Harapan Nick untuk kesekian kalinya adalah Ferus berhenti bertanya mengenai kapan dia bisa menjenguk teman-temannya yang dirawat di rumah sakit yang sama. Jika membicarakan mengenai status dan peran Nick sebagai manusia berkeluarga di bumi, saat ini dia adalah seorang duda beranak satu dan anak itu kerap merengek ingin pergi ke Disneyland.
Jadi kecelakaan maut itu terjadi saat Ferus pulang bersama Jack dan teman-teman klub teaternya usai dari latihan. Hari yang waktu itu, kata Abuela, Ferus diam-diam pergi dari rumah. Kejelasan ceritanya masih belum terkonfirmasi, yang pasti Ferus bercerita Jack hampir menabrak Leah yang sedang menyeberang jalan. Kebodohan Ferus adalah mengira wanita itu manusia sungguhan sehingga Jack berhenti. Dan yang terjadi selanjutnya adalah ... yah, begitulah.
"Kenapa? Kenapa mereka semua seperti menghindariku?" kali ini Ferus bertanya demikian setelah kali ketiga Nick katakan semua teman klub teaternya sedang tidak bisa dijenguk. Ferus sangat ekspresif, jika dia kecewa maka ekspresi itu sangat kelihatan, dan itu malah membuat Nick sedikit tidak nyaman.
"Mana kutahu?" jawab Nick pura-pura tak acuh sambil sesekali melirik ponsel yang dia pegang di atas pangkuan, padahal dia hanya menggeser layar dari satu menu ke menu lainnya tanpa ada arti tertentu. "Kalian bisa bertemu lagi nanti kalau sudah di sekolah, 'kan?"
Memangnya bisa begitu?
Ferus mengabaikan ucapan Nick, tetap cemberut jelek. Tangannya ia banting di udara setiap mengajukan pertanyaan. "Bagaimana kalau ternyata mereka benci padaku karena menyebabkan kecelakaan itu? Iya, 'kan? Jangan-jangan itu alasan mereka tidak mau bertemu denganku?"
"Sudah, Ferus. Jangan bersikap melankolis terus-menerus," Nick agak menggertak, padahal hanya untuk mengatakan dia muak pada diri sendiri.
Mata Ferus mulai berkaca-kaca, sudut bibirnya pun bergetar. "Dan itu juga alasan kenapa mereka tidak mau menjengukku?"
Air mata adalah produksi terbanyak yang dikeluarkan Ferus. Hidupnya selalu penuh warna-warna menyilaukan, tidak pernah dibawa sebagai beban. Tapi jika hatinya tersentuh hal sensitif, bahkan hanya film drama sampah sekalipun, dia bisa menangis sepanjang dua jam penuh. Baru begini saja dia sudah siap menangis, Nick tidak bisa bayangkan sehancur apa hati Ferus jika mendengar faktanya.
Akhirnya Nick menghela napas, memutuskan untuk mengalihkan topik saja. "Nanti coba kutanyakan lagi pada mereka." Dia pun berdiri dari kursi. "Percayalah teman-temanmu yang sekarang tidak seburuk yang dulu. Mereka akan terima keadaan apa adanya. Aku pergi sebentar, oke?"
"Oke ...," jawabnya lesu. Lagi-lagi Ferus tidak mendapatkan tiket ke Disneyland.
Pusing harus terus berpura-pura di depannya, dan kebohongan Nick akan berakhir sebentar lagi. Begitu Ferus sudah diperbolehkan pulang lalu kembali ke sekolah. Selanjutnya menerima pukulan keras. Kebohongan itu .... Kebohongan itu terus berbisik seperti kejahatan terkelam dalam kepala Nick. Dia kembali larut dalam ingatan wajah-wajah anak sekolahan yang terbengong oleh rasa ngeri ketika Mr. Hancout, guru sejarah Arkadia kelas Nick, mengumumkan sebuah tragedi yang siaran ulangnya tidak ingin didengar siapa pun. Pengumuman muram dua minggu lalu, tepat sehari setelah Ferus menggantikan Nick sebagai pasien rawat inap di rumah sakit.
Ia berkata, "Anak-anak ..., sebelum kita memulai kelas, ada yang ingin dan wajib saya sampaikan ...." Mr. Hancout tercenung sesaat, menyimpan kedua tangan di belakang punggung, lalu membenarkan posisi kacamata. "Bapak yakin beberapa dari kalian sudah mendengar kabar itu .... Kita kehilangan beberapa murid."
