Masih tidak mau menyerah, itu yang membuat Yuka meminta sopir pribadi ayahnya berhenti di depan rumah sakit daripada mengikuti ayahnya ke KMM baru diantar ke rumah. Sebelum dia masuk, dia berbalik pada ayahnya yang membuka jendela mobil pintu. "Ingat, ya, pulang kalau Pak Wilson sudah jemput."
Sebagai seorang ayah yang mendapatkan kembali putrinya setelah hilang berhari-hari, tentu saja dia masih tidak bisa merelakan anaknya berkeliaran tanpa pengawasan. Sialnya anak jadi-jadiannya itu, Nick, memang dari dasarnya punya pelet natural hingga membuat Yuka tercantol. Sisi baiknya Yuka bisa mewakili Paman Ethan untuk menyampaikan rasa berterima kasihnya. Jadi dia mengizinkannya untuk menjenguk anak itu lagi. Lagi pula Paman Ethan turut senang jika Nick mendapatkan teman baru, terutama teman barunya adalah anaknya sendiri.
Senyum kecil Yuka melengkung. "Ini yang ketiga kalinya."
Paman Ethan tertawa geli. "Iya, maaf. Dad memang cerewet tapi untuk siapa, hah?" Tangannya terulur untuk mengusap rambut anaknya.
Yuka pun tertawa geli. "Eh, jangan. Nanti berantakan lagi." Dia menyingkirkan tangan ayahnya dan merapikan rambut. "Lihat jam, Dad. Ini sudah terlambat setengah jam, loh."
"Oh, sial." Seolah baru diingatkan, dia baru mengecek jam saku tuanya yang selalu berada di dalam saku; saku jas, saku celana, saku jaket, saku mantel. "Jangan lupa sampaikan salam sayangku pada Nick, ya?"
"Oke!" seru Yuka yang sudah berjalan menaiki tangga menuju teras rumah sakit.
Hati Yuka sedang riang gembira dan gelisah di satu waktu, sampai dia tidak sadar pintu kamar Nick sudah di depan hidung. Sebelum mengetuk pintu Yuka berdiam diri dan menarik napas lewat mulut, kemudian membuangnya secara perlahan. Jangan lupa kunci jawaban yang sudah dia persiapkan di dalam kepala. Saatnya mengetes diri.
Pertama apa yang harus dia katakan? "Hai, aku datang lagi. Apa aku boleh masuk?" lalu, "Aku membawakan burger keju untukmu. Ferus bilang kau suka.", "Bagaimana? Sudah bisa duduk cukup lama? Apa kau mau air?"
Tangan mungilnya sangat perlahan mengetuk pintu kamar Nick dengan buku jari. Dia tidak menunggu jawaban dari Nick karena dia yakin anak itu tidak mau repot-repot menerima tamu. Benar saja, di dalam Nick sedang mengunyah pisang yang entah dia dapatkan dari mana. Steven Universe menemaninya selama di kamar sendirian beberapa jam ini. Telinganya mungkin disumpal dengan tutup botol tak kasatmata.
Alisnya bertaut begitu bertemu mata dengan Yuka, si perempuan bertubuh pendek dan sedikit berisi itu. Mengenakan blus hitam terusan melewati lutut, dan shrug lengan pendek yang melapisi setengah leher dan pundaknya. Sudah jelas dia sehabis dari makam bersama yang lain.
Kenapa kau datang lagi? Itu adalah tatapan ganas yang dia berikan pada Yuka.
Meski begitu Yuka tetap tersenyum bahkan masuk, menutup pintu di belakang punggungnya, pura-pura tidak membaca tanda dilarang masuk. "Siang? Apa kau sudah makan?" Improvisasi, ternyata rencana percakapannya berjalan lebih cepat dari yang dia kira.
Tergambar sangat jelas pada air muka anak itu bahwa dia alergi melihat Yuka di depan mata. "Paman Ethan menyuruhmu ke sini?"
Langkah Yuka sangat santai hingga dia duduk di samping Nick seolah dia sedang mengunjungi kawan rasa saudara kandung. Ia meletakkan sekantong kertas berisi burger keju di atas nakas bersama tas tangannya yang mengilap. "Apakah kau akan jengkel kalau tahu aku inisiatif ke sini?" ujarnya dengan senyum.
