"Sampai sini, apakah semuanya sudah mengerti?"
Anak-anak kelas di hadapan sang wanita yang membawakan materi menjawab dengan berbagai "iya" yang panjang. Sebagiannya tidak menjawab karena sibuk mencatat rumus-rumus di papan tulis seolah mata dan tangannya memiliki kesadaran masing-masing. Satu anak saja yang tidak melakukan apa pun. Hanya menundukkan kepala, berharap tidak seorang pun menyadari keberadaannya padahal dia paling mencolok di antara semuanya. Dari awal materi dijelaskan pun dia tidak pernah memerhatikan, sibuk bermain dengan keluarga Alat Tulis. Posisi duduknya yang membuat guru tersebut sedikit terusik. Selalu di situ. Jauh di belakang sana, paling pojok kiri dari sisi sang guru.
"Ferus Jones?" wanita itu pun memanggilnya cukup lantang.
Anak berumur dua belas tahun itu bertingkah seakan tak sengaja menelan sebongkah permen utuh. Matanya membesar menatap pada guru, dan rupanya dia harus membalas satu per satu puluhan pasang mata murid lain yang mengamatinya. Alih-alih menunggu penjelasan Ferus, anak-anak itu berbisik satu sama lain tentang: "ya, dia lagi."
Sekali lagi guru itu bertanya, alisnya terangkat tinggi. "Ferus Jones? Sudah mengerti materi?"
Kenapa harus ditanya? Kenapa guru itu harus peduli apakah dia mengerti materi atau tidak? Kenapa guru itu sepertinya tahu Ferus tidak mengerti sama sekali serentetan kata-kata yang dia ucapkan bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki ke dalam kelas? Dan, kenapa semua orang harus menatap Ferus? Apakah dia sebegitu menarik di mata mereka?
"Ferus Jones ...," sang guru wanita memanggilnya sekali lagi, dia melangkah mendekat pada Ferus. "Jawab apakah kau mengerti materi atau tidak?"
Satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh, tiga puluh dua murid bersamaan menarik sudut mulutnya menjadi sebuah tawa kebahagiaan untuk diri mereka masing-masing. Berbeda dengan Ferus, sekumpulan jari-jari besi tajam memaksanya tetap bisu dalam ketakutan. Selagi itu sang guru tetap mendekat padanya, tetapi kali ini dia memiliki senyum yang sama seperti para murid yang menertawainya seakan Ferus adalah badut di atas panggung komedi yang ingin dihancurkan hidupnya. Pertanyaan wanita itu masih sama: "Ferus Jones, apakah kamu mengerti materinya?"
Tawa anak-anak itu bukan hanya menguasai kelas, kini berada persis di dalam setiap sel otaknya. Dia pikir itu adalah bagian terburuk, sampai anak-anak itu berlekuk-lekuk seperti cairan yang menghitam, tetapi sepasang mata dan mulut manusia mereka masih berada di sana. Tubuh mereka yang merupakan cairan hitam itu mengalir ke lantai, masing-masing bertemu satu sama lain, akan segera menciptakan kolam kegelapan yang menenggelamkan Ferus. Sementara sang guru ... tidak ada yang lebih baik daripada wajahnya yang berubah retak, matanya merupakan kelereng hitam utuh, dan cara gerak tubuhnya sangat bebas seolah patah tulang tidak menyakitinya.
"Apakah kamu mengerti materinya?"
Ferus yakin sudah saatnya dia tidak berdiam. Sekuat tenaga dia mendorong mejanya, membebaskan diri dari tempat mengerikan ini. Kakinya menimbulkan suara kecipuk setiap melangkah, berharap genangan hitam tersebut tidak tiba-tiba menyeretnya. Dia tidak melihat ke mana pun selain pada pintu kelas. Tidak ada yang boleh menghentikannya.
Siapa sangka bahwa rupanya di luar kelas hanyalah ruang kosong hitam tak memiliki ujung? Sayangnya Ferus sudah terlanjur menerobos, berakhir menjerit sekeras yang dia bisa untuk menandai bahwa itu adalah jeritan terakhirnya sebelum maut menjemput. Sensasi maut terseret gravitasi itu mampu menjungkirbalikkan organ tubuhnya. Sedikit pun dia tidak menyadari perubahan suaranya ketika berteriak; dari suara pecah anak kecil menjadi suara laki-laki dewasa. Yang menyadarkannya adalah ketika rupanya kegelapan ini memiliki ujung. Ya, tubuhnya terbanting menyakitkan di atas permukaan licin.
Apakah Ferus telah mati? Dengar seperti apa bunyi debum menyakitkan barusan? Tak ada sedikit pun suara dari mulut, atau gerakan yang dia lakukan.
Kecuali satu menit kemudian.
"Ugh ...." Ferus berusaha bangkit walau dia tidak bisa melihat apa pun, apalagi beribu hantaman palu menyiksa tubuhnya yang terempas. Memejamkan dan membuka mata terasa sama saja. Deru napasnya memenuhi lubang telinga, begitu pun detak jantungnya yang sangat keras.
