Hati Andrean udah kayak hutan belantara yang enggak berpenghuni dan saat aku datang ke hidupnya, aku disuruh buat menata hutan itu, agh- Andita
Aku bergabung dengan sahabatku, seperti biasanya, Miko dan Andrean melingkarkan tangan dipundakku, mereka saling berebutan dan membuat aku ketawa keciciran. Aku tarik tangan mereka dan mereka berteriak.
"Ah jutek" ucap Miko
Kali ini, Andrean yang membawa mobil. Kami ber-enam berangkat sekitar pukul 5.30 pagi. Matahari masih malu-malu, baru nongol sedikit atau entah malas melihat rombongan seperti kami yang cenderung egois dan memiliki kesenangan sendiri.
Bawaan Miko tak kalah hebat, dia mirip seperti akan pindahan saja. Padahal kami hanya mendaki dan menginap semalam saja di Gunung Putri Lembang. Yang paling ribet lagi, Desti sibuk dengan satu tas ransel berukuran sedang yang berisi perlengkapan make up nya lengkap. Dari mulai body lotion, tabir surya, cream malam, cream siang, toner, pensil alis, shampo, bedak tabur dan bedak padat dan banyak lagi barang yang tidak aku kenal, owh Comeone! Apa kalau ingin menjadi cantik harus seribet itukah ?
Hari ini cuacanya baik, manis sekali seperti anak yang merayu Ibunya minta dibelikan smartphone baru, hey ini jaman modern, sudah bukan lagi jamannya anak merengek minta permen seharga 50 rupiah, anak jaman sekarang merengek minta handphone cerdas seperti di layar televisi.
Hujan sepertinya tidak akan turun karena ku lihat tak ada tanda-tandanya akan turun meluncur ke muka bumi sekadar jahil memberi percikan kepada sebagian orang yang terlalu banyak membual mengeluhkan cuaca yang begitu panas kering kerontang. Ataukah karena Tuhan yang Maha Pemurah sehingga akan selalu memberikan rezeki secara percuma kepada manusia tengil dan tidak pernah bisa bersyukur atas keadaan apapun seperti kami?
Mobil kami melaju menuju Gunung Putri Lembang. Alfian terlelap di kursi depan, Febrian dan Miko duduk bersamaku di kursi belakang. Widi, Desti dan Tary ada di barisan tengah. Pagi itu warna alam sangat bersatu, menyatu ingin meminta dipersatukan karena sepertinya mereka protes hidup dalam kesendirian yang panjang dan melelahkan. Jalan disini, pohon-pohon disana, gunung disebrang, mereka pandai sekali menyembunyikan perasaan. Sudah jangan bohongi aku, aku tau alam bersedih. Warna kesemuanya senada, Tuhan sudah melakukan andil yang sangat besar karena menaburi warna yang indah dengan kapasitas dan kontras yang mempesona. Ya setidaknya walau aku bukan seseorang yang pandai mensyukuri, akan tetapi aku masih bisa menjadi penikmat alam yang setia. Sedari dulu.
Orang seperti Miko selalu tidak ingin kalah dalam hal apapun. Termasuk dalam hal memasang tenda, dia yang paling berlagak seperti pemimpin dan yang paling tau segala hal dan memberi tau caranya kepada kami layaknya pemandu wisata. Aku tertawa saja melihat tingkahnya. Miko mungkin selalu bercita-cita ingin menjadi pemimpin disetiap kesempatan.
Kami sudah mempersiapkan tenda dan membuat obor. Waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 malam, kami duduk di depan tenda dekat obor yang sudah dinyalakan, kami menggelar karpet dan mengeluarkan makanan dan minuman perbekalan, sekonyong-konyong mereka saling usil, kecuali hanya aku yang diam saja melihat tingkah mereka.
Tidak hanya kami saja yang membuat tenda, banyak sekali anak muda yang berdatangan dan menyebut mereka para petualang yang mandiri, aku senyum lihat semangat mereka. Malam semakin larut saja, beruntunglah karena rasa kantuk sudah ditangkis jauh-jauh, alhasil rasa itu tak mendekat pada kami. Ini adalah kopi dengan gelas ke dua, jangan tanya mereka, mungkin ke- tiga.
