Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

RESTART

 

'Tak ada yang benar-benar berakhir di dunia ini selama waktu terus berputar, sekalipun semuanya berakhir akan ada awal yang baru.'

 

Hari demi hari berlalu meninggalkan kenangan. Jarum jam terus berdetak tiap detik berlalu. Di depan dinding berlapis cermin, Alvin menatap pantulan dirinya. Tubuhnya bergerak lincah, menerapkan koreografi ciptaannya pada anggota lainnya.

Kompetisi dance sudah menyusul deadline dan koreografi masih belum sepenuhnya matang. Membutuhkan waktu untuk menyelesaikan dan menyelaraskan sinkronasi dance. Alvin tanpa lelah membimbing semua teman-temannya.

"Al, aku gak bisa gantiin posisi Bobby!"

Alvin menghentikan gerakan dance-nya, kedua mata sipitnya menatap Elkie yang berdiri di sampingnya dari kaca. Gadis itu meniup poni tipisnya dan melipat kedua lengannya di depan dada. Ya, Elkie adalah gadis yang Alvin percaya dapat menari dengan baik untuk menjadi center-menggantikan posisi Bobby.

"Ayolah, El. Waktu kita sudah tak lama lagi, aku yakin kau bisa menggantikan posisi Bobby." Alvin membujuk halus, ia harus membuat gadis itu bersedia.

Elkie menggelengkan kepalanya. Respon tubuh Elkie lemah jika harus mengambil dua gerakan utama berkali lipat. Bagaimana pun Elkie masih tergolong junior di klub dance. Ada anggota lain yang lebih jago menggantikan kekosongan Bobby dibanding Elkie.

"Jangan paksa aku Al--"

"Aku datang!"

Gebrakan pintu menyadarkan seluruh anggota klub dance yang tengah berlatih. Di ambang pintu Greeze membungkukkan badannya, tangannya memegang kedua lututnya, dan mengatur napasnya yang terengah-engah. Sepertinya gadis itu habis berlarian.

"Maaf aku terlambat, aku tadi harus men--" di sela-sela napasnya Greeze mencoba menjelaskan tapi perkataannya harus terhenti akibat Alvin. "Tidak masalah, Kak Greeze. Sekarang ada yang lebih penting untuk dibicarakan."

Tulang punggung Greeze kembali lurus. Ia mengangkat sebelah alisnya bingung, tak mengerti maksud Alvin. "Apa sih, Al?"

"Bobby nggak bisa ikut kompetisi. Kemarin jantung lemahnya kambuh dan sekarang ia dirawat di rumah sakit." jelas Alvin panik.

Greeze melotot tidak percaya. Lelaki berdarah Amerika-Indonesia berparas tampan bak pangeran negeri dongeng itu jatuh sakit disaat yang tidak tepat. Satu minggu lagi kompetisi diselenggarakan. Banyak poin killing part dimana Bobby menjadi center dan juga mengisi dance break. Oh tidak, kenapa setiap hari masalah terus menimpa Greeze?

"Alvin, kau gak bisa gantiin Bobby?" Greeze memutar otaknya.

"Nggak bisa, Kak Greeze. Aku sudah banyak di posisi center waktu pergantian dengan Bobby. Hampir semua teman-teman juga nggak bisa mengubah formasi mereka." resah Alvin, kaki jenjang lelaki itu bergerak mengelilingi ruang latihan dance.

Masalah Greeze tertimpa dengan masalah baru. Gadis itu dengan gontai memasuki ruang dance. Kakinya terlipat duduk di pusat ruangan. Dengan sisa semangatnya, Greeze melambaikan tangannya dan menyuruh seluruh juniornya untuk mendekat padanya. Masalah ini harus segera menemukan titik terang.

Hanya dalam kisaran waktu lima menit, semua anggota klub dance telah duduk berkumpul membentuk lingkaran. Greeze, selaku satu-satunya senior menghitung jumlah anggota. Ia harus memastikan semuanya telah lengkap namun ada satu yang kurang. Alvin. Kemana lagi laki-laki hiperaktif itu pergi?

"Alvin dimana? Bukankah tadi ia ada disini?" tanya Greeze pada anggota lainnya.

"Kak Greeze, Kak Joo datang!"

