Calling all comas
Prisoner on the loose
Description:
The spitting image of me
Except for the heart-shaped hole where the hope runs out
Tahun ini lagu tersebut baru saja diluncurkan. I Appear Missing, milik Queens of the Stone Age. Sekitar sebulan yang lalu, mungkin. Lucu sekali. Apakah Josh Homme meramalkan sesuatu kemudian merilis lagu ini sebagai tanda untuk Ferus?
Tentu saja bukan. Josh Homme memang menulis lagu tersebut sebagai "inspirasi" ketika ia sedang koma. Terima kasih telah menciptakan lagu itu, pikir Ferus. Karena selagi banjir memori menghanyutkannya, Ferus mengiringinya dengan menyenandungkan lagu tersebut yang melantun indah.
Kilas balik memelesat laksana cahaya, tetapi beberapa ingatan manis dapat Ferus saksikan seperti memutar ratusan video absurd di dalam folder ponselnya. Memori yang paling menakjubkan hingga Ferus ingin membakarnya adalah saat dia berusia tiga tahun, berdansa bersama pancuran air dari selang di taman belakang. Terdapat pelangi di dekatnya dan itu semakin membuatnya bahagia. Sayang sekali tubuhnya yang bertelanjang bulat merusak keindahan pelangi dan air yang berkilat diterpa matahari. Abuela yang menemukannya sedang berulah lekas turun dari tangga dan menyuruhnya untuk mematikan selang itu.
Abuela. Ya, wanita yang menggantikan peran seorang ibu kandung dalam hidup Ferus. Sejujurnya Ferus berbohong ketika dia menghina bahwa Abuela adalah ibu terburuk yang pernah ada di dunia. Dapat Ferus pahami, sekalipun dia adalah darah daging Abuela juga, di usia senja terpaksa berperan menjadi ibu kandung bukanlah pengalaman menyenangkan.
Mencoba mengesampingkan itu, coba lihatlah. Satu per satu kenangan kecil bersama Abuela bermunculan. Misalnya, suatu malam saat Ferus berusia sepuluh tahun. Akhirnya jujur bahwa besok harus membawa kerajinan tangan origami. Abuela memarahinya karena kebiasaan buruknya yaitu selalu berbohong tidak punya tugas sekolah saat ditanya sehari sebelumnya.
Ferus dijewer olehnya, disuruh menunggu Abuela di ruang keluarga sementara wanita tua itu keluar untuk membeli kertas lipat bersama Abuelo. Sekembalinya Abuela, dia langsung mengajak Ferus membuat origami sama-sama. Bagi Ferus yang senang dengan hal abstrak, dia sangat cepat bosan dengan keteraturan origami sampai sesekali ketiduran. Tetapi tidak dengan Abuela, wanita itu terus mengerjakan tugas Ferus hingga ... hingga tidak tahu. Bangun-bangun Ferus sudah berada di kamarnya, dengan origami yang sudah tersusun rapi di meja belajarnya.
Jangan lupakan kenangan ketika Ferus bersama kakek-neneknya, merayakan ulang tahunnya di tengah badai salju. Pesta ini tidak semeriah anak-anak di sekolahnya (sebagiannya bahkan tidak berniat mendaftarkan Ferus sebagai anak yang diundang). Mereka hanya berenam malam itu. Ada Abuela, ada Abuelo, ada Mr. Kwek si boneka bebek, Mrs. Snow si boneka beruang putih, Mr. Ninja si boneka kura-kura, dan Ferus sendiri.
Ferus sudah cukup bahagia ketika meniup tujuh buah lilin di atas kue cokelat buatan Abuela. Dia bertepuk tangan keras, dan berteriak, "Yeeeey!" Kemudian membuka kado yang dipersiapkan Abuelo: sebuah sarung tangan rajutan bergaris warna-warni dengan dominan merah. Di umur delapan belas tahun ini, Ferus berharap tangannya bisa mengecil dan mengenakan sarung tangan itu lagi.
Walau selalu ada-ada saja momen di mana Ferus kena marah oleh Abuela karena banyak hal. Salah satunya adalah seperti biasa: "Semua orang di sekolah menakutkan seperti orang purba!" jerit Ferus yang masih bersembunyi di balik selimut biarpun Abuela sudah mengguncang-guncang bokongnya berulang kali.
