Read More >>"> The Red Eyes (Act 011) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Red Eyes
MENU
About Us  

Anak itu sama sekali tidak terlihat mengintimidasi, kecuali tentang fakta dia berdiri di sana seperti patung salah peletakan. Tiba-tiba Jessie berubah pucat, bahkan buku-buku jarinya memutih karena dia mencengkeram setir mobil terlalu keras. Dia menjilat bibir sebelum bicara, "Pakai sabuk pengamanmu, Nick. Dan Ferus, pegangan."

"Apa? Memangnya apa yang salah dari anak culun itu?" Ferus mewakili pertanyaan Nick.

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Pegangan!" Jessie langsung mengganti gigi dan menekan pedal gas, Nick melihat jarum spidometer menaik sampai angka sembilan puluh mil per jam.

Padahal sabuk pengaman belum sepenuhnya terpasang, mobil Jessie sudah menekan semua penumpang pada sandaran sampai-sampai pernapasan mereka berubah sesak. Si anak culun itu tidak bergerak sama sekali hingga jarak hanya terpisah beberapa senti lagi. Jarak yang menipis menyadarkan Nick dan Ferus bahwa wajah anak itu sungguh tidak manusiawi. Bayangkan seekor gorila raksasa, bertaring besar seperti dahan pohon, dan bagian pada matanya yang seharusnya berwarna putih adalah warna semerah darah. Kalau saja wujudnya tidak seseram itu harusnya kacamata culun yang masih dia kenakan sangat konyol.

Pengamatan Nick tidak bisa lebih detail karena monster itu keburu melompat pada kap mobil Jessie, menggores bumper pada aspal sedangkan bagian belakang terangkat tinggi. Nick dan Jessie terdorong ke depan, tercekik sabuk pengaman, sedangkan Ferus mendaratkan wajahnya tepat pada radio, bokongnya persis di samping Nick. Ada suara gedebuk keras membentur jok Nick, pasti karena Yuka terguling ke bagian kaki.

Roda mobil masih berputar kencang, mesinnya menggerung marah sampai Jessie menyingkirkan kaki dari pedal gas dan mobil otomatis mati. Makhluk mengerikan itu sudah siap meninju kaca depan, tetapi anehnya tiba-tiba menjerit seperti kucing terjepit dan segera melompat lagi ke atap mobil, meninggalkan jejak penyok sebesar sepasang daun teratai di kap dan membuat penyok baru di atas mereka. Mobil spontan terbanting ke belakang.

Apa pun yang menyebabkannya seperti itu, Nick yakin berasal dari tekanan tidak nyaman yang dikeluarkan Jessie secara gaib, buktinya matanya bercahaya kuning. Kulitnya meremang hebat. Ferus yang sudah kembali ke belakang berteriak paling kencang tepat di telinga Nick dan Jessie, tapi Nick tidak masalah karena dia mewakili suaranya yang terjepit di pita suara.

Mereka sempat bengong beberapa detik, tapi Nick langsung mengingatkan Jessie yang masih mengatur napasnya. "Jalankan mobilnya!"

Nyawa Jessie baru selamat dari telaga kebingungan. Tangannya yang gemetar hebat mengatur gigi dan memutar kunci untuk menyalakan mobil, kemudian menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Beban mengerikan dari makhluk berengsek itu mengakibatkan mobil tidak bisa bergerak dan roda terus mendesing-desing aspal. Jessie membanting setir ke kanan tepat ketika si makhluk gila itu merobek atap, hampir memenggal kepala Ferus dengan kuku-kuku panjang dan tebal. Ia terbanting lalu terguling-guling di aspal. Jeritan khas cewek dari mulut Ferus mendadak berganda sampai Nick sadari ternyata Yuka juga berteriak.