Suara itu milik Alvin. Tapi bukan itu yang mengejutkannya. Nama sahabat yang hampir satu pekan ini Greeze khawatirkan diserukan oleh bibir Alvin. Sontak Greeze menoleh ke pintu masuk. Disana ia benar-benar melihat sosok gadis dengan raut datarnya berdiri mematung di ambang pintu. 

"Joo! Kau kemana saja? Aku merindukanmu.."

Dalam hitungan sekon, Greeze berlari memeluk tubuh Joo erat. Sahabat masa kecilnya ini akhirnya telah kembali ke kampus. Greeze sangat senang.

Tunggu sebentar, Greeze mengangkat sebelah alisnya. Tak ada respon dari tubuh Joo akan pelukannya, sahabatnya itu juga belum mengeluarkan sepatah kata. Berbeda sekali dengan Joo terakhir kali mereka bertemu. Joo yang ceria dan penuh tawa.

"Joo ada apa denganmu? Kok kamu makin kurus, sih?" rasa senang Greeze lenyap begitu melihat fisik Joo setelah sekian lama.

"Greeze kita masih teman, kan?" lirih Joo.

Senyum manis terukir di bibir Greeze. "Tentu saja kita teman, sahabat sejati malahan." Greeze menarik tangan Joo. "Ayo masuk dulu, kau udah lama kan gak lihat aku latihan. Kau tahu, kompetisiku dengan teman-teman sudah makin dekat."

Joo berjalan mengikuti tungkai Greeze membawanya. Fokusnya menatap seluruh seluk-beluk ruang latihan dance. Tak ada perubahan selama Joo bolos. Sebenarnya Joo bukan anggota klub dance tapi ia sering berkunjung hanya untuk menemani Greeze dan ia juga lumayan dekat dengan beberapa anggota klub dance.

"Bagaimana kalau Kak Joo yang menggantikan posisi Kak Bobby? Pasti asyik kalau center break dance-nya ada ceweknya," usul Elkie berjalan mendekati Joo, lengannya merangkul bahu Joo akrab.

Tubuh Joo tersentak, ia melirik Elkie aneh. "Aku?"

Tepukan pelan terasa pada bahu Joo. Kali ini Greeze adalah pelakunya. Baru berkunjung, teman-teman klub dance sudah menyambutnya hangat, sayangnya Joo tak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Benar kata Elkie. Joo, kamu mau kan ikut kompetisi minggu depan menggantikan posisi Bobby? Please, Joo.." mohon Greeze.

Tanpa ada perubahan raut wajahnya, Joo menatap kedua gadis disampingnya bingung. Kedua pasang mata disamping kanan kirinya sama-sama meyakinkan dirinya. Ditambah lagi penjelasan Alvin yang menggebu, menuntun Joo memahami kejanggalan yang diciptakan Elkie dan Greeze.

"Tidak mau!" Joo menolak tawaran untuk berpartisipasi kompetisi dance dengan cepat.

"Kak Joo.." Elkie berusaha membujuk.

"Tidak ya tidak! Aku disini cuma mau bertemu dengan Greeze bukan untuk ikutan kompetisi dance!" Joo melepaskan lengan Elkie yang melingkar di bahunya begitu pun genggaman tangan Greeze. "Greeze, aku tunggu di perpustakaan selesai latihan. Aku pergi!"

Joo melenggang pergi keluar dari ruang latihan. Tak ada salam, Joo melangkah lebar. Tak mempedulikan tatapan penuh tanda tanya para anggota klub dance yang tampak terkejut dengan sikapnya. Joo tidak bisa naif dengan selalu tersenyum kepada semua orang. Bagaimana pun ia juga manusia yang tak luput dari masalah.

Selepas kepergian Joo, Alvin mengusak rambutnya ke belakang. Sulit sekali untuk mendapatkan pengganti Bobby untuk kompetisi dance nanti. Semua teman-temannya memegang egonya masing-masing. Dari semua anggota tak ada yang bersedia mengambil kekosongan posisi.

"Kak Greeze, coba nanti bujuk Kak Joo lagi. Bukankah dia suka menari?"