Satu detik mata Nick berkelit dari Yuka sebelum kembali menatapnya. "Katakan saja apa urusanmu ke sini. Minta maaf lagi?"
Astaga, pikir Yuka. Anak laki-laki ini menakutkan sekali, apakah dia punya teman dalam hidupnya? Bagaimana dengan Ferus atau keluarganya? Mereka tidak salah membiarkan anak seperti ini tinggal di rumah mereka?
Anehnya itu malah memacu nyali Yuka.
Sebentar lagi Nick akan gatal-gatal karena Yuka menyentuh pundaknya, dia begitu cekatan mengelik dari Yuka dan memberikannya tatapan galak. Apakah dia semacam kucing yang tidak suka disentuh? "Kenapa kita tidak bisa berteman, sih? Apa kau selalu seperti ini?"
"Usahamu cukup keras jika menyogokku dengan burger keju," ketusnya, melirik pada kantong kertas tersebut. "Tapi pertama banyak sekali yang tidak kusuka darimu."
"Banyak?" Yuka menelengkan kepala. "Bukannya kita baru bertemu dan kau menyelamatkanku?"
Butuh kesabaran banyak yang harus Nick kerahkan ... atau sejujurnya karena dia suka merepotkan diri. Apa sulitnya menerima Yuka sebagai teman, sih? "Ya, setelah kupikir-pikir lagi lebih baik aku tidak usah menyelamatkanmu."
Rupanya itu berhasil mengatupkan mulut Yuka, bahkan dia sedikit mundur dengan raut terpukul. "Kenapa?" tanyanya dengan pelan.
Baiklah, itu memang terlalu kasar, Nick mengakui. Hanya saja terlalu gengsi untuk mengaku lewat mulut. Dia menghela napas. "Mana burgerku? Berikan."
Kantong itu Yuka raih dengan gesit sebelum Nick, dia menjulurkan lidahnya bermaksud meledek. "Tidak jadi. kau jahat. Buat apa aku memberikan makanan gratis pada orang jahat?"
"Kenapa kau menyebalkan sekali, sih?"
"Harusnya aku yang tanya," protes Yuka. "Jelaskan dulu kenapa kau berpikir seperti itu."
Bola matanya berputar sarkastis. "Kamu mengerti candaan kasar tidak, sih?"
"Anggap saja tidak." Yuka mengedikkan pundak. "Lagi pula." Perempuan itu mendekatkan wajahnya pada Nick, sengaja menusuk mata birunya dengan mata gelapnya yang lebar mirip boneka.
Nick tidak kalah hanya dengan tatapan seperti itu. Jangan pernah harap. Apalagi dengan perempuan berwajah anak dua belas tahun sepertinya. "Lagi pula apa?" justru dia menantang.
Sudah Yuka duga, jenis tantangan seperti itu tidak akan berhasil pada Nick. Menantangnya adu tatap akan sama saja menantang patung. Jadi dia kembali mundur, memeluk kantong kertasnya. Sesingkat itu burger keju di dalamnya berubah jadi emas. "Aku tahu kau masih kesal soal tadi malam. Makanya tidak mau memaafkanku, 'kan?" Wajahnya berpaling dan bibirnya mengerucut.
Tidak ada jawaban langsung dari lidah tajam Nick. Mengundang penasaran sehingga Yuka meliriknya lagi. Ya, dia harusnya tidak usah bahas soal itu lagi, lihatlah anak itu masuk ke fase frustrasinya lagi. Tapi memang itu, 'kan, nyatanya?
"Dengar ...."
Ucapan Yuka terputus oleh Nick. "Bukan."
Mata Yuka berkedip.
Penekanan lebih besar ia limpahkan pada tatapannya. "Jangan kaukira aku tidak tahu."
Tidak tahu? "Memangnya apa yang kau tahu?"
