Kali kedua mereka terbangun. Penyebabnya adalah suara langkah seseorang yang masuk ke ruang penyergapan pada malam hari. Bukan si gadis barusan, ataupun si pria mengerikan, dan tentu saja bukan Sam, tetapi sosok pelaku yang pertama kali menyedot tenaganya. Nick lega karena ia sedang tidak punya tenaga untuk mencandai Sam.
Sekarang mereka bertanya-tanya apa yang bakal Jessie lakukan kali ini. Pakaian kasualnya mengingatkan bahwa Nick dan Ferus belum punya kesempatan untuk ganti baju.
"Hei, Jessie," Ferus memanggil. "Kemarin kamu kelihatan baik sekali. Apa sekarang kamu masih baik juga?"
Jessie mendesah jengkel, menaruh sebelah tangan di pinggangnya. Ia mengabaikan Ferus untuk melihat ke belakang, ke arah atas tangga walau ia sebenarnya tidak melihat pintu karena terhalang tembok. "Berapa persen kemungkinan kalian bisa membunuh Sam dan melindungiku dari KMM atau penjara?"
"Wow, jangan tanya aku." Ferus buru-buru menambahkan, "Aku hanya teman yang menemani Nick kalau ia bosan. Aku tidak pernah membunuh."
"Ya, aku tahu, kamu hanya Sang Dikaruniai yang tidak punya bakat," ungkap Jessie terang-terangan yang membuat mata pingpong Ferus kian melebar. Kali ini dia lebih fokus pada Nick. "Berapa?"
Jessie ternyata humoris sekali sampai Nick terkekeh sarkastis. "Ayolah, kau berharap apa dari setengah Mata Merah?"
"Jangan pura-pura lemah," tegas Jessie tidak main-main. "Aku bisa membedakan mana orang yang pernah membunuh dan belum pernah membunuh."
Pikir Nick, memangnya sejelas itukah kejahatan yang terpancar di wajahnya? Dia jadi ingat pujian atau hinaan yang didapatkan terhadap pas foto dalam rapor SMP. Mereka bilang dia punya bakat menjadi pembunuh berdarah dingin setelah melihat foto itu. Kenyataannya, dia memang pernah membunuh orang. Dia masih ingat kejadian itu terjadi saat umurnya masih dua belas tahun. Kalau saja dia tidak terjebak di antara gerombolan monster kadal sebesar manusia, sementara dia diperintahkan untuk mendorong mereka semua dengan angin supaya mereka jatuh ke jurang tak berdasar. Nick sempat begitu depresi, tetapi pada pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan berikutnya, rasanya menjadi hambar seperti membunuh nyamuk.
"Kau menyinggung hatiku," ujar Nick, "wajahku memang dinilai seperti pembunuh."
Jessie sepertinya kesal sekali karena Nick tidak menanggapi serius perkataannya. "Nick, kumohon. Ini akan jadi penentu apakah aku harus melepaskan kalian atau tidak."
Nick memandangnya malas, mengangkat alis. "Berapa?" Dia melempar balik pertanyaan.
"Berapa—apa?"
"Kamu akan bayar aku berapa? Ingat kau sedang bicara dengan agen KMM."
"Agen kurir KMM," canda Ferus. Sepertinya dia memang mabuk.
"Terima kasih," komentar Nick.
Jessie memotong pembicaraan mereka dengan berkata, "Aku tidak tahu—"
Nick langsung berdecak keras sambil geleng-geleng. "Jangan beri aku 'tidak tahu', Jessie. Ini urusan serius. Pertama, membunuh iblis itu tidak mudah. Kedua, ini di luar kesepakatan kontrak misi, tapi aku masih punya hak untuk membunuhnya karena ada bukti kuat bahwa dia bakal berbahaya jika dibiarkan berkeliaran. Dan ketiga, ini memang bukan soal alasan mengapa aku harus dibayar, tapi sekarang kamu berubah pikiran?"
Kentara sekali Jessie terusik dengan pertanyaannya, Nick sampai waswas dapat membatalkan niat Jessie. Kebiasaan menjadi orang yang menyebalkan malah menyusahkan dirinya sendiri.
Gadis itu memindah tumpuan, melipat tangan di dada. "Tujuan perkumpulan ini sudah berubah total, Nick. Aku bergabung setelah dirundung syok pada kenyataan bahwa ayahku mengisap darah ibuku yang hanya manusia biasa sampai habis. Saat itu aku merasa dikhianati sehingga memutuskan untuk mengisap darah manusia juga, tapi tidak pernah sampai mati karena aku tahu, aku bakal sama biadabnya dengan ayahku."
