Rumah Ferus mendadak dipenuhi pria-pria dan satu wanita asing. Dua pria dan satu wanita dari KMM, seorang lagi adalah Lee yang menatap dendam pada Nick sebelum diseret ke luar oleh para agen pria untuk dimasukkan ke dalam mobil sedan biasa. Bukan mobil polisi. Lee Howard bagi Nick adalah kucing liar pembuat onar di sekitar rumah yang berakhir ditangkap untuk diserahkan ke penampungan hewan.
Nick harus bersyukur para agen tidak datang dengan mobil pembawa kehebohan karena tepat saat itu, Cel baru saja pulang dari sekolah. Gadis itu sempat melirik mobil agen yang melaju ke arah berlawanan darinya, lalu mengamati Nick dari depan tangga rumahnya sendiri. Dalam waktu cukup lama, gadis itu hanya diam mengamati. Nick tidak bisa membaca sesuatu di balik ekspresinya yang menggemaskan—melongo, maksudnya.
Padahal Cel tidak melakukan apa-apa, tetapi Nick bertingkah gelagapan seperti ikan bodoh yang berenang ke kanan dan ke kiri, mangap-mangap, dan akhirnya masuk ke rumah. Tidak ingin menimbulkan pertanyaan bahwa rumah Ferus kemasukan orang asing—jika ingatan gadis itu tentang Nick memang sudah dihapus. Semoga saja dia beranggapan Nick adalah teman sekolah Ferus yang mengidap autisme dan berkunjung ke rumah Jones.
Di dalam rumah masih ada si agen wanita, mewawancarai Ferus di ruang keluarga yang sesak oleh perabotan tidak berguna—sebuah guci Chang berdebu setinggi televisi misalnya. Ferus mendadak menjadi selebritas karena sang agen terus-terusan bertanya secara detail. Ferus ingin protes bahwa dia masih linglung pascakoma, apalagi diserang oleh Leah dan Lee bertubi-tubi. Tetapi toh dia bisa menceritakannya secara rinci dan runut.
Setiap jawaban yang Ferus lontarkan dicatat oleh agen pada notes kecil. Tidak ada aura mengintimidasi dari agen itu, bahkan warna matanya saja normal. Pakaian yang ia gunakan pun jenis pakaian sehari-hari yang nyaris membuat Ferus lupa bahwa ia datang dari instansi resmi. Paling sedikit yang membuat Ferus grogi adalah cara bicaranya yang kaku seakan tidak pernah tertawa sepanjang hidup hingga paruh baya.
Seluruh kronologi yang Ferus ceritakan juga disimak Nick, Yuka, dan Abuela. Yuka dan Abuela duduk di dua kursi makan dekat sofa panjang yang diduduki Ferus, sedangkan Nick melipat tangan di dada sambil bersandar pada kosen. Ketika agen itu pergi, barulah Nick mengungkapkan apa yang sedari tadi mengusiknya seperti tali label plastik yang masih tersangkut di karet celana.
"Berani-beraninya si berengsek itu bermain-main denganku," gerutunya, berpindah untuk duduk di kursi yang Lee gunakan sebelumnya sambil mengerling ke arah lain.
"Memangnya tidak bisa kauatasi sendiri?" Ferus menyelonjorkan kaki di atas sofa.
"Ferus, pakailah otakmu. Kalau bisa kuatasi sendiri aku sudah menyelamatkanmu sejak awal. Dan apa kamu pikir aku ini karakter OP* fiksi?"
*[OP: Over Power. Karakter yang terlalu kuat sampai tidak bisa dikalahkan.]
Yah ..., Ferus hanya bertanya-tanya. "Jadi Lee punya keahlian khusus menembus alam bawah sadar?" Ferus pun menoleh pada Abuela yang tengah melamun memandang meja kopi. "Juga Abuela?"
"Iya," jawab Nick. "Tapi aku tidak tahu dia terlibat dengan kasus Leah sebelumnya. Sebenarnya aku sempat curiga, respons darinya cepat sekali begitu aku mengajukan pertolongan pada organisasi. Berapa lama datang bantuannya setelah aku melapor, huh? Empat puluh menit? Padahal itu bukan laporan gawat darurat. Harusnya masih diproses ke koordinator dan lainnya," katanya. "Nah. Ternyata dia memang berkaitan dengan masalahmu dan si Leah itu—dan aku tidak tahu apa motifnya, mungkin berusaha menutup-nutupi kasus." Dia melipat kaki kanan di atas kiri sebelum meneruskan. "Awalnya kukira ini hanya koma biasa sampai Yuka merasakan sesuatu yang janggal keluar dari tubuhmu setelah berhari-hari."