Bukannya menjawab, Nick hanya terus menatapnya seperti patung penuh kebencian. Apa, sih, memangnya? Tiba-tiba saja Yuka merasa jantungnya berdebar akibat kengerian yang dia pancarkan. Berani sekali dia tadi, menantang Nick untuk bertatapan dengannya. Sekarang malah dia yang gelagapan ketika Nick melakukannya.
"Apa, sih?" sentaknya tidak nyaman.
"Dasar pembohong," ujar Nick tanpa landasan apa pun.
"Bohong soal apa?" Yuka bertingkah terdesak. "Tolong jujur padaku apa yang kau maksud."
"Kamu yang harusnya jujur padaku. Pada Ferus juga," ucapnya sengit. "Masih tidak mau jujur, hah?"
"Aku tidak tahu jujur soal apa!" sangkal Yuka frustrasi.
Peringatan dari Carl masih membatasi Nick terhadap Yuka, dan dia sengaja mengintimidasinya sebelum memberitahu apa yang sebetulnya dia tahu. Masih saja berkilah polos, bertingkah tidak membohongi dirinya dan Ferus saat di kabin. Jadi benarkah Yuka berkata jujur?
"Ceritanya bagaimana sampai kau diculik oleh Sam?" tanya Nick kemudian.
Sebenarnya apa, sih, yang Nick curigai darinya? "Tunggu. kau mengira aku antek-anteknya Sam juga, ya? Karena semalam aku tidak diserang olehnya?"
"Jawab saja," sergah Nick. "Jangan beri aku pertanyaan saat aku bertanya."
Baiklah, jika dia menginginkan kejujuran dari Yuka. Daripada naik pitam. Dia mendengus, sebaik mungkin menahan kepalannya tetap di atas pangkuan sebelum melayang pada wajah Nick yang terimpit bengkak.
Maka dia akan menceritakannya secara kronologis, mendetail, dan sejujur mungkin. "Begini, jika kau memang mengira aku antek-antek Sam, iya. Itu memang benar. Kalau bukan, tidak mungkin aku menyuntikmu dan Ferus. Nah, tapi tentu saja karena aku bekerja di bawah ancaman. Awal mulanya aku bertemu dengannya di pusat perbelanjaan. kau percaya? Aku dan troli berisi bahan baku masakan. Dia juga membawa troli. Saat kami bersinggungan, entah kenapa dia langsung tahu aku bukan manusia biasa."
Nick tetap mendengarkan secara saksama. Dan tampaknya dia bukan sekadar mencermati cerita Yuka, dia juga meneliti ekspresi serta gerak-gerik Yuka bercerita. Dia boleh memiliki kebohongan matang, tapi jika ekspresi dan gesturnya tidak bisa mengimbangi, skak mat.
Tatapan Nick sama sekali tidak ada apa-apanya buat Yuka, toh dia mengungkapkan kejujuran. Justru keangkuhan mendampingi ekspresi, intonasi, dan gesturnya. "Keluar aku dari pusat perbelanjaan setelah membayar. Sehabis dari kasir maksudku, jadi aku masih di dalam. Sopirku ada di luar. Sam punya kesempatan mencegatku. Dengan blak-blakan dia tahu bahwa aku adalah Sang Dikaruniai."
"Sang Dikaruniai?" Tubuh Nick menegap. "Kamu ... tunggu. Lanjutkan dulu saja."
Ada apa, pikir Yuka? Namun, terlepas dari itu, dia bingung harus meneruskannya seperti apa sekarang. "Sebelum aku melanjutkan ...," katanya, "kamu tahu insiden penculikan anak-anak oleh penelitian SuperbHuman?"
SuperbHuman? Nick mengerjap. "Yang terungkap dua tahun lalu?" tanggapnya.
Yuka memberikan anggukan. "Jadi dia tahu aku dari situ. Wajahku pernah terpampang dulu di media massa. Aku adalah salah satu korban yang selamat berkat KMM. Satu-satunya."
Tentu saja omong kosong tersebut tidak akan Nick percaya dengan mudah. Jadi orang di depannya ini adalah orang terkenal? "Masa, sih?" semudah itu dia memberi intonasi mengejek. Walau dia akui masih ada kemungkinan dia lupa dengan wajah orang-orang penting dari sebuah berita yang pernah menggemparkan dua tahun lalu.