Seketika mobil berhasil melaju, menabrak kotak surat berbentuk sangkar burung dan pagar kayu rumah seseorang hingga Jessie berhasil mengatur posisinya kembali ke jalanan. Kening Nick yang bengkak sehabis ditonjok Daniel kemarin membentur jendela dan dia gagal menepati resolusi tahun baru tidak akan mengumpat sekeras itu lagi.

"Apa—apa-apaan ini?!" Yuka mungkin bermaksud mencengkeram kuat sandaran kepala jok Nick, tapi dia malah menusuk mata Nick dengan jarinya, dan kali ini Nick yang menjerit kalut. "Eh, maaf!" Yuka cepat-cepat menambahkan.

Ferus memberi pengumuman karena dia sedang mengamati jendela belakang. "Monster itu masih mengikuti kita!"

Nick dan Jessie melihatnya dari kaca spion, dia menggunakan tangan dan kakinya untuk bergerak, persis seperti gorila. Kecepatannya tidak kalah saing dengan kecepatan mobil. Selain itu seluruh badannya telah dipenuhi bulu dan ukurannya membesar nyaris menyamai truk kontainer, kulitnya menghitam kemerahan. Sekalipun Nick sering bertemu makhluk aneh, yang satu ini bakal menjadi mimpi buruk—kenyataan buruk yang bakal berputar-putar setiap detik dalam penglihatannya.

"Itu makhluk apa?!" seru Ferus pada Nick atau Jessie tanpa memalingkan mata dari kaca spion.

"Genderuwa!" jawab Jessie masih dalam ketegangan, apalagi harus sedikit memelankan kecepatan mobil begitu menikung ke kiri. Lagi-lagi ban mobil mendecit merobek udara malam. Keempatnya berani sumpah mobil sempat doyong ekstrem ke kanan hingga sisi kirinya terangkat. Kemiringan nyaris vertikal membuat mereka histeris terutama bagi Jessie dan Ferus yang berada di sisi kiri. Sementara monster itu sendiri terseret miring akibat kecepatannya yang tak terkendali, tetapi dalam waktu singkat dia bisa kembali berlari seimbang.

Mobil terbanting ke posisi semula, Nick menyentuh dadanya untuk memastikan jantungnya masih di tempat. Dia pun lekas bertanya pada Jessie, "Apa libido si keparat itu sedang naik?!"

"Hah, apa maksudmu, Nick?" tanya Ferus gemetaran.

"Setahuku makhluk itu punya kelainan hiperseksualitas! Iya, 'kan, Jessie?" desaknya padahal Jessie masih fokus pada jalanan.

"Apa, sih, kalian ini?!" protesnya acuh tak acuh.

"Uh, kawan-kawan ...." Suara Yuka nyaris tidak terdengar. Tanpa dia melanjutkan perkataannya Nick bisa melihat di kejauhan sana, si genderuwa itu tidak mengikuti mereka kecuali sedang mengangkat tiang listrik yang pada ujungnya terpuntir hingga patah, memutus kabel yang tersambung antara satu tiang dan tiang lain yang ikut roboh.

Lalu melemparnya pada mereka.

Nick berdengap. Tapi tidak, simpan kekagetanmu dan bertindak, Nick! Dia harus mengelak tiang itu dengan angin, tapi dia tidak bisa kalau hanya melihat dari kaca spion. Mempraktikkan kekuatan magis pun butuh daya imajinasi tinggi, minimal bisa memvisualisasikan sesuai keinginan.

Nick segera membuka jendela dan melongokkan badannya ke luar, melawan angin yang memaksanya mengikuti arus. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat betapa mengerikannya benda itu berputar-putar pelan seperti baling-baling berat ke arah mereka. Gerakannya sama sekali tidak fleksibel karena dibatasi kabel-kabel yang membelitnya juga memecut benda lain di sekitar, namun tetap saja bakal membocorkan kepala mereka kalau sampai kena.

