Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Andrean
MENU
About Us  

Malam masih menyingkap. Sesekali hanya suara jangkrik di pesawahan yang tidak henti memecah kesunyian di sekitar tempat tinggal. Entah, malam ini aku tidak bisa tidur. Mengingat masa-masa menyebalkan bersama Andrean. Ku akui, ternyata ada yang terasa hilang.

Fajar sepertinya sudah akan menyingsing. Aku masih tak dapat memejamkan mata dan memilih bangkit dari pembaringan. Aku mendatangi balkon dan menyaksikan pagi yang berganti baju. Malam perlahan lenyap, matahari timbul tanpa diundang. Mungkin dia mengerti tugasnya yang harus menyinari dunia.

Satu hari setelahnya, pagi-pagi benar, Widi dan Febrian telah menghubungiku. Semenjak kemarin ternyata mereka tidak pulang-pulang dan melanjutkan perjalanan. Meninggalkan kediamannya masing-masing dan berpetualang dalam kesesatan. Padahal aku sudah sering memberikan petuah panjang kepada mereka. Ah mereka sedang mengidap cinta buta.

Sebelum aku berangkat, aku memastikan kembali menelfon Widi dan Febrian menanyakan apa yang terjadi. Tak banyak kata mereka hanya menyuruhku segera datang ke tempat lokasi yang memang tidak jauh hanya sekitar 15 menit saja. Mereka berjanji padaku akan menjelaskan panjang lebar nanti.

Aku dapat merasakan semburat merah di wajah Widi yang gugup saat menelfonku. Teriaknya seolah bergema diantara pepohonan yang tumbuh di sekitar komplek. Aku hanya berpikir sejenak. Saat kantuk mulai menerpa, aku pun berangkat memakai motor. Hanya dilapisi jaket coklat muda dan helm merah muda. Aku menarik gas tidak enak rasa. Ada apa ini ?

Sekonyong-konyong aku menjadi meragukan kebenaran Widi dan Febrian. Apalagi Febrian, ah dia tidak ada yang bisa diharapkan darinya sebetulnya. Bukan Andrean yang lebih parah dalam persahabatan kami, tetapi Febrian si lelaki emosional yang menyebalkan. Dia sudah mirip seperti monster kalau sedang marah.

Pradugaku, Widi ditinggalkan Febrian lalu diturunkan di pinggir jalan karena mereka sedang berdebat. Lalu pagi-pagi begini aku harus menjemput Widi dan nanti dia akan nyerocos selama berjam-jam lamanya di kamarku dan hanya menangisi kelakuan Febrian yang sudah berubah menjadi Hulk. Ini sungguh sangat membosankan.

Aku sudah pernah bilang padanya, untuk putus dari lelaki tipikal emosional begitu, tentu aku akan lebih memilih lelaki cuek dibandingkan lelaki pemarah. Tetapi dia tidak juga mendengar nasehatku, aku telah membuang waktuku percuma untuk menasehatinya. Ah ternyata, Febrian selamanya tidak akan pernah bisa disembuhkan. Aku menggerutu.

Saat sampai di lokasi di persimpangan jalan menuju jalan besar, di Jalan Suci Bandung. Satu mobil polisi terhenti, satu mobil ambulance menambah dramatis suasana mencekam. Aku menghentikan laju motor beberapa meter dan hanya berdiri memperhatikan keadaan. Dari jauh terlihat jelas Widi dan Febrian sedang diintrogasi polisi. Sebagian masyarakat mengerubuni. Hatiku was-was tapi masih takut mendekat.

Aku hanya berdoa, mendekat perlahan dan menyimpan motorku di pinggir jalan. Memendam kekhawatiran sekaligus rasa penasaran telah berhasil membuatku berani untuk mendekat. Darah segar berhamburan sepanjang jalan. Akan tetapi Widi dan Febrian baik-baik saja. Hatiku semakin kemelut.

Aku semakin menghampiri, ku lihat dua mobil hancur. Yang satu, mobil merah yang sudah berguling terbalik dan hancur parah di bagian depan. Sedangkan mobil Febrian rusak parah dibagian kanan. Tetapi itu darah siapa. Apa mereka menabrak seseorang? Wah bisa runyam ini urusannya.

