"Kau tahu, salju turun! Mana mungkin kau bisa bertahan di luar.” Suara itu membuat Ada Swara terkejut dan mendapati anak laki-laki bernama Elang berada di belakangnya.
???
“Hai, little girl Snow! Lama mencarimu.”
Snow tidak melakukan apapun. Snow sangat membencinya. Snow tidak menginginkan pertemuan ini. Snow tidak menginginkan kehadirannya. Snow tidak pernah berharap terjadinya hal ini. Snow merasa ingin lari sekarang. Snow merasa putus asa dan pada akhirnya terdiam. Snow menghembuskan napas dengan sangat kesal. Snow menyalahkan banyak hal di otaknya. Lalu akhirnya, Snow menyerah, dan menghadapi Mark Simpson.
Well, Mark Simpson tahu segalanya dengan baik. Ia belajar Psikologi di Jerman dan lulus dengan hasil nilai dan praktik yang memuaskan. Membaca raut wajah seseorang sangatlah biasa bagi Mark Simpson. Tapi, baru pertama kalinya ia merasa sangat dibenci oleh seseorang dengan rautnya yang Mark Simpson baca sendiri.
“Lama mencariku, huh? Suara little girl Snow selanjutnya membuuat Mark Simpson menyadari bahwa perempuan bernama asli Ada Swara itu benar-benar membencinya. “Kenapa kau mencariku, Mark Simpson? Kita bahkan mungkin baru tahu nama asli masing-masing sekarang.”
Mark Simpson menahan dirinya. Demi apapun, ia merasa telah melakukan kesalahan besar, sangat-sangat besar jika ia lihat dari kedua bola mata Ada Swara yang begitu membencinya. Tapi, apa yang sebenarnya telah ia lakukan? Mengapa disaat seperti ini, tidak ada memori keburukan apapun yang Mark ingat? Melainkan hanya kisah-kisah seru mereka berdua. Melainkan hanya cerita kerinduan Mark pada perempuan itu selama 5 tahun terakhir.
“Kau sangat buruk, Simpson,” ujar Ada Swara sembari mendengus kasar. “Kau tidak akan pernah ingat kesalahanmu karena kau memang sangat buruk. Kau tidak akan pernah merasa bersalah karena kau memang sangat buruk. Kau tidak akan pernah menyadari sedikit pun kesalahanmu, Mark Simpson.”
Setelah Mark membiarkan perempuan itu menarik napas dengan kesal, ia berbicara. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik, little girl Snow, karena aku tidak mengerti apapun yang kau maksud. Juga, aku terlalu rindu padamu sekarang.”
Ada Swara menatap Mark dengan tatapan yang seolah berkata aku tidak percaya ini. Sebelum akhirnya perempuan itu meninggalkannya dengan hentakan kaki yang sangat keras. Astaga, perempuan itu masih sama; rambut hitamnya, bola mata hitamnya, warna kulit yang tidak terlalu putih, dan suaranya yang tegas.
“Hey, masih mau kembali ke London?” Suara Newt terdengar jelas, membuat Mark mengalihkan pandangan dari punggung perempuan itu.
“Apa maksudmu?”
Newt mendesah kecil. “Siapa tahu kau akan pergi ke sana untuk mengambil sisa-sisa remukkan hati perempuan itu.”
???
Jason bukanlah seorang ayah yang penuh dengan kekhawatiran pada anak gadisnya. Tidak akan khawatir jika anaknya hanya jatuh cinta sekali dalam 23 tahun hidupnya, itupun mungkin sudah kandas hanya dalam dua atau tiga pria. Setelah itu, anaknya tidak pernah lagi menunjukkan ciri-ciri orang yang jatuh cinta atau menceritakan soal lelaki manapun yang pernah ia temui.
Setelah keluarnya Ada Swara dari The Magic School 5 tahun lalu, Jason tidak pernah lagi mendengar cerita-cerita soal teman pria Ada Swara yang lucu atau ketertarikannya pada lelaki lain. Tidak setelah terakhir kali Ada menceritakan sosok pria bertubuh jangkung dan berbola mata segelap langit malam. Hal itu cukup membuat kekhawatiran Jason semakin melejit, tatkala berita tentang lesbian semakin membesar.
Astaga, Lestari akan marah jika mengetahui bahwa didikan suaminya pada anaknya satu-satunya itu benar-benar gagal mulus. Setidaknya itu yang Jason pikirkan terakhir kali, kira-kira dua menit lalu saat Jessie menemani dirinya memanggang barbekyu di halaman belakang.
Tapi saat ini, setelah mendengar kabar dari Clara bahwa Ada tidak mau membukakan pintu kamarnya sejak satu jam, Jason bernapas lega karena tiba-tiba ingatannya membuatnya berpikir bahwa; anaknya masih normal. Jason pernah melihat hal ini sekali saat Ada Swara pulang dari kegiatannya di sekolahnya. Anak itu menutup pintu kamar selama berjam-jam tanpa alasan yang jelas. Setelah pada akhirnya Jason tahu kalau Ada Swara sedang mengalami patah hati pada teman prianya yang pernah ia ceritakan pada Jason juga.
“Hey, baby, kau mau kita berbincang dengan ibumu?” tanya Jason, setengah berteriak dari luar kamar anaknya itu. Tidak ada jawaban. “Bagaimana dengan video call?”
“Apa itu ampuh?” tanya Jessie dengan rautnya yang penuh khawatir. “Menghubungi Lestari, apa itu ampuh untuk membuat Ada membuka pintu?”
Jason mengangguk. “Ini berhasil 5 tahun lalu, ketika ia sedang patah hati.” Lalu menyengir.
