Ada Swara tersenyum miris. “Sahabatnya,” ujar Ada, jeda sejenak. “Mark Simpson. Aku sangat membencinya.”
???
Sepertinya Ada Swara benar-benar menyukai anak lelaki bernama Elang itu. Elang terlihat dewasa dalam bertindak, berbicara, maupun berpikir. Elang jarang berbicara hal yang tidak penting, ia hanya berbicara ketika ia perlu. Elang tidak pernah membuang waktu dengan hal-hal konyol dan tidak bermanfaat, ia terbiasa menghabiskan waktu di perpustakaan dan meminjam 3 buku sekaligus. Elang benar-benar istimewa di mata Ada Swara.
“Kau yakin mau menyukainya?” tanya Chelsea ketika ia baru saja mengambil minum dari kafetaria sekolah. “Maksudku, dia tipe pria yang dingin dan menyebalkan. Aku akui, dia hebat dan pintar. Tapi, we all know, dia tidak seperti pria lain!”
Ada Swara menghembuskan napas pelan. Benar, selama ini, selama pertemanan Ada dan Elang, pria itu tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu yang menunjukkan ketertarikan yang sama. Elang hanya mengirim pesan singkat pada Ada ketika ia membutuhkan bantuan dari Ada. Elang hanya mau memboncengi Ada dengan motornya, hanya karena mereka memang perlu melakukan itu. Dan ya, Ada Swara terlalu bodoh untuk mengatakan bahwa karena semua itu; ia jatuh hati pada Elang.
Karena Elang sangat tampan, cerdas, berbakat, dan segalanya yang baik ada padanya.
“Hey!” Ada Swara kira itu suara Chelsea. Tapi, suara perempuan seperti Chelsea tidak akan seberat dan membuat Ada bergetar saat mendengarnya. Setelah itu, ia melihat sosok Elang berdiri di depannnya dengan senyum kecilnya. “Aku sudah mengatur tempat bagi kita untuk berbincang soal novelmu. Bagaimana dengan Umbrella?” tanya Elang sambil menyebutkan nama kafe ternama untuk kalangan kaum muda. Berbicara soal novel, Elang memang ingin menceritakan kisahnya pada Ada Swara untuk dijadikan sebuah novel, karena Ada Swara suka sekali menulis.
Ada Swara mengerjapkan mata. “Apa? Oh, tentu!” sahut Ada cepat, bahkan ia tidak memikirkan hal lain lagi selain bagaimana caranya agar mereka menghabiskan sore di New York berdua. Tentu saja, ini kesempatan emas! “Kapan?”
“Nanti sepulang sekolah. Aku akan menunggu di sana,” ujarnya sambil bersiap-siap pergi. Elang bahkan tidak duduk untuk sekedar berbicara.
“Aku? Kenapa kita tidak berangkat bersama? Em, maksudku, aku tidak memiliki kendaraan, dan menunggu bus itu terlalu membosankan,” sahut Ada Swara dengan harapannya yang melambung tinggi.
“No, aku akan menunggumu. Kita berjumpa di sana!” Setelah itu ia benar-benar meninggalkan Ada Swara.
“Umbrella?” ketus Chelsea.
???
Snow : Kau di mana?
Elang : Dalam perjalanan menuju Umbrella.
Snow : Oh, aku masih di sekolah.
Elang : Cepat berangkat! Aku sudah bersama teman-temanku.
Snow : Apa? Teman-teman? Bukankah hanya kita berdua?
Elang : Tidak. Lebih banyak, lebih baik untuk novelmu.
Snow : Berapa banyak?
Elang : Enam orang.
Snow : Semuanya anak laki-laki?
Elang : Tentu saja.
Snow : Tapi aku perempuan. Tidak mungkin aku sendirian di sana.
Snow : Kau pasti tahu, Umberella penuh anak laki-laki.
Snow : Hey!
Elang : Tidak masalah.
Snow : Oh, tidak, terima kasih. Lebih baik aku pulang.
Dan setelah pesan terakhir terkirim, Ada Swara yakin ia benar-benar patah hati.
