Devlin sengaja berhenti dua senti sebelum ia melakukannya, mencium Jean. Pikiran sehatnya masih ada ketika ia melihat Jean keluar dari kamar mandinya, namun hasrat untuk memiliki Jean sudah membunuhnya. Devlin tidak lagi berpikir, instingnya mengambil alih tubuhnya.
Devlin bergerak menghampiri Jean yang sedang memunggunginya, melihat kebingungan pada mesin pengeringnya yang tidak mau menyala. Ia ingin menerkam Jean, membopong wanita itu dan melemparkannya ke ranjangnya. Mengikatnya disana, menguasainya sampai Jean berteriak puas. Dengan susah payah ia menguasai sisi liarnya sampai buku-buku jarinya memutih.
Namun ketika ia sampai di belakang Jean, wangi tubuh Jean membuat binatang buas itu lepas lagi. Dan Devlin hampir menyerah. Ia memberikan Jean satu kesempatan dengan berhenti beberapa senti sebelum ia kehilangan kendali dirinya. Sepotong dirinya berharap Jean menolaknya, menghindarinya atau bahkan berteriak histeris. Ketika Jean tidak menghindar, Devlin akhirnya menyerah pada hasratnya--binatang buas yang selalu menginginkan Jean.
Bibir Devlin menghujam bibir Jean dengan intensitas tinggi. Bibir dan bibir, lidah dan lidah, gigi dan gigi, dan kombinasi semuanya yang kompleks. Devlin mengecupnya, menjilatnya, menggigitnya, menikmati setiap desahan nafas, erangan dan teriakan kecil yang keluar dari Jean.
Jean tidak bisa berpikir, otak dan tubuhnya terasa kesemutan. Ketika ia mencoba membuka mata, dunia seakan berputar, jadi dipejamkannya lagi matanya. Kakinya seakan tidak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia meraih leher Devlin dan berpegangan dengan kuat, mencengkramnya agar tidak jatuh.
Devlin melingkarkan satu tangannya ke pinggang Jean, menahan posisi mereka. Tangannya yang lain menahan leher Jean sementara hujaman bibirnya semakin liar. Devlin mendorong Jean ke dinding, menindihnya dengan tubuhnya yang keras dan menciuminya lagi, dan lagi. Menggigit daun telinganya dan Jean merespon dengan erangan keras yang hanya membuat Devlin semakin liar bak kuda yang dipecut. Ia tidak mau berhenti, ia telah membayangkan, memimpikan ini sejak bertemu Jean. Sekarang ketika Jean berada dalam pelukannya dan ia benar-benar menciumnya, mencumbunya ia menolak untuk berhenti, menolak untuk membuka matanya karena ia takut semuanya ternyata hanya mimpi.
Dan jika ini mimpi, Tuhan ... biarkan dia bermimpi panjang.
Akal sehatnya ternyata belum mati dan mengetuk kesadarannya tiba-tiba akan Jean yang sudah bertunangan dengan James, dan Devlin memutuskan ciumannya dari bibir Jean dengan kasar, membuat bibir yang indah itu memerah dan sedikit bengkak.
Jean masih memejamkan matanya, masih merasa pusing akibat kenikmatan yang barusan dirasakannya. Nafasnya memburu, jemari tangannya masih mencengkram dada Devlin. Jean mencoba membuka matanya perlahan. Devlin disana, memandangnya dengan tatapan yang keras.
"Aku minta maaf," kata Devlin dengan frustasi. "Aku khilaf."
Jean masih belum dapat mencerna kata-kata Devlin dan hanya menganggukkan kepalanya. Dilepaskannya cengkramannya dan bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi. Mesin pengering berbunyi keras dan Devlin meninggalkan Jean untuk berganti pakaian lagi.
Tigapuluh menit kemudian mereka sudah dalam mobil Devlin melesat menuju apartment Jean. Selama perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, tidak ada dari mereka yang bersuara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Apartment Jean terletak di lantai 10 dari 15 lantai gedung itu. Pemilik apartment mengatakan semakin tinggi apartment semakin murah biaya sewa karena pompa air yang sudah berumur itu terkadang tidak sanggup menjalankan tugasnya sehingga Jean mau tak mau mandi dan berbersih di rumah sakit pada paginya atau sebelum pulang.