Hampir dua bulan lamanya, aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Andrean. Melupakan pertemuan mengharukan tempo hari saat aku berjabat tangan dan saling menatap. Inilah pertempuran yang sukar ditaklukan. Hari sudah terlewati, disemati banyak kesedihan karena harus menghadapi hari tanpa Andrean. Ini seperti badai yang menghadang saja.

Dan kemarin, berjumpa dengan Andrean aku hanya merasa bahwa aku dan dirinya akan kembali bersama lagi. Sorotan matanya begitu yakin. Memori menjadi terkenang kembali saat dia mengecup keningku dan akan memberikan berita baik kelak. Aku teramat merindukan Andrean, sudah sejak lama.

Setiap malam, aku sudah seperti perempuan tidak waras yang melihat depan rumahku dari atas balkon. Sebelum pergi tidur, lagi-lagi aku melihat pagar rumah. Pandanganku buram dan hanya fatamorgana saja, tidak pernah ada Andrean berdisi semenjak dua bulan ini. Ini ternyata bukanlah kejadian saat Andrean meminta maaf padaku saat dia meninggalkanku sendirian di Lembang.

Langkahku semakin dekat, aku melihat dengan jelas seseorang dibopong ke dalam ambulance. Ku lihat wajah Widi yang ketakutan. Aku merasa akan pingsan. Melihat kejadian ini seperti mimpi buruk. Febrian menarikku dari kerumunan. Widi memelukku menenangkan. Nafasku terengah-engah. Aku menatap mata Febrian bulat, mereka sudah merenggut kebahagianku yang baru dimulai.

Prakk

Tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Febrian. Kali ini dia tidak berkutik. Aku tidak peduli dengan Febrian yang emosional, aku sudah merasa jengkel dan ingin sekali menamparnya. Widi mundur satu langkah dariku. Aku berteriak-teriak kepada petugas ambulance. Meninggalkan sepasang insan yang menjadi pelaku penabrakan. Aku naik ambulance dan ikut bersama memboyong korban.

“Masih bernafas?”tanya polisi mendatangi ambulance

“Sudah tidak bernafas pak.” Seorang lelaki yang turut serta menolong memeriksa nafasnya

“Bawa dulu ke rumah sakit terdekat.” perintahnya

Mobil ambulance ditutup, aku duduk dalam kegelisahan dan ingin sekali berkelahi dengan kedua orang yang menyebalkan, Widi dan Febrian. Tapi untuk apa, itu semua hanya akan melemahkan diriku. Waktu diwarnai ketegangan. Mobil ambulance tak henti berbunyi, aku hanya bisa menatap kosong matanya.

 

Mataku terbelalak tajam. Kepada dua orang sahabat yang kini seolah berubah menjadi musuh menyeramkan. Wajahku kecut sudah macam jeruk purut, sedangkan mulut mereka hanya berbusa oleh penjelasan-penjelasan yang kini tidak berguna. Rasanya, ini seperti tidak nyata saja. Menyaksikan sendiri Andrean dibopong.dia dibawa oleh empat orang perawat sekaligus setelah dinyatakan tidak bernafas. Itu artinya dia sudah meninggal?

Widi dan Febrian sibuk mengabari sahabatku yang lain, kecuali Miko yang tidak bisa dihubungi. Entah kesialan apakah dengan ini semua. Aku hanya bisa diam dalam rasa was-was, kesedihan yang ku bungkus dengan amarah, tidak berkutik dengan semua ini.

Baru kemarin, dia merengkuh tanganku lembut setelah perang panjang yang tidak berkesudahan. Aku merasa bersalah pada  Andrean. Kupikir, akulah yang terlalu egois dan menuntut dia menjadi seperti lelaki kebanyakan.

Lelaki setengah gila itu, yang selalu sibuk dengan game-nya, tidak pernah ingin berdebat, selalu menjadi lelaki paling jahat dan tidak berprikemanusiaan, yang telah meninggalkanku dua kali, dia yang selalu menyebalkan tetapi nampaknya hanya dia yang bisa meluluhkan.

“Jangan dekati aku.” Dengan nada bicara menyentak kepada Widi

Kau tau? Saat aku ditanya harus lebih memilih kehilangan siapa antara manusia bernama Febrian dan Widi dengan Andrean. Aku lebih memilih kehilangan sahabat yang tempramental yang sudah membuatku terciduk beberapa kali dan merasa menjadi manusia yang paling tidak berguna. Rasanya kesal sekali melihat Widi yang bercucuran air mata, wajah Febrian hanya menjadi wajah so lugu yang minta belas kasihan. Aku muak sekali.

