Awan putih di atas sana bergerak tergesa-gesa sama seperti sekumpulan orang-orang yang terburu-buru pergi ke kantor pagi ini. Orang-orang dengan sibuknya berlalu lalang di sekitar seorang gadis berseragam SMA yang tengah menuruni tangga menuju stasiun bawah tanah. Hari Senin pagi dan juga hari pertama masuk sekolah untuk gadis itu. Mulai hari ini gadis itu sudah secara resmi menjadi seorang siswa SMA. Meninggalkan predikat sebagai murid SMP dan menyongsong masa depan menuju kedewasaan.
Senyum gadis itu terkembang. Mulai hari ini adalah langkah awal untuk memulai debut besarnya sebagai cewek feminin. Gadis itu bertekad akan memulai hidup baru sebagai gadis yang sesungguhnya. Memakai rok di atas lutut dengan rambut panjang yang digerai. Berpenampilan selayaknya gadis biasa pada umumnya. Tidak akan ada yang tahu kalau sebenarnya gadis itu sedang bersandiwara. Berpura-pura menjadi seorang gadis biasa dengan penampilan begitu.
Siapa yang sangka bahwa gadis itu berbeda. Sedari kecil dia tidak pernah merasa kalau dia dilahirkan sebagai seorang gadis. Dia selalu yakin kalau jiwanya menempati tubuh yang salah. Lahir dengan kelebihan energi karena sekali mengangkat tangan, seseorang akan terluka. Perkelahian adalah makanan sehari-harinya. Diawali dengan adu mulut dan berakhir dengan orang yang beradu mulut dengannya akan terluka. Tidak peduli laki-laki atau seorang gadis, mereka akan terluka dan berakhir di rumah sakit. Sudah banyak korban yang dia timbulkan yang membuat banyak keributan. Namun, kebanyakan korbannya adalah laki-laki. Dan anehnya dia menikmati itu semua. Memukuli para laki-laki dan mendapati mereka lebih lemah di bawah tangannya merupakan keasyikan tersendiri baginya. Itu sebabnya gadis itu tidak pernah punya teman. Semua orang takut padanya.
Uang koinnya terjatuh saat mengambil kembalian dari mesin penjual kopi otomatis. Seorang pria berjas memungut koin itu dan dengan malu-malu memberikannya pada gadis itu. Rambut pria itu tertata rapi menggunakan pomade. Tangannya sedikit gemetar saat kulit mereka hampir bersentuhan. Matanya bersinar menatap gadis itu.
“Ah, terimakasih,” ucap gadis itu sembari menerima koinnya.
“Anu.. Itu.. “ Dia menggaruk belakang kepalanya dan tampak ragu-ragu. Wajahnya nampak seperti seorang pria berumur tiga puluh tahun. Mungkin pria kantoran jika dilihat dari jas yang dia kenakan dan sebuah tas hitam yang ditenteng di salah satu tangannya.
“Ya?” Gadis itu memiringkan kepalanya dan menatap pria itu dengan bingung. Memikirkan apa lagi yang dia butuhkan. Rambut panjangnya jatuh terurai ke samping karena gerakannya.
“Anu.. Boleh minta nomormu? Itu.. Kamu cantik banget.” Dia memalingkan wajahnya yang sedikit bersemu.
Kejadian seperti itu memang sering terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang yang berpapasan dengannya akan berhenti dan meminta nomor ponselnya. Biasanya dia mengerjai orang-orang itu dengan memberikan nomor ponsel pegawai kedai ayam goreng langgganannya. Tapi kali ini dia harus bertindak tegas karena pria itu terlihat seperti seorang om-om dan seorang om-om yang meminta nomor ponsel pada gadis di bawah umur merupakan sebuah pelanggaran.
“Aduh, maaf. Tapi aku masih di bawah umur. Bukannya tidak baik untuk orang seumur bapak meminta nomor pada anak di bawah umur? Itu.. Orang-orang akan berpikir aneh. Maaf.” Gadis itu membungkuk dan segera berlari pergi meninggalkan pria berjas yang tengah melongo itu.
“Umurku baru dua puluh satu tahun,” gumam pria itu kecewa. Rupanya memakai pomade bukan ide yang bagus. Orang-orang terus melihatnya seperti seorang pria berusia tiga puluh tahun.