Tak lama dia mendengar keriut pintu terbuka di hadapannya, bersama secercah cahaya yang melebar seiring pintu tersebut terbuka.
Pintu rumahnya. Dan seorang nenek berdiri di sana.
Cukup dengan segala keanehan, satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah apakah itu benar-benar rumahnya? Apakah Abuela yang tengah tersenyum padanya menandai akhir penderitaannya?
Dengan sekujur tubuh kesakitan, Ferus tetap memaksakan diri untuk bangkit, tertatih-tatih berjalan cepat menuju pintu rumahnya, sumber cahaya satu-satunya. Abuela masih tersenyum menunggunya mendekat hingga anak laki-laki itu berhasil memeluknya. Oh, betapa dia merindukan neneknya. Betapa dia merindukan kehangatannya. Betapa dia menyesal telah memilih sebuah pilihan yang jelas dia tahu konsekuensinya.
"Abuela, aku ingin pulang," ucapnya dengan suara bergetar. Tolong, tidak lagi menangis. Air matanya sudah habis. Jika air mata sudah habis dia akan menghabiskan darahnya. Tetapi dia tidak tahan karena akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang bisa dia percaya, seseorang yang bakal melindunginya di tengah seluruh teror ini.
"Pulanglah, Mijo."
Tetapi, itu bukan suara Abuela.
"Abuela menanti di rumah."
Abuela tidak memiliki suara sedalam dan semengerikan itu. Bulu-bulu halus berdiri di setiap permukaan kulit Ferus, dan dia tak peduli apakah neneknya bakal bertahan ketika dia mendorongnya menggunakan seluruh tenaga. Tentu saja, wanita tua itu seketika berubah menjadi sosok makhluk menjijikkan. Ukuran tubuhnya membesar hingga nyaris menyentuh langit-langit rumah. Seluruh pakaiannya robek tak meninggalkan sedikit pun kain. Warna kulitnya berubah pucat seperti mayat busuk dengan urat-urat hijau menonjol di balik kulitnya. Bagian dari dada hingga perut ditumbuhi bergumpal-gumpal daging serupa tumor merah yang berdenyut-denyut dan berlendir. Matanya besar seperti ikan, mulutnya bulat dipenuhi taring dan lendir memualkan. Tubuhnya bungkuk seakan berusaha mendahului kakinya yang pincang. Tangannya tidak dapat bergerak bebas, hampir mirip dengan seekor tiranosaurus.
Napasnya tercekik seperti orang bengek, dia berusaha bicara, "M-Mi—Mijo. Anak n-nakal ...."
Wujud yang tak bisa diterima oleh otak Ferus membuat anak itu membeku, kecuali ketika kaki pincang monster itu menekuk, bersiaga untuk melompat. Barulah pada waktu yang tepat Ferus berbalik untuk berlari, kembali memasuki kegelapan yang disinari cahaya dari dalam rumah jadi-jadiannya. Dia pikir Silent Hill hanyalah khayalan luar biasa di kepala penciptanya yang terealisasikan ke dalam sebuah video game dan film, rupanya Ferus adalah salah satu manusia beruntung yang dapat mengalaminya secara nyata.
Dan dia sama sekali tidak bangga soal itu.
Kali ini, sepanjang jalan ia ditemani cahaya. Cahaya yang menurutnya lebih baik padam karena mereka terdiri dari wajah-wajah hantu menakutkan berwarna hijau pucat yang melayang-layang seperti kunang-kunang. Mereka terkikik menyaksikan Ferus dikejar oleh makhluk menjijikkan haus akan tubuh Ferus.
"Anak bodoh ...!" monster tersebut masih berusaha bicara, "Abuela kecewa ...!"
"Diam!" Dengan keras Ferus menutup telinganya sekalipun udara menusuk lubang telinganya, dia menggeleng putus asa. "Tolong diam!"
"Penakut .... Masa depanmu ... akan hancur."
Suhu tubuhnya memanas sekaligus berubah dingin. Butir-butir keringat memenuhi keningnya. Tersengal-sengal dia meraih oksigen di sekitarnya, tulang punggungnya terasa seperti disuntik oleh ribuan jarum suntik. Sementara itu bisikan jahat itu terus menjatuhkannya. Dia rasa, kengerian dan perasaan panik dikejar makhluk yang tidak bisa dia anggap sebagai hantu ataupun monster atau zombie sudah sangat cukup, dan sekarang dia diiringi pikiran-pikiran jahat yang tidak pernah membangkitkan semangat untuk bertahan hidup.
