HORSES FOR COURSES
Chapter 11 : Keep
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
12. LAUDE's President
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Jam sudah menunjukkan pukul 08:10 KST, akan tetapi kamar tidur Arisa masih saja terlihat remang-remang dan sangat sepi. Sang penghuni ruangan nampaknya masih terlelap dalam tidurnya itu. Pintu kamar perlahan terbuka, sesosok lelaki memasuki kamar Arisa membuka gorden jendela lebar-lebar.
Sinar matahari yang begitu silau itu menyeruak seisi kamar tidur Arisa, ruangan yang sebelumnya minim cahaya itu kini menjadi terang benerang. Sosok yang berbaring dengan tenang di atas ranjang itu mendadak menggerutu dan menutupkan selimut panjangnya itu ke seluruh bagian tubuhnya. Namun sosok lelaki itu tak juga menyerah, ia menarik selimut Arisa dengan kasar, yang sukses membuat gadis kecil itu nampak kesal, “Hwannie!”, ujarnya dengan pelan.
“Bangun dong, Na”, ujar lelaki itu seraya membantu sang gadis di hadapannya itu untuk duduk. Namun dalam sekejap, Arisa kembali ke posisi tidurnya. “Nona!”, ujar Hwannie yang kini mulai geram. “Pergi lu”, ujar Arisa seraya memiringkan badannya ke arah yang berlawanan dengan Hwannie. Sang asisten itu tak mau mendengarkan perintah nonanya, ia tetap berdiam diri di tempatnya seraya menatap punggung nonanya itu dengan tatapan masam.
Ponsel Arisa mendadak berdering, Arisa mungkin tak menggubrisnya sama sekali, namun Hwannie berinisiatif dengan sendirinya untuk mengecek ponsel milik nonanya itu. Dilihatnya nama yang cukup tidak asing di layar ponsel Arisa. “Gavin?”, ujar Hwannie. Arisa pun seketika menolehkan kepalanya, menatap Hwannie yang berdiri beberapa meter darinya itu. “Serius lu?”, tanya Arisa, dan Hwannie pun mengangguk dengan yakinnya.
“Saya angkat nggak nih?”, tanyanya seraya memegang ponsel Arisa itu di tangannya. Arisa segera beranjak dari posisinya, ia kini duduk di atas ranjangnya itu dan menghadap ke arah Hwannie. “Siniin aja”, ujar Arisa seraya mengulurkan tangan kanannya pada Hwannie. Baru beberapa saat setelah Hwannie hendak memberikan ponsel yang ia bawa itu kepada pemiliknya, ia sudah dikejutkan dengan layar ponsel Arisa yang mendadak mati, dan suara dering yang mati pula.
“Loh, dimatiin?”, ujar Hwannie yang tiba-tiba menghentikan langkahnya itu. Hwannie mensejajarkan layar ponsel Arisa itu dengan wajahnya, dan tentu saja ponsel itu tetep dalam keadaan mati. “Lu ngapain Hwan? Wajah lu nggak terdaftar kali di face unlock HP gue”, ujar Arisa begitu ia menatap kelakukan asistennya yang agak konyol itu. Masih tak mau menyerah, Hwannie kini mencoba untuk membobol keamanan ponsel yang lain. Kali ini fingerprint lah yang menjadi sasaran Hwannie. Lelaki itu menempelkan jari jempol tangan kanannya ke sisi layar bawah tengah. Dan dengan ajaibnya, layar ponsel itu menyala.
Hwannie seketika menatap sosok gadis kecil yang duduk di atas ranjang itu, “Na, kok bisa kebuka? Sejak kapan sidik jari gue terdaftar di HP lu?”. Arisa justru tertawa, “Waktu lu tidur, gue pinjem tangan lu buat masukin sidik jari lu ke HP gue”, ujarnya seraya cengengesan. Berbeda dengan Arisa yang tertawa dengan bebasnya, Hwannie justru nampak khawatir. “Nggak apa-apa nih?”, ujarnya. “Nggak apa-apa lah, lu kan asisten gue sendiri”, kalimat itu keluar dari mulut Arisa dengan sungguh santainya.