Ia merasa sedikit tertekan ketika Devlin memaksa menemaninya naik karena sudah malam dan Devlin khawatir akan lingkungan disekitar apartment itu. Liftnya yang pengap membuat kesenjangan yang jauh antara hidup Jean dan hidup Devlin.
Jean memasukkan kunci ke pintu apartmentnya, memutarnya sampai bunyi klik terdengar dan berbalik menghadap Devlin, "terima kasih banyak atas tumpangannya Dev." Jean buru-buru membuka pintu apartmentnya dan masuk ke dalam, kemudian dengan cepat-cepat menutupnya.
Kaki Devlin menahan pintu apartment Jean yang akan menutup. Didorongnya perlahan pintu Jean untuk membuka dan masuk ke dalam tanpa izin. "Dev, sudah malam. Apa yang kau lakukan?" Devlin menutup pintu di belakangnya.
"Mengecek," jawabnya ringan sambil menerobos masuk ke tengah-tengah apartment Jean tanpa halangan, mencari sesuatu. Mungkin tanda-tanda bahwa Jean telah hidup serumah dengan James, atau lelaki lain--hentikan itu!
Kamar Jean yang kecil itu rapih sekali, buku-buku berjejer berdiri di samping cabinet dekat Jendela, dapur yang dibangun sederhana oleh pemilik apartment itu bersih dari noda dan terutama ranjang single--lengkap dengan satu bantal dan satu guling. Ada sedikit kelegaan sekaligus kekecewaan di dadanya.
Devlin duduk di dapur Jean dan mengajak Jean duduk didepannya. Jean menarik nafas sebelum menuruti Devlin. "Jean, yang terjadi tadi ... ".
"Aku tau. Kau sudah meminta maaf, aku juga sama bersalahnya." Jean menegaskan bahwa dia sudah dewasa dan Devlin tidak perlu khawatir mengenai ciuman itu.
Devlin meraihnya dan membelai pipi Jean. "Bukan itu Jean, aku ingin kau tau bahwa aku benar-benar minta maaf dan aku berharap apa yang terjadi tadi tidak akan mempengaruhi hubunganmu dan James. Aku tidak akan menceritakan apapun pada siapapun. Kau berhak untuk bahagia dan James lelaki yang sempurna untukmu. Dia beruntung memilikimu." Tenggorokan Devlin tercekat dan seakan-akan ada yang meremas jantungnya ketika ia mengatakan itu.
Mata Jean berkaca-kaca mendengarnya, ia tidak tau apakah itu perasaan terharu atau sedih. Mungkin setelah ini mereka akan menghindari satu sama lainnya, saatnya Jean meminta maaf atas masa lalu mereka, "Dev, aku minta maaf atas kata-kataku dulu ... aku tidak bermaksud mengatakannya. Aku hanya ... " sebulir air matanya jatuh dan Devlin buru-buru mendekapnya.
"Tidak apa-apa Jean, aku polisi. Kami terbiasa mendengarnya." Devlin menyangkal. Sebagian dirinya senang Jean mengakui ia tidak bermaksud mengatakannya, bahwa Jean hanya emosi sesaat. Devlin merasa seakan-akan kutukan telah dicabut dari dirinya.
"Bukan begitu Dev. Aku sangat sedih waktu itu, karena kau berhenti peduli padaku."
Devlin menjauhkan Jean darinya untuk dapat melihat wajah Jean. "Jean, tataplah aku." Jean menatapnya dengan berkaca-kaca. Mata Devlin begitu lembut dan teduh, "percayalah kau orang yang paling aku pedulikan di dunia ini."
Devlin mendekapnya lagi dan menghiburnya, kemudian berbalik menuju pintu. Jean mengikutinya dari belakang. Sebelum pulang, tatapan lembutnya membelai wajah Jean dan berhenti pada bibir Jean yang lebam. Devlin berkata, "Jean, aku mungkin minta maaf atas apa yang terjadi, tapi aku tidak menyesal. Selamat malam Jean."
Devlin pergi sebelum Jean bisa mengucapkan selamat malam dan mencerna apa yang dikatakan Devlin. Apakah kerinduan yang dirasakannya terhadap lelaki ini? Jean bertanya-tanya tanpa suara menatap punggung Devlin yang berjalan menjauh dari apartmentnya.
Malam itu, baik Jean dan Devlin berjaga di ranjangnya masing-masing, terbuai dengan apa yang sudah terjadi diantara mereka.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1