Pertengkarannya selalu sama. "Mau tua nanti kau menjadi pengemis karena bodoh?! Ayo sekolah!"
Saat di sekolah, Ferus kerasukan. Tubuhnya yang kecil dan kurus kerontang berhasil menumbangkan anak laki-laki sebesar anak gajah dengan lemak bergelambir di lehernya. Ferus mencengkeram bagian paling kenyal itu, hampir membuat anak itu mati karena pernapasannya tersumbat lemak yang dijepit Ferus.
Abuela memang terlihat membela Ferus di depan sang guru. "Tolong beri cucu saya kesempatan lagi," katanya pada sang guru yang sudah tidak tahan dengan ini semua. Menyebut Ferus sebagai anak sakit jiwa dan sejenisnya.
Pulang-pulang, Ferus selalu kena marah Abuela. "Mengerti tidak, sih? Abuela capek kalau kau begini terus!" gertaknya sambil menunjuk Ferus yang jauh lebih pendek darinya. "Sudah berapa banyak muka yang harus Abuela buang demi kau?! Tolong coba lawan sedikit makhluk-makhluk tidak masuk akal itu!"
"Makanya sudah kubilang aku tidak usah sekolah! Supaya Abuela juga tidak perlu repot-repot begini!" Ferus mengakhiri pertengkaran. Dia berlari masuk ke kamarnya seperti biasa. Dulu dia masih memiliki kunci pribadi sehingga Abuela tidak bisa menginterupsinya menyembunyikan wajah pada bantal untuk meraung sekencang-kencangnya.
Dan terus seperti itu. Terus seperti itu hingga Ferus lulus SMP. Usai musim panas dia sudah harus menentukan ingin memilih SMA mana, tapi tidak satu pun menempel pada benaknya. Tentu saja ketika dia menyatakan tidak ingin sekolah—setidaknya satu tahun saja, Abuela marah besar. Marah yang dapat membuat seisi rumah berguncang.
Ferus harus bersyukur karena dia memiliki kakek seperti Abuelo. Seorang suami bisu yang dapat menjinakkan istri segarang singa. Dalam satu malam, hanya mereka berdua di kamar pribadi, esoknya Abuela sudah memutuskan untuk mengizinkan Ferus tidak sekolah selama setahun.
Setahun berikutnya adalah giliran Ferus menepati janji.
Sebuah memori penting di ruang keluarga. Televisi saat itu menayangkan acara laga tetapi suaranya kalah dengan adu seruan antara Ferus dan Abuela. Abuelo tak mampu melerai karena ia tak bersuara. Mengelus Abuela adalah satu-satunya usaha terbaik yang bisa ia lakukan. Sementara itu, Nick di sana sudah terlanjur penat, memijat kepalanya sampai meringis. Dia sudah berkali-kali menyuruh Ferus dan Abuela mendinginkan kepala, tapi seruannya semakin memperburuk situasi sehingga dia memilih untuk diam. Lagi pula, mungkin apa yang dipikirkannya sewaktu itu adalah dia bukan bagian dari keluarga Jones, bisa apa dia sebagai anak angkat yang baru hadir?
"Berat, memang, Abuela tahu! Tapi kau tidak bisa hidup seperti ini terus-terusan—"
"Aku sudah berusaha semampuku tapi mereka tetap menyerang!" teriak Ferus sampai mengguncang badan sendiri. "Kalau Abuela saja tidak mengerti—!"
"Bukannya tidak mengerti! Kamu yang harus bisa melawan—!" Abuela menyela sehingga Ferus tidak mau kalah memotong.
"—Kalau Abuela saja tidak mengerti bagaimana aku bisa melawan?! Aku butuh dipahami! Cukup dengan orang luar yang tidak mendukungku! Ditambah lagi Abuela, bisa-bisa aku gila sungguhan!"
"Mengerti iya! Abuela sudah menahan dari sejak kau—"
"Terus saja membela diri sampai—"
"—dari bayi dan kau tidak berusaha untuk beru—"
"—cucumu ini dimakan roh jahat!"
"Ferus!"