Seketika wajah Abuela memberantas seluruh perasaan sakitnya—berubah menjadi sebuah kebencian. Bagaimana wanita itu seringkali berkata bahwa Ferus adalah penakut yang tidak ingin berubah. Diam-diam, Ferus tahu, tidak ada sedikit pun hal yang bisa dibanggakan oleh Abuela dengan memiliki cucu problematik sepertinya. Abuela lelah memiliki tanggung jawab yang tidak pernah dia inginkan, yaitu merawat cucu yang seharusnya urusan putrinya yang telah meninggal, bukan urusannya yang sudah mendekati usia akhir manusia dan merasakan didahului anaknya yang belum mendapatkan kebahagiaan.
Ferus mulai berpikir apakah mengakhiri hidupnya akan mengurangi bebannya, juga beban Abuela. Dan Abuelo. Bahkan Nick.
Gerak kakinya tiba-tiba terasa berat hingga dia memutuskan untuk berhenti dan berbalik, menghadap pada monster yang juga berhenti mengejarnya karena mangsanya telah memenuhi kemauannya. Tidak ingin menyaksikan bagaimana akhir hidupnya yang tragis, Ferus memutuskan untuk memejamkan mata saja. Apa pun yang terjadi, tetap pejamkan mata. Dadanya naik turun berusaha mengatur napas yang terpacu karena berlari sekaligus rasa takut. Tidak, kali ini tidak ada rasa takut. Hanya rasa ingin cepat melintasi fase di mana nyawa dan raga akan terpisah.
"Tolong akhiri hidupku!" Ferus berteriak, seakan mengumumkan kata-kata terakhirnya. "Aku tidak ingin lagi hidup di dunia ini!"
Monster itu semakin rewel, dia mengangkat tangannya, siap menghancurkan tubuh Ferus sebelum melumatnya ke dalam pencernaan. Tetapi dia terpaksa menundanya karena cahaya menyilaukan menyerang dari belakang. Menimbulkan bercak merah di balik kelopak mata Ferus yang semakin merapat.
Apa yang terjadi? Raungan monster itu, raungan itu bukan raungan lapar yang terbayarkan, melainkan raungan penuh siksa. Ferus tidak sama sekali disentuh olehnya. Mengapa bisa begitu?
Ketika cahaya padam, Ferus dapat mendengar sesuatu mengasap di depannya. Apakah monster di hadapannya terbakar? Apakah itu Leah yang sekali lagi menyelamatkannya? Ataukah itu Lee? Atau apa? Apa lagi yang berada di hadapannya?
Perlahan, masih dengan napas tersengal-sengal, Ferus membuka matanya. Membelalak dengan cepat sesudahnya. Wujud di hadapannya adalah wujud yang masih belum bisa dia percaya. Mungkin ini hanya manipulasi lagi. Dia tidak ingin terjebak oleh titik lemah dalam dirinya.
"Mijo ...," wanita itu dengan lemah memanggilnya.
"Nick ...." Abuela di sana terdengar sedang menangis, suaranya pun bergetar hebat. "Ferus ...." Terdapat jeda sebelum wanita itu melanjutkan, "Ferus kecelakaan."
Apa yang disampaikan Abuela membuat Nick membelalakkan mata.
Bisa dibilang tenaga Nick sudah cukup untuk berjalan-jalan dengan kakinya, hanya saja dia masih membutuhkan cairan lebih banyak sehingga tiang yang menyangga infus masih harus dibawa ketika keluar. Yuka membantunya. Mereka datang tepat ketika melihat tandu dorong yang membawa tubuh Ferus yang dibanjiri darah dimasukkan ke dalam ruang operasi berpintu ganda. Tidak seorang pun berniat untuk menjelaskan terlebih dahulu.
Entah seperti apa perasaan Yuka saat itu, yang jelas wajahnya memucat dengan mata melebar. Tampaknya cewek itu tidak sadar mencengkeram kuat pergelangan tangan Nick, setelah dilepas pasti kulit Nick akan memerah. Namun Nick dapat memahami itu.
Begitulah yang diceritakan Abuela terhadap Ferus. Kenyataan itu masih tidak bisa diterima anak laki-laki itu. Dia menggeleng pelan. "Tidak mungkin ...."
Seolah menganggap Ferus sudah menerima kenyataan itu, Abuela tetap melanjutkan ceritanya, "Dan setelah operasi berjalan ...."
Sang dokter berhadapan dengan Nick, Yuka, dan kali ini ada Abuelo di sana. Tidak perlu menjelaskan apa pun, raut dokter yang mengilap oleh keringat itu dapat menjelaskan segalanya. Pria itu sekeras mungkin berusaha menyusun kata-kata yang tidak mengakibatkan keluarga Ferus panik. "Penanganannya sedikit terlambat, tubuh Ferus sempat sulit diangkut dari lokasi kecelakaan. Untung saja hanya sedikit terlambat."
"Jadi Ferus masih bisa diselamatkan?" Yuka yang paling pertama menyahut.
Dokter pun mengangguk. "Beberapa tulang rusuknya patah. Dan ada benturan di kepalanya. Tapi tenang saja, semuanya sudah teratasi ... kecuali satu."