Nick mengamati raut sebagian anak yang menggelap. Tidak seorang pun bicara di tengah pengumuman ini. Atmosfer kelas berubah seberat batu raksasa kepedihan semenjak Mr. Hancout bicara. Detik jarum jam yang terdengar sangat jernih mewakili setiap detak jantung para murid.
"Totalnya enam orang," lanjut Mr. Hancout lagi. "Salah satunya adalah teman kita, Evangelina Roth. Tapi terlepas dari enam korban jiwa, kita juga harus bersyukur karena Ferus Jones masih tertolong biarpun saat ini sedang koma, juga Jack Snider yang sedang dirawat inap."
Evangelina Roth ... lalu Enrico Martínez, teman satu klub sepak bola Nick, dan beberapa anak lain yang tidak terlalu Nick kenal. Semuanya teman klub teater Ferus. Tak seorang pun terselamatkan dari kecelakaan tertabrak truk kelas sembilan yang membawa kontainer di atas kereta gandeng ... kecuali Jack Snider, salah satu teman dekat Nick juga, yang sering memanfaatkan otak matematis Nick untuk kepentingan pribadi. Saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit yang sama dengan Ferus.
Namun perawat mengatakan Jack menolak kunjungan Nick.
"Akhir pekan nanti," Mr. Hancout meneruskan, "saya harap semuanya mengikuti acara peringatan kepergian korban kecelakaan itu." Lalu—awalnya Nick kira hanya perasaan saja—tiba-tiba guru itu memberikan senyum hangat padanya, mengulurkan tangan seperti mempersembahkan sesuatu. "Dan jangan lupa. Kita juga harus ucapkan selamat datang kembali pada Nick yang baru pulang dari rumah sakit."
Hanya sebagian anak yang masih punya semangat repot-repot menghadap pada Nick, memberi tepuk tangan serta senyum bermakna kosong. Suara riuh itu bergema sia-sia dalam telinga Nick.
Mirisnya, kemungkinan kekhawatiran Nick tidak sama dengan mereka.
Dia tidak sepenuhnya mengasihani anak-anak yang telah meninggal—kecuali Enrico, karena mereka cukup dekat, melewati perjuangan-perjuangan berat selama pertandingan sepak bola. Tim akan sangat berduka atas kepergiannya biarpun dia hanya pemain cadangan.
Permasalahan sesungguhnya adalah hal lain. Dia hanya ingat kisah-kisah yang Abuela sampaikan secara personal tentang masa lalu Ferus, tentang mengapa mereka sangat mengandalkan Nick untuk melindunginya. Bukan sekadar gangguan makhluk halus, tetapi secara pergaulannya juga. Harusnya jika Nick berhasil menjauhkan roh-roh jahat dari Ferus, artinya Ferus bisa bergaul dengan anak lain pula. Dan sekarang ... rupanya Nick menganggap semuanya berjalan sangat mudah. Tragedi seperti ini adalah tragedi terparah menurut kakek neneknya Ferus.
Di akhir pekan, Nick bersama Abuelo datang ke peringatan kepergian para korban. Serba warna hitam formal di lapangan sekolah sama sekali tidak mendukung suasana, kendatipun tidak bisa terbayangkan mereka datang ke acara peringatan seperti ini menggunakan pakaian warna-warni.
Kentara sekali mana saja yang sangat kehilangan atas kepergian masing-masing orang yang disayanginya, terutama keluarga. Nick paling tidak sanggup ketika ibunya Enrico memeluk Nick setelah Nick menyampaikan kedukaan pada mereka selaku teman dekat di klub sepak bola.
Pedang-pedang tak kasat mata menyayat hati hadirin ketika para orang tua korban mengumandangkan pidato. Sedikit Nick longgarkan dasinya pada giliran pidato ibu tirinya Jim yang sangat menyayangi anak tertuanya.
Sebetulnya bukan salah dasi yang sudah dipasangkan Abuela, secara mental Nick memang tercekik dengan ini semua. Dan Abuelo tampak sangat paham dengan itu. Dia yang duduk di samping Nick memberi usapan sayang pada rambut berdirinya yang tidak pernah bisa rapi. Kumis lebatnya melengkung menandai dia memberi senyum. Walau sangat berat hati Nick tetap membalas senyumnya. Pria tua ini selalu berhasil menghibur Nick dan Ferus dengan sikap-sikap sederhananya, bahkan tanpa sepatah dua patah kata.
