Seorang pria berjubah coklat menatap sedih pada layar monitor raksasa di hadapannya. Monitor tersebut menampilkan ratusan keping potongan gambar kecil yang akan menjadi besar memenuhi layar jika ia menyentuhnya. Ia memainkan hologram keyboard di bagian bawah, Panggilkan Ksatria itu untukku..
Baik. Seseorang menjawab dari sistem komunikasi pada monitor.
Pria itu kembali memainkan hologram keyboard dan mengetikkan beberapa rangkaian kata. Ia mencermati tulisannya sebentar, lalu menekan perintah kirim.
Tok, tok, tok. Suara pintu diketuk menggema di ruangan yang tak terbatas itu. Bagai sebuah dimensi tanpa ujung yang sangat minim cahaya. Seseorang tanpa pengetahuan yang cukup, mungkin merasa bagai di alam akhirat dan tak berfikir akan ada jalan keluar disana. Namun nyatanya, ada celah terselubung yang membuat apapun bisa masuk kedalamnya.
Sang Ksatria yang sebelumnya dipanggil menghadap kepada pria berjubah itu. Dengan segala rasa hormat, ia bersimpuh.
Bangunlah..
Ksatria itu bangkit dan memberi rasa hormat dengan menyatukan lengan kanan pada dada kirinya. Menunjukkan bahwa pengabdian, kesetiaan dan kepatuhan akan titah seorang yang dihormatinya adalah hal utama yang akan ia lakukan meski hidup yang ia miliki sebagai taruhannya.
Titah tuan akan hamba laksanakan dengan baik.
Pria yang disebut tuan itu menengadahkan kepalanya, membuat wajah tampan yang tertutup tudung itu sedikit terlihat. Garis bibirnya menunjukkan senyum yang menawan, ciri khas kaumnya yang murah hati dan mengagungkan moral. Hidup penuh damai, menghindari pertumpahan darah. Setidaknya prinsip itulah yang tertanam dalam diri mereka sejak kaum mereka terbentuk.
Kaum kita sangat murah hati dan murah senyum. Pria itu mengalihkan pandangannya ke suatu arah di tempat itu. Tak lama kemudian, muncul sebuah jendela dengan pemandangan luar biasa indah bagai berasal dari sebuah puncak bukit. Disana tampak sebuah pemukiman yang sangat besar namun asri dibawah naungan bintang yang bercahaya. Ya, dilangit tersebut hanya ada bintang.
Kita berupaya untuk mensyukuri hidup dan hidup berdampingan sesama serta saling membantu. Pria itu berjalan perlahan menuju sebuah jendela yang tiba-tiba muncul tersebut. Tepatnya, ia yang membuat jendela itu muncul disana. Ia memandang dengan sendu pemukiman asri itu.
Kita tahu bahwa penghuni alam semesta sejatinya adalah spesies makhluk yang sama. Namun, kita lupa bahwa setiap kaum atau ras memiliki karakteristik masing-masing.
Mungkin kita terlalu baik, namun inilah karasteristik kaum kita. Itu sudah tertanam dalam pribadi kita sejak lama, kita tak bisa sedikitpun mengubahnya.
Ksatria yang awalnya dipanggil untuk sebuah misi itu mencoba menangkap apa yang tuannya inginkan, Apa tuan memanggil hamba untuk membuat rencana pengubahan karakteristik..
Itu tidak mungkin, kita sudah lama hidup seperti ini. Sudah takdir kita untuk menjadi kaum yang dikatakan terlalu baik,
Ah, maafkan hamba..
Pria berjubah itu menengok pada Ksatrianya dan tertawa kecil. Jangan terlalu formal. Bukankah kau juga keluargaku? Panggil aku dengan namaku.. Dan ganti kata hamba itu sesukamu, aku merasa tidak pantas mendengarnya.
Akan saya laksanakan, tuan Heza.
Bagus. Heza mengangguk dan kembali memperhatikan jendela. Ah, aku menemukan kata yang unik. Seorang yang baik, akan selalu disakiti. Karena ia menganggap jika semua orang sama baiknya dengan dirinya. Mungkin itu alasan yang pasti mengapa kaum kita terusir. Karena kita juga tak bisa menyakiti kaum lainnya yang ingin mengambil milik kita. Kita selalu mundur.
Tuan ..
Tapi aku tidak menyesal. Suara Heza terdengar sangat mantap. Lebih baik menjadi diri sendiri. Menjadi orang baik, itu artinya kita menghargai kebaikan Tuhan.
Hening. Heza maupun Ksatria itu tak berbicara selama beberapa saat. Mereka terhanyut dalam kenangan masa lampau yang menyebabkan mereka kini berada disini, terusir dari tanah mereka sendiri. Meninggalkan peradaban yang mereka bangun dengan susah payah dan gotong royong tanpa memandang tingkatan kasta keluarga. Dan hal itulah yang membuat kaum mereka menjadi sangat harmonis. Bahkan, mereka tak dendam sedikitpun dan tetap bersatu setelah semua yang terjadi.