Seruan yang pecah bersama tangisan itu sama kencangnya dengan gelas pecah. Kali itu Ferus benar-benar syok Abuela menghardik seperti itu. Abuela memang sering marah, tapi ini yang paling klimaks. Kadang Ferus menganggap dirinya benci pada Abuela karena kerjaan wanita tua itu hanya marah-marah saja tanpa mengerti situasi. Dan saat itu, Ferus menganggap ternyata Abuela juga membencinya ... sampai berani menyeru mengisi seluruh ruang dalam rumah, menggertak jantung Ferus.
Namun di tengah nyeri hati Ferus, napas Abuela tiba-tiba tercekat. Abuela dilanda panik dan bingung karena keseimbangannya hilang begitu saja. Ia nyaris jatuh jika Abuelo tidak cekatan. Nick juga panik mengejarnya, tetapi hati Ferus yang mendung tidak mampu mendekat karena masih tersulut kebencian.
Tidak. Tunggu. Ferus tersadar.
Di hadapannya, Abuela pingsan.
Tidak ada memori seperti ini.
Seakan Ferus menjadi kamera yang mengamati dirinya sendiri berdiri seperti patung ketika Abuelo dan Nick sama-sama gempar.
Tidak ada memori seperti ini!
Abuela dilarikan ke rumah sakit malam itu juga. Dan dokter langsung menyatakan bahwa Abuela strok serta lumpuh total.
Serasa cambuk memecutnya, Ferus langsung menyesal hari itu juga. Tangisannya meledak, keras, penuh keputusasaan. Tak peduli dia berada di lorong rumah sakit dengan perawat-perawat yang terusik tapi tidak tega menyuruh diam.
Ferus benar-benar anak tidak tahu diri, berani membentak seorang wanita tua yang mati-matian membesarkannya dari hanya seukuran dua tangan. Padahal Ferus bukan kewajiban Abuela lagi, tugasnya sudah selesai. Dan Ferus sekonyong-konyong hadir untuk mengacak-acak hidup neneknya.
"Ferus, hentikan," ujar Nick dingin tetapi nanar. Dia berdiri di samping Abuelo yang tak habis pikir harus berbuat apa, di seberang Ferus, yang terus berceloteh menyalahkan diri di depan pintu kamar Abuela.
"Tidak, Nick. Andai aku bisa mengontrol emosi karena Abuela sudah tua ...."
"Hentikan," suaranya kali ini penuh tekanan. "Menyesal pun tidak ada artinya karena keadaan tidak akan kembali seperti semula, Ferus."
Perkataannya itu otomatis membungkam Ferus dalam sesenggukan. Nick benar, tapi Ferus pun kesal mengapa Nick malah sok menasihati. Apalagi saat itu Nick masih terhitung sebagai anggota keluarga baru. Keakraban mereka hanya di permukaan, belum seperti sekarang.
"Kau hanya tambah melukai diri," ucap Nick di antara prihatin dan jengkel. "Mengerti?"
Hanya menunggu tiga hari hingga Abuela berangkat ke akhirat. Tentu saja semangat hidup Ferus semakin runtuh. Menyesal atas perbuatan yang sudah dia ketahui dari awal sangat irasional. Dia tidak bisa terima Abuela meninggalkannya dengan cara seperti ini. Ferus bahkan tidak tahu apakah Abuela sudah memaafkannya karena Abuela tak mampu bicara.
Di samping Abuela yang masih terbaring di rumah sakit pada hari kedua, Ferus berlutut berharap Abuela memaafkannya. "Aku akan berusaha ..., Abuela. Aku akan coba sekolah lagi. Karena itu tolong maafkan aku."
Hanya ada sedikit kedutan di wajah keriputnya. Ia pun meneteskan air mata deras yang bahkan tak sanggup Ferus seka. Dia hanya dapat merengek dan menenggelamkan kepala pada bahu neneknya. "Maafkan aku ... kumohon. Jangan benci aku ...."
Pada malam kepulangannya, Ferus sudah kehabisan tenaga untuk meraung-raung. Daya hidupnya sudah menguap bersama udara malam. Ia pandang langit tak berbintang di atas, duduk di atas kap mobil Jeep tua milik Abuelo di lahan parkir rumah sakit. Udara dingin bukanlah apa-apa dibanding kedukaannya.
