Setengah jam telah berlalu sejak dia meninggalkan rumahnya. Suasana hatinya semula sedang dalam irama cepat dan bersemangat seperti yang dibawakan oleh lagu Panic Station, tetapi ketika matanya mengamati suasana kota dari balik jendela taksi, dia tidak melakukan apa pun selain bernapas. Lagu Street Spirit milik Radiohead menjadi perwakilan suara pikirannya yang mendung.
Tugas malam ini—mengingat bahwa ia melakukan ini semua demi mencari uang, bukan karena profesi atau mengejar karier—membuat pikirannya merasa semakin terbebani. Beberapa anak seumuran biasa menghabiskan waktunya dengan berkeluyuran untuk merusak moral. Nick adalah salah satu dari sebagian lainnya yang tidak beruntung karena dia harus memenuhi kehidupannya secara mandiri. Ia mencoba untuk tidak merasa terbebani soal itu, tetapi di waktu-waktu tertentu dia merasa dirinya kelelahan, terutama di malam hari. Apakah manusia juga sama seperti pergantian siang dan malam, di mana terjadi perubahan dari sisi pribadi riang gembira menjadi gelap dan hitam?
Salah satu yang mampu dia lakukan sekadar menghela napas. Bertepatan dengan saat itu, taksi berhenti di depan sebuah rumah yang berdiri satu jajar dengan rumah lainnya sepanjang ujung ke ujung. Sesudah membayar argo, Nick turun dari taksi. Sesaat melirik pula ke jendela lantai dua rumah tersebut yang memancarkan cahaya lampu kuning menuju gelapnya malam.
Tangannya ia angkat rendah. Tanpa perlu berkonsentrasi tinggi, dia dapat memanggil sebuah pendar merah delima. Cahaya tersebut semakin menyusut membentuk sebuah benda; sebuah botol seukuran botol cuka. Semakin cahaya memudar, semakin terlihat botol itu terbuat dari kaca yang mewadahi cairan merah crimson.
Dari rumah tersebut, seorang pria serupa bayangan membuka pintu, membuat sinar lampu kekuningan dari dalam rumahnya terhalangi tubuhnya yang tegap dengan kulit sewarna batang pohon mapel. Mungkin dulunya pria itu berbadan atletis, tetapi sekarang perutnya membuncit. Potongan rambutnya botak tipis, hampir berpadu dengan kulit kepalanya. Namun yang sangat menarik perhatian adalah mata kuning ganjilnya yang bersinar terang.
"Mr. Raymond—" sapa Nick.
"Akhirnya kau datang juga," ketus pria yang disebut "Mr. Raymond" dari teras yang berada di atas tiga buah anak tangga. "Bisakah kau dan organisasimu mengingat perjanjian saat pesanannya akan tiba?"
Sikap tersebut membuat Nick memutuskan untuk tutup mulut.
Kemudian Mr. Raymond berjalan menuruni tangga, sambil berbicara, "Seharian ini aku tidak bisa ke luar. Bahkan bosku marah karena aku mendadak minta cuti."
"Ya .... Kami minta maaf atas masalah itu." Nick merendah, tetapi belum sepenuhnya menjatuhkan diri.
"Halah! Permintaan maafmu tidak ada gunanya," sergahnya, "Yang bisa membayar kekecewaanku hanyalah membayar pesananku setengah harga. Setengah harga, Nak."
Ancaman tersebut tentu mengejutkan Nick, hingga tanpa disadari matanya sedikit membesar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Yang benar saja? Siapa pun pasti tidak sudi menerima ancaman itu begitu saja.
"Tidak bisa." Nick menegaskan. "Kau memang akan diberikan kompensasi, tapi tidak sampai setengah. Itu sudah menjadi kesepakatan kontrak berlangganan yang sebulan lalu sudah ditandangani olehmu, Mr. Raymond." Ia pun mengajukan ramuannya kepada pria tersebut. "Dan aku, sebagai agen, hanya mengantarkan barang dan tidak mendapat perintah tambahan. Jika memang ingin protes, sebaiknya datang langsung saja ke KMM."