Kami saling duduk berdekatan dan melihat keindahan malam kota Bandung dari Gunung Putri. Kerlap-kerlip jutaan lampu kota bak orang-orang yang sedang melakukan pemujaan dengan berdoa membawa lilin-lilin, sejauh mata menyaksikan, maka bertaburan lah sinar-sinar seperti secercah harapan orang-orang yang sedang berdoa. Menepis kesedihan juga siksaan dunia akan kekejaman takdir yang menurutku tak adil bagi sebagian orang.
Malam ini begitu cerah, hujan lari dan enggan mendatangi kami para manusia dekil di hadapan Tuhan yang sok suci di depan manusia. Atau Tuhan sedang berusaha menunjukkan kekuasaan yang sebenarnya atas cahaya-cahaya yang seolah tak berujung itu. Indah sekali melihat keindahan ini, sambil menyeruput kopi yang selalu cepat dingin, berkali-kali aku sampai tak sadar bahwa keindahan ini memang seharusnya dijadikan bahan perenungan.
Bintang seolah bersatu dengan lampu-lampu kota, sudah ku bilang seakan mereka bergandengan tangan dan sedang melakukan pertunjukkan indah di malam ini, atau mereka sedang berusaha menepis kesendirian yang selalu menyakitkan?
Waktu terus berdetik, aku merasakan waktu yang ikut menikmati keindahan ini. Tak munafik memang, pesona lampu dan bintang berhasil menghipnotis aku dari kenyataan. Memang benar, Gunung Putri adalah tempat yang cocok untuk melepas kelelahan.
Amunisi masih banyak, kopi tersedia di depan kami dengan segala variant, perut kami terus dijejali kafein dan makanan ringan, semoga saja tidak over dosis. Kami semua berusaha sekuat mungkin untuk tidak tidur sampai nanti sunset datang. Siapa yang pertama tidur? Ia akan kalah dan menerima hukuman dari kami semua.
Kami terus makan dan membuat kopi, sambil berbincang dan melakukan permainan, inilah kegilaan masa muda. Padahal badanku sudah berat, dosis kafein yang tinggi dan aku sudah menghabiskan tiga gelas kopi, menyebabkan badan dan mataku tidak sinkron. Badanku seperti ada yang menindihi dan merasakan jantung yang memompa lebih cepat, mungkin sahabatku yang lain merasakan hal yang sama, tapi demi tidak ingin dikatakan pengecut, maka belum ada yang juga tertidur sampai jam 3 dini hari.
Subuh telah berkumandang, aku dan sahabatku berdiri dari pertahananku, mata mereka merah menahan kantuk, Andrean tak segut menyaksikan sunrise, dia sudah tak bisa konsentrasi dan hanya ingin cepat melalui sunrise agar dengan begitu dia bisa tidur pulas dan permainan selesai. Lain dengan Miko dan Alfian yang masih memiliki tenaga 50% demi sunrise yang akan datang di atas bukit dekat kami duduk tenang semalam. Desti sibuk memakai cream ini dan itu, Febrian sibuk meluluhkan hati Widi demi bisa menikmati sunrise bersama. Aku? kau tau aku lebih suka diam saat menyaksikan pemandangan indah ini.
Matahari mulai bangun dari tidur nyenyaknya, memberikan sinar yang pasti sekaligus menjawab harapan semalam. Warna keemasan berbalut gumpalan-gumpalan awan menyatu tak bertengkar. Udara yang sangat sejuk telah membius aku menjadi perempuan yang damai. Orang-orang khusyu melihat kemunculan matahari yang sejak semalam tadi di tunggu-tunggu. Aku pun ingin menjadi matahari yang dinantikan sosoknya. Baper.
Gunung berdiri gagah, lebih perkasa dari seorang lelaki yang gentle. Biar kekinian, aku banyak mengambil gambar disana. Sudah jam enam pagi, sudah melek sempurna sang surya. Dengan begitu pula, selesailah sudah tantangan semalam. Andrean langsung berjalan cepat ambil seribu langkah untuk kembali ke tenda, tak banyak kata badannya runtuh dalam beberapa menit, sulit dibangunkan. Alfian dan Febrian mengikuti jejak Andrean dan tidur dalam satu tenda yang dibuka bagian depannya.
Aku, Widi, Tari dan Desti diam melihat mereka, kami hanya duduk sambil sesekali mengantuk. Sejam kemudian, mereka bangun dan sarapan pagi, setelah itu kami bersiap pulang ke Bandung. Bersyukurlah, Andrean mengemudikan mobilnya selamat sampai rumah. Sepanjang jalan aku tak sadarkan diri, pulas sekali tidurku.
Aku merasakan bahwa tubuhku telah berumur lebih dari 80 tahun dan telah menjadi seorang nenek-nenek. Jangan heran, kami sering menginap di rumah masing-masing bergantian. Hari Minggu siang kami sampai di rumah Andrean, orang tuanya ada di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku lagi tak ingin makan walau sudah tersedia. Yang lain pun begitu.
Tau-tau sudah sore, aku celingak-celinguk membangunkan yang lain. Andrean, Alfian, Miko dan Febrian pun baru bangun. Wajahnya kusut seperti orang yang putus cinta. Aku membereskan barang-barangku. Untuk melangkah saja rasanya sangat lelah, aku masih duduk manja di sofa. Akhirnya kami semua satu persatu diantar ke rumah dengan supir. Sedangkan Andrean melanjutkan tidurnya. Ah bersahabat dengan mereka.
***
Andrean dan Andita
Setelah pertengkaran itu, lebih tepatnya perang dingin. Aku dan mesin robot bisa kembali seperti biasa. Sehari setelahnya kami memiliki jam chat rutin dari pukul 07.30 malam - 10.00 malam. Siangnya, kita cenderung cuek dan tidak over. Dalam hal berpacaran, kita tidak seperti pacaran. Chat-nya cenderung bully dan bercanda. Begitu seminggu ini setelah jadian dengannya.
Jangan tanya tentang panggilan sayang karena dia hanya akan memanggil kepadaku dengan sebutan "kamu". Dia sangat jauh dari kata romantis, perhatian, atau sifat apapun yang menempel dari dirinya itu bukanlah sifat yang dimiliki kebanyakan para lelaki. Entahlah kenapa dia begitu berbeda, kemungkinan dia adalah mesin robot yang dikirim langsung dari luar angkasa ke bumi. Huh.
Seharian di kantor pun kita sibuk sendiri. Tidak ada istilah istirahat bareng atau sempat mengobrol. Orang-orang sering berbicara bahwa kami seperti orang yang tidak berpacaran saja.
Tolong jangan salahkan aku, mesin robot itu yang berulah dan bertingkah cuek macam begitu. Aku selalu menutupi kelakuannya di depan teman-temanku dan teman-teman dia. Alasannya simple, karena sangat jarang ada yang mengerti lelaki macam begini. Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk memahami betul apa yang ada pada dirinya. Baru seminggu aku berpacaran dengan dirinya, tidak ada kata romantis apapun dan hal-hal lain yang dia berikan. Entah kenapa aku masih bisa sabar di depannya.
Satu-satunya kata romantis yang keluar dari mulutnya ialah dia mengajakku liburan bersama teman-temannya. Dengan bahasa yang jauh dari kata romantis, tidak ada bahasa sayang, ah bayangkan saja seperti seorang teman yang ingin mengajak liburan. Cukup seperti itu saja. Tidak disangka, setelah kemarin adem dan saling mengobrol, malam ini kami ribut lagi.
Bukan ribut saling berdebat, dia adalah tipikal orang yang diam dan kalau aku sudah bawel, dia hanya akan read chat ku, tidak pernah membalas lagi walau aku chat lagi. Kesal betul berpacaran dengan lelaki macam begini karena aku tidak pernah menemukan makhluk seperti ini sebelumnya. Serangan Pantai Santolo, aku sebut ini serangan pertama dia setelah diamnya. Kami ribut lagi karena aku protes dengan kecuekannya.
Aku selalu bawel kepadanya, malam ini pun begitu. Sifat perempuan saat kesal cenderung ingin mencari perhatian. Aku memutuskan tidak jadi ikut ke Santolo padahal dia sudah memesan kursi untukku, dengan harap dia akan memaksa ku untuk tetap ikut dan memohon padaku. Tetapi pradugaku salah besar, aku semakin kesal di buatnya. Balasnya sangat cuek.
"Oh ya udah kalau kamu gak mau ikut ke rumah dulu dan gak mau ikut ke Santolo ya gak apa-apa, besok aku bilang aja kamu cancel soalnya gak dibolehin ortu."
Agh, Aku membenci lelaki ini, Tuhan ...
Mendengar dia bilang begitu, aku makin bergejolak. Aku menantang dia dengan ucapan ingin putus, berharap dia akan mempertahakan hubungan dan menjadi baik kepadaku. Tetapi salah, aku lagi-lagi ditendang dengan ucapan cueknya.
"Oh ya udah kalau mau putus aku gak bisa maksa orangnya. Kalau keputusannya gitu, oke ya udah kita masing-masing aja"
Sumpah, jantungku mendadak lemah. Kesal sekali bukan main. Aku sungguh sangat menyesal telah mengenal dan masuk ke dalam dunia lelaki ini. Aku bersumpah, jika kelak aku pergi, mungkin tidak akan ada lagi perempuan yang betah selain hanya diriku saja. Akan ku pastikan itu.
Aku diam terpaku. Tidak ada lagi pesan dari Andrean. Aku diam sebentar memikirkan. Benarkah kami sudah putus hanya baru menjalani hubungan dalam seminggu saja? Putus hanya gara-gara hal sepele ini. Aku tau dia cuek, tapi aku tidak bisa pergi darinya. Pikiranku berat. Meninggalkannya aku tidak siap, aku baru saja masuk pada dunianya. Akan tetapi bertahan bersamanya akan lebih sukar lagi, karena itu artinya aku harus lebih bersabar lagi dengan sikapnya. Ah sepertinya aku sudah sangat gila. Ku putuskan mengirim chat padanya.
" Aku ralat tadi. Aku gak ingin putus. Aku ingin ikut ke Santolo dan ke rumah kamu juga."
Dia hanya enteng menjawab
"Iya ya udah tidur udah malem"
Ash kesal.
Setelah semalam Andrean hanya berkata begitu dengan ringan, dia sepertinya tidak berpikir bahwa saat aku mengirim chat di jam 00.00 malam, itu artinya aku tidak bisa tidur dan memikirkan dirinya. Memikirkan hubungan ini, tetapi dia tidak juga paham.
Keesokan harinya. Aku diberikan hadiah lagi olehnya. Sikap cueknya yang seharian tidak mengabariku. Dia sedang melakukan permainan seperti saat itu. Selalu mengabaikan ku jika aku melakukan kesalahan, atau dia akan men diamkan jika kami ribut besar. Dia paling tidak suka berdebat.
Aku tidak suka cara permainannya. Ini kedua kalinya dia bersikap dingin setelah kemarin. Lestari mungkin sampai gerah mendengar celotehku. Aku sangat membenci robot yang terlanjur menjadi pacarku.
"Agh, bisa-bisanya robot macam dia kasmaran" ungkapku kesal kepada Lestari saat di perjalanan.
Lestari hanya memicing-micingkan matanya. Aku tau ketawanya licik saat itu. Mentertawakan aku yang harus memilih untuk mencintainya. Aku tau hatiku sedang salah paham. Aku diam tidak berkutik kali ini.
"Terimain sikapnya, gak ada yang sesabar dia." Sedikit meledek
"Iya I know dan gak ada yang secuek dia". Aku menimpali.
Lestari ketawa seadanya. Kali ini ia memilih memejamkan mata dan tidak mau tau dengan apa yang terjadi padaku. Mungkin ia bosan mendengar ceritaku. Aku masih merasa aneh, Andrean adalah robot betulan yang terjebak dalam tubuh manusia sepertinya. Aku tau itu sekarang.
***
Andita. Nama ini mengingatkan saya pada seorang guru menulis saya. Kak Raindita. Bahkan karakternya sama. Jutek juga.
Comment on chapter Bagian 1 : Cinta Bersemi dibalik Pertaruhan