Jadi Nick kerahkan seluruh tenaga magisnya untuk memanggil angin yang memiliki massa sebanding di belakang mobil, lalu memberi jarak di antara keduanya bagaikan ledakan gaib. Tiang itu tidak terlempar, tapi setidaknya terhambat dan terbanting menggesek aspal memercikkan bunga api, sementara mobil dengan kecepatan maksimal terlempar lebih kencang oleh angin, sempat melayang satu meter dari permukaan hingga terbanting lagi ke aspal.

"Hoek!" Ferus memuntahkan udara dari mulutnya, terbanting pada jok begitu mereka mendarat.

Macam-macam hal yang tiang itu tabrak, menimbulkan kegaduhan yang sangat berantakan tidak bisa diterima kepala. Apalagi ketika suara logamnya mendesing aspal menyemburkan bunga api, menghunjam telinga sampai otak. Belum lagi mobil warga terhantam dan alarm klakson mulai sahut-menyahut. Beberapa rumah menyalakan lampu, sebentar lagi mereka harus menyaksikan hal di luar realitas. Lagi-lagi Nick menambahkan pekerjaan pada KMM.

Angin sebesar itu, dengan tenaga sehabis disedot ke luar oleh alat suntik perkumpulan langsung memisahkan kendali pikirnya dengan raga. Akibat pental anginnya sendiri, punggungnya menubruk bingkai jendela lalu terpental lagi, giliran perutnya yang terbentur. Nick nyaris menjuntai keluar andai refleks Ferus dan Yuka tidak bagus, menarik kemejanya kembali ke dalam. Seketika anak itu mual sambil menahan denyut bertubi-tubi di perutnya. Pandangannya lagi-lagi berkunang pertanda sebentar lagi bakal pingsan.

"Itu gila!" suara Ferus menandingi deru angin dari jendela pintu yang terbuka lebar. "Kamu jangan cari mati sekarang, kau belum menikah!"

Dasar Ferus sialan. "Kamu mau kita semua tidak menikah?" Harusnya suaranya lebih kencang dari itu andai dia punya lebih banyak tenaga.

"Jangan dulu bahagia, monster itu masih hidup!" Kali ini Yuka yang turut memerosotkan rasa kemenangan yang membakar mereka.

Dari kaca spion terlihat makhluk itu melompati kekacauan di depannya: pagar retak, pohon tumbang, kabel, mobil terguling, tiang itu sendiri, lalu kembali ke jalan mengejar mereka seperti gorila turbo. Astaga, harus bagaimana lagi biar bisa menghalanginya meneror mereka?

"Sepertinya kita harus melawannya secara langsung," Jessie akhirnya bicara setelah fokus mengemudi terlalu lama hingga bibirnya berubah pucat pasi. Kulitnya mengilat memantulkan sinar lampu mobil akibat keringat yang membanjir padahal pendingin mobil menyala sampai maksimal. Sayangnya kondisi Nick pun sekacau dia. "Aku akan menghalanginya, kalian urusi saja soal Sam."

"Jangan!" Nick dan Ferus berteriak bersamaan, lalu Nick menambah, "Tidak ada di antara kami yang bisa menyetir mobil."

Ferus meliriknya. "Padahal aku mau bilang jangan ada yang mengorbankan diri."

Nick mengangkat pundak. "Kejujuran itu utama."

Apakah pernyataan itu terlalu mengerikan sampai Jessie sempat-sempatnya memelototi mereka sebab tidak percaya? "Laki-laki macam apa kalian?"

"Apa yang kau harapkan dari bocah yang terkurung di asrama selama sembilan tahun dan tinggal di rumah orang yang hanya punya satu mobil dan setiap harinya dipakai?" kata Nick tanpa menarik napas.

"Lagi pula pajak mobil itu mahal, daripada mengurus seperti itu lebih baik mengurus masa depanku," Ferus menyetujui.

"Demi apa pun," Jessie menggeram. "Bagaimana denganmu, Yuka?"