Kau tahu betapa aku sangat mengandalkanmu?
Ksatria mengangguk, Saya bersumpah akan melakukan yang terbaik.
Aku tahu. Heza berbalik, kemudian menepuk pundak Ksatria tersebut. Tugas dan tanggung jawabmu sangat berat. Kau harus membawanya, tanpa melukai siapapun. Apapun keadaanya, asal dia masih hidup dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan disana.
Hanya dia, Tuan?
Sayangnya, memang tinggal dia harapan kita yang tersisa. Aku telah kehilangan mereka.
Heza menatap kosong pada jendela. Air matanya jatuh perlahan.
Saya akan segera berangkat, Tuan.
Heza tetap pada posisinya. Hatinya hancur sejak ia mulai kehilangan satu persatu dari mereka, namun ia terus menahan tangisnya. Namun kini, rasa itu tak dapat ia bendung. Ternyata beginilah rasanya patah hati..
Saya akan meninggalkan anda sendiri disini, Tuan.
Pergilah..
Ksatria itu kini sudah menghilang. Hanya tersisa Heza sendiri di tempat itu. Ia terus meratap, membiarkan air mata tersebut membasahi wajah hingga meresap kedalam jubahnya. Ia tidak ingin mengubah posisinya, ia ingin tetap seperti itu sampai merasa puas mengeluarkan semua rasa sakit di dada.
***
Heza berjalan menuju kamar tidurnya, tempat ternyaman untuk melepaskan penat dan mengumpulkan energi agar dapat melakukan aktivitas melelahkan lainnya pada esok hari. Ia kemudian berjalan perlahan menuju sebuah meja berlaci di sudut ruangan, lalu mengambil sebuah kotak emas berukir dari dalam salah satu laci tersebut.
Heza duduk dengan tenang diatas sebuah kursi kayu tepat disamping tempat tidurnya.
Kami adalah bangsa yang damai..
Ia membuka kotak itu, menemukan beberapa kalung dengan liontin yang berbeda. Dua buah berliontin bulan emas, dua buah berliontin bintang emas, dan satu buah berliontin bintang silver. Tak lama berselang, semua liotin kalung dalam kotak itu bersinar dengan cahaya yang indah bak pelangi.
Kami diturunkan sikap yang menjunjung tinggi moralitas dan selalu berbuat baik tanpa mengenal ras maupun kasta..
Liontin yang semula bersinar tiba-tiba meredup, terkecuali kalung dengan liontin bintang silver yang sinarnya menguat.
Kami penjaga perdamaian, menghindari konflik dan perang sesama makhluk Tuhan.
Liontin bintang silver kemudian memancarkan sinar terang yang memenuhi ruang kamar itu. Sesaat setelahnya, seluruh liontin dalam kotak berhenti memancarkan cahaya cantiknya.
Kami adalah Bangsa Lemuria yang Jaya namun rendah hatinya..
Klop! Heza menutup kotak tersebut dan meletakkannya diatas meja. Ukiran kotak itu bersinar emas selama beberapa saat. Ia meletakkan tangan kanannya pada dada kirinya. Kami adalah bangsa yang kuat. Semoga Tuhan selalu bersama kami, menjaga ketentraman bagi seluruh makhluk di alam semesta yang amat luas ini.
Heza meletakkan tangan kanan itu kembali keatas pangkuannya. Kedua lengannya mengepal dengan kuat, kemudian terbuka kembali dengan rileks sambil mengeluarkan napas dari mulutnya. Kaum mereka tidak bisa menyimpan dendam, namun dapat merasakan sakit hati dan menangis seperti kaum lainnya. Mereka tidak diperkenankan menyakiti orang lain hanya karena perasaan sakit hati. Itulah kepribadian yang telah turun menurun mengalir dalam darah mereka.
Tuan Heza, boleh saya masuk?
Heza tersadar dari lamunannya, Masuklah..
Semua sudah siap dengan segala rencana yang kita bangun untuk membawa anak itu. Dan seperti perkiraan Tuan sebelumnya, hanya dia yang bisa kita bawa pulang kembali.
Antarlah dan bekali segala kebutuhan mereka, kita akan terus mengawasi dari tempat biasa.
Baik.
Heza menatap pada kotak yang sebelumnya ia letakkan diatas meja. Bentuk kotak itu berubah, bagai tampilan hologram yang perlahan hilang. Beberapa saat kemudian, kotak itu benar-benar hilang.
Aku akan menunggu hasilnya dengan sabar, aku yakin ini yang terbaik dari Tuhan. Aku bersyukur karena kau spesial, kau takkan mudah untuk menyerah.
Berjuanglah, Vie..
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then