia itu cewek gila."
Di antara kerumunan para lelaki di halaman utama, Fredy memutar kedua bola matanya malas. Baik gadis itu maupun dunia ini sudah gila. Cowok sekarang hanya mengutamakan kecantikan dan penampilan saja. Mereka semua menggilai Joo yang tiap Fredy melihatnya merasa ilfeel.
"Fredy, Joo putus dengan Marcel!" heboh Alvin menggoyang-goyangkan lengan Fredy sambil melompat-lompat.
Risih dengan sentuhan Alvin, Fredy melirik tajam sahabatnya itu. Sekuat tenanga, Fredy menarik tangannya dari kekangan tangan Alvin. Sahabat gilanya menyukai cewek gila. Hancur sudah dunia ini.
"Terus apa hubungannya denganku kalau mereka putus?" heran Fredy.
"Tandanya ada peluang besar untuk PDKT dengannya!"
"Hayo.. Alvin mau PDKT-in siapa nih? Semangat banget.."
Seseorang datang membelah kedekatan diantara Alvin dan Fredy. Greeze memicingkan matanya menatap Alvin. Telinga tajam Greeze menangkap dengan baik pembicaraan Alvin dan Fredy.
"Kepo!" Alvin mencubit hidung Greeze.
"Wah tepat sekali disini ada Fredy. Kau tahu aku, kan?"
Daripada berdebat dengan Alvin, Greeze memilih mengabaikan temannya itu. Sekarang Greeze tersenyum manis pada Fredy. Ini kesempatan bagus bagi Greeze. Jika dilihat dari dekat, Fredy memang memiliki aura yang sempurna. Fredy dikaruniai wajah imut tapi tingkahnya benar-benar layaknya pria sejati.
"Aku yakin kau pasti masih mengingatku Fredy." Greeze mengambil satu langkah mendekat pada Fredy. Tanpa ragu, Greeze mencari celah pandangan Fredy yang tak menatapnya sejak ia datang. "Fredy, bisa minta bantuanmu untuk bergabung di klub dance sementara? Kudengar kau anak B-boy dan jago freestyle dance. Ayo ikutan lomba dance. Ada Alvin juga."
"Wah.. Kak Greeze gerak cepet banget." kagum Alvin.
"Fredy, ayo ikutan dance! Sekalian buat refreshing, semua tugasmu sudah selesai, bukan?" Alvin membantu Greeze membujuk sahabatnya.
Sejak sepulang kuliah kemarin Alvin mencoba membujuk Fredy. Hanya Fredy harapan Alvin. Tak ada orang yang bisa Alvin andalkan dalam dance di luar klub dance. "Tapi aku sudah lama nggak nge-dance." ucap Fredy tak yakin.
"Maka dari itu ayo nge-dance. Kalau kita menang bisa membuat bangga kepala sekolah dan kita bisa dapat voucher liburan." Greeze tak mempermasalahkan alasan Fredy.
"Baiklah, aku akan ikut bergabung."
Greeze berteriak histeris. Ia mengepalkan tangannya ke udara dan melompat riang. Greeze tak menyangka akan semudah ini membujuk seorang Fredy. Begitu pun dengan Alvin. Jujur saja Alvin terkejut. Makhluk apa yang menghasut Fredy hingga menyetujui ikut kompetisi dance setelah menolak ajakannya keras-keras? Sungguh keajaiban yang tak terduga.
***
"Terima kasih, dokter Ryan."
Lelaki dengan kepala mengkilap itu tersenyum menyahuti ucapan pasien terakhirnya. Tugas Ryan telah usai. Para perawat bergerak mengemasi seluruh berkas pasien. Ryan masih tetap duduk di tempatnya, membiarkan para perawat undur diri dari pekerjaan mereka hari ini.
Tut.. Tut.. Tut..
Telepon rumah sakit berbunyi. Ryan menyambar gagang telepon tersebut. Siapa lagi kalau bukan dari pihak resepsionis yang selalu menelepon dengan telepon rumah sakit.
"Iya, ini baru selesai. Suruh dia langsung temui ruangan saya saja."
".."
"Akan saya tunggu. Terima kasih."
Gagang telepon kembali tengkurap di tempatnya. Baru saja petugas resepsionis mengabari Ryan bahwa Rafa-putra pertamanya-akan mengunjunginya. Ya, selama Rafa mempersiapkan para mahasiswa KKN, ia juga sempat menghampiri ruang kerjanya ataupun ibunya.
"Ayah, aku datang!"