"Tidak. Jangan harapkan apa pun dariku. Kecuali jika aku yang turun untuk melawan."

Nick menoleh kasar pada Yuka. "Kamu? Manusia biasa? Yang barusan menangis takut dicelakai penyekap?"

Dia sepertinya tidak senang Nick mengatainya seperti itu. Hingga baru Nick ingat bahwa indra keenamnya terhadap energi asing sama sekali payah. Apa jangan-jangan Yuka bukan manusia biasa?

"Jika kalian berani, hentikan mobil ini dan aku akan menghabisinya." Yuka mengabaikan Nick secara verbal, dia sempat mendelik tajam padanya.

Tidak seorang pun membantah. Jessie langsung berhenti di tengah jalan tebing menuju perkotaan. Mereka semua kecuali Ferus segera keluar dari mobil, menunggu si genderuwa menuruni jalan curam.

Walau sudah berwujud monster begitu, sepertinya dia masih punya akal manusia karena dia tidak lagi buru-buru menghampiri mereka. Dia pasti curiga kenapa mereka memutuskan untuk melawannya setelah susah payah kabur. Tangan dan kaki raksasanya merangkak perlahan ke arah mereka, mulutnya terbuka menarik napas mengeluarkan suara serupa auman King Kong.

"Jadi trik apa yang akan kaulakukan?" tanya Nick benar-benar tidak yakin dengan cewek mungil pengecut satu ini, hampir-hampir takut menyesal membiarkannya mengorbankan diri.

Yuka tidak sama sekali gentar melangkah maju dengan tangan menekuk di depan dada seolah dia akan menebar sesuatu dari tangannya. "Jangan dekat-dekat sampai aku butuh bantuan."

Si genderuwa melompat ke arahnya. Sungguh Nick tidak yakin karena Yuka masih belum beraksi apa pun selain berjalan mantap. Selangkah maju Nick ambil bersamaan ketika Yuka membuka lebar tekukan tangannya. Hal yang terjadi berikutnya membuat jiwa Nick terlempar dari kenyataan akibat dorongan syok.

Gadis itu menyulut api dari telapak tangannya seperti menyemprotkan cat semprot ke udara. Api yang sangat besar, menandingi api unggun yang membakar setumpuk benda-benda terbakar.

Mengingatkan Nick akan kebakaran hutan.

Bodoh. Bodoh sekali. Harusnya Nick tidak menjerit dan tersandung tumitnya sendiri. Genderuwa itu memang terbakar hingga dia jatuh tak berdaya, tetapi dia masih sempat menyerang saat Yuka lengah melihat ke arah Nick.

Jessie berteriak, "Awas!" Tapi terlambat. genderuwa itu dengan tangan kekarnya yang terbakar berhasil menghantam Yuka hingga melayang di udara. Jessie tanpa ragu langsung memelesat bagai roket, sempat menangkap Yuka yang terlontar di udara.

Sementara Nick masih sibuk menahan dentum keras dalam kepala dan dadanya. Tubuhnya langsung berubah sepanas api dan sedingin es di waktu bersamaan. Memusingkan. Seluruh indranya secara nyata dan mental bergiliran mengusik kelancaran berpikir, antara pemandangan kebakaran dan suara-suara kertak kayu, dan suara keributan Jessie melawan genderuwa yang masih terbakar api Yuka.

Ferus sampai turun dari mobil untuk menyeret Nick masuk mobil, memanggil-manggil namanya. Nick sadar, akan tetapi entah kenapa dia tidak bisa meresponsnya. Bahkan untuk bernapas dengan benar saja sulit seakan fungsi organ tubuhnya memburuk. Sentuhan Ferus pun bagaikan tancapan duri, tubuhnya serasa diseret di atas aspal panas.

Tidak. Hentikan. Jangan membuat masalah di saat seperti ini. Kejadian itu sudah berlalu. Kejadian itu sudah berlalu. Kejadian itu sudah berlalu.

