Sina meraba lehernya yang terasa sakit. Entah mengapa, kalung yang ia pakai terasa lebih berat dari biasanya. Itu terjadi sejak jam pelajaran terakhir tadi. Tetapi saat kalung yang tak pernah ia lepas itu ingin dilepasnya untuk mengurangi rasa sakit, benda tersebut sangatlah sulit untuk dibuka. Ia berfikir, mungkin karena pengaitnya sudah berkarat.
“Aku akan minta Mommy untuk melepas kalung ini besok, lalu pergi ke Mamak tukang pijat di depan gang,”
Sina mencoba menggerak-gerakkan lehernya agar dapat merasa rileks. Ia melihat sungai yang mengalir dipinggir jalan. Hal itu membuatnya mengingat beberapa kata yang sempat ditulisnya dulu. Saat masih depresi hebat, tepat seminggu sebelum hari ulang tahunnya yang kesepuluh.
Langit begitu biru, air sungai begitu tenang, tapi kehidupanku begitu kelam. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa semua orang bisa begitu tulus tersenyum dan tertawa. Sedangkan aku, harus bersusah payah selama hampir sepuluh tahun untuk jadi normal seperti yang lain. Bahkan, aku tidak yakin apa hal itu akan terjadi?
Mungkin masalahnya hanya satu. Jiwa dan pikiranku ini adalah penyiksa abadi dalam hidupku.
Usiaku menginjak sepuluh tahun seminggu lagi, biasanya saat seperti ini yang kuingat hanya satu. Usiaku bertambah, tapi bagaimana dengan kebahagiaanku?
“Hari ini juga tepat semingu sebelum hari ulang tahunku yang ke tujuh belas,” gumamnya penuh semangat. Sina tersenyum lebar, ia merasa sangat senang dan bersyukur sekali. Dulu, Sina sempat berfikir akan terus hidup dalam bayangan gelap selamanya. Dirinya tidak akan pernah merasakan kehidupan remaja yang indah. Tapi lihatlah kini, bayangan gelap itu sudah pergi. Ia sangat bahagia setiap hari.
“Mommy masak apa ya?”
Sina berlari kecil sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Ia menyapa setiap hewan yang ditemuinya, dan menyempatkan diri berinteraksi dengan mereka. Bahkan, Sina selalu berfikir suatu saat bisa berbicara dengan mereka. Karena hidup mereka sungguh mengangumkan. Para hewan itu saling menyayangi dan menjaga satu sama lain. Mereka selalu pergi beriringan dengan kelompoknya dan tak pernah takut terpisah dari rombongan, karena selalu yakin akan bertemu kembali. Mereka juga jarang bertengkar, tidak seperti manusia. Harmonisnya..
“Vierrasina!!”
Tak terasa Sina telah sampai didepan rumahnya. Terlihat Mommy sedang menyiram tanaman seperti biasanya. Mungkin karena ini hari Sabtu, jadi ia tak pergi ke kantor.
“Mommy! Sina pulang,” Sina memeluk Mommynya dengan lembut, lalu mencium tangannya. Tiara, walau dia ibu tiri Sina. Sina sangat menyayangi dan ingin hidup untuknya. Karena saat Sina berada dalam masa kelam dan menganggap dirinya monster, dialah satu-satunya yang tetap menjadi malaikat disisi Sina. Tepatnya, Tiara adalah mutiara indah dalam hidupnya yang takkan ia izinkan seorangpun menggoresnya.
“Ouww.. you look so happy!? What happen my dear?”
“Hmm, nothing mom.”
Cup.. Sina mencium pipinya, Mommy hanya tersenyum dan membiarkan gadis itu pergi kedalam rumah. “Aku tidak pernah tahu hidup bisa seberwarna ini!!” teriak Sina yang sedang berlari menuju pintu rumah.
Sementara itu, Tiara hanya menggeleng dan tersenyum. “Waktuku tidak banyak..” Nada suaranya tiba-tiba berubah menjadi sedih.
Bip! Bip! Sebuah mobil sedan hitam datang dan berhenti didepan pagar rumah Tiara. Beberapa orang berpakaian rapi dan memakai jas keluar dari dalam sedan tersebut. “Aku sudah tahu hari ini akan datang,” gumamnya.
“Permisi!”