Gadis itu berdiri di pinggir peron dan memandangi langit. Membayangkan akan pergi ke sekolah baru dalam beberapa menit lagi. Sekolah kali ini secara khusus dipilih oleh ayahnya. Ayah yang bertahun-tahun berada di luar negeri mendadak pulang dan memergoki kejadian itu. Ayahnya marah dan mengatakan akan mengurus semuanya termasuk sekolah gadis itu. Dia tidak merasa keberatan karena dia yakin pilihan ayahnya adalah pilihan yang terbaik.
**
Kereta sudah tiba.
Gadis itu berdiri tegak dan bersiap dengan tasnya menunggu kereta benar-benar berhenti. Tempat baru akan tiba dalam beberapa menit. Debut pertamanya sebagai gadis feminin hampir dimulai. Dia sangat bersemangat untuk memulai debutnya dan membuktikan pada mereka kalau semua image jelek yang selama ini melekat padanya itu salah. Kopi di tangannya sudah dingin. Dia sampai lupa meminumnya karena terlalu bersemangat menunggu kereta tiba. Dia menyeruputnya sedikit.
Kereta berhenti..
Pintu terbuka dan sebuah pengumuman terdengar. "Kereta dengan jurusan Kota Seoul berhenti di platform 1. Di mohon berdiri di belakang garis batas aman. Mohon dahulukan penumpang yang akan turun. Terimakasih."
Kerumunan manusia keluar lewat pintu yang terbuka dan setelahnya lebih banyak lagi yang masuk. Gadis itu terseret arus dan ikut memasuki kereta.
Namanya Lee Seha. Seorang gadis berusia enam belas tahun yang hampir menjadi siswa SMA. Sekarang dia berada di dalam sebuah kereta yang akan melaju menuju ke tempat di mana sekolahnya berada. Kereta penuh sesak dengan orang-orang yang sibuk. Tidak ada kursi kosong yang tersisa untuknya. Seha berdiri di ujung kabin dekat pintu. Pengumuman kembali terdengar, memperingatkan para penumpang untuk tidak berdiri terlalu dekat pintu. Seha melangkah mundur sedikit dan memegangi pegangan tangan yang bergelantungan di langit-langit kereta. Dipandanginya cup kopi yang telah dingin ditangannya.
Monster. Cewek perkasa. Cewek besar. Cewek berotot. Semua panggilan jelek itu terlontar padanya. Sejak sekolah dasar semua panggilan itu sudah sering terdengar karena Seha sering membuat masalah dan menghajar semua orang yang menyinggungnya. Keluar masuk ruang konseling menjadi langganannya. Ayah Seha sangat marah namun tidak bisa berbuat apa pun karena ayahnya tidak berada di dekatnya. Ayah Seha bekerja di luar negeri dan meninggalkannya di bawah asuhan seseorang yang dipanggil Paman Young. Paman Young adalah adik dari ayah Seha.
Paman Young-lah yang bertugas mengawasinya. Semua omelannya bahkan tidak pernah didengarkan Seha kecil bahkan hukuman pun tidak membuatnya merasa menyesal. Seha kecil menganggap semua hukuman yang diberikan pamannya adalah sebuah latihan untuk membuatnya menjadi lebih kuat dan tak terkalahkan sehingga tidak akan ada anak laki-laki yang berani mengganggunya.
Seha menggeleng dan tersenyum miris. Sekarang setelah mengingat itu dia menjadi merasa seperti orang bodoh. Andai saja dia bisa kembali ke masa lalu dan menasehati Seha kecil untuk tidak mempunyai pikiran menjadi lebih kuat. Karena berkat pikiran Seha kecil itu, sekarang dia benar-benar menjadi sangat kuat.
Kehidupannya jadi lebih baik setelah Seha memasuki sekolah menengah pertama. Seha mulai bisa mengendalikan dirinya untuk tidak sembarangan memukul orang dan mulai berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah memukul seorang gadis. Karena menurutnya para gadis itu lemah dan Seha benci kenyataan bahwa gadis itu lemah. Kalau Seha memukul mereka yang ada dialah yang salah. Karena mereka lemah, mereka menggunakan hal lain untuk menyerang. Hal lain yang lebih mengerikan daripada pukulan. Gosip.