Jawaban tersebut jelas tidak langsung diterima Mr. Raymond. Jari tangannya segera menunjuk pada Nick yang beberapa senti lebih pendek darinya. "Nak, lihat saja dari kelakuanmu. Sikapmu saja ngotot seperti itu, apalagi organisasimu itu!"
Kendati pria ini terus mencemooh, Nick tidak memperlihatkan ekspresi apa pun, bahkan membuka mulut saja tidak. Lagi pula tidak ada gunanya berdebat dengan seseorang yang sedang dipenuhi emosi. Seorang pun tidak mau melihat Nicholas Lincoln menua lebih dini hanya karena mengurusi pria bebal ini.
"Aku tidak mau tahu," pungkas Mr. Raymond, "Sekarang berikan saja ramuannya padaku. Biar kubicarakan besok dengan KMM."
Nick berusaha menenangkan diri di saat dia hampir tidak bisa memadamkan kebakaran di dalam pikirannya. Pikir Nick, pria ini meminta untuk dijebloskan ke tong sampah atau bagaimana? Untungnya ini adalah hal yang biasa terjadi dan paling ahli Nick temukan solusinya ketika menghadapi klien. Ia pun menghela napas sebelum bicara.
"Uh .... Begini, Mr. Raymond," ucap Nick sambil menggaruk pipinya, "maaf aku harus mengatakannya, tapi ramuan ini tidak bisa kaudapatkan kalau tidak membayar sesuai kesepakatan. Kautahu sendiri kalau tugas utamaku selain mengantarkan barang, aku juga harus memastikan barang dibayar sesuai harga. Itulah mengapa barang selalu dibayar tunai saat agen menyerahkannya. Jika kau melakukan tindakan bodoh, maka ini urusannya dengan negara. Ingat, 'kan? KMM adalah instansi negara. Jadi silakan pilih: ambil atau tidak. Pertimbangkan lagi karena warna matamu sudah berubah."
Tidak sedetik pun mata Nick lekang dari warna mata emas Mr. Raymond yang sudah tidak bisa disamarkan lagi. Pria itu tidak mungkin mengambil keputusan lain, Nick tahu. Sekeras apa pun dia berdebat, dia tetap membutuhkan ramuan ini untuk mendapatkan energi tambahan, bahkan sekadar menyamarkan warna matanya. Sangat bertolak belakang dengan Mata Merah yang bisa mengendalikan warna mata mereka tanpa membutuhkan ramuan apa pun.
Pada akhirnya Mr. Raymond mendesah jengkel lalu mengeluarkan amplop cokelat dari saku celana panjangnya. Di saat itu, sebisa mungkin Nick tidak terlihat antusias. Ia tidak ingin langsung menyambar tangannya dan memberikan botol sialan itu, lalu merenggut uangnya dan segera pulang.
Tangan Mr. Raymond menyodorkan amplop. "Dasar organisasi berengsek kapitalis. Lagi pula, ramuan itu memang terlalu mahal. Bayangkan kami harus membelinya setiap tahun. Kalian memang tidak akan pernah mengerti penderitaan kami."
Lagi-lagi ia menerima caci-maki. Kalau situasinya bukan dalam dunia kerja, Nick pasti sudah mematahkan hidungnya, dan mari berharap gigi klien ini masih lengkap akibat tangannya yang tidak bersabar. "Terima kasih," kata Nick, menyerahkan botol itu ke tangan kiri Mr. Raymond lalu mengambil uangnya. "Akan coba kubicarakan nanti dengan organisasi. Memang sulit sekali menjadi vampir, benar?"
"Mata Merah tidak memerlukan tenaga dari makhluk lain." Mr Raymond menceracau. "Bahkan untuk menyembunyikan warna mata keparat ini saja harus mengisap darah manusia."
Ya, karena itu memang nasib mereka. Tak seorang pun bisa mengubahnya—jika yang di atas sana belum berkehendak. Itu yang dikatakan oleh bangsa-bangsa religius.
Nick sekadar memberinya senyum lembut sebelum pamit. "Semoga harimu menyenangkan."