Ferus sempat terkejut saat Nick tiba-tiba duduk di sampingnya. Namun, reaksi nyatanya hanya menoleh pada Nick, lalu kembali menengadah. Si pirang itu tahan tidak bicara sama sekali sekiranya dalam lima menit, mungkin menunggu waktu yang tepat untuk mengajak bicara.
Malah akhirnya Ferus yang bicara duluan. "Kau datang—maksudku, ke keluargaku, bukan sekarang—untuk mengusir roh jahat dariku, 'kan?"
"Ya," jawabnya terlampau singkat.
"Apa di luar sana ada semacam sihir?" tanya Ferus lagi, sambil mengamati lampu helikopter yang melintas lambat di langit. Kesengsaraannya mendera lagi, gejala bakal menumpahkan air mata.
"Mungkin," lagi-lagi dia hanya balas dengan sepatah kata.
"Adakah ...." Dadanya terasa sesak lagi. Pernapasannya tersumbat oleh air mata yang tidak keluar. Bicaranya pun mulai tidak terkontrol. "J-jalan,"—Ferus menarik napas lewat mulut dan akhirnya menderaikan air mata lagi—"untuk mengembalikan orang mati? Atau apa pun ...."
Ferus berhenti untuk menunduk, memejamkan mata erat-erat, mengatasi sakit dengan meremas baju di depan dada.
Susah payah dia melanjutkan, "Untuk ... memperbaiki yang telah ... kurusak ...?"
Nick saat itu tidak langsung menjawab. Ferus hanya merasa dia memandangnya saja. Nick memberi jarak cukup lama untuk bicara lagi, membiarkan saudara angkatnya terisak tanpa daya.
"Mungkin ada satu cara," kata Nick.
Ferus menunggu, tapi tidak menatapnya.
"Tapi harus melalui persetujuan Abuela. Dan tentu saja ... kesiapan uang." Dia beringsut mencari posisi baru. "Biayanya bakal sangat mahal. Dan kamu hanya punya waktu empat puluh hari untuk menentukan."
Oh ..., aku mulai ingat.
Nick meneruskan, "Nenekmu bisa dijadikan roh penghuni rumah." Dia menggaruk belakang telinganya. "Hanya saja satu konsekuensinya: dia tidak boleh keluar dari batas yang disebut sebagai 'rumah'."
Ini semua adalah memori yang terhapus ... atau dihapus.
Perjuangan setelah itu sangat hebat. Abuelo bekerja lebih keras, mencari pinjaman uang ke mana saja. Nick juga membantu dengan menambahkan misi-misi di luar pekerjaan kurirnya sehingga membuat Ferus terenyuh ingin membantu walau tak mampu apa-apa.
Ya, Ferus ingat. Ketidakberdayaan Ferus sangat menjijikkan. Semua orang berusaha mengabulkan permintaan Ferus bagai seorang pangeran tak berguna. Ferus sempat meminta mereka berhenti tetapi mereka tidak menyerah.
Di sisi lain, Nick yang sering berkomunikasi dengan Abuela di Alam Bayangan merahasiakan bahwa Abuela juga menyerah, prihatin dengan Abuelo dan Nick yang mendadak kerja banting tulang hanya demi suatu tujuan tak layak. Sengaja Nick tidak menceritakan ini pada Ferus karena sebuah alasan masuk akal.
Suatu hari, Abuela muncul di dapur. Air mukanya penuh lara tetapi tak setitik air mata pun jatuh. Ferus sama sekali tak mampu bergerak menyaksikannya. Kaget. Getir. Rindu. Semua itu berserabut membentuk benang kusut tak berdaya.
"Mijo," katanya, "hentikan mereka .... Abuela tak sanggup melihatnya."
Abuela hanya berkata demikian kemudian menghilang. Ferus tidak menunggu lama untuk menceritakan itu pada Nick. Terpaksa Nick mengaku bahwa sebenarnya Abuela juga ingin mereka berhenti. Benar saja, persis seperti dugaan Nick, Ferus langsung mengamuk padanya. Namun kata-kata Nick langsung menyadarkan Ferus:
"Itulah kenapa aku tidak memberitahukanmu! Kita sudah terlanjur di tengah jalan, Ferus. Kalau kau menyuruh aku dan Abuelo berhenti sekarang, maka apa artinya perjuangan selama ini?!"