Namun Yuka kembali bangkit untuk menyemburkan api dari gerakan tangannya, bahkan api itu lebih besar dari yang sebelumnya. Ketika cahaya jingga itu membesar setinggi rumah, menyilaukan di tengah gelapnya malam—sama persis seperti kejadian traumatis itu—Nick tidak tahan lagi. Semuanya berubah gelap gulita bersama gravitasi yang menariknya jauh ke dalam kekelaman.

 

 

 

"Memangnya kenapa, Peanut? Apa yang mengganggumu hari ini?"

"Kemarin Mom membawa kunci rumah jadi aku tidak bisa buka pintu."

"Nick ..., Mom sudah bilang jangan keluar-keluar lagi saat malam."

"Bukan itu, aku sudah janji, kok. Masalahnya aku jadi tidak bisa membukakan pintu untuk teman-temanku yang datang bersama orang tuanya."

"Eh ...? Teman-temanmu? Dan orang tuanya?"

"Kemarin aku mau merayakan ulang tahunku ... tapi Mom pergi membawa kunci rumah. Dan aku tidak jadi makan kue buatan ibunya Vira."

Nick membuka mata, dan memutuskan untuk menutupnya lagi karena cahaya lampu jalan persis menghadap pada wajahnya di balik kaca mobil, menusuk mata sampai ke saraf-saraf.

Jantungnya berdebar keras, sesuai dengan emosi yang ia rasakan pada detik-detik terakhir jiwanya lepas dari Alam Mimpi. Menenggelamkannya ke masa lalu. Padahal ini sudah lewat sebulan ulang tahunnya, lagi pula semenjak hari itu dia tidak pernah menghargai tanggal 25 Januari. Ingatan itu dengan seenaknya merasuk ke dalam tidur atau pingsannya, lalu membombardir hati. Itu adalah salah satu kenangan bersama orang tuanya dan dia sangat menyukainya sampai-sampai terkenang setiap ulang tahun akan datang atau sudah lewat.

Apa yang spesial dari lahir di dunia ini? Kalau punya kehidupan menyenangkan, mungkin itu bakal jadi spesial buatnya. Tapi kalau orang tuanya sendiri saja lupa tanggal ulang tahunnya, buat apa?

Api. Sumber kebencian, kemarahan, ketakutan, penyesalan, semua energi negatif terhimpun di dalamnya. Bukannya mempersembahkan cahaya, ia malah membangkitkan kegelapan atau justru rasa tidak aman dalam diri Nick. Walau sebenarnya dia sudah tidak takut pada api unggun sekalipun pada suaranya yang terdengar seperti mengibas udara, sama persis saat api itu menjilat seluruh hal yang dia lihat di tengah hutan. Sayangnya dia masih terus menghindar dari api yang terlalu besar, terlalu memenuhi pandangan sehingga membangkitkan ingatan terjebak di tengah kebakaran dan tidak bisa lolos, mendengar jeritan tiga manusia sahut-menyahut di tengah tawa naga raksasa yang menganggap mereka hanyalah tikus-tikus tak berdaya dalam kurungan.

Kepalanya yang miring selama dia tidur dia luruskan, menimbulkan titik pedih menusuk di sisi berlawanan dari lehernya yang melengkung. Sementara tangan kirinya mengusap titik menyakitkan itu, tangannya yang lain memijat kening. Rupanya pingsan entah berapa lama tidak membuatnya lebih baik. Untungnya pendingin mobil menyala menjaga suhu tubuhnya tetap stabil.

"Kau sudah baikan?" suara Jessie di samping kiri Nick, dia nyaris lupa keberadaan tiga orang di dalam mobil. Dari kaca spion dalam, dia bisa melihat Ferus dan Yuka tertidur bersandar pada jendela masing-masing.

Nick berusaha membenarkan posisinya. "Sudah ... berapa lama?"

