"Dulu Karen yang melakukannya. kau tahu, 'kan? Dia juga semacam produsen api."
"Produsen api," Yuka mengulangnya, memberengut tersindir.
"Kenapa? Itu keren, 'kan?" Nick mengangkat pengendali televisi, mengganti saluran tanpa henti. Acara mana yang bisa mengusir kebosanannya di hari yang indah ini? "Hanya saja kami sempat bertengkar dan tidak mau saling bicara. Lalu aku pindah ke luar negeri—ke sini—dan semuanya sudah berubah berantakan. Rasanya dia hanya orang asing yang berpapasan di jalan, tidak mungkin kusapa tiba-tiba."
Yuka tetap mendengarkan, terhipnotis oleh saluran televisi yang terus berganti.
"Padahal dulu aku sering minta bantuannya, membantuku berani lagi dengan api. Tapi, ya, begitu. Belum sampai setengah kami sudah heboh. Sekarang tidak ada lagi yang bisa membantuku."
Jadi Karen, saudari angkatnya yang dikenal dengan sebutan Gadis Bara Api adalah teman dekat Nick? Apakah luas dunia ini sebetulnya sebatas toilet umum?
"Karena itu biarkan aku menggantikannya," Yuka mengatakannya seakan adalah pahlawan yang sedang menyuruh seorang warga untuk bergantung padanya.
Tak lebih yang bisa Nick lakukan selain mendesah jengkel. "Keras kepala sekali kau ini."
"Tidak sebanding denganmu."
Mereka saling tatap lagi. Cukup lama sampai-sampai tersedot ke dalam masing-masing mata lawan bicara. Namun tetap saja, sedalam apa pun Yuka menggali dia tidak bisa membaca raut kosongnya. Ataukah dia memang penuh kekosongan? Tidak, pasti ada hal lain yang membatasi dirinya yang di dalam dengan dirinya yang di luar.
Yuka mengangkat tangannya yang mungil, sepertinya di luar kepala bisa memanggil api sebesar api lilin. Api sekecil itu sudah tidak menakuti Nick. Materi itu menari-nari di atas tangannya, mengikuti arah angin yang berembus sangat pelan.
Tak disangka Nick malah meminta lebih. "Lebih besar lagi," katanya.
Yuka tidak membantah, ia membesarkan api hingga mencapai tinggi lima senti, terus bertambah menjadi sepuluh senti. Kengerian itu lagi-lagi membalut seluruh kulitnya, membungkusnya dengan selubung kecemasan. Tak membiarkannya bernapas, memberangus mulutnya. Membangunkan pacuan kuda dalam jantung.
Mendapati ketidaknyamanan di wajah Nick, dia tidak membesarkan apinya lagi. Suaranya dengan lembut dapat mempersuasi, "Coba sentuh apinya. Tidak panas, kok. Suhunya sudah diatur."
Sama persis seperti Karen. Mereka ahli sekali dalam mengendalikan api, sedangkan Nick sudah pontang-panting melihat api membakar rumah. Dia iri dengan mereka. Jadi dia harus bisa. Ya, Nick mematuhinya. Perlahan mendekatkan ujung jari pada api. Masih tidak ada panas apa pun padahal jaraknya sudah sangat dekat. Sedikit lagi .... Sedikit lagi ....
Namun ketika api itu bergoyang mendekat pada ujung jarinya, dia sontak menariknya mundur. Tiba-tiba lupa bahwa api itu tidak akan membakarnya. Akhirnya dia menghela napas dan menyerah. "Ada apa denganku, sih?"
Yuka memiringkan kepala, mengecilkan api hingga menjadi titik dan menghilang. Bibirnya melengkung dengan maklum. "Semuanya butuh waktu. Jadi bagaimana?"
Dengan berat hati Nick harus mengatakan sambil menghela napas, "Tidak, kau butuh kesabaran besar. Kadang aku bisa menampar tanganmu."
"Itu reaksi yang wajar."
"Sampai menceburkanmu ke danau."
Kali itu Yuka baru membisu. Separah itukah dia? Perubahan pikiran kurang dari satu detik memelesat dalam kepalanya, daripada harus tenggelam dengan hina terutama karena dia tidak bisa berenang. "Tidak apa-apa, daripada kau begini terus."