Gosip tentang Seha mulai menyebar. Teman sekelasnya sejak sekolah dasar ikut andil dalam membuat gosip itu semakin menyebar. Teman-teman yang susah payah dia kumpulkan hilang satu per satu dan hanya menyisakan satu orang. Seorang gadis berwajah pucat bernama Jisoo. Gadis ceria dan satu-satunya gadis yang tidak takut pada Seha. Menurut gadis itu, Seha tidak akan memukulnya karena mereka adalah teman. Seha sampai menangis terharu karena kata-kata itu.
Menahan diri untuk tidak sembarangan memukul orang merupakan hal yang berat bagi Seha. Emosinya selalu meluap-luap melihat para laki-laki yang merendahkannya dan menganggap semua gosip itu hanya bualan semata. Hingga akhirnya emosinya tidak terbendung lagi. Seseorang yang dianggap berkuasa dan boleh dibilang premannya sekolah itu mendapat luka serius di rahangnya yang mengharuskannya menginap di rumah sakit selama berminggu-minggu. Panggilan ke ruang konseling kembali menghampirinya. Paman Young marah besar dan sampai tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghukum Seha.
Kemudian Paman Young mempunyai ide yang hebat. Dia menyalurkan bakat Seha memukuli orang dengan mendaftarkannya kelas tinju. Seha tidak perlu memukuli orang lagi karena sebagai gantinya dia akan memukuli samsak. Ternyata cara itu terlihat sangat efektif karena Seha harus mematuhi peraturan sebagai seorang petinju bahwa perkelahian hanya terjadi di dalam arena.
Hingga akhirnya Seha mulai menyadari kalau dirinya adalah seorang gadis. Memukuli orang bukan hal yang biasa dilakukan gadis. Seha mengalami sesuatu yang disebut jatuh cinta. Seha menemukan cinta pertamanya dan mambuatnya berubah. Berusaha menjadi gadis sungguhan dan mulai merawat diri. Di sinilah awal mula semua permasalahan muncul. Para laki-laki yang melihat perubahan Seha mulai gencar membanding-bandingkan seluruh gadis di sekolah dengan dirinya. Seha yang biasanya tidak terlihat mendadak jadi terkenal dan mendapat perhatian lebih. Hal itu memancing ketidaksukaan dari para gadis. Mereka bahkan berani memojokan Seha di belakang sekolah hanya untuk mengancamnya.
“Hei, wajah seperti itu nggak cocok dengan tubuh begitu. Merusak pemandangan saja.” Seorang gadis berambut panjang yang digerai mencengkeram dagu Seha. Ancaman seperti itu tidak membuat Seha takut. Dia sudah terbiasa menahan pukulan saat latihan tinju jadi dia hanya menganggap ancaman itu sebagai gertakan kecil.
“Kalau iri bilang saja, tidak perlu pakai mengancam begini.” Seha melotot pada gadis berambut panjang itu.
Dia lalu menampar Seha. “Berengsek! Cewek ini menjengkelkan sekali. Aku yakin seratus persen kalau wajahmu itu hasil operasi.”
“Dengan wajah hasil operasi begitu masih saja bangga memperlihatkannya kemana saja. Daripada buang uang buat operasi wajahmu, operasi saja tubuhmu tuh, penuh otot menggelikan sekali. Cewek kekar.” Gadis lainnya ikut menimpali.
“Sialan cewek kekar, kekeke.” Yang lainnya tertawa.
“Memangnya kenapa kalau wajahku hasil operasi? Yang operasi kan aku terus kenapa kalian yang ribut? Merasa tersaingi karena wajah hasil operasi terlihat lebih cantik?” Seha menyeringai melihat kelakuan mereka yang meributkan hal tidak berguna.
“Melunjak lagi!” Salah satu gadis mendorong Seha ke tembok dengan keras. Punggungnya menabrak tembok. “Dengar, ya. Kami tidak suka kenyataan kalau wajah begitu dimiliki oleh cewek kekar yang kerjaannya memukuli orang seperti preman. Mungkin akan lebih bagus kalau wajah begitu jadi punya banyak bekas luka seperti dulu. Benar, kan?”
“Kekeke, benar sekali.”