Hwannie sempat terdiam sejenak mendengar kalimat gadis itu. Ia menarik nafas cukup dalam dan kembali berbicara. “Selain saya, ada lagi nggak yang bisa buka HP lu?”, kalimat Hwannie itu sukses membuat Arisa terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali rangkaian keamanan di ponselnya itu. “Yang bisa buka pake face unlock cuma gue, yang bisa buka pake fingerprint gue sama lu, sedangkan kata sandi yang gue pasang di HP gue cukup ribet, nyaris nggak mungkin kalo ada orang lain yang bisa buka”, ujar Arisa dengan panjang lebar. Hwannie seketika tersenyum gembira mendengar penjelasan nonanya itu, ‘Mungkin nggak sih kalo saya punya tempat di sisi nona?’.
Tak lama, ponsel Arisa kembali berdering, namun kali ini bukan panggilan suara yang masuk, akan tetapi sebuah pesan singkat lah yang masuk. Hwannie pun segera mengecek dari mana kah pesan itu berasal, “Gavin?”. “Bawain sini Hwan!”, ujar Arisa dengan cukup tegas. Hwannie segera memberikan ponsel itu kembali pada pemiliknya. Terlihat sebuah pesan bertuliskan, “Ar, hari ini LURIOUS free, kalo mau main ke apartemen silahkan aja”. Arisa dengan gembiranya itu pun segera membalas pesan itu, “Gue otw”.
Arisa segera beranjak dari ranjangnya, gadis itu berlari dengan penuh semangat menuju kamar mandi. “Pergi Hwan! Gue butuh kamar gue buat ganti baju ntar!”, ujarnya sesaat sebelum ia keluar dari kamarnya. “Masih nanti juga kok”, ucap Hwannie dengan tatapan malasnya, yang sama sekali tak digubris oleh Arisa itu.
Tak butuh waktu lama, Arisa sudah keluar dari kamarnya dengan pakaian cantik yang terlihat sangat cocok dengannya. Gadis itu segera melangkahkan kakinya keluar rumah. Bahkan Hwannie yang sempat berpapasan dengannya itu ia abaikan mati-matian. “Nona nggak sarapan dulu?”, ujar Hwannie seraya menatap Arisa yang sama sekali tak menghentikan langkahnya itu. “Nggak”, jawab Arisa singkat, tanpa menatap Hwannie sedikitpun.
Hwannie yang melihat nonanya berjalan menuju helikopter di depan rumahnya itu segera berlari mengejarnya. Hwannie mungkin tak sempat membukakan pintu helikopter untuk Arisa, namun ia masih sempat menutup pintu itu untuk sang gadis. “Hati-hati, Na”, ucap Hwannie sesaat sebelum ia menutup pintu helikopter itu. Baling-baling helikopter berputar dengan sangat kencang dan helikopter pun mulai terbang begitu tinggi. Hwannie sempat mengamati helikopter yang terbang hingga kini sudah menghilang dari pandangannya, setelahnya Hwannie kembali masuk ke dalam rumah kediaman Yamaguchiya itu dan melakukan beberapa pekerjaan rumah.
Helikopter Arisa mendarat tepat di depan apartemen mewah milik LURIOUS, gadis itu segera turun dari helikopter. Di saat yang bersamaan, sesosok keluar dari dalam apartemen guna menyambut kedatangan gadis itu. Gavin memberikan senyumannya, yang dibalas oleh senyuman Arisa pula. Gavin pun menuntun Arisa agar gadis itu masuk ke dalam apartemen. “Btw, yang lainnya mana?”, ujar Arisa begitu ia mendapati keadaan apartemen yang sepi sunyi ini. “Pada di dalem”, ujar Gavin seraya menutup pintu apartemen kembali.
“Loh, Ar? Nggak ngomong-ngomong kalo dateng”, ujar Mosses yang baru saja datang dari dalam apartemen. “Main kan? Yuk nongkrong di ruang tengah?”, ujarnya lagi. Arisa nampak tersenyum gembira dengan tawaran Mosses itu, gadis itu pun mengangguk dengan semangat. Akan tetapi, sebelum Arisa sempat melangkah, Gavin memegang tangan Arisa, mencegah gadis itu untuk pergi. Arisa pun mendadak kaget dengan tindakan Gavin terhadapanya itu. “Ar, lupa ya? Kita kan ada urusan penting sama agensi?”, ujar Gavin seraya menatap Arisa dengan serius.