Sepintas saja—sangat sepintas, es di dalam diri Nick meleleh. Maksudnya, bagaimana bisa Yuka bersikap sebaik itu pada orang asing? Terlebih setelah dituduh dan dibentak beberapa kali? Apa betul hanya karena dia merasa berutang? Aneh sekali.
"Oke. Aku tidak tahu apa motifmu tapi anggap saja aku tidak mau melewatkan jasa cuma-cuma." Tangannya ia ulurkan pada Yuka seperti meminta sesuatu.
Oh, Tuhan. Akhirnya Nick menyerah. "Bagus!" Yuka mencicit semangat. "Ini apa?"
"Orang-orang yang mau melewati Tembok Pembatas Hubungan Antarpribadi Nicholas Lincoln harus mendapatkan izin resmi. Dan pertama-tama dia harus mengerti Kode Persaudaraan terlebih dahulu."
"Jangan bilang Ferus juga hafal kode itu?" Sudut bibir Yuka berkedut geli.
Ekspresinya tidak lebih keren daripada Squidward sang pembual. "Ayo sini, kau harus menghafalnya." Dia mengambil salah satu tangan Yuka untuk diletakkan di atasnya. "Ini, kau harus menepuknya dengan keras. Kalau perlu sampai tanganmu merah."
"Uh-huh." Yuka tidak mengerti kenapa dia terikut serius mempelajarinya.
Nick mengambil tangan Yuka yang lainnya. "Lalu setelah itu tangan kiriku akan menepuk tangan kananmu. Ayo lakukan."
Yuka pun melakukannya.
"Tangan sebaliknya. Yak. Kepalkan tanganmu—bukan. Bukan. Yang satu lagi. Nah, begitu." Lalu mereka membenturkan buku-buku jari mereka. "Pautkan sekarang seperti ini. Guncang. Pukul tanganku dengan tangan satu lagi. Dan, bum! Jauhkan tanganmu. Gayanya harus seperti ini, ya." Tangan yang sebelumnya digunakan untuk memukul menjauh dengan gaya pesulap mempertontonkan bunga yang tiba-tiba menyembul di tangannya.
Astaga, apa pun itu tolong jangan katakan ada anak kecil terperangkap dalam tubuh Nick. Yuka melepas tangannya untuk menutup mulutnya yang menahan tawa. "Ya ampun, ribet amat."
"Hafalkan atau nanti tidak bisa menembus Tembok Pembatas Hubungan Antarpribadi Nicholas Lincoln. Tidak ada kunci jawaban." Nick tak bisa melakukan apa pun selain mengedikkan pundak. "Ayo kita coba lagi."
"Oke." Meski begitu ternyata Yuka tertantang, bahkan dia sangat tidak sabar.
Berulang kali mereka mempraktikkannya dan berulang kali Yuka melakukan kesalahan. Semakin banyak kesalahan semakin ratusan cemooh Nick bertingkat. Semoga saja kehebohan mereka tidak mengganggu kamar sebelah, siapa tahu pasiennya sedang stroke dan mendadak meninggal dunia.
Mereka berhenti ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dan ditutup keras oleh Ferus yang menghambur masuk bak seekor banteng salah kandang. Dia juga sedang mengenakan pakaian sopan sehabis berkabung, matanya yang sebesar bola pingpong membesar menjadi bola golf. Mata itu, pikir Nick, semoga tidak sewaktu-waktu meletus. Terlepas dari itu, wajahnya pucat pasi, dan mulutnya menganga sanggup menelan Nick dan Yuka saat mendapati gadis itu sedang menempati kursi yang seharusnya ia duduki.
"Halo, apa aku mengganggu acara kerusakan moral kalian?" tanyanya antara serius dan tidak. Pikirannya bercabang pada sesuatu yang membuatnya merusuh ke sini.
Yuka membenarkan apa yang sedang mereka lakukan, tapi Nick mengabaikannya dan justru menanyakan kondisinya. "Kotoranmu sudah sampai ujung lubang pantat?"
