Kali ini sangat suram. Bulan sabit hanya nongol sebentar, selebihnya telah tertutup oleh kabut dengan cahaya yang pucat. Aku melangkahkan kakiku keluar sekali lagi, menuju balkon tepat disaat Andrean pernah berdiri dan menatapku dengan rindang. Jemarinya yang besar-besar nan bertulang pernah terikat dengan jemari mungkilku dan lantas kami berjalan beriringan. Aku duduk sebentar merasakan aroma wewangiannya yang masih menusuk hidungku. berat sekali rasanya, bukan apa-apa tetapi kenangan yang memberatkan segalanya.
Aku mengamati kegelapan di bawah sana. Rupanya bayang Andrean tidak pernah bisa lepas dengan mudah. Aku sudah dibuatnya kecewa, tetapi dia piawai memainkan segalanya dengan baik. Aku masih selalu memikirkannya. Entah harus bagaimana. Aku menggeserkan langkahku. Perasaan ini sangat bercampur-aduk. Aku menyukai lelaki itu. Dia adalah lelaki sederhana, tetapi sifat cuek dan kepekaannya membuat aku tidak begitu betah berlama-lama dengannya.
Aku harus mengahadapi lomba tanpa Andrean. Tiada lagi celoteh dan cibiran yang menyebalkan. Tidak akan ada lagi senyuman manis dan usapan kepala yang mesra. Tidak ada lagi candaan yang menyakitkan, aku lalu hanya diam.
Kesendirian memang menyakitkan, awan kadang tersenyum menertawakan, demikian pula dengan gelap yang selalu datang. Aku berubah menjadi perempuan pemarah yang gemar menyalahkan.
Malam itu, aku menyusun bab terakhir untuk ku kirim ke Penerbit yang sedang mengadakan lomba. Menulis semua kebencianku kepada lelaki setengah gila itu sekaligus rasa cinta yang tersemat bersamanya. Menulis segala keanehan yang Andrean punya. Melampiaskan segala perasaan yang ada saat aku hanya ditinggal Andrean sendirian dan harus pulang memakai Gojek. Aku menuliskan betapa kesal rasanya menjadi aku karena berkenalan dan masuk dengan dunia Andrean ialah hal yang sangat berbeda dibandingkan masuk pada dunia lelaki playboy.
Mataku menerawang. Sudah pada bab terakhir tapi aku diam lagi. Andrean kini menjadi bahan tulisanku, dia yang sangat menginspirasiku kali ini. Bukan karena dia hebat, tetapi sikap menyebalkannya yang sengaja harus ku abadikan dalam bingkai tulisanku yang jika aku bisa lolos dan memenangkan lomba novelnya, itu artinya semua orang akan tau sikap lelaki cuek macam Andrean.
Dering telfon memecah keheningan diriku tatkala aku kebingungan mengakhiri cerita Andrean. Akankah berakhir seperti diriku yang harus saling berpisah. Tentunya pembaca tidak menyukai sad ending. Aku sendiri pernah kesal saat menonton film bioskop tentang percintaan yang tokoh utamanya meninggal. Itu rasanya ada yang tertinggal, kalau menurutku.
Alfian menelfonku.
“Oy, Fian.” Jawabku
“Lagi apa, Dit? Lagi sibuk gak?” lantas dia ketawa tanpa sebab
“Enggak, ya lagi gini aja di depan laptop.” Sembari menyimpan file di laptop
“Aku suka ma seseorang nih, Dit. Tapi orang itu adalah orang yang nyakitin aku dulu. Terus aku sesumbar gitu gak mau suka ma dia. Tapi sekarang...” dia nyerocos
Sepertinya Alfian sedang merasakan kegalauan tingkat tinggi, gak biasanya dia menelfonku.
“Aku bingung mau nanggepin apa.” Karena aku merasakan hal yang sama
“Lha tumben, biasanya suka kasih petuah-petuah gitu!”
“Gini aja deh Fi, cinta itu anugrah dan perkara ama siapa-siapanya kita gak boleh nyalahin kenapa-kenapanya. Soalnya sebenernya suka ma dia itu bukan kita yang mau kan? Tapi ada hal lain yang gak boleh kita lupain. Kamu ketemu ma dia, dia bisa nyangkut di hati kamu, itu semua karena pertemuaan itu ialah takdir.”
Alfian tidak menjawab,dia lantas menutup telfonku. Lima detik kemudian aku membaca status di whatsapp-nya, dia menulis “ pertemuan itu ialah takdir”. Aku hanya tersenyum kecil.
Tak lama, otakku berdenyut-denyut seperti mendapat jalan keluar untuk menulis bab terakhirku. Aku langsung membuka bab terakhir dan menulis kata yang aku ucapkan itu. Mengakhiri bab itu dengan kata takdir. Tidak bisa menjawab apapun akan apa yang terjadi mengapa aku bisa jatuh cinta kepada Andrean. Mungkin kelak, aku akan memahaminya begitupun dirinya. Karena pertemuan adalah takdir– Andita.
aku langsung mematikan laptopku.
***
Andita. Nama ini mengingatkan saya pada seorang guru menulis saya. Kak Raindita. Bahkan karakternya sama. Jutek juga.
Comment on chapter Bagian 1 : Cinta Bersemi dibalik Pertaruhan