“Hmm”
“Aku dimana?”
Mata Sina mengerjap berkali-kali selama beberapa saat. Ia ingin bangun, tapi kepalanya begitu berat. “Aduh..” Sina memegangi kepalanya, ia berusaha duduk dan menahan sakit yang dirasanya.
Ia melihat ke sekeliling. Ruangan putih, tak ada apapun di ruangan itu kecuali sebuah ranjang yang ia pakai beserta peralatan infus yang menempel di tubuhnya. Begitu besarnya ruangan itu, namun amat hampa.
“Rumah sakit ya?” Ia memandangi tubuhnya sendiri. Merasakan barangkali ada anggota tubuhnya yang terluka. “Tapi aku tidak sakit, kenapa harus dirawat?”
“Aku bahkan lupa kenapa aku disini”
Sina menghela nafas sejenak. “Aku kangen Mommy,” katanya.
Prok, prok, prok, prok.
Sina melihat kearah datangnya suara, seseorang dengan jubah hitam masuk kedalam ruangan diiringi lelaki tambun yang terakhir kali ia lihat dirumahnya.
“Mister?” kata sina perlahan.
***
Ruangan yang sama, 11 tahun yang lalu..
“Bagaimana misimu?”
Seorang lelaki berubuh tambun, mengenakan pakaian serba hitam berdiri didekat keranjang tidur disebuah ruangan bernuansa putih. “Beres, tanpa jejak mister.”
Seseorang yang dipanggil mister lalu memukul kepala lelaki tambun itu. “Agen 022, sudah kubilang panggil aku tuan besar jika tidak sedang diruang pribadiku! Ck.”
“Tapi tak ada siapapun disini mister!”
Misterpun memukul kepala pria itu kembali, “Dasar bodoh!” Ia mengulangi tindakannya sampai beberapa kali hinga Agen 022 itu meringis kesakitan dan menahan lengan Mister.
“Aduh, sangat tidak berperasaan sekali adik sepupuku ini,” Ia melepaskan lengan Mister lalu memegangi kepalanya yang terasa pusing.
“Agen 022!! Lancangnya kau!!”
Mister mendekatkan wajahnya ke kuping Agen tersebut, lalu berbisik perlahan. “Apa aku harus menjahit mulutmu, atau memukulmu dengan sesuatu yang keras agar kau gegar otak hah?”
Agen itu tersenyum sinis, “Tidak ada dialog lain? Aku bosan.” Ia berbalik menuju pintu keluar ruangan itu.
“Apa?”
“Hei-hei, tidak bisakah kau hentikan sikapmu yang berlebihan itu? Misi kan sudah selesai,” Agen itu tiba-tiba berhenti, lalu berbalik kembali seakan ingat sesuatu. “Bukankah.. Gadis kecil ini seharusnya kita lenyapkan atau buang ke panti? Kenapa kau merawatnya disini?Dan juga dua orang itu...”
“Aku sudah meminta izin soal gadis ini, tapi soal dua orang itu...” Mister menyeringai. “Bukankah ini waktu yang tepat?”
“Hm?” Agen itu berfikir sejenak. “Apapun rencanamu, hubungi saja aku kalau butuh bantuan.” Ia lalu berbalik dan membuka pintu.
“Agen 022, kau belum membunuhnya kan? Siapkan dia di labmu, sore nanti aku akan kesana..”
***
Mister memukul kepala Agen tambun disebelahnya dengan keras. Seperti kebiasaanya. Dan Agen itu meringis lalu berteriak, “Arghhhh...”
“Kalau bukan karena kau saudaraku, sudah kubunuh kau. Ini semua gara-gara kamu!”
Agen itu protes, “Aku bahkan belum melakukan apapun, apa lagi salahku?”
“Bodoh!” Mister memukul kepala sang agen berkali-kali. “Dia memanggilku dengan sebutan yang sama denganmu! Itu artinya dia ingat yang kau katakan waktu itu! Pembuat onar!”
Sang agen mendesis. Sementara Sina bingung melihat kedua orang itu, kenapa rasanya situasi ini tidak asing? Bahkan secara tidak sadar, ia menyebut kata “Mister” yang membuat lelaki berjubah hitam dihadapannya naik pitam.