Tidak ada yang bicara di antara ketiganya, saking tidak kuat mengendalikan emosi.
"Ferus Jones mengalami koma."
Cerita tersebut bukannya tidak mau Ferus terima, tetapi ... entahlah. Setelah semua yang dia alami, informasi baru sangat sulit dia serap. Terlalu banyak yang dia hadapi hingga tidak mau menerima hal menghebohkan lebih dari itu. Terutama dia ingat perkataan Leah bahwa dia berada di dalam dimensi wanita itu. Apakah maksudnya jiwanya lepas dari raga dan segera diperangkapkan ke dalam dimensi Leah? Lalu bagaimana dengan Abuela? Siapa dia, yang berada di hadapannya ini?
"Setelah itu," Abuela masih meneruskan cerita, "Nick dan Yuka menyadari ada yang salah dari fisikmu. Mereka bilang ini bukan koma biasa."
Masih di malam yang sama. Yuka yang paling pertama merasakannya ketika Ferus sudah boleh dikunjungi, tepat begitu dia dan Nick masuk ke dalam kamar. Perempuan itu mencolek lengan Nick, kemudian mendekat pada Ferus, menyentuhkan jari-jari mungilnya pada lengan Ferus yang untungnya terlihat baik-baik saja. Pahit di wajah gadis itu membuat Nick penasaran sekaligus resah.
Nick menelan air liur. "Ada apa?"
"Coba rasakan saja," katanya, "tapi kurasa ini bukan perasaanku saja."
Nick pun mematuhi perintahnya. Benar saja, sesuatu seperti sengatan biarpun tidak menyakitkan menyebabkannya menjauhkan tangan. Mencoba mengingat sensasi itu, dia yakin rasanya seperti bulu kuduk yang berdiri di tengkuk ketika memasuki rumah angker. Matanya dengan cepat melirik pada Yuka yang juga meliriknya.
Dengan gugup Nick berbicara, "Kita harus memeriksanya ke Alam Bayangan—kamu tahu tempat itu?"
"Alam Bayangan," Yuka mengulang. "Aku tahu tapi aku belum bisa masuk ke sana. Agak menyulitkan."
"Tidak apa. Biar aku saja." Nick menoleh, mencari tempat untuk duduk. "Tunggu sebentar." Dia menggeret tiang infusnya ke sofa, kemudian duduk di sana dan mulai memejamkan mata. Memang benar, jika kau bukan orang yang ahli, memasuki Alam Bayangan butuh konsentrasi tinggi. Mungkin untuk pertama kali kau harus bersemadi seperti para biksu di dekat air terjun, tetapi semuanya akan lebih mudah ketika sudah sering melakukannya. Mirip seperti membuka pintu di depanmu.
Alam Bayangan, tempat para roh berkeliaran, baik yang mati atau masih hidup. Dan tempat di mana Mata Merah menunjukkan warna asli matanya. Roh Nick lepas dari raganya yang ditandai oleh bola api biru yang melayang tepat setinggi dadanya dalam posisi sedang duduk. Dia selalu memastikan keberadaan bola itu sebelum melihat ke arah lain.
Ke arah di mana bola Ferus berada, dikuasai oleh asap hitam yang berpusar-pusar.
"Kau tidak boleh mengganggu."
Ucapan tersebut datang dari seorang wanita di sisi kiri. Nick menoleh. Menemukan seorang wanita yang dibicarakan Ferus. Wanita hamil yang mengganggunya. Ia tidak sama sekali terlihat seperti hantu kecuali faktanya dia berada di Alam Bayangan. Malah, dia tersenyum seakan menganggap Nick adalah anaknya sendiri.
"Jika ingin melawan, setidaknya pastikan dirimu tidak sedang dalam masa perawatan," katanya dengan lembut.
Itu sudah cukup menghentikan Nick dan memutuskan untuk menolong Ferus dengan cara lain.
Menggunakan cara lain? Ferus berbicara dalam benaknya.
Saya adalah suruhan untuk menggantikannya menjaga Anda. Lee Howard. Perkataan Lee seketika berputar di dalam benak Ferus. Dengan spontan dia bertanya pada Abuela di depannya, "Apakah itu kenapa Lee Howard ada di sini?"
"Ya." Wanita itu tampak resah dengan mengusap punggung tangan sambil memalingkan mata sebelum kembali pada Ferus. "Tapi rupanya itu adalah kesalahan."
"Kesalahan?" Ferus memundurkan kepalanya.
Abuela kembali menceritakan kejadian—sesuai yang diceritakan Nick. Anak itu, di kamar Ferus, bersama Yuka, menyaksikan semuanya. Hanya Lee Howard yang tidak melihatnya karena dia sedang tidur di sofa—tepatnya rohnya menyusul Ferus. Barang-barang di sekitar mereka berguncang hingga salah satu gelas berisi air minum jatuh dari nakas, airnya melebar dan mengikuti jalur ruas lantai. Sore ini lampu belum dinyalakan, dan terakhir kali menyala adalah ketika tiba-tiba tersengat listrik sebelum meledak berkeping-keping.