Hanya saja ada satu percakapan tidak menyenangkan. Nick bersama gengnya yaitu Hayes dan Linda berkumpul membicarakan apa saja yang terjadi belakangan.
"Kemarin Sam dan Jessie yang kena kasus, bahkan sampai meninggal. Gengnya juga kena," rutuk Linda. "Sekarang ditambah enam orang ini. Untung saja Ferus dan Jack tidak termasuk, benar, Nick?"
"Jangan katakan ini masalah makhluk-makhluk gila di sekitar kita lagi?" Entah saat itu Hayes sedang bercanda atau menyindir situasi. Cara bicaranya berbisik dengan dengusan sinis.
"Hayes!" Linda mencubit lengan cowok itu. "Jangan bicara seperti itu. Tidak sopan."
Di antara mereka, hanya Nick yang tidak tahu harus bereaksi apa.
Hari-hari berikutnya beberapa orang sudah menjalani kehidupan normal, termasuk Nick, tetapi Jack yang baru pulang dari rumah sakit dengan tangan patah tulang digantung di bawah dada paling berbeda.
Selama dia tidak ada, Nick mencatatkan catatan pelajaran matematika karena dia kira bisnis rutin mereka masih berjalan seperti biasa. Nick tidak membayangkan wajah Jack kontan berubah seperti melihat musuh bebuyutan begitu Nick menghampirinya di meja, menyerahkan buku catatan tersebut.
"Seperti biasa," kata Nick datar.
Tidak biasanya Jack sekadar menatap Nick, mengangguk-anggukkan kepala antara menimbang-nimbang mengambil buku atau menghajar wajah sobatnya. Namun akhirnya dia merogoh saku celana untuk mengeluarkan dompet serta uang.
Ia letakkan uang-uang itu atas meja, dan tanpa menyiratkan kepanikan setitik pun Nick mengambilnya. Sebelum Jack benar-benar melakukan tindakan kekerasan. Dengan kasual Nick pun meninggalkannya.
Hingga Jack memanggil, "Hei, Lincoln."
Tidak biasanya dia memanggil Nick dengan marga. Anak itu sekadar sedikit berbalik, menunggunya meneruskan.
Dia pun sempat diam beribu arti. "Terima kasih catatannya, tapi kurasa ini semua sudah cukup."
Mata gelap Jack menyimpan emosi mendalam. Bagi Nick terkejut saja tidak bisa. Memutuskan untuk tidak mengurusi kemarahannya yang tidak masuk akal, Nick hanya menjawab, "Baiklah. Terima kasih atas bisnisnya selama ini."
Semenjak itu Jack selalu sendiri. Dia tidak pernah bergabung dengan Nick, Hayes, dan Linda. Bahkan Hayes yang paling diandalkan di antara geng mereka tidak ia gubris. Nick semakin tidak bisa memantaunya karena Jack masih belum bisa ikut pelatihan klub sepak bola.
Saat di kantin, Hayes pun hanya mampu menggeleng pasrah. "Anak itu sangat kehilangan teman-teman teaternya terutama Eva. Dengar-dengar mereka sampai harus membatalkan pentas drama mereka."
"Apa?" tanya Nick berusaha tidak terlalu rusuh, meletakkan alat makannya.
"Yah, apa yang bisa mereka harapkan setelah kehilangan delapan orang pemeran? Mencari pemeran baru terlalu menyulitkan. Dan lagi pula siapa yang masih punya semangat melanjutkan pentasnya?" Lalu dia menyedot susu kotaknya dengan sedotan.
Lidah Nick mendadak kelu, hanya merenung pada nampan yang sudah kosong. Entah bagaimana perasaan Ferus setelah mendengar ini.
Lalu Hayes bicara lagi sambil mengeruk puding mangganya, "Tapi kurasa Jack tidak harus sampai seperti itu. Apa karena masalah kehilangan cewek incarannya?"
"Aku setuju," tanggap Nick tidak sengaja memandang puding tersebut. "Seperti tidak ada perempuan lain saja?"
"Hei, kalian laki-laki tidak peka," ketus Linda menggebrak meja, "kalian tidak akan tahu rasanya sampai merasakan. Jadi jangan seenaknya bicara buruk tentangnya."
Nick masih tak habis pikir sampai kata-kata saja tersumbat di mulutnya. "Tapi apakah harus seperti itu terus?"
"Berikan saja dia waktu ...." Linda menghela napas, lalu menyuap kentang rebusnya dengan tangan. "Nanti dia juga akan kangen kita."