Jessie berkata, “Anak perempuan memang butuh ibunya disaat seperti ini,” ujar Jessie, meski wajahnya menunjukkan kesedihan. Sebelum akhirnya ia berkata, “Hey, Ada! Maukah kau menemaniku ke konser The Boo dan memakan banyak kue di Hyde Park?” teriaknya.
???
Jessie Swara cukup baik dan menyenangkan. Ia membelikan Ada Swara banyak kue-kue kecil yang jika dimakan, sangat disayangi karena bentuknya yang lucu dan cantik. Jessie juga mengeluarkan banyak donasi yang ia taruh dengan amplop, yang isinya tidak akan pernah bisa Ada Swara bayangkan karena melihat betapa tebalnya amplop itu, dan suaranya yang cukup terdengar saat Jessie meletakkannya di kotak.
“Aku tahu kau mengambil uangku,” ujar Jessie sambil terkekeh geli, dan Ada Swara terkejut mendengarnya. Lalu ia menggigit kue berwarna merah muda dengan hiasan bergambar bunga sakura. “Benar-benar lezat.”
Ada Swara mengangkat alisnya. “Apa katamu, Jes?”
“Ini adalah kali ketiga kau mengambil uangku, benar? Pertama, hanya belasan poundsterling. Kedua, puluhan poundsterling. Dan tadi, kau menuliskan angka yang benar-benar fantastis. Apa kau tidak terkejut dengan jumlahnya, dibandingkan dollarmu?”
Ada mencibir halus.
“Aku juga tahu kau berkompromi dengan anak buahku dan membuat mereka membiarkanmu pergi ke konser The Boo malam ini. Kau tahu, aku tidak melarangmu pergi ke manapun yang kau mau asal itu bukan bar, pesta bikini, atau semacamnya. Jika kau meminta izin padaku dan Jason, kau pasti tidak perlu membual bersama Hale. Lagipula, Hale itu perempuan yang lugu, kau tidak boleh memanfaatkannya.”
Ada mendengus sebal. “Kau mengajakku ke luar, membelanjakan aku, hanya untuk menjadi ibu tiri yang jahat di malam indah London?”
Jessie tertawa. “Tidak, tidak. Aku hanya memberitahu,” ujar Jessie, lalu tersenyum manis. “Anyway, aku akan mengurus kartu kredit untukmu nanti. Kau tenang saja, ya.”
“Jangan berikan padaku,” ujar Ada pelan. “Aku tidak bisa membatasi penggunaanku.”
Jessie tertawa lagi. “Kurasa sekarang aku tahu, kenapa Jason tidak memberikanmu kartu itu padahal usiamu sudah cukup untuk menerimanya.”
Ada Swara mengangguk pelan. “Newt, apa dia anakmu satu-satunya?”
Jessie mengangguk. “Kelihatannya pasti begitu,” sahutnya.
Ada Swara menghela napas. “Aku berencana memberikannya satu sesi wawancara di Webbie Law Office. Bagaimana menurutmu?”
“Oh, pantas ia mau pulang cepat. Omong-omong, terimakasih telah membuatnya cepat ke London,” kata Jessie sembari tersenyum senang. “Aku tidak tahu kenapa kau memiliki kenalan di sana yang dapat membuatmu memberikan satu sesi dengan mudah untuk kakak tirimu.”
“Uncle Diego San, dia adik ibuku.”
Jessie ber-oh ria. “Dan kenapa kau tidak mengambil pekerjaan di sana?”
Ada Swara menggeleng pelan. “Aku tidak tertarik bekerja.”
“Kenapa? Kudengar kau lulusan terbaik Harvard,” ujar Jessie sembari tersenyum. “Jurusan Ilmu Komputer dan menyelesaikan studi cumlaude. Maksudku, hal terbaik yang harus kau lakukan setelah mendapat gelarmu adalah mendapatkan pekerjaan terbaik di dunia.”
“Tidak setelah aku benar-benar menginginkannya,” sahut Ada Swara sembari mendudukkan diri di bangku-bangku penonton konser. “Lagipula, aku masih mencari di mana perusahaan terbaik itu. Yang pasti, bukan perusahaanmu.”
Jessie terbahak. “Kau orang pertama yang bilang hal ini.”
“Kau tahu, Jessie, aku tidak ingin bekerja untuk siapapun, di manapun, kapanpun di perusahaan besar yang kau maksud. Aku ingin membuat perusahaanku sendiri,” sahut Ada dengan begitu yakin. “Sampai aku bisa mengalahkan nama perusahaanmu ke paling bawah.”
“Itu bagus, Ada,” gumam Jessie sembari meminum dari botol kemasannya. “Omong-omong, ada apa denganmu tadi? Ada sesuatu yang salah?” Jessie tidak bisa menahan rasa penasaran pada anak tirinya itu. Jiwa seorang ibunya ke luar begitu saja saat melihat Ada menangis dan mengurung diri di dalam kamar tadi. Juga saat perempuan ini terlihat baik-baik saja dengan senyumannya yang palsu, padahal hatinya terlihat remuk tak tersisa. Anaknya itu benar-benar sedang hancur sekarang, Jessie tahu itu meski Ada tidak mengatakannya.
Ada Swara menggeleng pelan. “Apa aku terlalu terlihat bodoh ketika berbohong?” tanya Ada dan Jessie mengangguk. Ada Swara menghembuskan napas perlahan. “Dia, aku membencinya.”
“Anakku?”
Ada Swara tersenyum miris. “Sahabatnya,” ujar Ada, jeda sejenak. “Mark Simpson. Aku sangat membencinya.”