 

"Aku gak sengaja Dit, aku bawa mobil sambil ngantuk parah." Febrian mendekatiku lembut


"Udah aku bilang jangan keluyuran ampe pagi buta berduaan, kalau ngantuk kan bisa tidur dulu, jangan suka maksain, jadi gini kan!" Teriakku


"Dit, please jangan marah gini. Aku jadi serba salah." Widi memelas



"Aku gak peduli persahabatan kita ancur, aku bakal maafin kalau Andrean bangun lagi dari kematian." Lantas pergi meninggalkan keduanya.
 



            Aku duduk di luar sembari menunggu kedatangan Ibunya Andrean. Mulai hari itu, aku merasakan hatiku terbagi menjadi dua. Benar kata film, ternyata putus cinta akibat ditinggalkan itu nyaris tidak memiliki ruang dan tidak diberikan kesempatan. Aku rasanya sangat menyesal telah menyia-nyiakan waktu bersama Andrean. Aku malah pergi meninggalkannya selama 2 bulan, padahal aku bisa membicarakan ini baik-baik. Andai saja aku mampu mengintip takdir, agh.

Di luar perkiraanku, setelah kami semua berkumpul untuk mempersiapkan kepulangan Andrean. Tiba-tiba saja kabar datang dan ternyata Andrean masih memiliki harapan hidup, kondisi paru-paru dan jantungnya yang amat lemah membuat dia sejenak berhenti bernafas. Dia dilarikan ke ruangan ICCU Rumah Sakit Al Islam Bandung dan ditempatkan disalah satu kamar khusus. Volume oksigennya dinaikan, Andrean seperti berubah menjadi manusia robot betulan. Aku terhentak, mengingat dulu aku selalu mengejeknya dengan sebuatan manusia robot.

Ibu Amy sudah datang, ia mendekati ruangan. Tetapi ia malah mengernyitkan dahinya dan seperti bertanya-tanya. Lantas kembali keluar ruangan seperti menelfon seseorang. Aku tidak terlalu memperhatikan. Setelah satu hari yang berat disebabkan penuh upaya dan jeritan, aku berhasil dibujuk Alfian untuk makan, makan tiga lembar roti yang telah dicelupkan kedalam susu dan meneguk minuman isotonik yang membuat badanku lebih segar.

Aku tersenyum agak sumringah, mengingat Andrean sudah baikan tapi masih lemas. Ibu Amy hanya terlihat canggung kepadaku, apa Andrean menceritakan sikap ketusku selama dua bulan ini? Sehingga Ibu Amy terlihat seperti menjauhiku. Ah, aku kembali menatap teduhnya Andrean dalam tidurnya. Hatiku tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan yang sama, apakah Andrean akan benar-benar sembuh? Bisakah aku kembali bersamanya? Tetapi aku menghindari semua pertanyaan itu. Aku harap Andrean bisa lekas pulih.

Setiap kali pulang kerja, aku bersama kawan-kawan yang lain bergantian menemani Andrean. Kecuali Miko dan Desti yang menghilang entah kemana. Aku, Alfian, Widi, Febrian dan Tary tak henti berada disampingnya. Aku terbelalak baru sadar, tubuh Andrean berubah menjadi lebih berisi dan lebih putih. Wajahnya tidak se-tirus kemarin saat aku dan dirinya bertemu. Ku pegang tangannya, tangannya pun berubah menjadi berisi. Kurasa ini efek infusan yang tidak henti masuk dalam tubuhnya, pikirku singkat.

Kali ini aku melembut pada Widi dan Febrian, semenjak Andrean memiliki harapan untuk hidup maka hatiku melunak sekali kepada mereka. Walaupun sesekali mereka harus tabah mendengar banyak omelan jika aku melihat Andrean tiba-tiba sesak dan alat penghitung detaknya menjadi melemah. Aku takut jika tiba-tiba Andrean pergi.