Ampun. Gara-gara itu dia menepuk wajahnya. Anak ini terbuat dari apa, sih? Baja? "Nick, kuhargai sikap skeptismu itu. Jujur, itu harus dipuji." Jari telunjuknya menuding Nick pada setiap suku kata.
"Terima kasih?" Sebelah alis anak itu terangkat.
Ponsel di dalam tas tangan Yuka ia ambil. Ia mengetikkan sesuatu di atasnya, lalu menunjukkannya pada Nick. "Aku tahu memercayai itu sangat sulit, tapi ini nyata."
Aplikasi peramban ponsel Yuka menyala, menghadirkan berbagai informasi yang ditampilkan situs mesin pencari. Yukari Hinotori. SuperbHuman. Remaja super yang selamat! Berhasil dari eksperimen, dia mendapatkan kekuatan api. Nick pun memindahkannya pada pilihan kumpulan gambar. Wajah gadis berparas timur ini sama persis dengan Yuka, walau foto-fotonya hanya sedikit, dan secara mencolok rambut perempuan itu botak tipis. Wajah awet mudanya masih sama.
"Perlu pakai ponselmu sendiri supaya tidak merasa ditipu?" sindir Yuka dengan nada serius.
Ponsel tersebut Nick kembalikan pada Yuka. "Tidak usah."
"Dan." Yuka melepas shrug bermotif yang ia kenakan, memperlihatkan setengah leher dan pundaknya yang sebelumnya tertutup. Ia pindah duduk di tepi kasur Nick, memunggunginya, menyingkirkan rambut pendeknya, dan menunjuk tengkuknya. "Ini buktinya, bekas kabel-kabel yang ditancapkan pada tubuhku."
Di atas kulitnya yang putih dan mulus, Nick dapat melihat sepasang bekas luka berlubang sebesar kelingking. Masih tertinggal jaringan berserat yang membuatnya bergidik membayangkan lehernya ditancapkan oleh apa pun itu. Mengingat luka gigitan Jessie di jembatan pundaknya saja sudah menggelikan, apalagi itu?
Yuka kembali ke kursinya, juga mengenakan shrug-nya lagi. "Awalnya aku tidak mau mengaku, tapi Sam memaksaku membuka jaket. Setelah itu dia menawarkanku sesuatu yang tidak bisa kutolak ...."
"Jangan bilang obat-obatan keras?"
Sebelah mata Yuka berkedut. "Kau bercanda? Bukan." Dia mengembuskan napas berat. "Cek beberapa berita yang tadi kuperlihatkan. Di situ ada keterangan yang mereka tulis setelah mewawancaraiku. Aku amnesia."
Amnesia ...? "Kamu, amnesia?"
"Dad—maksudku, Mr. Regas, mengangkatku menjadi anaknya karena KMM tak kunjung menemukan keluargaku. Bahkan identitasku seakan tidak pernah ada. Sudah dua tahun ini mereka masih terus mencari, tapi tidak ada hasilnya."
Oh ..., itu menjawab salah satu kecurigaan Nick. Orang mana pun tahu fisik Yuka sama sekali berlainan dari Paman Ethan. Jika dia blasteran timur dan barat-tengah* pun sangat tidak memungkinkan. Lihat tingginya, lihat matanya, lihat rahangnya, lihat warna kulitnya, lihat segalanya. Tidak ada sedikit pun darah campuran yang tampak di fisiknya.
*[Barat-tengah: dalam cerita ini, Republik Arkadia adalah bekas jajahan Moskovia Raya yang berasal dari benua Barat. Namun posisi Arkadia berada di benua Tengah. Pendatang dari Moskovia yang menetap di Arkadia dan beranak cucu ini disebut sebagai orang barat-tengah.]
"Anak angkat ... pantas saja," gumam Nick pada dirinya sendiri, mengusap dagunya. Ada hal lain yang tersangkut dalam benaknya dan sangat ingin dia cabut, tapi ini adalah privasi Paman Ethan sendiri, jadi dia tidak membahasnya.