"Oh, itu. Aku sudah tahu dari Abuela." Ferus bermain dengan jemarinya, lalu melirik Yuka yang refleks mengangkat alis saat ditatap. Satu hal yang sedikit membuat Ferus penasaran. Ternyata perempuan itu dan Nick masih saling komunikasi (ya, Ferus tahu ini bukan waktu yang tepat untuk direnungkan).
"Tapi Ferus," Nick mengalihkan perhatian Ferus lagi, dia menurunkan kaki. "Kau serius soal hantu Leah yang pergi ke Gerbang Kematian? Maksudku, aku bukannya tidak percaya dia berubah menjadi asap dan menghilang. Artinya kamu bisa menggunakan kekuatanmu, bukan?"
Andai menjawabnya seperti menuliskan nama di kertas ujian. Dia mengedikkan pundak. "Belajar dari mengamati Abuela."
Entah apa yang tiba-tiba lewat di kepala Nick. Anak itu mengangkat alis dan berkedip. Tubuhnya sedikit condong ke depan pada Ferus. Sesuatu yang dia pikirkan pasti berkaitan dengan hal rumit yang baru saja Ferus ingat karena anak itu menoleh pada Abuela. Secara tidak langsung menuntut jawaban. Karena itu Ferus dan Yuka pun refleks melihat pada wanita itu.
Abuela menghela napas. "Ferus sudah tahu semuanya." Tak lupa, dia tersenyum tipis.
Siapa orang yang ingin cepat-cepat kembali ke rumah sakit meskipun kamar yang Ferus tempati lebih mewah daripada kamarnya sendiri—yang berdesak-desakan dengan Nick si tukang pendengar musik metal dan sering kentut sembarangan? Setidaknya, biarpun Ferus juga tukang buang angin, dia mencium baunya sendiri. Bukan dari orang aneh berwajah ganteng.
Nick berbisik di antara barisan giginya yang rapat pada Ferus. "Aku tidak enak ... biaya rumah sakitmu sudah ditangani Paman Ethan. Kalau tidak dimanfaatkan, bukannya lebih enak kalau uangnya diambil untuk jajan di Donnie's Burg?"
"Eh, iya sih ...." Bahu Ferus merosot, dia mengusap lututnya sendiri sambil duduk-duduk di ruang keluarga. "Tapi apa benar aku tidak bakal diganggu oleh hantu lagi?"
"Peridot-mu masih ada?" Nick mengusap dagunya, tangan satu lagi berada di bawah siku. "Seharusnya itu masih aktif."
"Ah, kemarin saja aku masih diganggu oleh Leah?" Ferus mengatakannya seperti gerutuan tentang sarapan roti gandum gosong.
"Itu mungkin karena kamu sudah dirasuki dari awal." Entah bagaimana Nick merasa yakin. Dia menjentikkan jari di bawah dagunya. "Sudah. Aku yakin kamu aman di sana dengan peridot itu."
Kalau saja ada pilihan lain, misalnya bertukar kehidupan dengan Nick, Ferus akan sangat bahagia. Ingin sekali dia memprotes itu tapi tubuhnya terlanjur loyo seperti bayam busuk. Memang benar, ia masih belum memenuhi kecukupan cairan. Barusan saja Abuela panik mendapati wajah cucunya sangat pucat, itulah kenapa ia berada di dapur untuk menyiapkan teh.
Malam itu juga Ferus akan kembali ke rumah sakit, diantar Abuelo dan Nick, setelah itu akan mengantar Yuka pulang ke rumahnya. Sebelum itu, Ferus meminta waktu pribadi untuk berbicara berdua dengan Abuela di dapur. Tampaknya Abuela masih sangat merasa bersalah pada Ferus sampai-sampai tidak berani menatap mata cucunya. Kalau boleh jujur, Abuela yang biasanya menjadi bos di rumah ini tapi sekarang menciut seperti kroco terlihat menggelikan.
"Abuela." Ferus meraih pergelangan tangan Abuela yang sangat kecil di dalam tangannya yang besar.
Perlahan Abuela memberanikan diri untuk memandang mata Ferus yang sangat teduh. "Kenapa, Mijo?"
"Sebetulnya ...." Ferus menjilat bibir. "Aku sudah mengingatnya." Dia tidak bermaksud menggantung ucapannya, hanya karena mengungkapkannya seperti memuntahkan bensin memuakkan.
Dengan kemampuan otak usia lanjut yang Abuela miliki, dia mencoba mengerti apa yang dimaksud oleh cucunya. Kalau dia tidak salah .... "Soal memori yang dihapus?"
Ferus menganggukkan kepala, dia menggigit bibir ke dalam mulutnya juga mengubah tumpuan kaki. "Sebelum aku masuk ke lapisan ketujuh, semua memori membanjiriku. Termasuk yang terlupakan. Dan yang kelihatannya dilupakan."
Apakah pengakuan itu cukup menyakiti Abuela? Matanya berkaca-kaca, sesuatu yang bisa dilakukan oleh roh penghuni rumah.
Ferus menghela napas yang terasa mencekik. "Apa sobekan foto itu masih ada?"
Abuela mengisap lendir dalam hidungnya dan mengusap mata dengan punggung tangan sebelum menjawab dengan suara bergetar. "Masih. Abuela menyimpannya di nakas kamar. Mau mengambilnya?"
Genggaman Ferus sedikit mengencang. "Mau."
Mereka pun pergi ke kamar Abuela yang berada di lantai atas. Jika dibandingkan dengan kamar Ferus, kamar mereka bagaikan neraka yang diterpa tsunami dan surga yang dipel mengilat. Kamar Abuela selalu rapi dan nyaman, terdiri dari tempat tidur, lemari, meja rias, sepasang nakas, dan pintu menuju kamar mandi dalam.
Kamar yang dulunya juga menampung tiga orang karena Ferus sering takut tidur sendirian. Ingat hobinya yang menyelip di antara Abuela dan Abuelo. Lengan-lengan mereka yang dulu masih lebih besar daripada Ferus menyambutnya dengan hangat. Sayangnya pertumbuhan Ferus sangat cepat dan keterlaluan. Kalau Ferus bertingkah manja lagi dia bisa meremukkan tulang rapuh kakek-neneknya ketika mengigau.
Abuela menarik nakas di sebelah kasurnya yang ditempati lampu. Di dalam situ, ia mengeluarkan beberapa barang ke atas nakas dengan tersusun. Sampai di dasar, ada secarik kertas robek yang langsung ia angkat dan diserahkan pada Ferus dalam posisi belakang foto. Mengamati kilat dan pola merek, bahan kertas foto itu membuat Ferus grogi.
Sedikit pun Ferus tidak bisa mengingat wajah ayahnya. Sekalipun foto ini sempat masih utuh dua tahun lalu, bahkan dipajang di lemari lorong rumah, Ferus jarang menatapnya dalam-dalam. Lagi pula untuk apa juga selain untuk menyakiti diri?
Sebelum Ferus dapat melihat wajah di baliknya, ingatan tentang Abuela yang sebenarnya sudah meninggal kembali menyusup begitu kertas tersebut sudah berada dalam jepitan telunjuk dan jempolnya. Sebisa mungkin Ferus menahan air mata biarpun sangat menyesakkan. Dia meyakinkan diri, kedua kalinya menangkap seluruh hal yang bisa dia rasakan dengan pancaindra serta perasaan dalam ingatan itu, dia tidak akan menangis. Dia harus menjadi lelaki yang kuat.
Helaan napas keluar dari mulutnya setelah ingatan itu selesai berputar di kepalanya. Abuela masih mengamatinya dengan cemas, seakan tangannya yang masih berada di depan perut ingin cepat-cepat merebut kertas itu lagi.
Akhirnya Ferus membalikkan kertas tersebut. Bertemu dengan wajahnya sendiri saking miripnya dengan Ferus. Lelaki itu menata klimis rambutnya, tersenyum bahagia mengangkat sebungkus bunga di tangannya. Kulitnya kecokelatan seperti milik Ferus, milik istrinya, miliki Abuela dan Abuelo. Sementara potongan besar foto lainnya masih Ferus ingat: pria ini tengah merangkul pinggang istrinya yang sekiranya sudah hamil lima bulan.
Sebaik mungkin Ferus menahan godaan untuk meremas foto itu menjadi bola kertas kecil dan melemparnya ke jendela. Dengan tangan gemetar dia kembalikan foto itu kepada Abuela.
Wanita itu tengah tersenyum, dia mengusap pipi Ferus dengan jemarinya yang keriput dan kasar. "Kau baik-baik saja, Mijo?"
Ferus mengusahakan senyum biarpun itu sulit. Dia mengangguk. "Aku tidak akan melupakan itu, Abuela. Aku berutang padamu."
Abuela mendesis pelan. "Tidak ada utang antara anak dan orang tua, Mijo. Justru Abuela yang merasa bersalah karena sudah mendidikmu terlalu keras."
"Aku mengerti," kata Ferus. "Tapi satu."
Abuela sedikit memiringkan kepala. "Apa itu?"
Dengan kecewa Ferus bertanya, "Kenapa Abuela menyembunyikan soal Sang Dikaruniai dariku?"
Tangan Abuela menegang, dia menarik diri dari Ferus. Butuh beberapa detik hingga akhirnya dia bisa menjawab. "Masalahnya sepele, mungkin sesuatu yang tidak bisa dibandingkan dengan kesalahan Abuela terhadapmu, Mijo."
"Tidak apa-apa." Alis tebal Ferus berkerut. "Apa pun itu, aku tidak ingin ada lagi yang disembunyikan dariku."
Mata katarak Abuela menatap mata gelap Ferus, wanita itu berusaha menghimpun kesiapan diri untuk mengungkap rahasia. "Sebenarnya karena Abuela juga benci menjadi Sang Dikaruniai," katanya, membuat Ferus berkedip. "Perbedaannya ... benci karena sehebat apa pun Abuela, Sara tetap tidak bisa diselamatkan."
Setitik air mata turun melintasi pipi keriputnya. Ia dapat membayangkan kenangan memedihkan itu, ketakutannya ketika melihat alat rekam jantung mengumumkan Sara melemah. Bunyinya yang lebih lambat dari satu detik menyayat hati Abuela. Frustrasi Abuela mencengkeram tangan putrinya dengan kedua tangan, lalu menempelkannya pada wajah. Ia mengalirkan seluruh tenaganya untuk memberi tenaga pada Sara. Sia-sia saja. Tenaga itu seakan mengalir kembali pada tubuhnya. Bahkan ketika rombongan dokter dan perawat datang untuk memberikan sengatan defibrilator, tidak ada yang berubah.
Alat rekam jantung berbunyi panjang. Belum pernah rasanya suara sedatar itu dapat menakuti Abuela. Ia lepas kendali, mengguncang tubuh Sara. Memberontak dari para perawat yang menjauhkannya dari putrinya yang mulai ditutupi kain.
"Sejak itu Abuela sudah malas berurusan dengan kekuatan supernatural. Termasuk mengajarkanmu untuk menjadi Sang Dikaruniai yang hebat," jelasnya. "Setiap menggunakan kekuatan—tidak, bahkan membahas tentang hantu saja, Abuela selalu teringat dengan Sara. Putri kecil Abuela satu-satunya ... yang belum sempat mendapatkan kebahagiaan ...."
Tidak seorang pun dapat mengerti perasaan trauma seseorang, bahkan Ferus setelah mendengar kisah memilukan itu. Di dalam lubuk hatinya dia masih kecewa Abuela tidak mengungkap identitas dan mengajarnya hanya karena masalah tidak bisa pindah dari masa lalu. Tapi kalau diingat-ingat lagi, dia sendiri bagaimana? Pernahkah dia berhasil melawan traumanya terhadap para hantu?
Sekujur tubuh Abuela yang gemetar membuat Ferus hancur lebur. Dia segera menyandarkan kepala Abuela pada dadanya, membiarkannya membasahi bajunya. Abuela tidak berhenti menggumamkan nama putrinya.
Ferus menghela napas, lalu mengecup puncak kepala Abuela yang dipenuhi uban. Seperti dugaannya, di balik Abuela yang sangat keras, dia menyimpan banyak masalah hati yang mungkin tidak sanggup lagi dia bendung. Pada saat-saat tertentu Ferus terpaksa menjadi korban karena dia adalah objek terlemah di mata Abuela. Dulu Ferus akan menyalahkan, tapi sekarang dia sudah cukup dewasa untuk mengerti.
Sayang sekali Ferus sudah harus kembali ke rumah sakit. Paling tidak, ketika meninggalkan rumah, dia sudah merasa lega. Hubungannya dengan Abuela dapat membaik, bahkan lebih dari sebelum peristiwa Ferus jatuh koma.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000