KAY P.O.V
Aku melihat beberapa anak berdiri di depan gerbang sekolah saat sedang menunggu jemputanku. Mereka seperti sedang mencari seseorang. 2 perempuan dan 1 laki- laki, sepertinya mereka bukan murid sekolah ini. Tapi semakin dilihat, mereka jadi semakin familiar. Apa aku kenal mereka?
Mereka masuk dan melihat sekeliling. Salah satu anak perempuan itu melihatku, dia langsung diam membeku. Dia menggoyang tangan teman- teman di sampingnya, matanya tidak meninggalkanku dan mulutnya juga tidak tertutup. Saat teman- temannya melihat arah matanya, mereka juga langsung diam membeku. Aku langsung menatap mereka tajam tapi mereka malah tersenyum? Lalu tiba- tiba mereka lari ke arahku, tapi tidak langsung menghampiriku. Mereka menjaga jarak, memperhatikanku. Mata mereka berkaca- kaca, kecuali untuk salah satu anak perempuan itu, dia sudah menangis tapi tersenyum.
"Kay..." kata perempuan yang menangis, "Kau Kay... kau masih hidup... Kay..."
Mereka kenal aku? Bagaimana... Tunggu... aku kenal mereka siapa.
"Sa... sasha?" Tanyaku dengan suara kecil karena masih tidak percaya, "Peach?" Tanyaku melihat ke perempuan di sampingnya. Orang yang pertama melihatku. Lalu aku melihat laki- laki sebelahnya, "Kos?"
"Kay..." kata mereka pelan dan langsung menghampiriku.
Mereka memelukku dan aku langsung memeluk mereka kembali. Aku benar- benar tidak percaya ini. Sahabat- sahabatku, sahabat yang berusaha aku lupakan ada di sini sekarang. Mereka tidak melupakanku setelah apa yang kulakukan pada mereka? Mereka bahkan senang melihatku, mereka tidak marah. Apa yang mereka lakukan di sini? Mencariku? Masih sepenting itukah aku untuk mereka?
Saat melihat ke gerbang, aku melihat mobil Tuan Drew sudah datang. Aku langsung menyuruh mereka untuk naik ke mobil dan ikut aku ke rumah tante dan paman.
"Bagaimana?" Tanyaku, "Bagaimana kalian menemukanku?"
"Peter," jawab Peach, "Saat dia memberi tahu kami. Kami harus datang secepatnya."
"Anak itu..." kataku menggeleng sambil tersenyum, "Dia benar- benar tidak tahu kapan harus berhenti ya?"
"Kau kenal dia Kay..." jawab Kos. "Jadi apa yang terjadi padamu?"
"Di mana harus aku mulai?"
"Mungkin dari bagian kau berhenti mengabari kami?" Jawab Peach dengan frontal.
"Aku melihatnya," jawabku.
"Melihat apa?"
"Aku melihat mereka terbakar tepat di depan mataku," jawabku.
"Apa?" Tanya mereka kaget.
"Okeh maaf," kataku, "Itu terlalu berlebihan. Maksudku. Aku melihat rumah itu terbakar tepat di depan mataku dan aku tidak bisa melakukan apa- apa."
"Bagaimana kau bisa selamat?" Tanya Sasha.
Aku menggeleng, "Aku sendiri tidak tahu. Yang aku ingat adalah papa membangunkanku, memberiku koper dan menarikku keluar. Saat di luar aku melihat banyak orang berusaha memadamkan api, lalu papa me... dan..."
Aku langsung berhenti. Aku tidak sanggup untuk mengingat kembali kejadian itu. Aku belum siap. Air mataku mengalir, Peach langsung memelukku dan menepuk punggungku.
"Shh..." katanya mencoba menenangkanku, "Tidak apa... kalau kau belum siap. Saat kau sudah siap baru kau ceritakan pada kami okeh? Tenang saja... shh... shh..."
Aku mengangguk dan melepaskan diri dari pelukannya, "Kalian semua tidak marah?"
"Untuk?" Tanya mereka.