"Ah, enggak." Dia menggeleng cepat, rambut ikalnya melompat-lompat. Dia duduk di atas kaki Nick, kemudian dengan kasar mengusirnya. Kasur ini Ferus invasi dan dia sungguh-sungguh soal itu, mengembuskan napas dengan keras. Tangannya gemetar setengah mati. Kehadirannya sangat merusak suasana taman kanak-kanak antara Nick dan Yuka.
Kendatipun Nick dan Yuka saling pandang, bertukar pertanyaan yang sama. "Kau baik-baik saja?" Yuka bertanya.
Rasanya Nick mengenali kondisinya yang mirip dikejar anjing rabies. Sebelum Ferus menjawab pun dia sudah mendahului. "Hantu, ya? Mengganggumu lagi?"
Kepalanya mengangguk tipis tetapi cepat. "Barusan. Bukan di makam. Di sini. Di rumah sakit," ujarnya patah-patah.
Sepulang dari makam, Abuelo mengantar Ferus ke rumah sakit sedangkan dia sendiri pulang untuk menemani Abuela. Sejarah Ferus dengan rumah sakit dapat diterbitkan menjadi buku auto-biografi. Duri-duri mengoyak setiap langkahnya. Padahal dia tahu dia ke sini bukan untuk menggaji dokter. Bisa dibilang rumah sakit adalah rumah keduanya, hanya dulu langganannya bukan di sini. Bukan karena dia penyakitan walau tubuhnya adalah tipikal patung kerangka laboratorium. Lagi-lagi dia harus bertemu dengan bau zat-zat kimia rumah sakit yang tidak dia ketahui apa itu. Pengecualian untuk rumah sakit modern tempat Nick dirawat, mereka bisa menutupi bau memualkan itu dengan pengharum.
Dan dia wajib ditemani Abuela kecuali ingin melihat hal yang tidak-tidak atau ... berujung kerasukan lagi. Rumah sakit, 'kan, sarang dari makhluk-makhluk menderita.
Perlahan dia menyusut menjadi anak yang tingginya setara dengan pinggang neneknya. Tangannya berada dalam genggaman wanita yang masih lebih bugar dari yang sekarang. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh lebam, goresan, bilur, darah. Puluhan pasang mata mencemaskan seorang bocah berumur enam tahun yang tidak mengerti kenapa dia selalu berakhir seperti ini.
Mencemaskan seekor monster lepas kendali.
Berbanding terbalik dengan masa kini. Segalanya normal. Melewati lobi, naik eskalator, berpapasan dengan para pasien dan perawat yang menganggapnya sekadar udara lewat, sepatu perawat meninggalkan suara kelotakan yang memantul-mantul di sepanjang dinding dan lantai marmer mengilap. Ferus sendiri terus memandang sepatunya selagi melangkah hingga dia melihat ada sepasang kaki wanita di depannya. Kepalanya terangkat dengan kasar, bertemu mata dengan wanita hamil yang berdiri di depan pintu kamar.
Umurnya mungkin sudah mencapai kepala empat. Kerutan-kertuan terbentuk di wajahnya karena dia sedang tersenyum padanya sembari mengelus perut besarnya. Rambut cokelat gelapnya dibiarkan terurai dan berombak di dada. Semasa mudanya dia pasti perempuan cantik dan mungkin berhati selembut bulu angsa.
Ferus membalas senyum karena canggung jika dia melewatinya begitu saja.
"Permisi," seorang wanita lain bicara tepat di belakang.
Kontan Ferus membalikkan tubuh. Seorang wanita di atas kursi roda berada di belakangnya. Kemungkinan suasana hatinya sedang buruk karena dahinya berkerut-kerut dan bibirnya sedikit menekuk, terutama tiba-tiba ada orang-orangan sawah tersesat menghalangi jalur kursi rodanya.
Apakah jalan koridor sesempit itu sekalipun dia menggunakan kursi roda? Ferus yakin lebih dari dua orang masih bisa lewat di sisinya.
"Halo?" Dia melambaikan tangan pada Ferus seperti "ya Tuhan, satu lagi makhluk aneh di rumah sakit". "Apa kau patung yang bertugas menghalangi pintu? Karena aku mau masuk ke kamarku. Terima kasih."