"Ah, tunggu," kata Mr. Raymond saat Nick baru berputar satu inci, "apa aku bisa mendaftar permintaan tolong melaluimu?"
Pertanyaannya membuat Nick berbalik sepenuhnya lagi. "Oh, tentu saja. Tapi aku tidak bisa langsung memutuskan konfirmasi misi diambil atau tidak."
"Sebaiknya kau masuk dulu ke rumahku," ujar Mr. Raymond sambil mengarahkan kepala pada pintu di belakang yang terbuka.
Masuk ke rumahnya?
Tunggu ....
Mulanya Nick masih ragu-ragu, sempat melirik kiri-kanan. Terlalu bahaya untuk masuk ke rumah seorang vampir yang baru saja hampir menyatakan perang. Jika nasib darahnya nanti memang untuk diisap, sepertinya dia harus siap berbohong darahnya terlanjur mengandung banyak karbon monoksida. Meski sejujurnya Mr. Raymond tampak tidak berbahaya. Lagi pula pria itu seolah tidak menerima penolakan. Ia tidak perlu repot-repot memastikan Nick mengikutinya atau tidak. Dengan terpaksa, Nick pun menaiki undakan rumahnya.
Pandangan Nick tentang vampir sudah berubah semenjak fiksi vampir beredar di seluruh media. Padahal pria yang memiliki nama Carl Raymond ini sudah berbaik hati memperbolehkannya masuk ke ruang makan dan menjamu susu cokelat hangat. Tapi Nick masih waswas pria itu mencampurkan darah manusia pada minumannya. Atau terburuknya adalah darah hewan—kalkun, misalnya.
Sambil menunggu Carl kembali, Nick sempat memerhatikan seisi kediaman. Rumah Carl sangat sederhana, seperti jenis rumah yang bakal ditemukan di daerah suburban dengan kelas ekonomi menengah. Rumah sempit ini dipenuhi perabotan: lampu berdiri, meja makan, dapur, televisi, bufet, karpet—semuanya bersatu menjadi satu, tetapi tetap memiliki suasana hangat. Mungkin karena Carl memilih untuk menyalakan lampu malam berwarna kuning daripada menggunakan lampu utama.
Kini mata Nick seolah fokus pada asap yang mengepul di atas mug putih bergambar manusia stik yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak perempuan, meski sebenarnya pandangannya mengabur dan baru kembali fokus ketika Carl datang membawa setoples kecil biskuit dan meletakkannya di tengah meja. Kemudian ia duduk di seberang Nick sambil berkata, "Maaf, aku hanya punya ini."
Nick tak banyak berkomentar. Dia merasa jamuan yang diberikan sudah lebih dari cukup.
Kembali gelas itu dia perhatikan. Entah mengapa benaknya seketika berpikir Carl memiliki keluarga dan pasti bukan dari keluarga sebelumnya. Anak kecilnya adalah perempuan. Hanya saja rumah ini tidak memiliki tanda-tanda kehadiran orang lain. Jumlah kursi makan pun hanya dua. Salah satunya makan di sofa? Atau mereka memang tidak pernah makan-makan bersama?
Tapi kenapa juga dia harus memikirkannya?
Di bawah cahaya lampu malam yang menempel di dinding sebelah mereka, sendu dapat terlihat di balik ekspresi datar Carl saat ia menautkan jari-jarinya lalu menempelkannya pada mulut. Ia menegakkan tubuhnya dan menarik napas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata. Awalnya dia sempat enggan untuk berbicara, namun bergumam, "Aku mulai berpikir apakah aku menentang kodrat sebagai vampir," tanpa melirik Nick.
Seketika ramuan kecil yang diletakkan di samping siku Carl menarik perhatian Nick selama satu detik. "Tapi kau memilih jalan yang benar karena mengurangi pertikaian antara rasmu dengan rasku, juga ras manusia biasa."
Carl mendengus mengejek, lalu menggeleng pelan. "Ras kalian ini memang senang sekali berkuasa."
"Ya, begitulah. Lalu apa masalahmu?" tanya Nick hati-hati.