Nick tidak berkata apa pun, lebih memilih mendengar sebelum berkomentar. Sedangkan Ferus manggut-manggut menyimak.
Jessie sadar Nick memintanya meneruskan cerita. "Perkumpulan ini kecil awalnya, bahkan sampai sekarang tidak ada nama. Sam sangat berhati-hati dan cerdik saat memilih manusia yang bersedia menjadi sumber tenaga kami. Dia juga tidak pernah mengisap darah mereka sampai habis. Tapi tujuan itu lenyap sejak perkumpulan kami ketahuan seorang Mata Merah."
Nick menyela, "Orang KMM?"
"Tidak ada yang tahu," kata Jessie, lalu dia melanjutkan, "Mata Merah itu membunuh hampir semua anggota perkumpulan, tetapi Sam akhirnya berhasil membunuhnya sebelum dia menimbulkan lebih banyak masalah."
Nick mengerutkan wajah tidak nyaman. Lagi-lagi Mata Merah mengusik cara hidup ras lain. "Aku mengerti mengapa dia sangat membenciku."
"Untung bukan aku yang dibenci olehnya," celetuk Ferus. "Dibenci babi itu menakutkan."
Nick mendengus setuju padanya, lalu kembali pada Jessie. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Dia memutuskan untuk menyeriusi perkumpulan ini. Ibaratnya, dia membuat bank energi yang bisa membuat dia dan anak buahnya—termasuk aku—menjadi lebih kuat untuk suatu saat menjatuhkan KMM. Selain itu, dia pun mengeksploitasi ramuan energinya sebagai obat keras, mencampurkan kandungan psikotropika sebagai trik merekrut lebih banyak orang dan memperluas koneksi—dan tentu saja uang. Orang-orang yang beruntung bakal menjadi budaknya, seperti Yuka, meski dia masih baru. Sementara orang-orang sepertimu dan Ferus ...."
Jessie tidak melanjutkan ceritanya, tetapi melirik pada para mayat. Tentu saja. Sam pasti bisa tua kalau punya budak kurang ajar seperti Nick, makanya dia memutuskan untuk menjadikannya sumber energi saja. Omong-omong, apakah orang bernama Yuka ini adalah gadis barusan?
"Intinya," kata Jessie, "Ini sama sekali di luar yang kuperkirakan, tetapi Sam tidak mengizinkanku keluar atau hal buruk bakal terjadi padanya bahkan ayahku. Aku masih ragu sampai tadi malam, sampai penangkapanmu terjadi."
"Tapi aku bahkan belum memilih!" Ferus berseru. "Hanya karena aku berteman dengan Nick bukan berarti aku tidak mau jadi budaknya."
"Permisi?" ketus Nick, "Maksudmu kamu merasa dirugikan karena berteman denganku?"
Ferus menekuk bibirnya sambil mengangkat sebelah bahu. "Maaf, Kawan. Jangan tersinggung."
Dan yang Nick pikirkan sekarang adalah ... pantas saja Carl bilang perkumpulan ini terkenal dengan para seniman aliran psikedelik. Dia yakin, biarpun ada yang menyukai aliran seni itu tanpa mengonsumsi narkotika, mereka pasti kalah jumlah dengan orang-orang yang memang mengonsumsinya. Mereka harus paham dulu seperti apa rasanya saat mengonsumsi LSD untuk menghasilkan karya, 'kan? Kalau begini caranya, kasusnya memang harus dibawa sampai alat negara. Dan ini akan menjadi alasan kuat mengapa Sam berhak dihukum mati. Dia telah membunuh banyak manusia, bahkan mengedar narkotika.
Namun, tetap saja, Nick tidak bisa buru-buru membunuhnya karena dia bakal dinilai main hakim sendiri. "Baiklah, sepakat," ucap Nick pada Jessie, "Soal membunuh Sam masih bisa kuatasi. Tapi kalau perlindungan padamu, entahlah. Meskipun kamu memang termasuk orang yang harus diselamatkan dalam kontrakku, tetap saja akhirnya kamu harus berurusan dengan pengadilan."
"Aku tahu aku bisa percaya padamu." Jessie berjongkok, menarik lengan Nick, lalu membantunya duduk tegak walau masih lunglai. "Akan kupikirkan mengenai bayarannya."
"Tidak usah, aku hanya bercanda. Tapi aku punya dua permintaan. Ini sangat sederhana, kok."
"Apa itu?" tanya Jessie.