 

Senja dengan kontras warna yang cerah. Dibawa lapisan langit yang lelah menanggung beban berat membawa embun sepanjang siang tadi. Hujan belum singgah, padahal ini telah musimnya. Cuaca menjadi tidak menentu dan sudah tidak karuan. Terkadang hujan datang sangat deras, tetapi panas nya udara masih bisa dirasakan di malam hari disebabkan global warming yang semakin kejam saja.

Orang-orang gemar berlalu lalang. Gelap masih belum menerka. Pemandangan masih bisa dinikmati. Ditelan bulat laksana fajar yang masih ditunggu kedatangannya. Manusia masih sering hilir mudik sekedar bersiap-siap pulang seusai bekerja. Menenteng tas dengan wajah kelelahan.

Saat sore menjelang, anak-anak bermain di halaman sekitar dekat Rumah Sakit. Sekedar bersenda gurau berkumpul duduk-duduk di taman menikmati pemandangan yang disuguhkan. Bermain sepeda disekitar luar lapangan. Atau sekedar menonton bola sambil membuang waktu santai. Pemandangan itu menjadi hal yang biasa dilihat jika aku duduk dan mengitari pemandangan di ruang Andrean terbaring.

Gunung yang menjulang tinggi masih dipenuhi warna hijau yang pekat. Pepohonan mendayu-dayu dibawa angin. Udara sudah tidak panas. Rumput hijau sering menyambut. Kegembiraan anak-anak melupakan gadget-nya. Berlarian kecil mengitari rumput liar yang sudah berbaris rapi tumbuh dengan suburnya.

Inilah hiburan kesendirian diwaktu sebelum senja datang. Langit yang perlahan menguning kemudian menjadi orange tua. Anak-anak pulang satu-persatu. Sisanya, menunggu disusul dan dipanggil dengan nada agak berteriak oleh Ibunya. Seperti menggiring bebek yang keluar dari barisan.

Senja menjelang, bau obat-obatan masih beredar di setiap ruangan. Sesekali, perawat berlarian kecil memenuhi panggilan pasien. Burung-burung ricuh bertengger di atas dahan. Begitu setiap harinya. Meyaksikan matahari senja yang indah. Mereka betah duduk-duduk di pohon-pohon sekitar rumah sakit.

Terkadang, terdengar roda-roda saling berdecit melewati ruangan. Di waktu senggang sembari menemani Andrean, aku dapat menyaksikan senja menjelang malam. Aku dengan sengaja menyibakkan gorden hanya untuk mengintip sedikit kemesraan burung-burung kecil yang duduk berdua sembari menyaksikan senja.

Rumah sakit sudah seperti rumah kedua kini . Ia menjadi saksi setiap waktu kehidupan. Fase-fase terlewati bersamaan peralatan rumah sakit yang sudah menjadi barang biasa. Darah yang menyembur menjadi pemandangan lumrah. Penggantian kehidupan dilihat setiap harinya. Bayi-bayi yang lahir dengan mata yang bening berkilau disambut gembira kehadirannya. Di sisi lain, stigma rumah sakit dipandang sebagai rumah pesakitan yang tak sedikit diantaranya pasien harus menemui ajal.

Hanya pemandangan saat senja-lah yang telah mengalihkan bagaimana realitanya kehidupan di rumah sakit. Sekaligus menjadi penghibur dikala lara datang. Pengobat rindu kepada alam. Pengingat dikala kufur nikmat kepada Tuhan. Kaca tebal di ruangan layaknya seperti layar bioskop, persis seperti TV LED besar yang menembus senja saat sore datang. Disanalah ada kesederhanaan yang memikat.

Disana, Aku dan Andrean berada. Sering Andrean seperti berbisik pelan, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun karena masih sangat lemas Andrean hanya diam dan kepalanya sering menggeleng-geleng. Aku semakin bertanya-tanya akan sikapnya.

Matanya lentik sorotannya jelas. Melihatnya pertama kali dengan cinta. Ada kejutan-kejutan di setiap aliran darah. Terkadang, menahan rindu padanya begitu sulit. Rindu itu bak racun saja. Terasa pahit jadinya. Semakin rindu semakin memilukan saja rasanya. Senyumnya merekah, pipinya agak kemerahan. Senja menjadi saksi damai. Duduk menemani Andrean menikmati senja bersama. Melirik pada sepasang burung yang bertengger dan lebih dulu menjalin cinta dengan mesra. Tetapi lagi-lagi Andrean menggelengkan kepalanya. Aku sungguh tidak paham.