"Baru sebentar. Kita baru sampai." Dia melirik pada dasbor, otomatis Nick melihat cahaya kontras jam menunjukkan pukul 2.53 pagi.

Nick menghela napas, tidak tahu harus bicara apa. Dia ingin marah tapi tidak tahu pada apa, bahkan sumbernya saja tidak tahu. Yuka jelas tidak salah, apa salahnya dikaruniai kekuatan menciptakan api? Akhirnya dia malah kecewa. Lagi-lagi kecewa pada diri sendiri.

"Genderuwa-nya bagaimana?" tanya Nick.

"Pokoknya ... Yuka berhasil membakarnya."

"Hidup-hidup?"

"Aku tidak yakin harus menyebutkannya atau tidak."

Lalu dia melirik Jessie dari ujung mata, ternyata Jessie sudah memandangnya penuh empati. Apakah selain tajam dalam merasakan aura orang lain, vampir juga bisa merasakan secara langsung apa yang orang lain rasakan? Jessie kelihatan begitu hancur, dan Nick tidak tahu apakah dia lebih parah atau bagaimana.

Jessie berpaling sesaat, tapi memberanikan diri memandang mata Nick lagi. "Apa separah itu ... trauma apimu, jika aku boleh tahu?"

Dia pasti mengingat luka bakar di perut Nick. Tidak salah dia penasaran, tapi Nick sangat tidak menyukai bahasan ini. "Bisa dibilang begitu."

"Apa yang ...." Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya, memutuskan untuk menekuk bibirnya ke dalam, menggigitnya, dan memandang ke bawah pada tangannya yang berpaut canggung di atas pangkuan.

"Maaf, bahkan Ferus saja masih belum tahu detailnya bagaimana. Yang dia tahu hanya orang tuaku terbunuh di kebakaran itu. Aku di sana, menyaksikan, lalu kabur. Itu saja. Bercerita pada psikiater pun tidak membantuku sama sekali." Bahkan menerangkan itu saja sudah berat baginya. Dia berusaha mencari sesuatu yang bisa mengalihkan kegetiran dalam benaknya. Lampu, lapangan parkir lengang, sebuah bangunan di kejauhan sana, sejumlah mobil yang terparkir—tapi tunggu, ini wilayah apartemen Sam, 'kan? Apa yang terjadi pada mobil-mobil hancur yang berserakan itu?

"Aku bisa mengerti," ujar Jessie mengalihkan perhatian Nick, "sama seperti saat aku syok diam-diam melihat Dad mengisap darah Mom saat tidur. Kukira itu sudah menjadi hal biasa sampai besoknya, Mom tidak pernah terlihat lagi."

"Ternyata Carl berengsek juga," kata Nick, menyipitkan mata terakhir kalinya pada sekumpulan mobil sebelum melanjutkan pembicaraan dengan Jessie.

"Tapi sejujurnya dia melakukannya karena saat itu sedang tidak punya uang membeli ramuan kalian. Pada akhirnya kami memang tidak bisa menentang kodrat."

Sejujurnya, Nick antara sadar dan tidak sadar bahwa di dunia ini yang menderita bukan dia saja. Contohnya Jessie, dia juga berjuang mendapatkan kedamaian dalam hidupnya. Ayahnya beralasan mengisap darah ibunya karena dia membutuhkan energi. Sama. Sama seperti orang tua Nick. Berkata mereka sibuk demi Nick juga, berkata mereka menaruhnya di asrama demi kebaikan. Mereka memang berempati, tapi mereka tidak melakukan apa pun, hanya bisa berserah pada yang mengatur di atas sana. Sementara yang di atas sana malah bermain-main dengannya.

Nick selalu mengingatkan diri bahwa penderitaan itu selalu ada. Tidak ada perbandingan antara deritamu dan derita orang lain. Seberat apa pun, seringan apa pun, semuanya sama. Tinggal bagaimana caranya saling bantu untuk meredakannya.