"Pertama, kalau terjadi apa-apa padaku, kamu harus mendahulukan untuk melindungi Ferus," kata Nick sambil melirik Ferus yang siap membantah, tetapi dia langsung mengimbuh, "Dan kedua, aku ingin kaubebaskan si gadis yang menjaga di sini. Yuka namanya, 'kan?"
Jessie tidak menghabiskan waktu satu detik untuk meresponss. "Sepakat." Dia berpindah ke belakang punggung Nick, melepas pita plastik yang melembapkan pergelangan tangannya sejak tadi malam.
Ah, akhirnya Nick bisa melepas pegal dan kembali bebas. Bayangkan saja tangan terus tertekuk ke belakang seharian dalam posisi berbaring atau menyamping. Kalau dia tidak mengubah-ubah posisi, lengannya tidak akan dialiri darah lagi. Walau tetap saja sekarang tenaganya belum pulih. Paling tidak, secara mental dia sudah cukup bersemangat.
Kini Jessie berpindah pada Ferus yang fokus bicara pada sahabatnya, "Nick, tolong jangan risikokan nyawamu."
"Hei, memangnya aku bilang aku bakal kalah?" kata Nick sambil mengusap lengan kanannya. "Tapi yang namanya antisipasi tetap harus ada. Sekarang ikuti apa kata-kataku saja. Semuanya sudah kuatur."
Padahal ada dua kerugian yang dia alami saat ini. Dia seratus tiga puluh persen tidak yakin pada dirinya sendiri. Masalah lainnya, dia tidak mengatur apa-apa. Semua ini hanya bergantung pada dadu yang dikocok dan akan mengeluarkan angka yang dia harapkan ... atau tidak.
***
Akhirnya Nick bisa memakai mainan yang sudah ingin dia pakai. Yup, gas tidur. Dia menggelindingkan botol bundar itu dari balik pintu, kemudian menutupnya tepat saat cairan yang tumpah mendesis dan menguap seperti kabut yang menyebar ke seluruh penjuru. Bersamaan dengan itu pula, dia mengeluarkan botol lain dari brankasnya, botol seukuran air mineral. Tiga teguk cairan rasa jambu itu sudah cukup memulihkan tenaganya kembali, lalu dia membagikannya pada Ferus. Ya, ramuan penambah energi yang tidak boleh dikonsumsi banyak-banyak—aturan khusus untuk setengah Mata Merah.
Jessie mengatakan kabin ini secara hak tanah milik keluarga Sam yang sudah pindah ke Altans, tetapi ditempati oleh siapa pun yang tergolong perkumpulannya untuk menjaga sandera malang seperti Nick dan Ferus; dan mayat-mayat yang mereka biarkan mengendap di bawah tanah. Beruntung mayat-mayat itu tidak mengakhiri kehidupan abadinya dengan berkeliaran sebagai roh tersesat. Nick dan Ferus bisa gila jika dikurung bersama roh-roh sinting.
Menunggu beberapa saat hingga Nick yakin gas sudah menyebar dan berkurang, dia mendorong pintu dan mengajak dua temannya ke luar dengan isyarat dagu. Persis seperti peringatan Jessie, ada dua orang lagi yang menjaga di sini. Namun akibat gas tidur barusan, lihat saja dua sejoli yang sedang menonton film 21 Jump Street telah kehilangan kesadaran mereka. Salah satu dari mereka, yang botak, menjatuhkan badannya ke depan sehingga kepala botaknya menghadap lantai. Sedangkan yang satu lagi, kepalanya terkulai ke belakang. Mulutnya yang jatuh masih dipenuhi berondong setengah terkunyah.
Mengabaikan kedua penjaga itu, air keran yang menyala di dapur lebih menarik perhatian mereka, terutama sosok seorang gadis yang sudah tak asing. Yuka berbaring dalam posisi menyamping. Ia masih memegang gelas yang menumpahkan air, meresap ke baju, rambut, dan membasahi pipinya, seolah mereka sedang mengganggu gadis itu ketika ingin mengambil minum. Jessie mematikan keran air selagi Nick mengangkut perempuan kecil itu.
Namun sesuatu yang sangat janggal baru teringat oleh Nick. Dia pikir salah satu dari dua sejoli yang disebutkan Jessie adalah pria menakutkan yang menyerang Yuka. Tapi dilihat dari tampang dan bentuk tubuh mereka, tidak ada yang sesuai kriteria dari pria menakutkan yang dipikir oleh Nick. Lantas di mana pria itu? Apa dia tidak di sini, sama halnya seperti Sam?
"Jessie," Nick memanggil. "Apa tidak ada pria dewasa menakutkan yang menjaga di sini?"
"Pria dewasa?" Jessie keheranan. "Tidak ada orang dewasa di perkumpulan kami."