Kilatan tatatapan dingin Greeze lempar pada Elkie. Gadis tiga semester di bawah Greeze itu terus mendesak Joo untuk berpatisipasi. Sudah cukup bagi Greeze mendengar penolakan Joo. Berteman dari sekolah dasar membuat Greeze mamahami sikap keras kepala Joo. Jika gadis itu berkata tidak selamanya juga akan tidak.

"Elkie, ingatlah kau juga nggak mau menggantikan Bobby. Jadi jangan memaksa orang lain." Alvin menengahi.

"Sudahlah, sekarang kita lanjutkan diskusi." Greeze menimpali.

Kepala Elkie tertunduk. Bibirnya terkatup rapat mendengar senior-seniornya tak setuju dengan pendapatnya. Dengan langkah gontai Elkie berjalan mengikuti jejak Alvin dan juga Greeze yang sudah bergabung dengan anggota lainnya.

***

Sunyi. Hanya ada satu tempat dengan suasana sunyi setiap saat. Disanalah Joo berada. Gadis itu duduk sendirian di bangku perpustakaan. Tangannya memegang buku hingga menutupi wajahnya. Jika dari kejauhan terlihat Joo sedang membaca, nyatanya ia hanya menghindari para fansnya yang diam-diam mengikutinya. 

Bukannya sombong atau apa, tapi setiap Joo masuk kampus selalu ada beberapa lelaki yang mengikutinya. Tak jarang beberapa dari mereka mendekati dan mengajak Joo ngobrol. Bahkan sebelum Joo memposting beberapa fotonya bersama Marcel di akun media sosialnya, selalu ada yang menyatakan perasaannya pada Joo. Membuat Joo tidak enak hati saja.

Sekarang ini Joo merasakan ada seseorang yang memperhatikannya dari depan. Pelan-pelan Joo menurunkan buku yang menutupi wajahnya untuk melihat siapa orang yang telah membatasi tingkahnya.

"Hai Joo.."

Hampir saja tubuh Joo terjungkal ke belakang. Sejak kapan lelaki asing ini mengambil duduk di sampingnya? Kenapa Joo tidak menyadarinya?

"Aku Doni, kita satu angkatan." seolah bisa membaca pikiran Joo, lelaki berparas tampan itu kembali berucap.

Telapak tangan Joo mengusap dadanya lega. Bibirnya mengerucut disertai dengan kepalanya yang mengangguk-angguk. Kalau dilihat dari sudut pandang Joo, Doni terlihat seperti lelaki baik-baik. Sekarang ini ia tersenyum ramah pada Joo.

"Lagi baca apa?" Doni mempercair suasana.

Joo membulatkan kedua matanya, masih menyimpan rasa terkejutnya. Namun di detik berikutnya Joo meletakkan bukunya. "Majalah bulan ini sekalian nunggu teman."

"Bagus tuh," Doni mengacungkan ibu jarinya, "Oh ya, seminggu ini kamu kemana? Kok absen terus? Bulan depan kita udah berangkat KKN lho.."

Tubuh Joo kembali lesu. Tak ada pertanyaan lain apa selain menanyakan alasan bolos-membolos yang dilakukan Joo? Suka-suka Joo mau masuk apa nggak. Yang membayar juga kedua orang tuanya. Biarkan saja kedua orang tua Joo menghamburkan uangnya untuk membiayai Joo agar semakin merasa nyaman di kampus.

"Tim aku masih butuh beberapa orang, kamu mau gabung nggak?"

Rupanya Joo harus menarik kata-katanya tadi. Ternyata Doni adalah lelaki dengan bibir lemas alias cerewet. Parasnya yang tampan memang menipu. Tangan Joo bergerak memijat pelipisnya.

"Aku sudah punya kelompok lain." jawab Joo asal, sekarang ia hanya ingin sendiri.

Doni terkejut bukan main. "Benarkah?" iris hitam pekatnya menatap lekat wajah datar Joo. "Kalau begitu bolehkah aku gabung di kelompokmu? Kurasa kelompokku tak akan berjalan dengan baik jika kekurangan partisipan."

Pasti Doni merupakan fans dari Joo. Sikap lelaki itu sangat kentara mengincar Joo agar satu kelompok. Joo menghela napasnya kasar. Kenapa sih para lelaki masih kukuh mendekatinya? Jelas-jelas hubungannya dengan Marcel sudah bukan rahasia lagi.