"Aku hanya akan menawarkanmu sekali," kata Nick sangat pelan hampir berbisik, karena dia sendiri masih ragu.

Jessie melirik Nick. "Apa?"

Dia mengulurkan lengannya. "Efek ramuannya sudah hilang, kok. Darahku sudah kembali netral."

Sikap Jessie berubah grogi. Matanya langsung berpindah ke arah lain, tapi selalu kembali pada lengan Nick yang terulur. "Nick, bahkan kau baru saja mengerahkan kekuatanmu."

"Memangnya sedikit saja tidak akan berpengaruh?"

"Bukan itu maksudku—"

"Sedikit saja. kau tidak akan mengisap darahku sampai mati, 'kan? Lagi pula kita butuh kau bersiap sebelum menghadapi si iblis celeng itu. Aku yakin kau bakal lebih berperan dibanding aku."

Jessie masih enggan, sekarang sepenuhnya tidak mau memandang Nick ataupun lengannya.

Nick menarik lengannya lagi, lalu mendekat pada Jessie. "Jangan dengarkan apa kata leluhur yang sudah mengubah tradisi. Kalau kalian memang harus mengisap darah manusia, lakukan saja. Ibaratnya saat hewan ternak bertemu manusia, 'kan? Apalagi, jangan takut pada Mata Merah yang bakal memberantasmu. Kita semua sama, kaudengar?"

Tidak Nick sangka dia malah membuat Jessie menangis. Matanya memerah dan berkaca-kaca, dia lalu menatap Nick dengan hati-hati, sementara laki-laki itu memberinya senyum. Jessie begitu rapuh seakan jika Nick menyentuhnya bahkan hanya dengan ujung kuku, dia bakal hancur berkeping-keping.

Jessie membuat Nick menghela napas lagi. "Oke, aku berubah pikiran. Aku akan menawarkan untuk kedua kalinya."

Dia menyedot lendir dalam hidungnya, lalu mengusap air mata di matanya dengan punggung telunjuk. "Aku benar-benar berutang padamu."

"Jangan lupa kesepakatan kita, itu saja."

Dia mengangguk berkali-kali, lalu mengangkat lengan Nick. Matanya seketika berubah menjadi kuning rembulan, taringnya juga memanjang dan membesar. Saat dia menancapkan taringnya dengan lembut, Nick refleks mengepalkan tangan satunya kuat-kuat. Dia semakin kehilangan tenaga untuk hidup, tapi lebih baik daripada mengingat bagaimana kurang ajarnya orang tuanya dulu, membiarkan anaknya selalu bermain sendirian tanpa merasakan apa yang anak-anak lain rasakan. Ketika melukai dirinya sendiri, entah kenapa Nick merasa lebih lega.

Dan malam itu, Yuka yang berpura-pura tidur menyaksikan sosok mereka yang berbayang, tersiram oleh lampu jalan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • SusanSwansh

    Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.

    Comment on chapter Act 000
  • authornote_

    @SusanSwansh wah makasih ya. Makasih juga sudah mampir!

    Comment on chapter Act 000
  • SusanSwansh

    W.O.W. Kereeennnnnnnn.... Like banget ceritanya.

    Comment on chapter Act 000
Similar Tags
Should I Go(?)
9397      2183     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Semu, Nawasena
6151      2519     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Nafas Mimpi yang Nyata
227      188     0     
Romance
Keinginan yang dulu hanya sebatas mimpi. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar mimpi. Dan akhirnya mimpi yang diinginkan menjadi nyata. Karna dengan Usaha dan Berdoa semua yang diinginkan akan tercapai.
Hidden Words Between Us
1244      517     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Selepas patah
123      104     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Our Son
479      252     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Save Me
904      539     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1772      668     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
70      58     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Awal Akhir
664      414     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.