Apa? Nick mengernyitkan dahi, memandang Ferus yang ternyata memandangnya juga. Mereka berdua sepakat bahwa tadi jelas-jelas—
Seolah tak ingin menunggu lama, Jessie mendorong tulang belikat Nick dan Ferus, lalu berjalan keluar dari dapur. "Nanti saja. Ayo, kita tidak boleh berhenti."
Pikiran Nick masih dipenuhi oleh sosok pria yang masih tak jelas identitasnya. Namun, ya sudahlah. Mencoba melupakan itu, mereka buru-buru keluar, lalu masuk ke mobil Jeep Jessie. Yuka diletakkan di belakang bersama Ferus, sedangkan Nick duduk di depan bersama Jessie yang mengemudi.
"Jadi kita benar-benar akan menghabisi Sam malam ini? Tidak bisa besok?" tanya Ferus di sela-sela antara jok Nick dan jok Jessie.
Jessie menyalakan mobil, sementara Nick mengulurkan tangan pada Jessie. Isyarat itu dapat Jessie mengerti, sesuai dengan rencana yang mereka diskusikan sebelum keluar dari ruang bawah tanah. Dia menyerahkan ponselnya pada Nick setelah menyalakan mesin mobil. Cowok itu dengan gesit mengetikkan nomor panggilan seseorang yang telah diingat di luar kepala.
"Kita tidak akan kabur ke rumah untuk mencelakai kakek nenekmu. Tenang, kamu bisa tunggu hasilnya di mobil," kata Nick, mengangkat ponsel ke telinga.
"Yang penting kita tidak berada di jangkauan perkumpulan," kata Jessie tanpa berpaling sedetik pun dari jalanan.
Terdengar suara Cassandra mengeluh di ponsel Jessie setelah suara sambungan terpotong. Nick lekas bicara, "Cassandra, ini bukan waktunya tidur. Aku mendapat masalah—yang baru teratasi andai aku tidak beruntung."
Cassandra berucap dari telepon, "Ini jam dua malam, Nick. Kukira kamu tidak antusias dengan misi penyelidikan itu?"
"Tapi kalian menuntutku untuk antusias. Dan kabar baiknya adalah aku baru lolos dari penculikan."
Di ujung sana Cassandra langsung bangkit dari tidurnya karena suaranya tiba-tiba membesar dan tegas. Seketika matanya kembali segar walau kepalanya masih pusing. "Penculikan? Jadi laporan dari orang tua angkatmu itu ...."
Aduh, batin Nick. Benar, kan? Mereka semakin memperluas masalah. "Kronologinya nanti saja. Kami keburu memicu keributan. Aku tidak bisa menghubungimu tadi di ruang bawah tanah. Pokoknya, cepat kirim tim untuk pengamanan Kabin Spencer di sekitar pegunungan Edmond sebelum mereka melarikan diri atau menyamarkan bukti dengan cara apa pun itu. Ada banyak sekali mayat busuk di sana. Aku meninggalkan dua orang untuk kalian interogasi. Sekarang aku sedang ada di tengah jalan, menunggu KMM mengatur penangkapan ketua perkumpulannya di apartemen 237 West Riverside 75."
"Astaga. Tidak kusangka kamu bisa bekerja secepat ini."
"Ya, seperti yang koordinator bilang, aku memang cocok dengan misi ini. Dan aku memang tidak mau lama-lama di bawah beban. Sekarang cepat kirim tim supaya aku bisa tidur sebelum jam empat."
"Iya, iya. Jaga kesopananmu pada orang yang lebih tua."
Tiba-tiba Jessie yang berada di samping Nick berteriak dan menginjak rem sehingga Nick terpental menabrak dasbor dan ponsel Jessie jatuh ke pangkuan, kemudian terselip di bawah kaki.
"Astaga!" teriak Nick, sementara Cassandra di ujung sana terus memanggil Nick dari ponsel yang tersuruk di bawah jok. Terdengar pula suara Cassandra yang berkata akan segera memanggil bala bantuan dan menutup panggilan.
Apa yang terjadi?
Nick segera mengangkat kepalanya. Sorot lampu malam mobil Jeep Jessie membuat ia bisa melihat ada si anak laki-laki culun berkacamata yang waktu itu memberi Sam alat suntik. Laki-laki itu berada sejauh sepuluh meter lebih di depan. Apa yang anak pendek itu lakukan di tengah jalan perumahan pinggir kota, sengaja disorot lampu malam mobil Jeep Jessie?
Tentu saja sesuatu yang berawal dari kata "membunuh".
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000