***

Hari sudah saling menimpali, genap 8 hari Andrean terbaring. Dia sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Luka-luka akibat benturan di kepala dan di dadanya sudah dijahit dan sekarang dia sedang masa pemulihan. Hari ini, burung-burung berkomplotan beramai-ramai duduk di dahan pohon. Berayun-ayun pelan memainkan ranting yang daunnya telah kering. Setelah daunnya berguguran, mereka terbang seolah tertawa riang. Lalu hinggap lagi dan begitu lagi. Andrean sudah sadar benar. Dia menatapku heran setengah melototi.

Aku dekati dia dengan lembut percis seperti roti isi keju yang baru saja aku beli di toko bawah. Dia masih saja melongo dengan tatapan heran padaku. Ada apa dengannya?  Gerak-geriknya menunjukkan betapa aku menjadi asing baginya dan entah aku merasa dia berubah menjadi orang lain. Padahal selama Andrean di rumah sakit aku selalu berusaha mengurusnya, hingga malam. Dia masih saja tidak sadar dan tidak berterima kasih kepadaku? Manusia macam apakah dia?

Pagi masih betah, gorden-gorden telah disibakkan perawat. Tilam kasur diganti setiap pagi dengan yang baru. Lantai-lantai mengkilap, kaca jendela seakan menerawang tidak ada batas. Banyak sekali yang berlalu lalang, Andrean tetap duduk kaku tidak ingin bersamaku.

 


"Kamu siapa yah ? Maya mana ?" Tanyanya padaku


Aku terbelalak padanya.


"Aku ngurus kamu udah 8 hari ini, kamu malah nanyain Maya." Sambil menahan emosi karena aku tau Andrean baru bangun dari sadar sepenuhnya.



"Maya kan pacar aku." Ucapnya melotot



Kami saling bertatap sengit, aku langsung menjauhi Andrean. Sedetik, kami saling terdiam.



"Lha, kamu siapa?" Tanyanya lagi padaku



"Oh, Tuhan. Aku Andita. Kamu gak inget?" Setengah teriak

 


            Kami saling terdiam lagi. Rasanya, aku ingin menampar Andrean. Aku melangkahkan kakiku pelan keluar ruangan. Menatap Andrean pasrah setengah sedih. Penyakit apa yang dideritanya? Dia gak sampai hilang ingatan, kan? Ah bohong, dia mencoba melakukan tipu muslihat lagi seperti waktu itu. Aku bergegas keluar ruangan dan tersenyum jahat padanya. Aku hanya duduk di luar, di kursi putih dekat balkon ruangan Andrean. Hanya berpikir, aku merasa dia sedang memainkan lelucon.

Aku mengintipnya lagi dari balik pintu yang sengaja dibukakan. Dia tak segut melihatku dan hanya melihatku sebentar. Tatapannya tidak pernah semanis saat aku selalu melihatnya. Dia berbeda. Aku lantas pergi meninggalkannya. Menyebalkan sekali Andrean.  

Tatkala mentari telah berdiri sempurna, aku menjadi ragu dan enggan masuk ke ruangan Andrean. Kebetulan hari ini kawan-kawan belum datang, aku hanya sendiri dan mengulangi pertanyaan yang sama pada diri.

Kali ini jiwaku berdebar takut dan tidak mengerti.Lantas aku kuatkan diri dan ingin mencoba sekali lagi. Wajahku dibuat tegas dengan bibir yang keras. Aku sedikit tersentak tetapi tidak menyerah. Ku putuskan untuk menemani Andrean lagi. Tiba-tiba saja, langkahku tidak bisa bergerak masuk. Aku merapatkan langkah dan diam. Andrean terbaring ditemani seorang perempuan yang menggenggam tangannya, lebih mengejutkan lagi ialah Ibu Amy ada disana dan menyaksikan pemandangan yang terasa menyesakkan olehku.

Itukah perempuan bernama Maya yang tadi Andrean katakan? Ibu Amy setuju dengan hubungan mereka? Lalu bagaimana denganku? Seketika aku merasa cemas. Mematung dengan keadaan itu. Andrean mengusap-usap rambut perempuan itu. Andrean seperti memberi isyarat cinta kepada Maya. Mereka terlihat seperti sepasang insan yang dimabuk cinta. Aku spontan mundur. Langkahku bergetar dan menjauhi ruangan.