Carl menghela napas, sejenak memejamkan mata. "Aku mulai memikirkan ini sejak putriku, Jessica, mengikuti sebuah perkumpulan di sekolahnya. Ia sering pulang malam dan jarang berkomunikasi lagi denganku. Bahkan dia berhenti minum ramuan, padahal seharusnya dia tidak bisa bertahan tanpa ramuan itu."
Kata perkumpulan itu membuat Nick mengernyitkan mata. "Maksudmu, kau menduga dia meminum darah manusia?"
Mata kuning Carl berpindah tajam pada Nick. "Ya. Kurang lebih." Lalu dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke sisi, merogoh saku celananya untuk mengeluarkan benda mungil yang sekilas mirip kunci. Benda itu adalah emblem bergambar labu Halloween. Terdapat sebuah pedang menusuk kepala labu itu sampai tersisa setengah bilah saja. Emblem itu terkait oleh rantai pendek seperti sebuah gantungan kunci dan terbuat dari logam jika dinilai dari tekstur bergarisnya. "Kau tahu sesuatu tentang ini?"
Entah mengapa ada sedikit rasa gatal jauh di dalam otak Nick, tapi dia tidak tahu apa itu. Dahinya sudah berkerut dalam, tetapi dia memutuskan menggeleng kecil saja. "Tapi tidak asing."
"Yah, emblem ini dipakai oleh perkumpulan itu. Isinya hanya anak-anak muda supernatural tidak stabil. Mungkin kau pernah melihatnya di sekolah."
"Sekolah," Nick mengulang kata itu seolah meyakinkan diri sendiri. "Tadi, boleh kutahu siapa nama putrimu?"
"Jessica," jawabnya, "Jessica Kathrina Raymond dan biasa dipanggil Jessie."
Benak Nick berteriak "Oh!" begitu kencang. Dia beringsut sedikit menegakkan tubuhnya sambil berdeham dan mengangguk-angguk. "Sepertinya takdir sengaja mempertemukan kita."
"Oh, ya?" tanya Carl sedikit tertarik.
"Kebetulan dia satu sekolah denganku. Dan kalau ingatanku tidak salah, mungkin aku pernah lihat emblem itu dari putrimu."
Carl tertawa bahagia, atau menyedihkan, atau keduanya. "Terkejutlah, karena mereka dengan bangga menggunakan emblem itu secara terang-terangan. Kadang menjadi kalung, gelang, cincin, dan anakku menggunakannya sebagai gantungan kunci tasnya."
Itu membuatnya sedikit malu. Bagaimana bisa dia melewatkan hal semacam itu? "Aku tidak terlalu peduli dengan hal di sekitarku, mungkin karena itu ...."
Carl mengangguk paham. Entah mengapa Nick mulai merasakan suasana persahabatan di sini. "Kelihatan tanpa harus kaubilang."
Nick menganggapnya sebagai pujian.
Menyingkirkan sindiran itu, dia kembali mengarahkan percakapan mereka, "Akan kulaporkan nanti pada organisasi. Tapi menurutku kasus ini pasti bakal ditangani. Harusnya aku berterima kasih karena kau memberikan informasi baru pada kami."
Carl mendengus geli. "Mungkin kau harus turunkan sedikit harga ramuan ini sebagai bayaran informasi." Dia tersenyum senang sambil mengguncang botol kecil itu.
Nick membalas senyuman itu. "Kau pasti bercanda."
Kali ini Carl tertawa mulus dan pelan, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sehingga perutnya yang kelihatan sedikit membuncit tercetak di kaus putihnya. "Tapi, apa artinya kamu tidak tahu kalau Jessie itu vampir? Kukira Mata Merah bisa mendeteksi keberadaan makhluk supernatural dengan cepat," kata pria ini dengan sebelah alis tebalnya yang menaik, membentuk kerutan dalam di dahinya.
Ah, pertanyaan itu. Nick menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan telunjuk. "Soal itu ... itu karena aku hanya setengah."
"Setengah? Maksudmu karena salah satu orang tuamu hanya manusia biasa?"