Kepala Joo terjatuh di kedua lengannya yang bertumpu di atas meja. Suasana hati Joo kembali buruk setelah tak sengaja kembali mengingat Marcel. Sejak anniversary ke-tiga minggu lalu Joo sudah tak pernah berhubungan dengan Marcel. Lukisan menyeramkan itu membuat Joo takut dan tak bisa berjalan meraih mimpinya.

Bukan Joo namanya jika tak mengejutkan semua orang. Baik dari penampilan modisnya, perkataannya yang savage, dan tingkah konyolnya. Sebelumnya Joo tampak baik-baik saja tapi tiba-tiba matanya terpejam. Di sebelahnya Doni hanya menatap Joo lembut. Doni menopang dagunya dengan telapak tangan kirinya, matanya memandang Joo yang terlelap dalam tanda kutip.

"Joo, aku mencintaimu sejak kita bertemu untuk pertama kalinya."

Doni menyandarkan kepalanya di atas meja, menatap Joo yang tertidur pulas. Saat tangannya hendak menyentuh surai kecokelatan Joo--

"Aku numpang duduk disini ya, semua bangku penuh, hanya disini satu-satuya tempat yang longgar."

Seorang lelaki bertubuh mungil dan berparas imut mengambil duduk tepat di depan Doni. Lelaki itu datang dengan membawa beberapa tumpukan komik. Acuh tak acuh Fredy-lelaki yang baru datang-membaca komik pilihannya, mengabaikan tingkah Doni yang tengah memandangi Joo.

Tak terdengar oleh siapapun, Doni mengumpat pelan. Jika ada orang di depannya seperti ini Doni tak bisa bergerak leluasa memperhatikan Joo. Ingin Doni mengusir lelaki itu tapi tak bisa. Kursi perpustakaan hari ini memang telah penuh.

Dengan gerakan cepat, Doni menegakkan tubuhnya. Kakinya bergerak keluar dari perpustakaan. Fredy yang merasakan kepergian lelaki di depannya hanya mengendikkan bahunya lalu kembali membaca. Baru saja terhitung sekitar lima menit, konsentrasi Fredy terusik tatkala ia mendengar getaran telepon di dekatnya.

Ujung mata Fredy melirik ke meja tempatnya membaca. Ponsel milik gadis di depannya bergetar. Awalnya Fredy tak peduli, toh gadis di depannya ini akan terbangun dengan suara getaran itu namun dugaan Fredy salah. Ponsel itu terus bergetar. Kalau dibiarkan seperti ini terus ia bisa kena teguran petugas perpustakaan.

Fredy terpaksa menutup komiknya. Kedua netranya menatap lurus gadis yang ia ketahui sedang terlelap nyaman itu. Tatapan datar Fredy melebar saat matanya bertemu dengan milik gadis itu. Mata lebar gadis di depan Fredy berllinang air mata. Ya, gadis itu menangis tanpa suara ditengah ponselnya yang bergetar.

"Ada telepon masuk.." Fredy menunjuk ponsel Joo.

"Biarkan saja." lirih Joo dengan suaranya yang tercekat.

Air mata Joo mengalir semakin deras. Setiap kali ia mengingat Marcel selalu saja teringat hadiah mengerikannya. Kanvas penuh dengan kata-kata makian. Joo masih tak mau berkomunikasi dengan Marcel. Ia tak ingin melihat wajah Marcel untuk beberapa hari ke depan sebelum ia tenang.

"Kalau nggak mau angkat, tolak saja. Jangan mengganggu ketenangan disini." Fredy membuang wajahnya. Menghindari tatapan berkaca-kaca milik Joo. Fredy tak suka melihat orang yang menangis.

Tak tahan melihat Joo yang menangis, Fredy mematikan daya ponsel Joo. Fredy sendiri juga merasa terusik dengan keributan ponsel itu.

Tubuh Joo membeku. Mata sembabnya melebar tak percaya. Sikap lelaki di depannya sungguh lancang. Sepertinya lelaki itu sadar Joo menatapnya, terbukti ia balas menatapnya. Kedua mata mereka beradu. Hanya tatapan mereka yang berbicara. 

"Kenapa kau mematikan ponselnya? "

Fredy menatap aneh Joo. Pertanyaan yang aneh. "Mengganggu tahu, katanya nggak mau angkat ya sudah aku matiin."