“Baby, apa kau mau berbicara dengan ibumu?” Suara Jason terdengar pada saat malam hari, setelah Ada Swara pulang dari sekolahnya. “Video call, mungkin?”
Setelah tersambung dengan ibunya, Jason langsung ke luar dari kamar Ada. “Kau tahu, Sayang, semua itu hanya cerita untuk kenangan masa remajamu,” ujar Lestari sembari menunjukkan wajah khawatir saat melihat anaknya menangis keras. “Kau terlalu menganggap anak laki-laki itu mencintaimu juga, tapi saat kau menemukan faktanya, kau tidak kuat menahan itu semua. Sayang, kau tidak bisa memaksa seseorang untuk menjadi milikmu.”
Ada Swara masih menangis. “Tapi, kenapa dia mengajak teman-temannya?”
“Hey, apa dia bilang kalau yang akan pergi ke kafe itu hanya kalian berdua?” tanya Lestari dengan senyumnya yang indah. Ada Swara menggeleng pelan. “Itulah mengapa, ia tidak mau membaca atau membalas pesan terakhirmu. Karena pada dasarnya, ia memang tidak berencana membuat kencan. Kau hanya terlalu ingin hal-hal indah terjadi padamu, padahal kau tahu tidak selamanya akan hidup begitu.”
“Dia secara tidak langsung mengatakan bahwa tidak seharusnya aku menaruh harapan padanya!”
Lestari mengangguk pelan. “Mungkin itu benar. Dan jika itu benar, apakah kau masih menganggapnya sempurna di matamu?”
Ada Swara menggeleng. “Aku sudah memblokir nomornya. Ia tidak pantas mendapatkan rasa yang tulus dariku.” Ada Swara menghapus air matanya yang turun deras. “Aku rasa, aku tidak akan pernah bisa jatuh hati lagi, mom.”
Lestari terdiam sejenak. “Kau serius, baby girl?” tanya Lestari dan Ada Swara mengangguk cepat. “Baiklah. Kuharap ada seseorang yang jatuh hati padamu suatu hari nanti. Dan dari semua ini, aku harap kau mau melakukan sesuatu untukku.”
“Apa?”
“Bencilah Elang sedalam-dalamnya hatimu.”
???
“Aku membenci Elang sedalam-dalamnya hatiku,” ujar Ada Swara sembari menatap ketiga vokalis grup band The Boo menaiki panggung kecilnya. Penonton bersorak senang dan bersemangat menyambut The Boo yang sedang ramai diperbincangkan karena lagu I Agree With You mereka. “Kau mengenal The Boo?”
Jessie mengerjapkan matanya. “Oh? Ya, tentu.” Jessie menyahut sembari tersenyum kecil. Pernyataan Ada tadi membuat Jessie sedikit terenyuh dan penasaran tentang anaknya dan Mark Simpson yang telah ia anggap sebagai anaknya juga. Dan apa tadi; Elang? “Apa yang kau maksud sebelumnya, Ada? Elang?”
“Good night, everybody! Terima kasih karena kalian telah menyempatkan waktu untuk menonton kami,” ujar seorang vokalis yang membuat Ada Swara menghempaskan pikirannya untuk menjawab pertanyaan Jessie dan lebih memilih melihat The Boo. “Seperti biasa, aku George, Pee, dan Richard akan membawakan satu lagu terbaru kami. Anyway, saudara-saudara kita di panti asuhan sedikit membutuhkan bantuan, dan aku rasa; yes, we must to help them.”
Semua orang bertepuk tangan riuh. Lagu I Agree With You dilantunkan dengan baik oleh G, P, R bersama dengan koreografi dance mereka yang luar biasa menyenangkan.
“Siapa Elang?” Pertanyaan Jessie sedikit mengusik Ada Swara. Pasalnya, lagu The Boo benar-benar asik dan ia harus bersemangat seperti penonton lainnya.
“Alright, Jessie, aku tahu kau penasaran. Tapi, ya, aku tidak mau memberitahumu sedikitpun mengenai aku, masa laluku, Elang, atau Mark Simpson karena kurasa kau tak perlu tahu.”