Tapi jika pada mereka saja dia bersikap seperti itu, bagaimana kepada Ferus? Dan kira-kira bagaimana reaksi Ferus mendengar Jack mendadak membenci mereka semua?
"Kawan-kawan ...," ujar Nick nyaris bergumam, mengusap pelipisnya, "untuk saat ini, sampai Ferus bisa kembali ke sekolah, tolong kalian jangan katakan apa-apa tentang ini, apalagi membicarakan Jack yang mendadak menjauh dari kita."
"Aku tahu," sahut Linda, mengangguk.
"Hei, tapi apa itu tidak baik?" sangkal Hayes, meletakkan wadah puding yang sudah kosong. "Bukannya lebih menyakitkan kalau kita menunda-nunda? Begitu dia kembali pun dia pasti akan tahu. Ini tidak bisa dihindari, Nick." Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menegaskannya pada Nick.
"Jangan," jawab Nick resah, kemudian menghela napas. "Setidaknya dia tidak langsung sedih setelah bangun dari koma. Biarkan dia nikmati hari-harinya dulu sebelum saatnya."
"Aku ... aku tidak setuju," gumam Hayes, kembali mundur. "Tapi baiklah. Aku tidak akan membahas apa pun tentang kecelakaannya, tapi kalau dia sampai tanya aku akan berkata jujur." Kepalanya pun bersandar pada tangan yang bertopang di atas meja, bibirnya mengerucut.
Nick pun melakukan hal serupa kecuali mulutnya yang tetap berekspresi datar. "Kalau begitu jangan sering-sering bicara dengan Ferus setelah dia sadar."
Hayes masih cemberut, membenarkan letak kacamatanya.
Waktu berminggu-minggu serasa seperti dua atau tiga hari. Tiba-tiba Ferus sudah lumayan pulih dan diizinkan pulang. Nick jadi khawatir dengan isi kepala anak itu, apakah mengalami benturan cukup keras hingga menggeser otaknya. Seorang Ferus Thomas Jones tidak mungkin tiba-tiba berteriak begini saat dia dan Nick sudah berbaring hening di kasur masing-masing: "Aku kangen sekolah! Aku harus tidur lebih awal supaya cepat-cepat besok!"
Jangan lupa kepalan tangannya terangkat tinggi.
Kegiatan normal mereka dimulai esok paginya. Nick menyumpal mulut Ferus dengan tisu bekas roti bakar sarapan dari rumah ketika mereka sedang berjalan kaki di bahu jalan menuju sekolah. Bagaimana pun Ferus sudah tidak sabar bertemu dengan teman-temannya di sekolah setelah berhari-hari merasa kesepian di rumah sakit. Hanya Nick, Yuka, Abuelo, Hayes, Linda, dan sesekali Paman Ethan yang datang untuk memberi Ferus bunga seolah dia sudah mati saja.
"Bagaimana kabar Andy? Apa dia masih lupa mengembalikan novelmu?" tanya Ferus pada Nick yang sedang mengunyah roti, menatap lurus ke depan. Kontras dengan antusiasme Ferus pergi ke sekolah hari ini.
"Masih," jawab Nick, itu saja.
Ferus tidak menghiraukan kenyataan Nick tidak bersemangat. Memangnya kapan anak itu bersemangat datang ke sekolah? "Rachel! Bagaimana dengan Rachel? Dengar-dengar dia menyukai cowok lain dari klub bisbol. Kamu sudah bertemu dengan cowok itu?"
"Belum," tanggapannya masih dengan cara yang sama.
"Ah, kabar teman-teman teaterku! Tapi kamu tidak tahu, ya .... Oh, bagaimana dengan Enrico? Dia sudah masuk sekolah? Latihan lagi dengan timmu? Jack juga! Bagaimana dengan kabarnya—"
"Tutup mulutmu, rapper amatiran." Nick meremas tisu lalu menyumpalnya pada mulut Ferus tepat ketika sedang terbuka lebar. Nyaris saja Ferus menelannya bulat-bulat. Memang Nick sialan.
Ferus memuntahkan bola tisu yang sudah basah oleh ludahnya pada tangan, lalu melemparnya pada wajah Nick. Anak itu sontak berkelit sampai menyenggol bahu seorang pria yang refleks memelototinya, tetapi Nick sibuk mengusap wajahnya dengan kerah jaket. Mata dan lubang hidungnya melebar marah. "Menjijkkan!"
Ferus memutar mata. "Siapa yang cari gara-gara lebih dulu, hah?"