Aku pergi meninggalkan Andrean. Hatiku sangat berkecamuk. Orang yang selama ini aku sayangi dan aku tidak pernah percaya bahwa Andrean adalah tipikal lelaki yang mampu meluluhkan perempuan. Tetapi hari ini, kepercayaanku hilang. Sikapnya menepis kekagumanku pada Andrean. Baru dua bulan break, semudah itu dia mencari pengganti. Aku tau, aku tidak pernah dicintainya, tidak pernah sama sekali. Aku memilih duduk di taman rumah sakit. Sekelompok orang hilir-mudik dengan gaduh. Mereka baru saja selesai bermain-main. Aku hanya memandangi mereka. Aku kembali terngiang sikap Andrean, secara tidak langsung Andrean ingin menyingkirkanku. Rasanya ini tidak mungkin, Andrean tidak mungkin begini.

Tiba-tiba.

 

"Oy ngelamun aja." Alfian mendatangiku


Lanjutnya :

"Tadi aku ke ruangan Andrean, tapi gak ada kamu. Ya kemana lagi kalau enggak ke kantin atau ke taman." Berkata dengan ringan


"Kenapa gak jagain Andrean?"


"Enggak ah males udah ada yang jagain. Lagian hari ini Andrean mau pulang kan, tadi katanya udah dibolehin pulang sama dokternya."


"Dijagain siapa?" Dengan rasa penasaran



"Ibu Amy sama cewek bule, tadi aku denger namanya Maya. Eh, Dit. Maaf-maaf nih aku mau nanya, Andrean kok deket banget ma itu cewek?"



"Hah deket gimana?" Akh mulai naik pitam



"Ceweknya dari tadi duduk sambil nempel terus ma Andrean, mereka pegangan gak lepas-lepas, aku jijay liatnya terus langsung inget kamu, Dit."

 



Hati ini serasa menggolak, panas sekali. Sepertinya sudah ingin meletus. Tanganku berkeringat, mataku tiba-tiba merah, air mata tidak tertahankan. Aku mematung dan meneteskan air mata lagi.



"Maaf Dit, aku gak maksud. Aku cuma nanya."



"Gak apa-apa kok, aku yang penting udah jagain Andrean dan liat dia udah pulih lagi aku udah tenang. Lagian kita udah break 2 bulan, jadi mungkin sekarang ada pengganti yang lebih baik buat Andrean. Aku pulang yah."



Aku berdiri dan meninggalkan Alfian.



"Dit, aku anterin."



"Tetep disitu, aku bisa pulang sendiri." tersenyum menahan sakit



            Saat itu juga, aku berjalan pelan agak menunduk sembari menahan pedih. Aku tidak dapat mengungkapkan, aku merasakan hatiku hancur. Seperti dibanting-banting. Patah hati itu rasanya tidak enak.

Suasana menjadi tidak menyenangkan, aku berjalan melewati ruangan Andrean dan memilih pulang saja. Aku melirik sebentar kemesraan Maya dan Andrean. Memang benar, Maya menempel di tubuh Andrean sembari sesekali mengusap kepala Andrean pelan.


            Tetapi tunggu dulu, sejak kapan Andrean bertubuh agak gempal dan memiliki kulit sangat putih macam bule begitu? Kulit Maya dan Andrean serupa dan mereka cocok sekali. Ku tilik sekali lagi wajahnya, memang betul kok wajah Andrean tapi tulang pipinya hilang tertimbun pipinya yang berisi. Apa dia melakukan tanning? Ah bodoh, tidak mungkin. Tetapi tiba-tiba, pemandangan ini menjadi tidak biasa. Ada seorang lelaki tipis yang tinggi yang ikut duduk dan sesekali memainkan handphone-nya. Saat aku melihat wajahnya, aku merasa Andrean ada dua. Ini mimpi atau bagaimana ?


Lelaki tinggi yang memiliki tulang tirus dipipinya itu memandang padaku, aku sudah akan pergi dan masih merasa patah hati. Tetapi dia malah memanggilku dengan hati yang sumringah.



"Anditaaaaaa."