“Kenapa? Karena aku belum menjadi ibumu?”
Ada Swara menghentikan senyum senangnya mendengar suara The Boo. Ia menoleh dengan cepat ke arah Jessie dan menemukan istri dari ayahnya itu tengah menunggu jawabannya. “Benar, Jes. Kau bukan ibuku. Kau tahu, bukan berarti kau akan menggantikan posisi ibu kandungku dengan menjadi ibuku hanya karena kau menikah dengan ayahku. Well, Jason yang mengatakan itu padaku.”
Jessie merasa napasnya benar-benar sesak.
“Aku membenci Mark Simpson. Kau tidak perlu bertanya kenapa aku membencinya. Kau juga tidak perlu mencari tahu, sebab hanya aku yang tahu alasannya.”
“Calm down, Ada Swara. Aku hanya bertanya,” ujar Jessie yang merasakan genangan air di pelupuk matanya sudah siap tumpah. Jessie mengalihkan pandangan ke arah panggung. “Kau bertanya, apakah aku mengenal The Boo. Ya, aku mengenal mereka dengan baik. Mereka adalah anak-anakku.”
“Apa?”
“Mereka memiliki ibu masing-masing, namun mereka tetap memanggilku mom. Karena bukan seperti katamu, mereka menganggap seorang ibu adalah dia yang menemani dan bertanya apa kesulitanmu.”
???
Benar-benar! Ada Swara terbangun dari tidur nyenyaknya hanya karena tiba-tiba ia merasa begitu kedinginan. Geez, musim salju dan penghangat ruangan cukup menyiksanya. Mendadak, ia jadi penasaran kenapa orang-orang di London atau Amerika tidak melakukan hal yang sama dengan orang-orang di Rusia. Well, Rusia membuat tiga lapis pintu rumah, tiga lapis jendela, penghangat ruangan di segala tempat dan bahkan kamar mandi.
“Susu hangat, Nona Muda.” Kalimat itu yang pertama kali Ada Swara dengar pagi hari. Hale, perempuan itu menawarkan susu, tapi terdapat roti-roti, selai stroberi, kacang, cokelat, dan buah apel. Oh Jessie, kekayaan, dan para maidnya yang luar biasa cekatan.
“Di mana ayahku?” ujar Ada sembari mendudukkan diri lalu mengambil segelas susu. Ia meneguk pelan karena tidak seperti kata Hale, susu itu cukup panas.
“Tuan Swara pergi ke kantornya sejak pagi, Nona. Jika kau bertanya di mana Nyonya Swara, Nyonya sedang menunggumu untuk berbelanja pakaian bersamanya.”
Ada Swara mendengus. “Baiklah, aku akan turun setelah mandi.” Hale mengangguk, lalu meletakkan nampan di nakas Ada. “But, Hale, may I ask you for some question?”
Hale yang ingin memasuki walk in closet Ada Swara pun berhenti. “Tentu, Nona, ujarnya sambil berjalan mendekat.
“Mark Simpson, siapa dia bagi Jessie?”
Hale menjawab, “Dia sama berharganya dengan Tuan Muda Newt. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama-sama, sehingga Nyonya Swara selalu saja menyayangi keduanya seperti anaknya sendiri.”
“Apa Clara, adiknya Mark, juga diperlakukan sama oleh Jessie?”
“Ya, Nona. Nona Muda Clara juga seperti anak Nyonya Swara. Dibandingkan dengan Nyonya Caroline, Nona Clara lebih memilih pergi bersama Jessie untuk menonton pertunjukkan teater.”
“Kenapa? Mereka seperti keluarga?”
“Setahuku seperti itu, Nona. Aku sudah bekerja 5 tahun untuk Nyonya Swara dan kurasa hubungan mereka memang sangat baik dan tidak mudah renggang.”
“Aku harus segera pergi dari rumah ini,” ujar Ada Swara pelan sekali.
“Yes, Nona?” Hale tidak begitu mendengarnya.
Ada Swara mengulum senyumnya. “Tidak, tidak apa-apa.”