Dugaan paling umum, dan entah mengapa Nick selalu sabar menjelaskannya. "Bukan. Mata Merah ada bukan karena keturunan. Tapi karena Takdir memilih."
"Takdir memilih?" Carl mendekatkan tubuhnya lagi, bertopang dagu pada tangannya. Sepertinya ia sangat tertarik.
Melihat reaksi yang positif, Nick pun memulai penjelasan yang lebih rinci. "Normalnya, Mata Merah, yang juga disebut sebagai Jiwa Murni meski sebutan itu jarang sekali dipakai, lahir karena dipilih oleh Takdir. Sedangkan setengah sepertiku,"—ia menunjuk dirinya dengan jempol—"ada karena orang tuaku menurunkan kekuatan mereka. Kasus seperti ini jarang sekali terjadi dan biasanya karena kekuatan orang tua yang terlalu besar. Bisa dikatakan aku hanya mendapatkan sebagian kekuatan mereka. Aku tidak sekuat para Jiwa Murni."
Sebelum melanjutkan, Nick meneguk cokelat hangatnya. Sedangkan Carl berdeham dan terlihat mulai mengerti.
"Kapasitas kekuatan Mata Merah setengah sangat kecil," lanjut Nick, "Para setengah sangat mudah lelah saat memanfaatkan kekuatannya. Bahkan tingkat kecerdasan memanfaatkan kekuatan sendiri sangat minim."
Setelah mendengarkan penjelasan, Carl pun menanggapi, "Aku baru tahu ada Mata Merah yang seperti itu."
Nick hanya bisa mengangkat bahu. "Yah ... itulah mengapa aku lebih memilih menjadi agen kurir."
"Mm-hmm." Carl mengangguk-angguk.
"Jadi, bisa kita lanjutkan laporannya?" Nick mengembangkan senyum, lesung pipit segera terbentuk di kedua pipinya.
"Oh, ya," ujar Carl. Tangannya dengan iseng memainkan botol ramuan, memandangnya tanpa arti tertentu. "Awalnya Jessie sama sepertiku, juga kakek dan neneknya. Kami tidak mengonsumsi darah manusia karena tahu itu membahayakan bagi mereka. Tapi mungkin Jessie punya sifat dari ibunya yang mudah penasaran dan keras kepala. Dia berhenti meminum darah hewan belum lama dari ini, sejak masuk ke perkumpulan itu."
Nick mendengar dengan saksama. "Lalu?"
"Yah, kau tahu sendiri. Akhirnya dia mengonsumsi darah manusia, mungkin anak-anak sekolahmu ada yang menjadi korbannya."
"Kalau aku tidak salah," ujar Nick sambil menarik kursi lebih dekat ke meja, "memang efek meminum darah manusia lebih meningkatkan kekuatan, kan? Apalagi kalau darah Sang Dikaruniai."
"Bukan hanya kekuatan, Nak. Bahkan daya semangat hidup, semuanya, seolah kamu baru lahir kembali. Atau kotoran-kotoran dalam perutmu seketika hilang dan tubuhmu menjadi ringan."
"Terdengar seperti obat pencahar," ujar Nick dengan gamblang.
Carl mengangkat pundak, seolah tidak peduli. "Memang seperti itu rasanya. Dan Jessie, sekali mencoba, begitu tahu rasanya seperti itu, dia pasti kecanduan. Perkumpulan itu juga pasti menolongnya mencari manusia-manusia yang rela—atau mungkin dihipnotis supaya mau menjadi korban mereka."
Terkadang Nick berpikir, menjadi Mata Merah memang lebih beruntung daripada lahir sebagai makhluk supernatural lain yang memiliki fisik dan akal manusia, tetapi ironisnya bergantung pada manusia pula. Ia tidak perlu merasa bersalah memanfaatkan manusia lain demi bertahan hidup karena pada dasarnya Mata Merah menghasilkan tenaganya sendiri. Mungkin itu juga menjadi alasan mengapa Mata Merah begitu sombong di antara makhluk supernatural lainnya, beranggapan bahwa mereka adalah penyeimbang antara kekacauan dan perdamaian. Padahal mereka hanya gemar mengusik kodrat makhluk lain dan memberi batasan-batasan mengenai tata cara hidup. Anehnya para makhluk supernatural ini mau-mau saja tunduk kepada Mata Merah. Mungkin karena sejarahnya yang cukup beralasan.