Akui saja, berangkat sekolah itu selalu menjadi hal yang paling sulit dilaksanakan. Bangun pagi, bersiap-siap, diburu waktu, mengejar tugas-tugas yang belum diselesaikan, lalu membayangkan betapa jenuhnya ketika manusia tukang mengoceh bertitel guru memaksa mendengarkan materi membosankan. Namun berbeda ketika Ferus sudah berada di depan sekolah, melihat gerombolan remaja berjalan sendiri atau dengan geng senasibnya menyusuri jalan menuju undakan pintu utama sekolah. Ditambah udara kering musim semi berganti panas serta gemerisik daun menggaruk-garuk udara selalu menjadi sensasi membahagiakan tersendiri.
Atau, ya, mungkin karena Ferus sudah terlalu lama di rumah sakit. Anak mana, sih, yang secara murni dari hati memang semangat ke sekolah? Mungkin dia yang ingin ketemu pacar. Omong-omong, bicara tentang pacar, sudah sekitar sepuluh gadis menyapa Nick yang malah mendapatkan sapaan Ferus sebagai ganti dari Nick yang tidak membalas mereka.
Dan bicara tentang anak emo itu, sesuatu yang aneh darinya berusaha Ferus abaikan. Bagaimana dia terlihat agak gelisah hari ini seolah dia tidak sempat buang air besar sebelum pergi. Sudah ketiga kalinya Ferus menemukan tangannya memijat jembatan hidung, bahkan ketika memasukkan serta mengeluarkan buku-buku dari loker tampak begitu kacau. Seharusnya dia mengambil buku kimia yang tertimbun di bawah buku fisika, tapi dia malah memasukkan buku fisika ke dalam tas, dan sedetik kemudian berdecak untuk menukarnya dengan buku kimia.
Lalu dia memandang Ferus yang baru mengunci pintu loker. Kenapa dia kelihatan seperti cewek yang berusaha mengungkapkan perasaannya?
"Apa?" tanya Ferus agak sewot, menyusupkan kunci loker pada saku botol tas. "Kaubutuh aku temani ke toilet?"
Pundaknya menaik bersamaan ketika dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya sambil bicara. Dia menatap loker ketimbang Ferus. "Jangan seceria itu. Keceriaanmu menggangguku."
Lalu dia melalui pundak Ferus. Hah? Ada apa dengannya?
Belum sempat Ferus melontarkan pertanyaan, Nick sudah keburu menimpal sambil berjalan di depan Ferus, "Dan hari ini, sebaiknya kau jangan mengusik Jack terlalu banyak. Dia sedang PMS."
Jack? PMS? Ferus tidak sempat tanya karena bel sekolah sudah berdering nyaring di seluruh penjuru. Nick pergi ke kelas kimia sementara Ferus pergi ke kelas sosiologi. Di sana seharusnya Ferus bertemu dengan Jack dan Eva. Biasanya pagi-pagi begini Jack sedang mengupayakan segala cara untuk membuat Eva menertawakan lelucon-lelucon bodohnya yang menurut Ferus dapat diiringi suara jangkrik, tapi karena Eva memiliki tawa yang epik, semua orang ikut tertawa. Ferus selalu antusias kalau sudah melihat Jack bertingkah seperti komedian pencari cinta.
Anehnya semua orang terdiam ketika melihat Ferus berdiri di depan pintu. Awalnya dari Rachel yang duduk paling depan bersama sahabatnya, Tanya, sedang heboh tentang gosip aktor yang berselingkuh, tapi kemudian mereka serempak diam begitu melihat Ferus, diikuti anak-anak lain yang tadinya sedang berbincang.
Termasuk Jack yang duduk sendirian di pojok kanan terbelakang, memandang Ferus bagai melihat hantunya. Tangan kiri Jack digantung dengan penyangga khusus patah tulang. Hati Ferus langsung mencelus mendapatinya.
Keheningan yang membungkus kelas ini mempunyai keanehan, atau entah itu hanya firasat Ferus saja. Bukan keterkejutan karena akhirnya Ferus masuk sekolah ... tapi sesuatu seperti, mereka menganggap Ferus datang di waktu yang tidak tepat.
Rachel berhasil mencairkan suasana, dia menyapa Ferus, "Eh, ini dia kuda kita!"
"I-iya!" Tanya menyusul, dia berdiri bersama Rachel.
Anak-anak lain pun berdiri dan menghujani Ferus dengan berbagai sapaan tidak sopan tetapi berakhir berebutan memeluknya. Mereka mengerubungi Ferus, membanjirinya berbagai informasi keseharian yang sangat disayangkan kalau dilewatkan. Contohnya berita tentang Mrs. Yang, guru sosiologi kelas ini, minggu lalu tidak bisa hadir ke kelas karena di tengah perjalanan sepatu hak delapan sentinya tersangkut di sela-sela bahu jalan. Kakinya terkilir dan segera dibawa ke rumah sakit. Selama dua jam pelajaran, anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain Truth or Dare, permainan yang paling Ferus suka apalagi kalau sudah berbau gosip hangat mengenai pengakuan yang sangat bahaya.
Namun dari sekian anak yang senantiasa menyambut dengan semangat, hanya Jack yang tetap berada di bangkunya. Padahal, normalnya dia akan memukul punggung Ferus lalu memeluknya dengan cara bersahabat. Ferus sadar Jack sempat memancang mata ketika Ferus masih meladeni anak kelas satu per satu. Tetapi ketika Ferus balas menatap, Jack langsung berpaling, pura-pura menatap jendela yang menghadap pada hamparan rumput sekolah sampai ke jalan daerah perumahan.
Seketika Ferus teringat perkataan Nick. Apa dia memang sedang PMS? Jadi selama ini dia perempuan?
Ferus tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi anak kelas tampak bekerja sama menjauhkannya dari Jack. Dia sudah bersiap duduk di samping Jack yang entah kenapa selalu menghindari kontak mata. Apalagi ketika Andy tiba-tiba menyeru, "Hei, Ferus! Kau duduk di sini saja! Aku ingin di belakang supaya bisa tidur dengan damai."
Dan tanpa menunggu konfirmasi dia langsung menempatkan tas di bangku samping Jack. Dagunya terangkat, memperjelas senyum angkuhnya.
Beruntungnya Ferus bukan manusia batu. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dan dia yakin ini berkaitan dengan kecelakaan kemarin. Jack pasti kesal karena dia membuat Jack dan teman-teman mereka kecelakaan. Sepertinya Jack curhat soal itu pada anak-anak sekolah. Jadi Ferus putuskan untuk mengikuti kemauan Andy sambil menghela napas.
Ferus pun memandang bangku kosong yang seharusnya diduduki Eva. Perempuan itu masih tidak ada. Apa dia masih dirawat di rumah sakit?
Mrs. Yang pun datang. Wanita itu tinggi, berkulit kuning langsat dengan mata sipit mencekam, tetapi percayalah dia adalah salah satu guru yang disukai anak-anak (terutama cowok, termasuk Ferus). Kecantikannya yang satu kelas dengan model papan atas biarpun umurnya sudah mencapai awal empat puluh patut dipuji. Jalannya berlenggak-lenggok tetapi tegas menuju meja. Dia tidak perlu mengumumkan semua anak untuk duduk di bangkunya masing-masing karena ketegasannya melebihi ketegasan Albert Goethe, salah satu tokoh pemimpin partai di Abad Kegelapan dari Rhinestein yang saat itu bekerja sama dengan Moskovia untuk menjajah seluruh dunia. Murid-murid tidak akan mau berurusan dengan sisi monsternya. Namun hatinya jelas selembut kain sutra.
Guru sosiologi itu tanpa basa-basi tersenyum pada Ferus dan menyapa, "Oh, Ferus. Kau sudah kembali."
Ferus pun cengar-cengir malu karena diajak bicara secara langsung di depan anak-anak lain. "Ya, begitulah, Bu."
"Berarti sudah siap dengan kelas pertamamu hari ini, kan?" Dia pun duduk, mengeluarkan map dari tas sampir kulit hitamnya. "Kita isi presensi dulu, ya."
Satu per satu nama murid terpanggil. Hingga Devon, Donna .... "Ferus Jones?"
Ferus mengacungkan tangan heran. "Ha—hadir."
Mrs. Yang menandai centang pada presensi Ferus, lalu melanjutkan presensi.
Bukannya sebelum Ferus masih ada Evangelina?
"Eva ...?" bisik Ferus. "Eva dilewat?" Mulanya dia hanya bicara sendiri, tapi kemudian dia menoleh pada Gilbert yang duduk di sebelah.
Gilbert si anak berambut panjang sampai rahang itu pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat Ferus sedetik lalu. Langsung memandang ke depan tampak gelisah.
Sekali lagi Ferus melihat bangku Eva. Mungkin Mrs. Yang tahu dia tidak masuk .... Mungkin. Terdapat firasat buruk yang sangat kuat menghinggapinya.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000