“Iya!” Tiara menghampiri mereka dan membuka pagar rumahnya. “Ah, kalian utusan ‘Dia’ kan?”
Ia melihat ke kamar Sina yang berada di loteng. Tak lama kemudian, mereka pergi.
***
Sina terbangun dari tidurnya, dalam keadaan masih memakai seragam. “Hoaahhmm, jam berapa ini?” Ia melirik jam dinding dihadapannya, terlihat jam menunjukkan pukul 8 malam.
“Hmm, tidak biasanya Mommy tidak membangunkanku..” Ia bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi di lantai bawah untuk mencuci wajahnya.
“Aku lapar..”
“Uwah!! Segar!!” Sina menyalakan lampu di dapur, lalu memeriksa meja makan. “Eh, ‘kok masih banyak? Memang Mommy belum makan ya? Atau dia ketiduran?”
Sina melirik kearah lemari es di belakangnya. Biasanya jika Mommynya itu tidur duluan atau pergi, akan ada kertas catatan kecil menggantung disana. Tetapi, tidak ada apapun yang menempel di pintu lemari es saat itu.
“Mungkin Mommy lupa, kebawa umur yang sudah tidak muda lagi?” Sina terkekeh. Namun perutnya tiba-tiba berbunyi, tanda lapar yang sudah tidak tertahan lagi. “Aduh, perutku tidak bisa diam ya! Iya, aku segera makan.”
Sina makan dengan lahap malam itu. Ia menikmati makanannya hingga cukup kenyang. Namun tetap saja, perasaan gelisah tiba-tiba saja menyerbu. Firasatnya buruk.
“Mommy?” Sina berjalan menuju kamar Mommynya yang berada bersebelahan dengan ruang tamu. Diketuknya pintu kamar itu, namun tak kunjung ada jawaban.
Sina membuka pintu perlahan, “Mom?” Ternyata kamarnya kosong dan terlihat rapih. Ia bergegas mencari keseluruh rumah. Tapi hasilnya nihil.
“Duh, cari kemana lagi ya? Biasanya Mommy bilang kalau mau pergi.”
Sina merogoh saku roknya dan mengambil sebuah handphone. Ia berusaha menelepon Mommynya.
Kring!!
Terdengar suara dering handphone, ia mencari sumber suara tersebut. Asalnya dari kamar Tiara. Ternyata handphone Tiara tertinggal di bawah bantal.
“Huft!” Sina menunduk lesu, tak tahu apa yang akan dilakukannya. Menunggu, atau mencari kembali? Sedangkan ia tak dapat memikirkan kemana tujuan pencarian selanjutnya. Ada apa dengan Mommy?
Tek, tek, tekk...
“Ng?”
Terdengar suara pintu kamar perlahan dibuka, lalu Sina melihat bayangan seseorang melewati dirinya dari belakang. Ia hendak berbalik, tapi ragu. ‘Bayangan mommy kan tidak sebesar itu’ gumamnya.
Sina membuka handphonenya, mengetikkan sesuatu lalu mengirim pesan kepada seseorang. Ditunggunya bayangan itu agar bergerak, ia ingin tahu siapa gerangan sosok itu. Tapi semakin lama ia menunggu, bayangan itu tak berpindah sedikitpun. Tidak bergerak atau bahkan menghilang. Sina dibuat penasaran.
Dengan sedikit terpaksa ia berbalik perlahan. Ya, dia benar. Sosok dihadapannya kini bahkan sangat besar. Seorang pria dengan pakaian serba hitam. Tiba-tiba saja pandangan Sina mengabur, bagai kaset rusak yang sedang disetel. Menampilkan beberapa potongan gambar. Hingga sekelebat memori itu terlihat.
Mata Sina terbelalak. “Kau?..” Suaranya kaget namun hanya terdengar sedikit.
Dan akhirnya, ia berhasil mengingat. Dengan suara lantang ia berseru dan menunjuk, “KAU! KAU!!”
Wajah itu, ia ingat betul. Raut wajah dan postur tubuh yang tak asing. Sosok itu, orang yang sama dengan penculik Vierra dalam penglihatannya beberapa tahun yang lalu.
Orang itu juga, berada dalam potongan memorinya kini. Orang itulah, yang menculik dirinya ketika masih kecil.
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then