Kejadian paling menyeramkannya adalah Ferus tiba-tiba membuka mata. Bagian putihnya dipenuhi serabut berwarna merah darah. Mulutnya terbuka lebar dan berteriak kencang. Bukan, itu bukan jeritan khas cewek milik Ferus, tetapi jeritan seorang wanita. Dia dengan gesit setengah bangkit, kemudian menoleh kasar pada Nick dan Yuka yang berdiri di sisinya. "Keluarkan pria itu dari tubuh Ferus! Dia membahayakan! Aku butuh bantuan!"
Sebisa mungkin Nick tidak terguncang dengan ancaman itu sementara Yuka sudah gemetar di belakangnya. "Kau ancamannya, hantu bajingan!" Urat-urat di leher Nick sampai menonjol antara berusaha melepaskan ketakutannya sekaligus marah dengan roh jahat yang seenaknya berkata demikian. "Keluar kau dari tubuh Ferus!"
"Aku berjanji akan keluar setelah ini!" Mata Ferus semakin lebar. "Hanya saja tidak sekarang karena Lee Howard masih ada di dalam alam bawah sadar Ferus!"
"Dia ada karena memang untuk mengusirmu!" Nick membalas lebih meledak-ledak.
Hantu wanita itu—Leah—mengabaikan Nick. "Nenek itu! Rita Jones! Kalian harus meminta bantuannya!"
Entah apa yang terjadi, wanita yang merasuki Ferus kembali berteriak sengsara hingga tubuh Ferus melengkung ke atas. Tak habis pikir apa yang harus Nick lakukan, dia sudah siap melepas infus dari tangan kemudian melakukan sesuatu. Namun itu semua dibatalkan saat Ferus kembali mendarat pada kasur. Matanya sudah terpejam tenang. Segala guncangan yang terjadi di kamar barusan hanyalah mimpi—kecuali meninggalkan bekas kekacauan yang sama.
Yang tadi itu apa? Nick masih tak bisa berpikir jernih.
Rita Jones. Nick berdecak. Nick tahu sesuatu tentang ini. Akhirnya dia mengambil keputusan. "Yuka, kita akan memaksa rumah sakit membawa dua orang ini ke rumah." Anak laki-laki itu tidak menunggu, segera keluar dari kamar.
"N-Nick!" Yuka masih belum mengerti, tetapi dia lebih memilih mengikuti apa pun yang dipikirkan Nick.
Belum jauh dari kamar Ferus, Nick sudah menemukan seorang perawat. Dengan gusar dia mencengkeram pundak wanita itu hingga menjerit kalut. Mereka menjadi pusat perhatian orang-orang dengan instan, tapi tampaknya tidak ada yang berani menghadapi Nick ketika dia sedang kalap.
"Hei, dengar!" Nick mengguncang tubuh perawat itu. "Aku butuh kau menyuruh petugas memulangkan dua pasien koma ke rumahku!" Ucapan itu segera menyerbu mulutnya karena dia tidak bisa menjelaskan kondisi Lee yang sebenarnya.
"A-apa? Pasien koma tidak boleh dibawa pulang!" Perawat itu bicara dalam gemetar.
"Lakukan saja!" Tiba-tiba warna mata Nick berubah menjadi merah. "Patuhi perintahku. Kau tahu agen KMM kedudukannya sama dengan agen rahasia, 'kan?"
Penjelasan dari Abuela semakin membuat Ferus frustrasi. Apa yang dimaksud oleh Leah dengan meminta bantuan Abuela? "Kenapa harus meminta bantuanmu, Abuela?"
Kali ini Abuela tidak ingin berucap banyak. Sepertinya dari sekian tahun lamanya, Ferus baru melihat Abuela sampai segelisah itu, tidak berani menatap mata cucunya yang terus menjejalkannya pertanyaan. Padahal Abuela adalah anggota keluarga paling berkuasa di rumah Jones.
Tiba-tiba saja Ferus ingat dengan monster yang barusan mengejarnya. Kemudian cahaya. Ketika dia membuka mata, Abuela berada di depannya. Apakah jangan-jangan ....
Kedua kalinya Ferus melangkah mundur, merasa tidak percaya. "Tidak ... kau bukan Mata Merah, 'kan, Abuela?"
Abuela menggeser kakinya. "Bukan, Sayang," suaranya terdengar getir. "Sama sepertimu, aku Sang Dikaruniai."
Kenyataan itu menghantam telak hingga kesadaran Ferus entah melambung ke mana. Selama ini dia kira neneknya adalah manusia biasa yang tidak mengerti situasinya sebagai Sang Dikaruniai. Sebagai manusia tidak beruntung yang dituduh psikopat sejak berumur sembilan tahun kemudian dijadikan mainan oleh para hantu. Bagaimana Abuela bisa mengerti itu semua?