Kamarnya? Ah. Ferus langsung berbalik lagi.
Dan wanita hamil barusan sudah tidak ada.
Jadi seperti itulah ceritanya. "Memang tidak seram," Ferus mengaku, hanya saja suaranya tidak seberani saat dia menyanyi di kamar mandi. "Tapi aku yakin itu masih pemanasan."
Cukup lama Nick tidak menyuarakan tanggapan terhadap kisahnya. Ada perkara lain yang patut diseriusi dan itu sudah bergemuruh lama semenjak Ferus meninggalkan Nick. Semua ini berhubungan dengan dia yang berada di sini, berbaring santai di ruang VIP rumah sakit, sedangkan Ferus yang belum sampai dua belas jam ditinggal saja sudah kocar-kacir. Lalu bagaimana? Ya, andaikan dia juga bisa tanyakan itu pada orang lain.
"Tidak apa-apa." Ferus menyadari Nick mulai berpikir keras. "Mungkin sebagai gantinya aku tidak bisa mengunjungimu lama-lama."
"Malah tidak usah datang," kata Nick dan dia memang tidak keberatan soal itu. "Jangan di sekolah terlalu lama. Jangan di luar terlalu lama. Jangan ikut klub teater dulu—"
"Iya, iya, Nick!" Dia berusaha menyela di tengah ocehannya. "Mulut ibu-ibumu itu kadang perlu dikontrol, ya."
Dia tidak acuh. "Dan jangan makan di Donnie's Burg sendirian kecuali kau membelikanku mainan," tambah Nick lagi. "Bisa, 'kan? Sementara ini saja. Sampai aku dibolehkan pulang."
Yuka penasaran, bolak-balik menoleh setiap salah satu berbicara. Mereka ini ada masalah apa?
Tentu saja Ferus tidak bisa berjanji soal itu. Jangan terlalu lama di sekolah? Bahkan sebelum bel pulang dia sudah berada di kamarnya sambil (berusaha sekuat tenaga) memecahkan rekor Flappy Bird di ponselnya, kecuali dia tidak mau menerima jeweran maut Abuela. Nyalinya juga tidak sebesar Nick yang kabur ke toilet untuk menonton Netflix. Dan masalah terbesarnya bukan di situ, dia terlanjur cinta mati dengan klub teaternya. Mana mungkin dia meninggalkannya selama ... satu hari?
"Nah, 'kan," Nick menyadarkannya dari lamunan. Pertama Nick menyilangkan tangan di dada, tapi langsung melepasnya karena lupa tangan satunya sedang diinfus. "Seseorang akan menggunakan slogan peraturan ada untuk dilanggar."
"E-enggak! Maksudku ..., ya ...," dia mencicit, bahkan tidak bisa melanjutkannya. "Berapa lama lagi kau di sini?"
Andaikan Nick juga tahu kapan dia bisa pulang. Sekeras apa pun hatinya dia juga mengerti batas kemampuan seseorang, sebagaimana dia memahami batas kemampuannya sendiri. Dan Ferus tidak mungkin harus terseret kembali ke Abad Kegelapan—istilah yang berasosiasi dengan masa lalunya, pastinya.
Ketimbang menjawab, Nick justru memerintahnya. "Pulang, Ferus." Lalu dia menoleh pada Yuka. "Kamu juga. Hebat, dua kawanku adalah orang-orang yang sangat rentan dalam bahaya."
"Lebih baik kau pulang denganku saja." Yuka mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. "Aku ada sopir pribadi. Nanti akan kuminta dia mengantarmu pulang."
"Nah, itu bagus. Sopir pribadi." Nick mengangguk berkali-kali. "Apa aku akan mendapatkannya setiap kali les privat denganmu?"
Kalau saja wajah anak laki-laki itu tidak bengkak Yuka akan membuat bengkak baru dengan mencubit pipinya. "Tentu saja," jawab Yuka semanis mungkin.
"Tapi tunggu, Ferus," kata Nick sebelum membiarkan keduanya berdiri. "Aku mau bicara dulu denganmu secara pribadi." Lalu dia melirik Yuka.