Mereka semua mengerubungi Seha. Membawa alat-alat yang bisa melukai. Tangan Seha mulai terkepal. Menahan emosi jauh lebih sulit. Dia ingin memukul mereka tapi Seha sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak memukul gadis lagi.
“Kenapa? Kau mau memukul kami? Ayo pukul!” Gadis itu memajukan wajahnya ke arah Seha tanpa takut. Mereka sengaja memojokkan Seha untuk membuatnya memukul mereka.
Mereka mulai menjambak rambut Seha dan hampir memotongnya. Seseorang berteriak, “Pak guru! Lihat, ada pembullyan.” Mereka langsung mendorong Seha menyingkir, menginjak-injak kakinya dan langsung berlari pergi.
Jisoo berlari menghampiri Seha. Dialah yang berteriak barusan. “Kau tidak apa-apa? Kali ini mereka keterlaluan.” Dia meninju tembok lalu meringis kesakitan sendiri.
Seha tertawa melihat tingkah konyolnya itu. “Tidak apa-apa. Mereka cuma iri dengan wajahku.”
“Apa? Benar-benar tidak berguna. Ngomong-ngomong aku juga penasaran. Kau beneran operasi?” Jisoo menatapnya setelah membantunya berdiri.
“Hei, hei, kau dari tadi mengintip di sebelah sana kan?”
Jisoo mengelak, memalingkan wajahnya dan pura-pura memandangi coretan di tembok. “Tidak. Aku datang saat mereka hampir menggunting rambutmu.”
“Kau itu nggak pandai berbohong. Hidungmu berkedut begitu.”
“Akhh, menyebalkan.” Dia mengentakkan kakinya kesal dan Seha menertawainya.
Kejadian itu hanya segelintir kejadian yang memicu kejadian besar berikutnya. Setelah itu kehidupan Seha tidak sama lagi seperti sebelumnya.
**
Kenangan itu masih menyisakan rasa kesal dihati Seha. Kali ini Seha akan buat kenangan yang sangat manis. Berhenti memukuli orang dan berusaha menjadi gadis feminin. Dia akan merubah semua panggilan monster, cewek kekar, cewek berotot dengan sebuah image baru gadis feminin. Dia sudah bertekad akan mewujudkan hal itu apalagi karena Seha sudah berjanji pada seseorang untuk tidak akan memukuli orang lagi.
“Ah, ngomong-ngomong aku merindukan Jisoo. Katanya dia pindah ke Seoul. Apa aku bisa bertemu dengannya, ya,” gumam Seha sambil kembali menyeruput kopinya yang benar-benar sudah dingin. Terakhir kali Seha bertemu Jisoo adalah di malam saat dirinya terbaring di rumah sakit. Jisoo menangis keras sambil meminta maaf lalu setelah itu mereka belum pernah bertemu lagi.
Seha menoleh. Tatapan seseorang di seberang sana membuatnya jengah. Terus memandanginya tanpa berkedip seperti orang mesum. Seha mengeluarkan hoodie dan memakainya. Menutup kepalanya dengan tudungnya dan menyembunyikan rambut panjangnya. Sekarang tubuhnya jadi terlindungi. Orang itu mengalihkan tatapannya. Sepertinya dia sudah sadar diri.
SMA K, sekolah yang ayah Seha pilih. Kata ayahnya sekolah itu termasuk sekolah yang populer. Seha bahkan tidak tertarik mencari tahu karena dia sudah percaya sepenuhnya pada ayahnya. Seha hanya melihat brosurnya yang mengatakan ‘Sekolah campuran terbaik nomor satu’. Semua sekolah juga bisa membuat slogan seperti itu. Membuat sekolahnya seakan benar-benar nomor satu hanya dengan menuliskan kata nomor satu. Seha tidak terlalu mempermasalahkan dengan kata nomor satu yang belum jelas itu, yang terpenting baginya adalah debutnya harus berjalan lancar.
Sebuah pengumuman terdengar bahwa kereta akan segera berhenti di stasiun Seoul. Tempat pemberhentian terakhir Seha. Seha menegakkan tubuhnya dan merapikan pakaiannya. Dia menarik nafas panjang dan memantapkan hatinya.
“Mari memulai debut pertamaku.” Seha menyemangati dirinya sendiri.