Dan sejujurnya, jika Jessie menentang ayahnya, bagi Nick bukanlah hal yang patut diperdebatkan. Seumpama ia ahli menghindari kriminalitas, itu tidak masalah. Toh pada akhirnya hidup seluruh makhluk tidak bisa lepas dari rantai makanan.
"Baiklah," kata Nick. "Ada informasi lain tentang perkumpulan itu? Misalnya namanya?"
Carl tampak tidak sabar seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku belum tahu soal nama, tapi aku tahu perkumpulan ini dari desas-desus vampir lain. Pengikut perkumpulan ini adalah remaja dan jumlah mereka banyak sekali. Ini bisa berarti ras mereka ada bermacam-macam."
Kali ini Nick yang hanya diam dan mendengarkan dengan teliti. Dia menempelkan mulut pada tangannya yang berpaut serta bertumpu di atas meja.
"Mereka dikenal sebagai generasi pemberontak," jelas Carl, "mereka berkumpul untuk mewujudkan tradisi lama di mana para manusia berada satu level di bawah kami dalam rantai makanan, tidak lagi bersembunyi dalam bayang-bayang dan menahan diri untuk tidak memangsa manusia. Banyak dari mereka yang mempelajari ilmu shapeshifting dengan sempurna." Dia pun menarik napas. "Bisa jadi yang terpolos adalah monster. Siren yang tinggal di laut pun dapat beradaptasi di tanah manusia."
Nick mengangguk sepakat akan hal itu.
"Kebanyakan anggota terkenal dengan seniman-seniman penganut aliran psikedelik. Wawasan dan opini mereka begitu liar hingga mereka membuat persepsinya sendiri, lalu menyebarkan persepsi subjektif itu pada orang-orang secara persuasif sehingga mereka dianggap dapat dipercaya. Mereka membangun komunitas anak-anak gaul hingga remaja-remaja manusia biasa yang tidak sadar telah mempertaruhkan nyawa mereka, sedangkan remaja supernatural lainnya membantu memperluas sayap. Itu adalah salah satu cara mereka menarik anggota tanpa unjuk kekuatan."
Bukan cara yang buruk untuk menarik perhatian melalui seni, namun ada satu hal yang menyangkut di pikiran. "Seniman psike—apa?" tanya Nick.
"Psikedelik," Carl membantu. "Aku sendiri kurang paham tentang itu. Coba saja kaucari tahu sendiri nanti."
Nick pun mengangguk berkali-kali. "Tercatat. Ada lagi?"
"Sepertinya hanya itu," jawab Carl, "Aku akan kabari lagi kalau menemukan petunjuk—itu pun jika KMM menangani kasus ini."
"Dan sepertinya informasimu tidak akan diarahkan padaku," ujar Nick sambil tersenyum miring ke kanan. "Tergantung agen mana yang bakal menangani nanti."
Carl terkekeh pelan. "Padahal kukira aku cukup menyukaimu."
Eh, itu—agak menakutkan. Maksudnya, Nick harap itu bukan berarti: "Tidak apa-apa. Aku menyukai darah mengandung karbon monoksida."
Nick tidak berlama-lama di sana. Ia segera menghabiskan susu cokelat yang sudah dingin dalam satu kali tenggak. Ia akui Carl Raymond adalah vampir paling ramah yang pernah ia temui, walau pertemuan pertama mereka memang menyebalkan. Jadi, jika suatu hari kau memiliki kesempatan bertemu dengannya, kau tidak perlu takut mendadak kekurangan darah. Mungkin Carl sudah meninggalkan tradisi meminum darah sejak dia lahir—sekitar ratusan tahun yang lalu, menilai dari ceritanya.
Kini permasalahan yang muncul di benak Nick adalah Jessie. Siapa sangka kalau Ferus naksir vampir ganas.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000