Mosses yang mendengar kalimat Gavin itu nampaknya juga sama kagetnya dengan Arisa. “Agensi? Maksud lu Phyon?”, tanya Mosses pada sosok di depannya itu. Gavin pun mengangguk tanpa ragu. “Iya kan, Ar?”, ujar Gavin seraya memegang tangan Arisa semakin kencang, layaknya tingkah Gavin pada Arisa kemarin. Lelaki itu berusaha mengingatkan Arisa pada kalimatnya dulu, “Gavin deketin lu cuma punya niat buruk”.
Arisa pun segera berakting layaknya ia baru saja melupakan hal yang sangat-sangat penting, “Oh iya, gue lupa. Maaf ya, Mos. Mainnya lain kali aja”. “Nggak apa-apa kok”, ujar Mosses yang nampak agak kecewa itu. “Mos, lu pasti capek kan? Lu mending istirahat di dalem deh”, ujar Gavin dengan gaya sok peduli pada Mosses. Mosses pun mengangguk pelan dan mulai meninggalkan dua orang di ruang tamu itu.
“Duduk, Ar”, ujar Gavin mempersilahkan Arisa untuk duduk di sofa ruang tamu. Gavin pun ikut duduk di sebelah Arisa. “Maaf ya, gue nggak ada niatan bohong, gue juga nggak ada niatan buat ngejauhin Mosses dari elu. Gue ngelakuin semua ini cuma buat kebaikan elu”, ujarnya pelan. Gavin yang menatapnya dengan wajah bersalah itu membuat Arisa merasa tak tega. Gadis itu pun tersenyum kecil dan menjawab kalimat Gavin dengan lembut, “Nggak apa-apa kok”.
Mereka berdua pun asik bersenda gurau bersama, ruang tamu yang sepi sunyi tanpa ada suara apapun yang mengganggu itu sungguh membuat momen mereka semakin sempurna. Suasana di antara mereka itu terasa sangat mendalam, cukup kuat untuk masuk ke dalam hati mereka berdua. Canda tawa terus saja terdengar, sesekali mereka saling bertatap-tatapan dengan sebuah pandangan mata yang amat penuh perasaan.
“Lu ingat kan, Ar? Waktu pertama kali ke sini?”, ujar Gavin dengan tawa kecilnya yang begitu manis itu. “Iya iya gue inget, waktu itu gue cuma kenal elu doang. Jadi dikit-dikit Gavin mulu”, ujar Arisa yang juga tertawa itu. “Lagian gue emang sosok yang bisa diandalin kok”, ujarnya seraya menggerakkan kedua alisnya beberapa kali, dengan rasa sombong yang sedikit muncul di hatinya.
Namun Arisa nampaknya tak terlalu menggubris kesombongan Gavin itu. Arisa justru melanjutkan ceritanya yang ia rasa masih belum selesai itu, “Terus abis itu gue mulai kenal dikit-dikit sama Rocky, soalnya dia anaknya kan juga friendly, jadi mudah bergaul gitu”. “Iya gue inget itu”, ujar Gavin, ia layaknya merasakan hal yang sama seperti Arisa.
Akan tetapi raut wajah Arisa kali ini justru nampak mulai berubah. Ia yang semula riang gembira itu mulai terpikirkan oleh hal lain yang mendadak menyerobot masuk ke dalam otaknya. Gadis itu terdiam dan menunjukkan tatapan kosong di wajahnya. Gavin yang mulai merasa khawatir itu akhirnya mencoba menggapai kembali jiwa Arisa yang telah terbang jauh itu. “Ar”, ucap Gavin. Namun Arisa belum juga menunjukkan reaksinya. “Arisa!”, Gavin pun mencoba kembali. Sayangnya percobaan Gavin itu masih belum juga membuahkan hasil.
Merasa masih belum puas, Gavin akhirnya mencoba usaha terakhirnya. Lelaki itu menggapai pundak Arisa dan mulai mengguncang-guncangkan tubuh Arisa dengan pelan. Seketika, Arisa nampak kaget bukan main. Ia bahkan terdiam sejenak dan menghela nafas panjang. “Kenapa, Ar?”, tanya Gavin yang semakin merasa khawatir itu. Arisa justru tersenyum dengan begitu masamnya, sungguh rasa berat hati yang terlihat jelas, “Nggak apa-apa kok”, ujarnya seraya menggaruki rambutnya pelan.