SMA K berada dekat dengan stasiun. Seha keluar dari stasiun dan menyeberang di trotoar lalu masuk ke sebuah gang kecil. Kata ayahnya ikuti saja gang itu dan sekolah tepat berada di ujung gang. Seha hanya perlu mempercayai kata ayahnya karena dirinya tidak mengenal jalan ini. Seha sempat bingung dengan arah jalan yang ditujunya karena gang itu seperti gang buntu yang tidak banyak dilalui orang. Seha sampai memikirkan kalau sekolah yang akan didatanginya adalah sekolah terpencil.
Di depan Seha ada seseorang yang memakai seragam sama sepertinya berjalan berbelok ke sebuah gang kecil. Seha mengikutinya karena merasa tujuan mereka pasti sama. Orang yang dia ikuti berhenti dan berdiri di sebelah seorang laki-laki yang berjongkok di depan laki-laki lain yang terkapar di tanah.
"Dasar brengsek! Aku kan sudah bilang untuk mengembalikannya dalam tiga hari. Kau tidak dengar ya?" Laki-laki itu langsung menendang anak tak berdaya yang kini mulai berlutut itu. Orang yang kuikuti juga ikut menendangnya.
Seha melotot melihat pemandangan itu. Sepertinya dia salah mengikuti orang. Orang yang diikutinya rupanya seorang preman. Buru-buru dia beringsut di sebuah gang buntu dan bersembunyi di belakang tong sampah. Debut pertamanya bisa hancur kalau dia berurusan dengan preman seperti mereka. Seha harus bersembunyi dan mencari cara untuk melarikan diri.
"Mulutmu dijahit ya? Kenapa diam saja?" Suara laki-laki itu terdengar keras. Kaki Seha sampai gemetar karena pegal. Sepertinya masih sangat lama sampai mereka pergi. Seha berusaha mencari jalan untuk kabur sebelum mereka menyadari keberadaannya. Tudung hoodienya masih terpasang dan dia menambahkan masker untuk menutupi wajahnya.
Beberapa menit yang lalu dia sudah bertekad untuk memulai debutnya. Langkah pertama untuk memulainya adalah menghindari masalah. Seha melihat sebuah jalan kecil tak jauh darinya. Senyumnya terkembang. Semoga saja jalan itu tembus ke gang besar yang sebelumnya dia lewati. Seha bergerak tapi kakinya kesemutan. Dia bertumpu pada tong sampah dan membuat tutupnya terjatuh hingga menimbulkan suara berisik.
“Siapa itu?” Teriakan terdengar dan beberapa langkah kaki mendekat. Seha segera berlari ke arah jalan kecil itu dan bersembunyi tepat sebelum orang-orang itu melihatnya.
“Sialan! Tidak ada siapa pun.” Suara seseorang berteriak dan Seha semakin menempelkan punggungnya ke tembok. Jantungnya berdegup kencang.
“Baiklah, lain kali kau tidak akan selamat berengsek. Ingat itu!”
Beberapa langkah kaki mulai berjalan menjauh. Seha menghembuskan nafas lega dan mulai berjalan mengikuti jalan kecil itu. Jalan kecil itu begitu jauh dan berkelok-kelok tapi setelah keluar dari jalan kecil itu dia sudah berada tepat di seberang sekolah yang akan ditujunya. Sebuah sekolah bergaya modern dengan tulisan SMA K yang terpatri di atas gerbangnya. Sepertinya sekolah ini lebih bagus dari pada yang Seha bayangkan.
Banyak murid laki-laki yang melewati Seha dan menatapnya dengan tatapan aneh. Mungkin karena Seha mengenakan hoodie bertudung yang menuputi tubuh dan kepalanya juga mengenakan masker. Bahkan ada yang melewatinya sambil berbisik-bisik.
"Kurasa dia habis kena disipliner dan jadi malu. Tapi kenapa pakai rok?"
"Apa dia sudah gila? Memakai rok di sekolah. Sinting!"
Seha mengabaikan semua bisikan-bisikan itu dan kembali melanjutkan jalannya menuju ke kelas. Dia merasa memangnya ada yang salah dengan memakai rok, padahal gadis identik dengan memakai rok. Mereka seperti tidak pernah melihat gadis memakai rok.