Entah mengapa, tertoreh sedikit rasa penyesalan di hati Joo usai lelaki di depannya itu menolak panggilan dari Marcel. Benar, Joo tak ingin berbicara dengannya tapi ia juga tak ingin menolak sambungan telepon Marcel.

Tangis Joo semakin menjadi. Gadis itu semakin menelungkupkan kepalanya di kedua lengannya. Tangannya menggebrak-gebrak meja meluapkan emosinya yang tertahan. Tangisan Joo mengundang perhatian seluruh pengunjung perpustakaan. Fredy yang merasa risih dengan tatapan tajam para pengunjung, menggenggam tangan Joo agar menghentikan pergerakannya.

"Tenanglah, ini di perpustakaan." Fredy menatap tajam Joo yang meronta berusaha melepaskan genggaman Fredy.

 Aku tak akan tenang sebelum ada yang mengerti diriku." lirih Joo balas menatap tajam Fredy.

***

Derap langkah memenuhi koridor rumah sakit. Beberapa perawat berlarian mendorong tempat tidur berjalan. Di belakang para perawat yang bergerak cekatan, Alvin dan Greeze ikut menghapus jejak. Greeze seketika menarik tangan Alvin ketika lelaki itu hampir saja melewati ruangan Bobby dirawat.

"Assalamualaikum.." yakin dengan ruangan yang dimasukinya, Greeze mengucapkan salam. Sedangkan Alvin hanya tersenyum tipis.

"Habis dari mana kalian? Kok pada ngos-ngosan?"

Hening. Pertanyaan Bobby seakan melayang bersama udara. Alvin bergerak mendekati Bobby lalu mengambil duduk di kursi dekat ranjangnya diikuti dengan Greeze. Kelakuan teman dance-nya ini membuat Bobby mengerutkan sebelah alisnya. Aneh sekali.

"Bobby, udah baikan belum? Kau nggak kenapa-napa kan?" tanya Alvin khawatir.

Lelaki yang terbaring lemah di ranjang itu hanya tersenyum tipis. "Sudah baikan kok, baru saja aku dipindah ke ruang inap."

Greeze menyentuh punggung tangan Booby yang terselubung infus. "Nggak apa-apa gimana? Kamu baru dipindahkan jadi masih harus banyak istirahat!" khawatir Greeze.

"Kak Greeze aku mau bi--" perkataan Bobby terputus tatkala ia melihat seorang perawat memasuki kamar inapnya diikuti dokter yang memeriksanya sejak ia di bawa ke rumah sakit.

"Pasien Bobby, diperiksa dulu ya.."

Menyadari kehadiran dokter, Alvin dan Greeze langsung menjauh dari Bobby, memberikan ruang bagi dokter untuk memeriksa temannya. Dari kejauhan Alvin dan Greeze memperhatikan setiap pergerakan dokter. Dalam hati Greeze berharap Bobby sudah baik-baik saja seperti yang lelaki itu katakan.

"Bagaimana Dok keadaannya?'" Greeze bertanya usai dokter melepas stetoskop-nya.

"Denyut nadi-nya sudah normal, hanya saja ia masih belum bisa banyak beraktivitas." dokter lelaki muda itu membenarkan letak stetoskop dilehernya lalu menatap gadis lawan bicaranya tapi terasa ada yang aneh. Entahlah, ia seperti familiar dengan wajah Greeze.

"Kak Rafa?"

Rafa mengerjapkan matanya. Benar, Rafa mengenal gadis itu tapi ia tak mengingat namanya.

"Aku Greeze, teman Joo! Kakak masih ingat aku kan?" Greeze mencoba menggali memori lelaki berparas tampan itu.

"Greeze! Iya, aku ingat. Kau teman SD Joo bukan? Yang sering berkunjung ke rumah?" tak sulit bagi Rafa mengingat jika ia sudah mengetahui namanya.

"Iya aku temannya Joo. Sekarang satu kampus lagi!" riang Greeze.

Greeze asyik berbincang dengan Rafa. Greeze seakan-akan melupakan keberadaan kedua juniornya itu. Diam-diam hati Alvin bergemuruh karena Greeze mengabaikannya. Namun sepertinya Greeze panjang umur, gadis itu menepuk lengannya.