"Duduklah," Ryan hanya tersenyum mempersilahkan Rafa duduk.
"Ayah, kudengar mulai bulan depan ayah sudah di PHK? "
Baru duduk di depan sang ayah, Rafa langsung menanyakan inti dari kedatangannya. Wajah Rafa tampak cemas. Berita bahwa dokter dengan pelayanan terbaik akan pensiun dikarenakan faktor usia menyebar dengan cepat. Kedatangan Rafa hanya ingin memastikan saja karena ayahnya tak pernah bercerita apapun padanya.
"Tenang saja, Rafa. Ayah kan masih punya klinik di dekat rumah sakit. Ibumu juga masih menjadi dokter spesialis kandungan disini."
Napas Rafa tertahan. Ternyata apa yang digosipkan mahasiswa bimbingannya itu benar. Sungguh Rafa kecewa dengan kedua orangtuanya sekarang. Kenapa juga mereka tak pernah terbuka mengenai masalahnya? Bagaimana pun juga mereka juga keluarga.
"Rafa kau nggak perlu cemas, yang harus kamu lakukan sekarang adalah membuat Joo dapat menggantikan posisi ayah kelak seperti dirimu." Ryan memegang tangan Rafa yang tergeletak di atas meja.
Pesan Ryan mengejutkan Rafa. Lelaki itu menatap ayahnya datar.
"Cepat bawa Joo ke Singapura denganmu untuk pelatihan. Ia harus segera lulus dan langsung menjadi dokter." Ryan mendesak Rafa. 'Jangan kau biarkan ia melukis terlalu lama. Melukis akan semakin membuang waktu yang dimiliki Joo."
Ragu-ragu Rafa menganggukkan kepalanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat Joo berkeinginan menjadi dokter dan meninggalkan jalan yang gadis itu pijaki. Sebenarnya Rafa tak tega jika harus melihat Joo kabur dan menderita. Tapi mau bagaimana lagi. Tradisi dokter keluarga mereka sudah terlalu kuat untuk dipatahkan.
***
Jam kuliah telah berakhir. Semua mahasiswa meninggalkan kelas. Tidak dengan Joo dan Greeze. Dua gadis yang duduk bersebelahan itu masih tetap setia di dalam kelas. Di mejanya Joo menopang dagunya dengan sebelah tangannya, menunggu Greeze yang tengah membererskan perlengkapan belajarnya.
"Joo, ayo temani aku latihan!" ajak Greeze menutup resleting tasnya.
Joo bangkit dari duduknya. "Nggak deh, nanti aku disuruh gantiin Bobby lagi sama anak dance.'
Greeze berlari, menyetarakan langkahnya dengan Joo. "Klub kami sudah dapat pengganti Bobby. Ayo ikut, aku akan kenalin pengganti Bobby padamu!"
Tak lantas menjawab ajakan Greeze, Joo merajut langkahnya terlebih dahulu. Langkah lebarnya menimbulkan sepatu hak tingginya berbunyi. Sesekali Joo berenandung kecil dan meletakkan tangannya di pinggangnya.
Seolah melupakan Greeze, Joo membuka pintu ruang dance. Joo sudah sering keluar masuk ruang dance. Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya Joo ketika melihat ruangan dance terasa sunyi. Hanya ada seorang lelaki yang menggerakkan tubuhnya di depan cermin. Joo terdiam, mengamati setiap gerakan energik lelaki itu. Joo terpana dengan tariannya yang terkesan powerful. Tanpa Joo sadari mulutnya terbuka lebar mengangumi dance lelaki itu.
"Keluarlah, apa yang kau lakukan disitu?"
Joo tersentak. Apa lelaki itu telah lama menyadari Joo memperhatikannya? Aduh, bisa hancur martabat Joo sebagai gadis jual mahal kalau ia mengaku kagum dengan tarian lelaki itu. Kelopak mata Joo mengerjap beberapa kali tatkala lelaki yang menghadap cermin itu berbalik. Ternyata oh ternyata orang yang Joo kagumi tariannya itu adalah Fredy. Ya, lelaki yang baru Joo kenal kemarin.
"Joo sudah sering kemari, Fredy."
Suara tak asing itu milik Alvin. Tepat dibelakang Joo, Alvin tersenyum aneh menatap Fredy. Dalam satu tarikan kesimpulan, Fredy tak mengerti maksud dari ekspresi Alvin. Sorot mata Fredy mencoba mendesak Alvin untuk menjelaskan kehadiran Joo.
"Dia sering menemani Greeze disini. Gadis yang mengajakmu gabung tadi, Fredy." Alvin menjelaskan.