Nyatanya dia mengerti semua. Fakta bahwa dia memerintahnya untuk hadapi saja tanpa memberitahu cara mengatasi membuatnya muak.
Ferus sangat benci padanya.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya badannya yang menjawab. Kakinya memutar, dia berlari lebih dalam menuju kegelapan. Tindakan tersebut mengagetkan Abuela hingga dia berteriak penuh sesal, "Ferus!"
Sayang sekali, anak itu tidak akan pernah berbalik.
Benci. Benci. Sangat benci. Dengan seenaknya wanita itu menyuruhnya ini menyuruhnya itu, tapi tidak pernah mengajarkannya sedikit pun cara menjadi Sang Dikaruniai yang dapat berbaur dengan manusia biasa. Bahkan apa tadi? Sepertinya Abuela memiliki kekuatan yang dapat membunuh monster yang barusan mengejarnya dengan satu kali serang saja.
"Ferus!" Abuela masih berupaya mengejarnya.
"Aku benar-benar benci padamu, Abuela!" Ferus berbalik. Kali ini tidak ada air mata di wajahnya. Hanya kebencian menyeluruh yang meliputi kesadarannya. Masa bodoh dia wanita yang lebih tua, bahkan orang yang merawatnya, Ferus tetap menunjuk-nunjuknya seperti makhluk paling hina. "Biar kuberitahu, kau adalah pemeran pengganti ibu terburuk yang pernah ada di dunia! Tidak usah berharap cucumu kembali hidup! Itu yang kauinginkan, bukan?!"
"Ferus!" Abuela berteriak, hampir-hampir menangis. "Jangan berkata seperti itu! Maaf, Abuela memang selalu kasar denganmu, tapi tolong ... tolong jangan seperti itu!"
"Baru sekarang kau memohon maaf dariku, Abuela?!" Ferus semakin menggertak dan itu tidak main-main membakar tenggorokannya. "Selama delapan belas tahun ini apa saja yang sudah kaulakukan?! Sebutkan itu semua satu per satu!"
Tidak tahan. Tidak tahan Abuela diperlakukan seperti ini oleh cucu yang sangat dia sayang, tapi mengingat segala tindakannya pun dia tidak bisa melawan. Semua memang salahnya. Lututnya yang rapuh perlahan melemah. Air mata membasahi pipinya yang cekung dan kendur. "Maaf ..., Sayang. Maafkan Abuela."
Abuela sudah sangat lemas hingga berlutut, sekujur tubuhnya gemetar. Pemandangan itu sangat menyakitkan bagi Ferus, tetapi bagaimana lagi? Dibandingkan dengan rasa sakit selalu disalahkan oleh Abuela, selalu dipojokkan, selalu menjadi objek menderita, Ferus rasa mau sampai Abuela berlutut ataupun salto, ini sudah terlambat. Ferus ingin memaafkannya, tapi tidak bisa.
Terdengar langkah sepatu dari arah lain. Perlahan, orang tersebut terlihat dari sinar hijau yang dihasilkan para hantu kunang-kunang. Dia berada di belakang Abuela, menyentuhkan tangan pada pundak sang nenek yang bergetar. "Kembalilah pada nenekmu, Ferus."
Suara itu. Tidak perlu ditanya lagi siapa, dan Ferus tidak sama sekali terkejut dengan kehadiran Lee Howard. "Semua orang menunggu kepulanganmu."
Suara seseorang lainnya pun muncul. "Setidaknya, tidak pulang bersamamu, Mr. Howard." Dan lagi-lagi Ferus tidak perlu bertanya-tanya siapakah orang itu. "Jangan bertingkah seolah kamu tidak bermaksud menjadikannya korban pesugihan," kata Leah.
"Korban pesugihan?" Abuela menyahut, menoleh pada Lee yang mendelik dingin pada Leah. "Apa itu yang dimaksud Nick soal kamu akan mencelakai cucuku?"
Lee baru saja membuka mulut untuk menarik napas, tapi Leah sudah lebih cepat darinya, bahkan suaranya sangat lantang di tengah kegelapan yang tak ada habisnya. "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, bola merah itu, Lee. Kau akan memasukkan itu ke dalam tubuh Ferus, 'kan?"
"Apa kau berpikir kau tidak pernah melakukannya?" dengus Lee, menunjuk pada Leah. "Berapa banyak korban yang kauhabisi untuk—"
"Memangnya kaupikir aku sudi melakukannya?!" bentak Leah, asap hitam tipis menyembul dari mulutnya. "Semua ini pun gara-gara kau!"
"Tepatnya adalah semua ini gara-gara kau menginginkan uang."
"Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bukan yang lain," Leah mengatakannya nyaris seperti berbisik. "Tidak usah mengelak apa pun lagi. Keluar kau dari alam bawah sadar Ferus!"