Aku diam mematung lagi. Dia menghampiriku dan memegang tanganku menyeretku masuk ke ruangan. Aku disuruh duduk disebelahnya. Aku malah diam melihat Andrean yang sedang bermesraan bersama Maya.



"Gila Ndre, aku disangka kamu sama perempuan ini. Aku diurus dia udah 8 hari yang lalu. Kamu jahat banget gak kabarin Maya biar dateng ke rumah sakit." Keluh lelaki tambun yang aku sangka Andrean



Andrean tertawa dan mengusap kepalaku, dia memegang tangan kananku yang menjadi basah karena gelisah kebingungan.



Lanjutnya:

"Udah beberapa kali aku ngasih isyarat geleng-geleng kepala, anjay masih aja dia manggil aku Andrean."



"Tapi, tapi emang Andrean kan?" Aku terbata-bata



Lelaki disebelahku tertawa geli, ucapnya :

"Nih dengerin sayang, itu adik aku namanya Adrian, aku lagi ada di Malang ngurus beasiswa buat kuliah eh tiba-tiba denger kabar Adrian ditabrak orang, aku baru bisa pulang sekarang soalnya kata Ibu, Adrian udah ada Ibu yang urus. Aku sama dia tuh kembar identik."



Aku menatap mereka berdua kaku, baru menyadari perbedaannya. Maya ikut tertawa melihat wajahku yang mirip seperti anak bodoh.



"Dia bawel banget, Ndre. Ngajak ngomong mulu nyemangatin mulu, pake ngobrol tentang senja segala." Adrian meledek tersenyum padaku



"Jadi orang yang aku pegang tangannya tiap hari itu bukan Andrean? Lha tapi kok kamu gak kasih tau aku kalau kamu kembar?" Wajahku menutup malu



"Aku gak kepikir kesitu sumpah." Andrean si lelaki kurus menjawab sambil tertawa.



"Ibu Amy kok ga kasih tau aku?" Tanyaku lagi



"Ibu cerita semua, aku yang bilang jangan kasih tau semuanya." Andrean berkata polos



Aku diam menahan kesal. Aku dipermainkan Andrean. Ingin rasanya menyeret tubuhnya yang tipis dan mengungkapkan kekesalan padanya, sekaligus kerinduan sebetulnya.



Alfian, Febrian, Tary, dan Widi datang ke ruangan. Seketika mereka menohok memperhatikan wajah keduanya.



"Yang kamu tabrak itu bukan Andrean, adik kembarnya, Adrian." Ucapku ketus



"Lha tapi aku ngerasa itu Andrean kok." Widi menatap Febrian memastikan



"Iya sih emang Andrean, cuma aku rada bingung juga agak gempal sama kulitnya putih. Tapi aku yakin itu Andrean sih soalnya emang wajah Andrean." Febrian mulai kebingungan



"Anjay Andrean, dia baik-baik aja. Kamu tau gak? Si Dita nangis barusan liat kembaran kamu sama Maya. Cemburu dikiranya Andrean."



"Oy apaan sih, enggak gitu yah." kesal sekali



"Keluar tuh wajah juteknya, ih takut." Alfian ketawa.



Semua tertawa, aku menatap Andrean dan menyaksikan wajahnya yang berbahagia. Lihat saja Andrean, urusan kita belum selesai. Bisik hatiku kesal.


       Sorenya, kami mengantar kepulangan Adrian dengan mobil yang dibawa Ibu Amy.             Andrean masih betah dekat denganku, padahal aku diam seribu bahasa. Andrean tau aku tipikal orang yang gampang kesal. Sepanjang perjalanan, dia memegang tanganku terus mencoba menenangkan. Mungkin dia tau, dia sudah keterlaluan.



            Sore menjelang, Adrian si lelaki yang tak kalah mengesalkan itu dilayani special oleh kekasih cantiknya yang mengalahkan semuanya. Mukanya mirip sekali dengan boneka hidup. Bibirnya tipis berwarna merah muda, hidungnya mancung seperti perosotan saja, matanya bulat lentik nyaris sempurna. Ia mungkin bidadari yang turun dari kahyangan.



            Aku masih ingat wajah songong Adrian yang sangat menyebalkan yang menatapku remeh mungkin sembari membandingkan wajahku dan wajah Maya yang berbeda jauh. Aku diam lagi.