"Karena itu Sam berbual-bual bahwa dia memiliki koneksi luas. Dia jujur masih belum tahu cara mengembalikan memoriku, tapi dia akan mengerahkan seluruh anak buahnya yang tersebar untuk mencarikan cara. Tentu saja dia juga ingin aku turut membantu," Yuka menjabarkan lagi.
Kepala Nick kembali tegak. "Tunggu. Sebesar apa perkumpulan Sam? Sampai luar negeri tidak?"
Yuka menggeleng. "Semua yang tadi malam ditangkap ayahku—dan mungkin sudah masuk penjara—sudah semuanya."
Sudah semuanya, Nick membatin. "Kecuali satu," katanya lagi.
Benar. "Ya. Kecuali satu." Bahu Yuka merosot dengan kecewa.
Dengan mudah Yuka mengetahui siapa yang Nick maksud. Kegetiran di wajah Yuka tidak menyampaikan kebohongan—mengesampingkan kemungkinan dia berbakat dalam akting. Ingin rasanya Nick merobek kepala Yuka, mengetahui isi otaknya, tapi tentu saja itu terlalu beringas dilakukan oleh bocah tujuh belas tahun yang baru saja ditelan depresi.
"Ada kecacatan dalam kebohonganmu," Nick berceletuk setelah masing-masing larut dalam pikirannya sendiri.
"Astaga." Yuka memutar mata. "Masih saja aku disebut pembohong?"
"Begini, ya," Nick mengatakannya dengan penuh penekanan. "Masa, sih, iblis hebat seperti Sam saja bisa kau bakar dengan api, tapi pria menyeramkan itu tidak?"
Pusing dia harus meyakinkan Nick seperti apa lagi, keningnya ia pijat sebelum bertempur melawan mulut dan otaknya yang tidak lelah menginterogasi. "Ceritanya belum selesai. Tapi memang, pria itu bisa saja kubakar hanya dengan api sekecil lilin. Sayangnya dia tidak sendirian. Kalau aku macam-macam, ayahku yang akan kena masalah."
"Iya, Sam dan sejenisnya, 'kan?" tukas Nick.
Selintas saja Yuka terbengong, ingin tertawa. "Ya, tentu saja bukan. Untuk apa KMM takut pada anak-anak seperti itu, Nick?"
Sebelum membiarkan Nick sia-sia mematahkan fakta yang Yuka sampaikan, gadis itu menimpalnya yang baru membuka mulut. "Sejujurnya aku pun tidak tahu apakah dia punya perkumpulan sungguhan yang lebih besar dan mengerikan, tapi ada baiknya aku menuruti saja kemauannya sambil menunggu pertolongan, 'kan? Karen sendiri yang bilang padaku, menjadi anaknya Dad itu memang susah. Kami harus siap menjadi target orang-orang yang menginginkan KMM dihancurkan. Dan setiap langkah yang kita ambil tidak boleh atas dasar gegabah."
Bagaimana bisa Yuka langsung percaya bahwa pria itu punya perkumpulan lain? "Kamu tidak menagih bukti?"
"Jangankan itu." Tangannya mengusap sisi luar lengan atasnya seakan ada jarum yang menembus kulitnya. "Sama sepertimu. Dia tidak membiarkan energiku beregenerasi. Satu pertanyaan sama dengan satu tabung suntik. Kebetulan aku bukan orang yang berani mati."
Baiklah, Nick bisa mewajarkannya. Gadis ini bukan orang yang terbiasa menerima kekerasan fisik, jadi dia tidak mungkin mau menyiksa diri terlalu lama. Maka Nick menanyakan pertanyaan baru. "Pria itu sudah ada di dalam perkumpulan Sam sebelum kau masuk?" kali ini caranya bertanya tidak penuh kecurigaan.
"Tidak. Dia baru bergabung setelah aku ada." Yuka meletakkan kembali kedua tangannya di atas pangkuan.
Berarti masih ada kemungkinan Jessie pun tidak mengetahui keberadaannya. Cukup masuk akal, pikir Nick. Masih cukup. Mungkin saja Sam mengundang orang itu sebagai penjaga Yuka karena dia mendapatkan tangkapan besar. Atau justru ada jenis tawar-menawar lainnya. Nick membayangkan jika dia ada di posisi Sam, dan mengetahui Yuka adalah incaran orang-orang besar, dia tidak akan melewatkan kesempatan menukar Yuka dengan segudang emas.