"Oh." Gadis itu dengan mudah mengerti situasi sehingga dia mengangguk dan berdiri. "Aku keluar dulu kalau begitu, ya?"
"Makasih," ucap Nick yang tidak Yuka sangka bakal keluar dari mulutnya.
Setelah pintu menutup Ferus lekas bertanya pada Nick untuk membayar rasa penasarannya. "Kenapa?"
Tidak berbasa-basi, Nick langsung memberitahukan bahwa dia meminta KMM untuk menghapus memori Cel tentang dirinya.
Hal itu berhasil membuat Ferus melongo. Maksudnya, dia tidak mengerti apakah harus seberlebihan itu? "Hah?" Tubuh atasnya maju, memastikan Nick masih waras. "Apakah ada sesuatu yang menguntungkan? Kenapa tidak hanya hapus saja memorinya bahwa kau adalah Mata Merah?"
"Setelah kupikir-pikir berteman dengannya adalah kesalahan," tampaknya Nick sendiri tidak mengutarakannya dari hati. "Menghapus ingatannya bahwa aku adalah Mata Merah hanya bersifat sementara. Nanti-nanti dia juga bakal tahu dan KMM harus menghapusnya lagi."
"Memangnya apa masalahnya kalau dia tahu, Bung?" Ferus tak habis pikir, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak ada. Karena memang bukan itu masalahnya." Ada jeda sebelum dia meneruskan. "Tadi dia menjengukku, tapi dia tidak berkabung ke makam Jessie. Tahu alasannya kenapa? Karena Jessie adalah orang asing. Tapi tidak ada alasan baginya untuk tidak menjengukku karena aku teman dekatnya."
"Lalu ...?" Ternyata Ferus masih belum mengerti apa sisi buruknya.
"Ada risiko lain jika ada musuhku mengetahui itu. Kemarin misalnya, tindakan Sam mendatangi rumahmu. Tahu aku adalah anak angkat kakek nenekmu dia begitu semangat ingin mencelakakan mereka karena pasti itu akan menyiksaku. Beruntung tidak banyak yang tahu, termasuk Sam, bahwa Cel pun dekat denganku. Bisa-bisa kemarin dia juga menjadi sasaran Sam. Aku tidak bisa melindungi orang sebanyak itu, Ferus. Jujur saja itu sangat merepotkan."
Jauh di lubuk hati Nick, Ferus yakin ucapannya berlainan dengan harapannya. Siapa yang tidak ingin punya banyak teman, apalagi jika orangnya sebaik Cel? Memangnya dia bisa semudah itu menjauhi Cel setelah perjalanan pertemanan mereka? Sering masak bersama di dapur keluarga Jones? Walau tetap, kata "merepotkan" itu murni dari hatinya juga. Menandingi situasi di kala dirinya tidak mampu sama dengan mengejar matahari terbit atau terbenam di horizon.
Mau bagaimana lagi? Itu keputusan Nick. Ferus tidak ingin mencampurinya terlalu banyak. Bukan karena dia tidak peduli. Jika diperbolehkan marah-marah dia akan menggampar wajah Nick dan menyemburnya dengan lusinan petuah bijaksana. Sayangnya yang seperti itu tidak akan berpengaruh pada manusia yang terbuat dari baja. Lagi pula dia tidak mau tidur sekamar dengan orang yang sedang bertengkar dengannya. "Terserah kalau begitu." Ferus mengusap tengkuknya.
"Karena itu kuharap kau dan keluargamu bisa kerja sama soal ini." Nick sempat ragu-ragu.
Sementara Ferus hanya dapat mengedikkan pundak. "Nanti kusampaikan pada mereka."
Serasa bertahun-tahun Ferus tidak melihat Nick tersenyum setulus itu, bahkan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh. "Makasih, Kawan."
Ferus sekadar menepuk pundaknya dua kali sambil berdiri. "Pulang dulu. Cepat sembuh supaya aku bisa teruskan level Priest-ku tanpa merasa bersalah meninggalkan Assassin-mu."
"Heh, mana kesetiaan kawanmu?" tegur Nick sambil terkekeh masam.
Ferus sekadar tergelak, melambaikan tangan tanpa berbalik.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000