"Alvin, gimana ini? Aku lupa kalau ada janji dengan Joo di perpustakaan!"

Alvin menatap Greeze datar. Sudah kesekian kalinya dalam beberapa hari terakhir ini, Greeze selalu mengkhawatirkan Joo. Tapi perlahan raut Alvin juga ikut panik. Kali ini Alvin benar-benar dengar Joo berkata akan menunggu Greeze di perpustakaan.

"Kurasa aku harus kembali ke kampus," Greeze mengambil keputusan. "Bobby aku duluan ya, cepat sembuh." Greeze meminta izin pada Bobby.

Saat Greeze telah mengambil ancang-ancang untuk pergi, Rafa menahan lengannya. Kakak dari Joo itu menatap Greeze dalam-dalam. "Greeze, bisakah aku saja yang menyusulnya? Dia kabur dari rumah, aku harus membawanya pulang."

"Tapi--"

"Sekarang ini keadaan  Joo sedang tak baik-baik saja. Lebih baik kau disini, Greeze." Kontak mata Rafa dengan Greeze terputus, beralih menatap Alvin yang terdiam. "Kau ikutlah bersamaku ke kampus Joo. Tunjukkan perpustakaannya."

Melihat Alvin yang terbengong-bengong, Rafa menyambar lengan Alvin. Rafa telah menemukan keberadaan Joo. Berakhir sudah perjuangannya mencari Joo setiap pulang dari rumah sakit. Beruntungnya Rafa beremu dengan Greeze.

Ingin Greeze ikut dengan Rafa dan Alvin tapi kedua kakinya seakan nyaman berpijak di tempat. Hati Greeze resah. Ia takut Joo lama menunggunya. Bagaimana jika gadis itu marah karena Greeze melupakan pertemuannya? Tapi disisi lain tak mungkin juga Greeze meninggalkan Bobby yang terbaring sakit sendirian. Ibu Bobby masih menebus obat dan mengurus administrasi paska pengobatannya.

"Kak Greeze.."

Kecemasan Greeze pecah. Bobby memanggilnya. Greeze menolehkan kepalanya pada Bobby. Dengan wajah tenangnya Bobby menunjuk bangku kosong disamping ranjangnya.

"Aku ingin berbicara denganmu."

Satu helaan napas lolos dari bibir Greeze. Greeze menuruti permintaan Bobby untuk duduk. Masih banyak waktu yang Greeze miliki untuk berbincang dengan Bobby.

"Apa yang ingin kau bicarakan Bobby?"

"Aku nggak bisa nge-dance lagi. Aku harus menjaga setiap aktivitasku mulai sekarang agar jantung ini tak mudah kambuh."

Jantung Greeze seolah ingin terlonjak keluar dari kerangkanya. Pernyataan Bobby mengejutkannya. Harapannya telah lenyap. Belum juga Greeze membagikan semangatnya dan meminta Bobby untuk berpartisipasi, lelaki itu sudah lebih dulu berhenti.

"Bobby, tak ada yang bisa menggantikan posisimu untuk kompetisi minggu depan." jelas Greeze terasa hampa. 

Tak lantas menyesal dengan kekalutan Greeze, Bobby malah tertawa ringan. Tangannya mengusak rambut seniornya itu. "Perempuan itu memang selalu bereaksi dengan perasaannya terlebih dahulu ketimbang berpikir jernih."

"Tenang saja, aku bertanggung jawab kok." ucap Bobby mendudukkan dirinya.

"Bertanggung jawab?" bingung Greeze.

Bobby menganggukkan kepalanya. Ia lalu menyuruh Greeze untuk lebih mendekat padanya. Meskipun dalam keadaan sakit, Bobby masih menyempatkan memutar otaknya untuk berpikir. Setelah Greeze mendekat, Bobby mengungkapkan semua maksud dari tanggung jawabnya.

***

Seiring dengan rotasi bumi yang meninggalkan sinar mentari, perpustakaan kampus semakin sepi. Hanya ada beberapa orang yang yang masih setia duduk disana. Di kursi pusat ruangan, Fredy menutup komiknya. Ia telah menyelesaikan membaca komik dalam beberapa jam. Ya, meski ia sempat beragumen dengan gadis di depannya ini.