"Bicara seperti itu ketika yang kaulakukan sekarang adalah memangsa Ferus, merancangnya untuk menjadi anakmu sendiri," Lee mengucapkannya sambil terkekeh miris. "Hantu, kalau sudah mati, mati saja. Tidak usah membawa orang lain."
Hal yang bisa Ferus lakukan hanya mengamati mereka ketika siapa bicara tentang apa. Kedengarannya ini sangat membahayakan nyawanya, tapi entah kenapa dia tidak terlalu peduli. Ikut dengan Lee tidak masalah, ikut dengan Leah tidak masalah, tetapi ikut dengan Abuela tidak mau. Dan, sejujurnya, dia tidak ingin mengikuti siapa-siapa—hanya karena dua orang pilihannya tampak menginginkannya mati. Jika ada cara lain seperti mati secara mandiri, Ferus lebih memilih itu.
Pusing mendengar mereka bertengkar, Ferus memutuskan untuk melarikan diri.
"Ferus!" ketiganya berteriak.
Namun yang beranjak hanya Leah dan Lee. Satu per satu Abuela mencermati kedua pengejar. Dengan sigap kedua tangannya mengentak permukaan. Di bawah telapak tangannya merambat dua garis lebar bercahaya putih, mengejar posisi Leah dan Lee sehingga mereka tidak bisa bergerak seperti patung.
"Kalian pikir kalian boleh mengejarnya?" ancam Abuela, melirik satu per satu keduanya dengan mata katarak yang ganas. Susah payah dia berdiri karena kakinya yang sudah tua renta. "Satu-satunya yang boleh menyentuhnya hanya aku, neneknya."
"Mrs. Jones!" Lee berusaha melepaskan dirinya dari sesuatu yang mengendalikannya seolah ada tali boneka kayu tetapi gaib. "Saya tahu saya berniat membahayakan cucu Anda, tapi untuk saat ini kita sama-sama harus melawan hantu sialan ini!"
"Tidak! Justru sebaliknya!" elak Leah. "Kita sama-sama menyayangi Ferus dan Lee berniat menjadikannya persembahan untuk sebuah pesugihan! Lebih baik kita bekerja sama untuk mengusirnya dari sini!"
"Aku tidak akan bekerja sama dengan siapa pun!" Abuela membanting kedua tangannya yang terkepal. "Tutup mulut kalian dan pergi dari sini!"
Kekuatan yang dikerahkan Abuela semakin besar. Terdapat serabut hitam di bawah kulit kedua lawan menampak. Bercak hitam tersebut seakan dipaksa keluar oleh Abuela, yang jelas itu membuat mereka cukup tersiksa. Namun Lee tidak akan membiarkan penyiksaan ini terus berlanjut. Mata merahnya dengan nyalang melirik pada sumber cahaya yang berada di bawahnya. Kendali pikirnya sangat fokus hingga bunga-bunga es bermunculan di permukaan. Kecil, tidak membahayakan seperti salju, tapi dengan pasti ia bergerak mendekat ke arah Abuela.
Melihat itu membuat Abuela cukup resah. Dan kesempatan itu Leah gunakan untuk memancingnya sekali lagi. "Mrs. Jones! Kau harus melepaskan aku! Pusatkan kekuatanmu untuk mengancam Lee!"
"Diam!" Abuela menyeru pada Leah, tetapi segera mengamati bunga-bunga es itu lagi.
"Percaya padaku!" Leah berteriak. "Aku sudah berjanji akan menghentikan ini semua. Aku akan membujuk Ferus untuk keluar dari sini!" Dia sudah sangat frustrasi, berharap setidaknya ada sekelumit saja kepercayaan yang Abuela tanamkan padanya. "Kau tahu, aku sudah menyayangi Ferus lebih dari diriku sendiri. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku!"
"Ya, dan aku tahu persis kau akan membawanya ke Alam Bayangan bersamamu!" bantah Abuela lagi.
"Tidak ...," kali ini Leah mengatakannya lebih lesu. "Tolong, aku hanya ingin dia bahagia. Dan aku tahu, kebahagiaan sebenarnya adalah dengan bersamamu, Mrs. Jones. Dia menginginkan kasih sayang darimu."
Sejurus es tajam tertembak dari permukaan, posisinya nyaris dekat dengan Abuela. Sialan, pikir wanita itu. Dia memang harus lebih fokus pada Lee. Tidak ada jalan lain. Pada akhirnya dia memundurkan kembali cahaya yang dia gunakan untuk memerangkap Leah. Sejurus es yang ditembakkan oleh Lee pun menyusut dan pria itu mengerang semakin kuat.
"Berjanji padaku kau tidak akan merebutnya!" Abuela mengingatkan pada Leah.
"Aku berjanji, Mrs. Jones. Terima kasih." Wanita itu pun bergegas mengejar ke mana arah Ferus berlari barusan.
"Dan kau." Abuela menoleh pada Lee, berjalan dengan pasti ke arahnya. "Enyah dari tempat ini sebelum aku menyiksamu lebih parah!"