"Hei babi, cepat kemari!" Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan wajah khas preman dan dikelilingi oleh anak buahnya berteriak lantang.
Langkah Seha terhenti. Dia menoleh ke arah laki-laki berwajah preman itu. Merasa kalau panggilan babi ditujukan untuknya. Akhir-akhir ini Seha sedikit sensitif dengan panggilan itu karena Paman Young selalu memanggilnya babi. Padahal selama ini Seha sudah berusaha menurunkan berat badannya dengan berdiet gila-gilaan dan sekarang laki-laki itu membuat masalah dengan mengatai Seha babi. Seha hendak menghampiri laki-laki berwajah preman itu tapi seseorang muncul dari belakang Seha. Seorang laki-laki bertubuh tambun dengan tinggi sekitar 140 cm muncul dan berjalan menunduk mendekati laki-laki preman itu. Sejenak Seha menghembuskan nafas lega. Bukan dia yang dimaksud. Dia kembali melanjutkan jalannya.
Hari pertama untuk siswa baru akan diadakan masa orientasi di kelas masing-masing. Di sepanjang koridor yang Seha lalui penuh dengan laki-laki bertampang preman yang memandanginya seperti dia ini orang sinting. Seha merasa setiap orang yang dia lihat semuanya seperti preman. Sejenak Seha mulai mempertanyakan apakah dia memasuki sekolah yang benar.
Kelas 10-3. Seha berhenti di depan kelas dan mengamati penanda kelas itu. Menarik nafas panjang sebelum membuka pintu. Debut pertamanya segera dimulai. Seha membuka pintu dan disambut oleh beberapa pasang mata yang menatapnya aneh. Seha duduk di bangku tengah dan memandang sekeliling. Seha mulai menyadari kalau ada sesuatu yang aneh. Sedari tadi dia tidak melihat satu pun siswa perempuan di sekolah ini. Seha masih berpikir positif bahwa para gadis sedang bergerombol di toilet. Sementara itu orang-orang dikelas yang semuanya laki-laki mulai memandanginya dengan aneh.
Bel berdering dan semua siswa duduk di tempatnya. Tapi.. Semuanya laki-laki. Seha mulai resah. Di mana semua siswa perempuan yang bergerombol itu. Seha masih berpikir positif bahwa mereka tidak mendengar bel yang berdering. Seha duduk tenang dan menatap ke depan. Seorang guru berambut hitam dengan tubuh jangkung muncul dari pintu. Seha menatapnya heran. Seorang guru berwajah sangat tampan dan terlihat seperti model.
“Kelas 10-3. Baiklah anak-anak kita mulai perkanalannya.”
Seha kembali merasa resah. Dia mengamati sekeliling lagi dan menyadari bahwa kelas ini sudah terisi penuh dengan siswa laki-laki. Dia merasa kalau dia salah masuk kelas dan masih berpikir positif kalau kelas yang dia masuki adalah kelas khusus untuk laki-laki. Tapi itu tidak mungkin karena guru di depan sudah menyebutkan kelasnya dengan benar.
“Tidak ada yang boleh memakai hoodie, jaket, masker dan topi di dalam kelasku. Nah, bocah yang di tengah copot hoodiemu sekarang atau aku yang akan melepasnya!” Suara guru itu menggema di dalam kelas. Seha tersentak dan menoleh ke depan. Guru itu sudah memelototinya. Seha celingukan karena tidak mendengar apa yang diucapkan guru itu.
“Lepas hoodiemu dan serahkan hoodiemu ke depan kalau tidak mau langsung keluar dan jangan kembali lagi.” Ucapan guru itu terdengar tegas ditambah dengan gerakan tangannya yang langsung menunjuk ke arah Seha.
Semua orang mengamatinya, menuntutnya untuk segera maju ke depan dan menyerahkan hoodienya. Seha berdecak kesal. Dia butuh penjelasan kemana perginya semua gadis di sekolah ini. Seha melepas maskernya lalu melepas hoodienya di tempat duduknya. Rambut panjangnya jatuh tergerai dan membuat semua laki-laki berdengap. Kemudian dia berjalan ke depan dan menyerahkan hoodienya pada guru itu. Semua orang bersorak ketika melihat Seha menoleh. Seha mengerutkan keningnya bingung dan merasa sepertinya ada sesuatu yang salah.
***