"Kau mau kemana?"

Fredy yeng telah berdiri, mengalihkan pandangannya pada seorang gadis yang menelungkupkan kepalanya di atas meja, mata bengkaknya itu terpejam. Joo ternyata masih terjaga. Fredy pikir telah terlelap akibat menangis selama hampir satu jam karena bercerita tentang kekasihnya. Ya, Fredy terpaksa mendengarkan cerita Joo hanya untuk membuatnya tenang.

"Pulanglah, kau gak pulang juga? Kau masih mau disini?" Fredy melangkahkan kakinya pelan.

"Fredy, bisakah kau disini sebentar? Aku harus menunggu temanku. Ada yang harus kubicarakan dengannnya.." Joo bersikeras menahan rajutan langkah Fredy.

Terus melintasi setiap ubin lantai, Fredy menggelengkan kepalanya tanpa menoleh ke belakang. Fredy tak peduli dengan masalah Joo. Ia terus berjalan dan berjalan sampai langkahnya harus terhenti ketika tubuhnya berpas-pasan dengan seorang lelaki berjas dokter. Namun lelaki itu dengan cepat mengambil celah jalan lenggang di samping Fredy.

"Joo!"

Lelaki itu berseru membangun keributan di dalam perpustakaan. Kedua mata Fredy yang mengikuti kemana arah lelaki itu melangkah terkejut mendapatinya menyerukan nama Joo. Ya, gadis yang baru Fredy kenal hari ini. Lelaki itu menghampiri meja Joo.

"Dia kakak gadis itu."

Fredy menoleh ke sebelahnya. Alvin, sahabat karibnya telah berdiri di sampingnya entah sejak kapan. Mengejutkan Fredy saja.

"Dia datang bersamaku."

"Ayo kita pulang! Ayah dan ibu mengkhawatirkanmu"

Bahu Fredy terbentur oleh bahu Joo. Gadis yang terlihat rapuh itu ditarik paksa oleh kakaknya meninggalkankan perpustakaan. Tapi cara kakaknya mengajak Joo terasa aneh dan bisa dibilang kasar. Fredy menyipitkan matanya, melihat hubungan aneh kakak beradik di dekatnya.

"Mereka aneh banget sih," gumam Fredy.

Diam-diam Alvin menyengir lebar. "Hei.. sejak kapan seorang Fredy peduli sama urusan orang lain, apalagi cewek."

Sebuah pukulan mendarat pada bahu Alvin. Tubuh mungil Fredy melengos melewati Alvin. Fredy geli sendiri jika Alvin sudah ada didekatnya. Lelaki seangkatan dengannya itu tak pernah lelah menggodanya.

"Fredy, tunggu! Aku ingin pulang bersamamu! "Alvin berlari kecil mengejar langkah Alvin.

Di sela-sela larinya, Alvin tersenyum senang. Ia sangat suka menjahili Fredy. Sekarang sahabatnya itu sedang berjalan cepat layaknya di kejar setan. Padahal ia hanya menggodanya, tapi lelaki itu seolah sudah marah karenanya.

"Fredy, ayo ikutan nge-dance bareng klub dance! teriak Alvin sepanjang koridor meski Fredy tak pernah merespon setiap perkataannya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SiadianDela
9008      2361     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
Jendral takut kucing
923      476     1     
Humor
Teman atau gebetan? Kamu pilih yang mana?. Itu hal yang harus aku pilih. Ditambah temenmu suka sama gebetanmu dan curhat ke kamu. Itu berat, lebih berat dari satu ton beras. Tapi itulah jendral, cowok yang selalu memimpin para prajurit untuk mendahulukan cinta mereka.
Akhi Idaman
1223      762     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Bukan kepribadian ganda
9482      1835     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Ksatria Dunia Hitam
686      482     1     
Short Story
Dia yang ditemui bersimbah darah adalah seorang ksatria dunia hitam yang kebetulan dicintainya
Alya Kirana
2060      961     1     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...
Rinai Kesedihan
794      534     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Mysterious Call
498      330     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
My Noona
6038      1473     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Malu malu cinta diam diam
508      373     0     
Short Story
Melihatmu dari jauhpun sudah membuatku puas. karena aku menyukaimu dalam diam dan mencintaimu dalam doaku