“Memangnya kau siapa? Aku dimana? Dan mana mommyku?” Sina menatap kearah Mister dan Agen secara bergantian.
Mister memasang muka masam. “Kau tidak ingat? Hahaha kupikir kau mengingatnya! Aku sudah ketakutan!! Hahaha!”
Sang Agen secara tiba-tiba memukul Mister dengan cara yang sama seperti yang dilakukan atasannya tersebut. Tetapi tentunya, dengan lebih keras.
“Kau!!”
Tok.. tok.. tok..
“Siapa?!?!?!?!?!?!?!?!?!?” Mister berteriak sambil menggerutu, perasaannya masih kesal karena aset hidupnya –Kepala dan Otak jenius- dipukul oleh bawahannya.
Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian jas putih seperti ilmuwan masuk kedalam ruangan kemudian memberi salam hormat kepada Mister. “Maaf mengganggu, Tuan Besar,”
Mister menghela napas, menetralisir emosinya. “Ya, ada apa?”
“Wanita itu mau diapakan, Tuan?”
Sina terdiam. “Wanita?” tanyanya. Ia teringat Mommy seketika.
“Hmm,” Mister tersenyum penuh arti. “Kira-kira diapakan ya wanita itu?” Katanya. “Sina, harus kuapakan Mommy mu?”
Sina terkejut. Siapa orang-orang ini? Ada urusan apa mereka dengan Mommy nya? Dan kenapa mereka membawa dirinya juga?.
“Bagaimana jika aku membalaskannya sekali lagi? Ahh, yaampun. Kenapa aku tidak puas-puas ya? Apa anak ini harus merasakannya juga?”
Mister tersenyum kearah Sina yang mulai berkaca-kaca. Sementara Sina sendiri tak tahu apa yang akan ia katakan. Situasinya membingungkan. Tapi ia tak mau terjadi apapun pada Mommy nya. Ia tidak ingin merasakan penderitaan lagi. Cukup sekali saja, karena penderitaan itu lebih menyakitkan daripada kematian.
Sina berusaha bangun dari ranjangnya, menghampiri Mister yang masih berdiri disamping ranjang itu dan terus tersenyum memikirkan rencana besarnya.
“Kumohon,” Sina bersimpuh. “Jangan ambil Mommyku, aku tidak mau menderita lagi. Itu cukup menyakitkan. “ Sina menangis kecil. Ia terus berdoa dalam hati, tidak ingin terjadi hal buruk apapun pada malaikat hidupnya. Ia akan lakukan apapun, meski merendahkan dirinya didepan orang yang tidak ia kenal.
“Menderita?”
Sina menatap dalam kepada Mister dihadapannya. Sedetik kemudian ia ditendang oleh mister itu. Sina menangis sejadi-jadinya. “A-apa salahku?” keluhnya pelan.
“Tau apa kau tentang penderitaan?” kata Mister dengan nada tinggi. “Aku melakukan ini bukan tanpa sebab! Kau harusnya tanya pada ayahmu yang hebat itu!! Kenapa ia mengambil hidupku? Kenapa ia dengan sombongnya, mengkambinghitamkan orang tak berdosa hanya untuk keuntungannya sendiri?”
“Argggghhhhhhh!!!!!” Mister meluapkan amarahnya yang sudah tak terbendung. Sakitnya, sedihnya, penderitaanya, dan dendamnya. Sementara Sina, terus terisak. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Mister itu. Sepengetahuan Sina, Ayahnya telah lama meninggal karena sakit parah.
“A-ayahku.. Memang apa yang..”
“Cukup!” Mister memotong kalimat yang akan Sina keluarkan. Matanya memancarkan kemarahan yang besar. Dendam yang menggebu didada, membuatnya tak tahan lagi. Yang ada dipikirannya hanya satu, pembalasan.
“Bawa gadis hina ini ke tempat wanita itu. Aku ingin dia melihatnya, aku ingin dia tahu bagaimana rasanya.”
“Baik!”
***
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then