Misi ini sudah gagal, pikir Lee. Apalagi dia mendengar barusan bahwa si Nick sialan sudah tahu mengenai akal bulusnya. Entah dari mana. Melawan pun percuma, wanita ini bukannya lebih superior, melainkan pusat kekuatannya berasal dari Lee sendiri: yang memiliki banyak dosa. Sang Dikaruniai memiliki anugerah kekuatan suci, Lee tahu persis. Seakan mereka memang terlahir untuk menjadi guru agama. Wanita tua ini bermain-main dengan dosa Lee yang sudah melekat dengan tubuhnya menggunakan kekuatan suci tersebut. Ibarat dia bermain-main dengan iblis.
Lee memejamkan mata kuat-kuat. Perlahan rasa sakit itu menghilang, tergantikan menjadi sensasi serupa meluncur di atas seluncuran air yang berliku-liku. Tiba-tiba saja dia menarik napas sebanyak mungkin seolah baru diberi ruang untuk bernapas setelah dibekap dengan bantal.
Seingatnya dia tidak seharusnya berada dalam ruang keluarga kediaman Jones.
Juga bukan dalam keadaan diikat tali tambang pada sebuah kursi makan. Di hadapannya, Nicholas Lincoln dan Yukari Regas duduk di atas kursi yang sama seperti yang dia duduki. Terutama Nick kelihatan sangat menanti-nanti kesadarannya. Anak itu meletakkan kedua siku di atas lutut, tangannya berpaut menyembunyikan mulutnya.
"Selamat datang kembali, bedebah," ujarnya bersama senyum kemenangan.
Sementara Ferus, sejauh apa pun anak itu berlari, ujung-ujungnya dia bertemu lagi dengan Leah. Pikirnya, sia-sia saja. Kakinya berhenti bergerak. Pilihan tersebut terasa keliru, tapi entah kenapa sisi dirinya yang lain berkata ini adalah pilihan terbaik.
Leah, masih dengan wujud mengerikan itu, menatap nelangsa pada Ferus. "Ferus, aku tahu apa yang benar-benar kauinginkan."
"Tidak usah sok tahu," Ferus mengatakan di antara giginya yang rapat.
Tetap tidak menghiraukan, Leah berbicara seperti seorang bidadari. "Kau menginginkan semua ini berakhir, 'kan?"
Ya. Atau tidak. Entahlah, Ferus tidak tahu.
Leah mendekat hingga berada persis di depan anak laki-laki itu, mengusap rambut ikal Ferus yang berada di depan ke belakang telinga. "Sudah tahu ini bukan dimensi ciptaanku, 'kan?"
Ferus hanya diam, memandang pada sepatunya sendiri.
"Ini adalah alam bawah sadarmu. Semua hal yang berada di sini adalah semua yang pernah kautangkap secara pancaindra. Tetapi bersatu dengan milikku karena aku merasukimu."
Tampaknya Ferus hanya setengah mendengarkan.
"Nak," Leah masih dengan sabar menjelaskan, "cara agar terbangun dari alam bawah sadarmu sendiri sangat mudah. Cukup bilang saja pada kepalamu bahwa kauingin sadar. Dan ... begitu pun sebaliknya. Jika tidak ingin sadar selamanya, katakan saja kamu tidak ingin sadar selamanya."
Ferus masih diam, bahkan menepis tangan Leah dengan pelan.
"Walau sebenarnya, kaubutuh naik ke satu lapisan lagi," kata Leah. "Enam lapisan sudah kaulalui, Sayang. Satu, ketika kau bertemu denganku. Kedua, setelah kau tidur di apartemenku. Ketiga, setelah kau tidur kedua kalinya di apartemenku. Keempat, setelah kau tidur di kereta. Kelima, setelah aku memerangkapmu di dalam asap. Keenam, tempat ini. Setelah aku memerangkapmu lagi di tengah pertunjukan memoriku."
Leah pun membungkuk untuk mengintip ekspresi Ferus yang tidak berubah, masih nanar seperti sebelumnya. Dan Leah tetap saja tersenyum selayaknya seorang wanita yang telah menjadi ibu. "Pejamkan matamu, Ferus. Pilih mana yang kauinginkan."
Sebetulnya Ferus masih belum mau memilih. Tidak seharusnya dia memejamkan mata sekarang, memusatkan konsentrasinya. Memusatkan keinginan terbesar yang sebetulnya dia butuhkan. Apa yang dia butuhkan lagi pula?
Leah tetap menunggu dengan sabar, berharap apa pun yang Ferus pilih adalah yang membuatnya bahagia.
"Aku ingin bahagia," Ferus bergumam dengan pahit.
Ferus merasakan dirinya mengambang ... entah itu secara harfiah atau secara pikirannya saja. Pokoknya, dia yakin, apa yang sudah dia pilih sudah terlaksana. Tinggal kapan waktunya membuka mata.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000