"Dit, kamu diem aja." Alfian kembali usil



"Senyum gitu Dit, Andrean koma ditangisin, giliran udah tau yang sebenernya cemberut." Timpal Tary



"Ih gak gitu juga kali, aku tuh bukan nangisin, aku sama dia tuh waktu itu belum kelar masalahnya. Jadi masih ada yang kerasa belum di tuntasin aja ama dia." Alasanku



"Miko sama Desti kayaknya jadian deh?" Tiba-tiba Widi bilang sambil memperlihatkan foto status mereka dengan tanda love.



"Wadaw, cinlok nambah tiga." Alfian menimpali lagi



Aku dan Andrean saling menatap.



"Tinggal aku yang jomblo, males deh jalan ma kalian." Timpal Alfian



"Kamu lupain aku? Aku juga sendirian keles yang harus nahan baper ngeliat mereka barengan" Tary menjawab dengan kesal



Aku, Andrean, Widi dan Febrian tertawa.



"Ini persahabatan apa ajang cari jodoh woy." Alfian agak berteriak



Lanjutnya :

"Ya udah, besok-besok kita jadian juga, Tar." Tertawa ringan hanya maksud bercanda



Tidak ada jawaban. Tary memerah. Aku tau dia menyukai Alfian sudah sejak lama. Suasana menjadi hening dan damai. Tary semakin diam salah tingkah, Alfian ketawa lagi tanpa dosa.



"Cie cie kode-kodean tuh, jadian aja sekarang sekalian." Tungkasku mencairkan hati Tary



"Udah kalian sah jadi sepasang kekasih." Andrean menimpali



"Iya sah." Widi ketawa



"Tanggal jadiannya hari ini, catet di handphone lu Alfian, jangan pernah ampe lupa Anniversary nya kalau lu gak mau kena semprot makhluk yang namanya perempuan." Sambil melirik Widi


Widi menarik rambut Febrian, kemarahannya sudah terbongkar.


Lanjutnya : "Kecuali satu species perempuan yang udah kebal dan gak peduli dengan begituan. Tuh si Dita, dia udah kepalang betah di ketiak Andrean yang gak bakal bisa jadi romantis dan rayain yang begituan."



"Anjayyyyyyy." Aku ketok kepalanya pelan.

 

Andrean hanya tersenyum tidak menanggapi perkataan Febrian. Kali ini, persahabatan kami kembali. Aku sudah memaafkan Widi dan Febrian. Andrean hanya melihatku memastikan bahwa aku baik-baik saja. 

            Semua tertawa ringan. Sedangkan Tary tetap tersipu malu melihat Alfian selalu bertingkah. Mereka sudah mirip seperti anak SMA yang jatuh dalam kubangan bernama cinta.

***

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Andita. Nama ini mengingatkan saya pada seorang guru menulis saya. Kak Raindita. Bahkan karakternya sama. Jutek juga.

    Comment on chapter Bagian 1 : Cinta Bersemi dibalik Pertaruhan
Similar Tags
BISIKAN ASA DI TENGAH BADAI
58      51     2     
Inspirational
Setiap langkah dalam hidup membawa kita pada pelajaran baru, terkadang lebih berat dari yang kita bayangkan. Novel ini mengajak kita untuk tidak takut menghadapi tantangan, bahkan ketika jalan terasa penuh dengan rintangan. Di dalam setiap karakter, ada kekuatan yang tersembunyi, yang hanya akan terungkap ketika mereka memilih untuk bertahan dan tidak menyerah. Cerita ini mengingatkan kita bahwa ...
Premium
Ilalang 98
6057      2014     4     
Romance
Kisah ini berlatar belakang tahun 1998 tahun di mana banyak konflik terjadi dan berimbas cukup serius untuk kehidupan sosial dan juga romansa seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bernama Ilalang Alambara Pilihan yang tidak di sengaja membuatnya terjebak dalam situasi sulit untuk bertahan hidup sekaligus melindungi gadis yang ia cintai Pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya hanya sebuah il...
Orange Haze
443      316     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Premium
Akai Ito (Complete)
5626      1297     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Dinding Kardus
9344      2533     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Premium
RESTART [21+]
8067      2991     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
What If I Die Tomorrow?
390      249     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Sunset In Surabaya
350      254     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Langit Jingga
2668      933     4     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -
Ketika Kita Berdua
35270      4901     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...