Ferus tergetar. Tak punya pilihan. Memang. Sudah tak banyak menolong, protes minta dihentikan di tengah pula. Apa-apaan dia ini?
Hingga Abuelo terlilit utang cukup membahayakan, keputusan untuk menjadikan Abuela sebagai roh penghuni rumah hampir dibatalkan. Waktu empat puluh hari yang terasa panjang di awal mendadak sangat kurang. Abuela keburu dianggap sebagai "warga tetap" Alam Bayangan. Rohnya tidak bisa ditempatkan di dunia manusia lagi meskipun dia masih bisa berkunjung sesaat saja, itu pun dia harus memiliki energi tambahan seperti menyedot energi negatif manusia. Dan lagi, ia tak dapat disentuh kecuali mampir ke Alam Bayangan. Dengan catatan tidak memiliki segala kebutuhan manusia, begitu pun kehangatan atau mencucurkan air mata.
Namun untungnya Paman Ethan sebagai pria kaya raya, yang menganggap Nick sebagai anaknya yang sedang kesulitan, akhirnya turun tangan. Semua utang terbayar lunas dan mereka punya cukup uang untuk membiayai agen yang bisa menyatukan roh Abuela dengan rumah.
Dan setelah itu ... satu lagi permintaan Ferus kepada Nick ....
"Aku janji, ini yang terakhir kalinya," kata Ferus tanpa sanggup memandang mata biru jernih yang memancarkan kesedihan itu.
Ferus meminta ingatannya tentang kejadian ini dihapus, dan digantikan dengan ingatan palsu.
Tak disangka, rupanya yang menyobek foto kepala ayah Ferus adalah dia sendiri. Dia menyerahkan benda itu pada seorang agen Mata Merah yang dijamu di ruang penyambutan. Dapat Ferus rasakan keraguan berpadu keyakinan di satu waktu. Aneh? Iya, memang. Selain itu dia juga merasakan kemarahan mendalam.
"Jadi ini benda yang akan menyimpan memorimu?" seorang wanita di hadapan Ferus yang sedang berdiri di dekat pintu rumah sisi dalam mengambil sobekan tersebut dari tangan Ferus.
"Gunakan saja," ujar Ferus pelan. "Dia yang menyebabkan ini semua ...."
Akhir sebuah cerita tragis.
Satu.
Dua.
Tiga.
Inikah rasanya terjun bebas ke dalam kegelapan? Mengingat hal-hal yang sudah kulalui?
Haha. Banyak sekali.
Apakah orang-orang akan rindu padaku ketika aku menghilang?
Kuharap begitu.
Detik-detik berikutnya Ferus membuka mata. Oh, akhirnya ia mendapatkan cahaya.
Sebuah keputusan telah dia ambil, bukan?
"Inikah keputusan akhirmu?" Leah tersenyum. Sosoknya memang mengerikan, tetapi sudah biasa. Malah Ferus dapat melihat ketulusan di balik senyumnya.
"Ya ...." Ferus menoleh pada sebuah persegi putih di depannya. Persegi yang merupakan sumber cahaya paling terang di tengah kegelapan alam bawah sadarnya.
Tidak ragu, Leah mengambil tangan Ferus, menggenggamnya kuat. Begitu pun Ferus. Tanpa sepatah kata pun, mereka bertukar senyum. Mengerti apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Mereka sudah siap melangkah menuju cahaya persegi. Mungkin cahaya yang akan memotong tali gaib yang mengikat roh Ferus dengan raganya. Sesuatu yang ia nantikan ....
"Jangan!"
Seseorang di belakang menghentikan langkah keduanya. Hanya Leah yang berbalik, Ferus tetap menundukkan kepala. Tidak perlu lagi mempertanyakan siapa orang yang mengganggu momennya. Sekali lagi mendengar isakan wanita tua itu. Tidak ada rengekan keluar dari mulut Abuela, mungkin karena ia sudah tidak sanggup, tidak tahu harus mengusahakan apa lagi untuk memperjuangkan Ferus.