Di sisi lain, Mosses tentu merasa aneh dengan sikap Gavin yang seakan-akan mengusirnya itu. Namun ia masih saja berusaha untuk positive thinking, ia berjalan menuju ruang dan memutar film kesukaannya, ‘The Boss Baby’. Jarak antara ruang tengah dengan ruang tamu yang cukup jauh itu membuat Mosses tak bisa mendengar percakapan antara Arisa dengan Gavin, serta tak memungkinkan Arisa dan Gavin untuk mendengar suara dari film yang diputar oleh Mosses pula.
“Dasar anak kecil! Nonton kartun!”, ujar sosok yang mendadak lewat di hadapan Mosses itu. Mosses hanya menatap sosok itu dengan tatapan masamnya sesaat, dan kembali fokus pada layar LED TV di hadapannya itu. “Anak kecil!”, seusai meneguk segelas air minum di ruang makan, sosok itu masih juga mengatai Mosses. “Diem lu, kepala batu!”, Mosses kali ini mulai tersulut api emosi. Kalian tentu sudah tau kan siapa gerangan yang dipanggil, ‘kepala batu’ oleh Mosses itu? Yap, siapa lagi kalau bukan Rocky.
Bukannya kembali ke kamarnya, Rocky justru ikut duduk di sebelah Mosses. Mosses yang menyadari tingkah Rocky itu tentu kesal bukan main, “Tadi lu ngataim gue anak kecil tapi sekarang lu ikut nonton?!”, tak lupa Mosses menatap Rocky dengan cukup tajam. “Berisik”, ujar Rocky tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. Bahkan dengan beraninya, Rocky menengokkan kepala Mosses yang menatapnya itu menggunakan tangannya. Mosses dengan berat hatinya itu pun terpaksa membiarkan Rocky ikut serta dalam bioskop kecilnya ini.
Hingga beberapa saat berlalu, Mosses rupanya mulai terpikirkan oleh sesuatu yang lebih penting. Perlahan lelaki itu nampak serius, “Ky, lu sadar nggak ada yang berubah dari kita?”. “Arisa”, ucap Rocky dengan segera, tanpa perlu berpikir banyak lagi. Mosses yang mendengar jawaban tegas Rocky itu kini menatap sosok di sebelahnya dengan semakin serius. “Gue yakin lu sadar, Mos”. Rocky terdiam sejenak, membiarkan Mosses merasakan keseriusannya dengan perlahan.
“Sejak kita berantem, Arisa mulai ngejauh dari kita dan justru deket sama Gavin”, Rocky berhenti sejenak guna menghela nafas panjang. Lelaki itu menatap Mosses dan kembali mengutarakan kalimatnya, “Apa lu nggak ngerasa aneh?”. Mereka berdua saling bertatap-tatapan. Sesungguhnya Mosses telah menjawab pertanyaan Rocky, namun ia menjawabnya di dalam hati, berharap Rocky sadar akan pesan batin yang disampaikannya itu.
Masih dengan wajah seriusnya itu, Rocky kembali menyampaikan isi hatinya, “Kemarin gue liat Arisa gandengan tangan sama Gavin”. Mosses pun nampaknya juga memiliki sesuatu untuk disampaikan, “Hari ini Arisa dateng, dan gue diusir sama Gavin”. “Gue rasa nggak seharusnya kita berantem”, ujar Mosses lagi. Lelaki itu mendadak berdiri dan menatap Rocky dengan begitu dalam, “Ky, kita harus betindak! Kita nggak salah, Ky! Kita bisa dapetin Arisa kembali!”. Rocky mendadak berdiri kembali, ia mengangguk dengan yakinnya.
“Ky, gue nggak tau lu beneran ngincer duitnya Arisa doang apa nggak…”, Mosses menjeda kalimatnya. Namun jedaan kalimat Mosses itu menjadi pas dengan kalimat spontan Rocky, “Gue nggak tau lu sekedar salah paham atau bener-bener ngefitnah...“, Rocky juga turut menjeda kalimatnya. Kali ini giliran Mosses yang mengisi kalimat mereka itu, “Tapi tujuan kita sama…”. Masih belum selesai juga, Rocky lah yang bertugas menutup rangkaian kalimat mereka ini, “Jauhin Gavin dari Arisa!”. Tak hanya dengan kalimat-kalimat mereka yang luar biasa itu, mereka berdua bahkan melakukan highfive dengan begitu kompaknya, sesuai dugaan layaknya teman dekat yang sudah lama tinggal bersama.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG