Ini tahun ke delapan Maharani tertidur dalam bangsalnya. Dalam isi wasiatnya tidak ada harta yang akan diwariskan atau permintaan terakhir yang ingin dikabulkan kecuali tanggal kebangkitannya. 20 November 2018, di tengah hujan lebat dan petir yang saling bersahutan perempuan itu membuat seisi desa lari kocar-kacir. Ada seseorang yang menunggu dirinya di perempatan jalan, di rumah kecil yang pagarnya sudah berkarat. Namanya Seto. Seorang laki-laki yang membunuhnya delapan tahun lalu dengan sup ayam kesukaannya yang dicampur sianida. Juga seorang anak gadis yang sudah beranjak remaja.
“Ibu!” Anaknya yang sedang menampi di beranda rumahnya melotot. Beras-beras loncat dari tampahnya. Melihat seorang wanita umur empat puluh tahunan dengan tubuh yang dibalut daun pisang itu antara takut dan terharu.
“Bapak mana?” kata Rani menyadarkan wajah anaknya yang mulai beku.
Sekujur tubuh anaknya bergidik. Tidak yakin kalau di hadapannya adalah seorang manusia. Lantaran bau anyir menyumbat lubang penciumannya.
“Di-di dalam,” terang anaknya kemudian. Tubuhnya bergetar hebat ketika berbicara.
“Siapkan golok. Kita akan menyembelih babi.” Rani menyerobot masuk ke dalam pintu. Menangkap basah Seto sedang bersama istri barunya. Yang tadinya pakaian sedang dilucuti, ditarik kembali ke dalam tubuhnya. Terpojok dalam keringat dingin yang muncul ketika Rani menyeringai.
Seto dengan yakin kalau hari ini ia akan mati. Tapi Rani membanting golok ke pinggir risbang. Hampir mengenai kaki Kanan Seto yang membuat jantung laki-laki itu kehilangan ritmenya.
“Kita akan menyembelih babi, Sayang,” ujar Rani kemudian. Seto semakin beku dibuatnya.
“Ba-babi apa?”
“Seekor babi yang ada di sampingmu. Yang berpikir merebut posisi seseorang itu bisa dilakukan dengan mudah.”
“Aku mohon jangan, Rani.” Seto melipat kedua tangannya di depan dada.
“Bagaimana ya?” Maharani menyeringai lagi. “Ucapanmu membuatku semakin bersemangat. Kamu yang hitung!” perintahnya.
“Aku minta maaf, Rani. Jangan sakiti kami!” Seto berlutut di depan Maharani yang sedang tertawa.
Seto mau memohon lagi tapi suaranya tercekat. Ada yang bocor dari lehernya. Golok sudah menghantam lehernya beberapa detik yang lalu. Tapi ia masih bisa mendengar lengkingan tawa mantan istrinya semakin tinggi.
“Nah! Sekarang tinggal menyembelih babi!”