Memori yang sebelumnya berputar dari bawah ke atas seperti roda masih segar di dalam benak Ferus. Malam itu, ketika Abuela tidak tidur untuk menyelesaikan origaminya. Lalu malam ketika mereka tertawa bersama merayakan ulang tahun Ferus di tengah badai salju. Ketika Abuela mati-matian membela Ferus di depan guru yang tidak sanggup lagi menganggap Ferus sebagai bocah menggemaskan. Yang lainnya juga ada. Seperti sewaktu Abuela membuatkan teh hangat saat dia demam. Atau ketika Abuela mengajarkannya cara memakai kancing yang benar. Juga ketika Abuela membalikkan buku terbalik yang sedang Ferus baca, masih membacanya dengan cara seperti b-e be, b-e be, k, bebak.
Seluruh ingatan itu, Ferus dapat merasakannya secara visual. Secara pendengaran: suara tawa mereka saat bersama. Secara penciuman: oh, Ferus ingat berbagai macam kue dan roti harum yang Abuela buatkan. Rasanya pun meleleh di lidah. Jangan lupa satu yang paling penting: kehangatan ketika mereka berpelukan.
Dan ... mengingat bahwa dia dengan seenaknya menghapus memori tentang insiden itu demi kepentingannya sendiri .... Insiden di mana dia sangat menyakiti Abuela. Insiden di mana dia "membunuh" wanita yang menyayanginya itu.
Cengkeraman tangan Ferus terlalu kuat hingga Leah kembali menoleh padanya dengan khawatir. Apakah palu sedang memukul-mukul jantungnya? Hentikan itu ... napasnya pun ikut sesak. Ferus pun mengangkat kepala.
Sepertinya yang diinginkan Ferus memang bukan mengakhiri hidupnya.
Dia tidak tahan lagi.
Dengan cepat anak laki-laki itu melepas tangan sosok "ibu sementara"-nya. Dia berlari kembali pada Abuela yang tengah berlutut, lalu merengkuhnya dan di dalam hati berjanji tidak akan melepasnya lagi. Abuela tidak menunggu satu detik untuk meremas pakaian cucunya, lega ketika Ferus memilih untuk kembali padanya.
Iya, 'kan? Kembali? Bukan pelukan perpisahan?
"Tolong jangan katakan ini pelukan terakhir," Abuela sesenggukan di tengah bicara.
"Bukan .... Aku ingin pulang, Abuela. Aku ingin pulang," Ferus pun demikian.
Abuela masih tidak sanggup bicara lebih banyak, memilih untuk menjawabnya dengan anggukan saja. Menikmati momen kebersamaan mereka. Menikmati kelegaan yang menghangatkan tubuhnya. Menikmati pelukan cucunya yang masih menyayanginya.
Ah, betapa indahnya pemandangan itu, pikir Leah. Wanita itu pun tersenyum simpul biarpun dia tahu tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Sebentar, Abuela." Biarpun enggan, Ferus berusaha melepas pelukannya. Abuela tampak ketakutan ketika Ferus melakukannya. "Sebentar saja." Anak laki-laki itu meyakinkannya dengan memberinya senyum dan gerak tangan menandainya untuk tenang.
Kini dia kembali berhadapan dengan Leah. Ferus sangat ingin memeluknya, melupakan bahwa penampakan di depannya adalah wanita berkulit pucat dengan mata sehitam batu obsidian.
Mengenai apa yang membuat Leah sampai melakukan hal seekstrem ini. Ferus sebagai anak yang tidak tahu orang tuanya sejak pertama kali bernapas di bumi jelas tidak paham betul sakitnya kehilangan. Tapi wanita ini, dan orang tua mana pun, sesukar apa pun situasinya jika ia ditakdirkan untuk memiliki anak, pasti ia akan memperjuangkannya. Bahkan jika taruhannya adalah nyawa.
Seperti ibunya Ferus yang meninggal karena melahirkannya. Sekalipun lelaki berengsek yang tidak mau Ferus akui sebagai ayah tidak bertanggung jawab.
Hingga terpisah beberapa senti lagi, Ferus memeluknya. Ferus harap itu sudah cukup untuk menenangkan Leah, membiarkannya sesaat merasakan seperti apa rasanya memiliki anak yang menyayanginya. Lebih menyakitkan ketika tahu Leah adalah orang baik ... sangat baik. Ferus sempat sangat mengharapkan dia menggantikan posisi ibunya yang tidak pernah ada. Sayangnya posisi itu sudah ditempati lebih dulu oleh Abuela.