"Keamananmu masih belum bisa terjamin selama dia berkeliaran," Nick berkesimpulan, setelah setengah jam berkeras bahwa Yuka adalah pembohong besar.
Pendapat itu sudah cukup membuat Yuka merinding, seakan pria itu berada di belakangnya. Siap menjambak rambutnya, lalu mengambil darahnya, kemudian melakukan berbagai macam hal yang tidak-tidak. Dia pun mengangguk lesu.
"Ada baiknya kau tidak keluyuran bebas seperti dunia tidak akan kiamat begitu," Nick berpendapat, menyandarkan kepalanya pada bantal lagi. Matanya menghadap pada langit-langit membosankan. "Tidak ada satu pun agen yang menjagamu selama keluar? Di rumah bagaimana?"
"Dad tidak mau melakukannya," katanya. "Entah karena apa."
Jawaban macam apa itu? Paman Ethan tidak mau menjaga anaknya yang rawan diculik? Karen saja—putri kandungnya—memiliki pengawalnya sendiri—meskipun sering kena tipu daya semacam ditinggal di pedesaan terpencil atau dikunci di toilet saat dia sedang buang air besar. Masa karena pilih kasih mentang-mentang Karen anak kandungnya? Bagaimana dengan Nick? Dia juga sering dianggap sebagai anak sendiri oleh Paman Ethan, dia saja yang bersikap kurang ajar pada pria yang gagal menerjemahkan enkripsi kata menyerah dalam otaknya.
"Alasannya apa?" Nick terdengar menuntut sebagai penegasan dia pun tak habis pikir. "Paman Ethan tidak mungkin seperti itu."
"Nyatanya memang begitu. Tentu saja, dia punya Karen. Punya mantan istri. Dan sepertinya kau salah satu anak kesayangannya juga, 'kan?"
Entah itu hanya dugaan Nick atau Yuka memang sedang merajuk akibat merasa tidak diadili padahal cara bicaranya tidak ditemani emosi. Seolah dia memang maklum dengan perlakuan tidak sebanding. "Bukan anak kesayangan," Nick menyangkal, "dari kecil aku memang lebih sering menghabiskan waktu bersama dia. Wajar dia menganggapku seperti anaknya sendiri."
"Itu dia." Yuka menghela napas. "Alasan aku diangkat hanya karena dia iba padaku. Bukan karena rasa sayang."
"Dan ini baru berlangsung selama dua tahun," Nick sepakat.
Benarkah memang seperti itu keadaannya? Sebenci apa pun Nick terhadap Paman Ethan, dia tidak pernah benar-benar membencinya, membuktikan bahwa pria itu memang tidak punya alasan untuk dibenci. Malah bisa dikatakan dia adalah pria naif yang ingin melakukan segalanya, melindungi semua orang, membuat semua orang bahagia, membuat semua orang menyukainya. Sosok heroik yang biasa digambarkan sebagai pahlawan super. Sekalipun Yuka hanyalah anak angkat selama dua tahun, tidak mungkin Paman Ethan bersikap tidak acuh padanya. Tindakan untuk mengangkatnya sebagai anak saja sudah mulia.
Kersak suara kantong kertas burger keju membuyarkan lamunan Nick, Yuka menyodorkannya padanya. "Burgermu. Dingin." Dia tersenyum meski terkesan memaksakan.
Nick berusaha tidak menatap matanya karena dia tidak mau kelihatan iba terhadap Yuka. Dengan cepat ia ambil kertas itu, mengambil burger dan membuka bungkusnya.
Sesaat, dalam hening Yuka mengamati Nick mengunyah burgernya dengan hati-hati. Seperti mengendus racun saja.
"Nick," panggilnya.
"Hmm?"
Terdapat jarak cukup lama sebelum Yuka memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu mau tidak, aku menolong mengatasi traumamu terhadap api?"
Seketika Nick berhenti mengunyah, mata biru beningnya yang melebar terlihat mengerikan diterpa sinar matahari.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000