"Whats?! Kenapa kau ngggak bilang jika dia sering kesini?" kejut Fredy merasa tertipu.
"Why? Kau seharusnya suka jika latihan ditemani gadis secantik Joo," Alvin menjawab santai lalu melemparkan botol minuman isotonik pada Fredy.
Lemparan yang sempurna. Fredy berhasil menangkapnya. Kedua mata sipit Fredy menusuk netra milik Alvin. Sahabatnya itu tak mendengarkan ceritanya semalam. Fredy membenci Joo. Joo si gadis gila. Jo si gadis aneh. Apapun tentang Joo, Fredy ilfeel.
"Guys, kok pada ngumpul di ambang pintu. Yuk masuk dan segera latihan!"
Tatapan sengit itu terputus. Greeze datang mendorong bahu Alvin dan Joo agar segera masuk. Membutuhkan suasana kondusif , Greeze menutup pintu ruang dance. Di dalam ruangan itu ke empat insan hanya saling menatap canggung.
"Kurasa Alvin sudah mengenalkan Fredy," ucap Greeze seolah dapat membaca suasana di sekitarnya. "Jadi, kita bisa langsung latihan. Joo beritahu kita jika ada kesalahan." pinta Greeze menatap Joo.
"Ok, kalau urusan memantau gerakan aku bisa."
Greeze memberikan ibu jarinya pada Joo. Greeze dapat mengandalkan Joo.
"Fredy, kau sudah hafal semua gerakan yang aku ajarkan kan?" Alvin memastikan.
"Tentu saja sudah." jawab Fredy kikuk.
"Ya sudah, sekarang kita tinggal latihan, teman-teman lain sudah aku beritahu perubahannya." Greeze mengambil ancang-ancang posisinya.
Rasa penyesalan memang selalu datang di saat terakhir. Semangat Fredy luntur. Persetujuannya ikut kompetisi dance ini membuatnya sering bertemu Joo. Jika tahu seperti ini lebih baik Fredy bermain alat musik saja di studio. Sekarang ini sudah terlambat. Fredy ta bisa mencabut persetujuannya pada Greeze dan Alvin.
"Alvin cepat ke posisimu!" teriak Joo merasakan kejangalan posisi. "Semangat ya guys, kalian harus bisa!" Joo menyerukan berbagai semangat.
Suara alunan musik menyamarkan perdebatan yang terjadi. Di depan ruang latihan klub dance yang tertutup rapat Elkie bersusah payah menahan pergerakan Marcel. Kakak sedarah kandungnya itu bersikeras ingin menemui Joo. Marcel tak rela Joo memutuskannya sepihak dan meninggalkan teka-teki. Marcel ingin menuntut kejelasan.
"Anak-anak klub dance sudah selesai latihan, Kak. Lagian Kak Joo nggak datang buat lihat latihan hari ini."
"Aku nggak bisa terjerat dalam tipuan kamu, El. Aku tak akan percaya sebelum memastikannya. Jadi sekarang menyingkirlah, jangan halangi pintunya! Tingkahmu semakin mencurigakan tahu!" Marcel semakin tersulut emosi.
"Oh ya, hari ini aku dapat banyak tugas. Ada beberapa yang belum kumengerti. Kak Marcel bantuin aku mengerjakan tugas. Aku janji deh bakal belikan pisang cokelat kesukaan kakak." Elkie mendorong lengan kakaknya untuk menjauh dari ruang dance.
Marcel menahan tenaga Elkie yang mendorongnya. Baru kali ini Marcel benar-benar kesal dan marah pada sang adik. "Elkie, ada apa denganmu? Kenapa kau nyeselin banget hari ini?"
Lengkungan kurva terukir di wajah Elkie. Binar kekonyolan terpancar dari netra Elkie. Marcel yang melihatnya bergidik ngeri. Serius, wajah Elkie tampak mengerikan sekarang. Sudah menemukan saat yang tepat, Elkie berlari kencang dan melompat tinggi naik ke punggung Marcel membuat kakaknya terkejut.
"Ayo segera pergi, kakak! Aku capek habis latihan.." rengek Elkie memukul bahu Marcel.
Baiklah, kali ini Marcel membiarkan Elkie menang. Habis sudah kesabarannya beradu mulut dengan Elkie. Mungkin Joo sudah pulang terbukti dengan Elkie yang sudah selesai latihan dance. Esok hari Marcel harus meminta penjelasan pada Joo. Marcel harus bisa memulihkan hubungan yang telah rapuh ini.
***