Paling tidak, Ferus bahagia bersamanya. Apalagi ketika Leah membalas pelukan Ferus, menekan punggungnya erat-erat. Andai saja hanya dengan pelukan seperti ini bisa mengusir kepedihan.
Leah dingin, ringkih tidak memiliki daya apa-apa seolah massa tubuhnya pun diisap oleh kejahatan yang terus mengurasnya. Hanya perut buncitnya yang terasa seperti satu-satunya tanda ia masih memiliki berat. Masih ada rasa janggal yang begitu pekat menusuk-nusuk kulit Ferus karena sifat dingin memeluk hantu, tetapi dia mencoba menenangkan diri karena hantu hanyalah hantu. Memang apa masalahnya kalau dia hantu? Jelek? Seperti kau tidak jelek saja.
Ferus terkejut tiba-tiba bisa berpendapat seperti itu.
"Maaf ..., Leah. Aku tidak bisa ikut denganmu," ucap Ferus lembut. "Kalau saja ... kalau saja aku bisa memperbaiki situasimu aku akan melakukannya."
Leah mengelus-elus punggung Ferus. "Apa yang sudah terjadi tidak bisa diperbaiki, Sayang," katanya.
Ferus pun tertawa kecil. "Aku bilang, 'kan, 'kalau saja'."
Dengan sangat terpaksa, Ferus mulai merencanakan apa yang ada di dalam pikirannya. Fokus dan fokus. Mengingat bagaimana Abuela barusan menyerang musuh-musuhnya dengan kekuatan suci. Seperti apa yang pernah Nick katakan: seharusnya Ferus memiliki kekuatan suci ketimbang hebat dalam berlari.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya, Ferus merasakan ada sesuatu yang asing mengalir bersama darahnya di setiap kapiler darah. Inikah ... rasanya mengendalikan kekuatan supernatural?
Wujud berisi yang dia peluk pun berangsur-angsur melebur menjadi kekosongan. Ada suara mendesis sangat lembut serta pelan, dan baru Ferus sadari ketika membuka mata, wanita yang ia peluk kini hanya berupa asap yang mengudara dan perlahan sirna menuju cahaya persegi.
Dia akan pergi. Karena itu Ferus tidak ingin membuatnya takut. Ferus tetap menyunggingkan senyum biarpun matanya berkaca-kaca. "Maaf, Leah."
Sebaliknya, wanita itu justru tidak keberatan sama sekali. Seakan-akan memang inilah yang dari dulu dia inginkan. "Jangan meminta maaf." Sudut bibirnya bergetar.
Untuk kali terakhir, Leah memejamkan mata, menempelkan kening dan hidungnya dengan milik Ferus. Dan sepenuhnya menjadi asap yang tidak lagi bisa Ferus peluk. Hilang di depan mata.
Ada rasa sedih mendalam ... hingga lagi-lagi Ferus meneteskan air mata. Sejujurnya, Ferus tidak ingin Leah pergi. Rasanya ingin dia putar balik detik singkat tetapi berharga bersama Leah Sanjaya. Kasih sayang Leah tak ternilai. Suara Ferus sampai tersendat ketika sesenggukan, dan semakin menjadi-jadi ketika terus mengingatnya lagi. Denyut pedih di dadanya tidak tertahankan.
Beruntungnya Abuela hadir di sana, kini gilirannya yang merengkuh Ferus untuk menenangkan cucunya. Kendatipun cucu jangkungnya ini perlu membungkuk agar dapat menyandarkan kepala pada pundak Abuela yang kecil. Wanita itu mengusap belakang kepala Ferus dan berbisik, "Tidak apa-apa, Sayang. Pilihanmu sudah benar. Dan pasti wanita itu akan bahagia di Alam Baka."
Semoga saja begitu. Mengingat dosa yang telah Leah perbuat. Tapi dia tidak boleh pesimis. Berharap saja perjalanan Leah tidak terlalu berat. Dia sudah memikul beban terlalu banyak. Ferus sangat menyesal hanya bisa membantunya secara suci meninggalkan Alam Bayangan, kemudian mendoakannya.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000