"Aku meninggalkan kalian," jawabku, "Tidak memberi kalian kabar. Bahkan berusaha untuk melupakan kalian. Kenapa kalian masih baik padaku?"
Mereka menggeleng dan tersenyum padaku.
"Karena kami mengerti," kata Sasha, "Kau mengalami hal yang sangat berat. Pasti kau merasa tertekan."
"Memang kami marah," tambah Kos, "Tapi kami mencoba untuk melihatnya dari sudut pandangmu."
"Kita sudah sampai," kata tuan Drew.
"Terima kasih," kata kita semua dan turun dari mobil.
Saat aku masuk ke dalam rumah, tante sudah menyambutku dan ketika dia melihat teman- temanku. Dia langsung terkejut.
"Kalian," sapa tante, "Kalian terlihat sangat familiar. Tunggu- tunggu jangan beritahu tante. Sasha?" katanya menunjuk Sasha, Peach dan Kos secara bergiliran, "Peach dan Kos?"
Mereka mengangguk, "Tante apa kabar?" Sapa mereka. Lalu tante memeluk mereka satu persatu.
"Okeh kalau begitu kalian naik saja ke kamar Kay dan nanti akan tante antar cemilan. Off you go."
Kami mengikuti kata tante dan naik ke kamarku. Beberapa menit kemudian tante benar- benar naik dan membawakan beberapa cemilan. Saat tante pergi kita mulai mengobrol.
"Jadi Kay beritahu kami," kata Kos dengan biskuit di salah satu tangannya, "Kami dengar dari Peter kalau kau berubah dan kau tidak mau berbicara sama sekali. Apa itu benar?"
Aku mengangkat bahu dan memakan biskuit di depanku. "Apa saja yang dia bilang astagahhh."
"Sudah kubilang," kata Peach, "Kau tidak kenal Peter ya?"
Aku tersenyum kecil.
"Tapi separah- parahnya dia dengan mulutnya. Dia selalu berkata jujur," kata Peach.
Aku mengangguk, "Iya... itu benar. Sebenarnya... selama 2 tahun ini aku tidak bicara," jelasku dan mereka bertanya kenapa, "Aku pun tidak tahu. Hanya tidak punya niatan untuk bicara. Aku sudah muak bicara karena selalu berbicara pada psikiater."
"Kau ke psikiater?"
"Iya," jawabku, "Kalau mendengar itu saja kalian kaget. Kalian akan lebih kaget tahu alasan kenapa aku ke sana."
"Dan itu adalah?"
"Aku mencoba membunuh diri," jawabku.
"Kau apa!?" Tanya mereka semua terkejut.
"Ba... bagaimana?" Tanya Sasha, "Bagaimana kau bisa bilang itu dengan sangat santai?!"
Aku hanya mengangkat bahu, "Karena temanku tersayang. Jika kau sudah mengalaminya dan tekadmu sudah bulat. Itu tidak semengerikan yang kau kira."
"Kenapa?" Tanya Kos suaranya lemas, "Kenapa kau sampai melakukan hal seperti itu?"
"Sama seperti yang kukatakan pada Peter," jawabku, "Menurutku satu- satunya cara untuk menghentikkan semua penderitaanku itu dengan menghentikkan hidupku sendiri."
"Kay..." kata Peach lembut. Dia dan Kos terlihat tidak percaya tapi mereka sepertinya masih bisa menahan diri tapi Sasha. Dia sepertinya ingin meledak.
"Sasha?" Panggilku dan dia langsung berdiri dan bergumam dengan keras.
"Bagaimana kau bisa?" katanya sambil mondar- mandir, "Bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Kay yang aku kenal tidak akan berpikir seperti itu. Bahkan pikiran seperti itu tidak mungkin terlintas di kepalanya. Siapa kau?" Tanyanya langsung berhenti dan melihatku, "Apa benar kau sudah berubah?"
Aku tersenyum dan menghampirinya, menaruh satu tangan di pundaknya. Dia langsung menangis, dan aku menariknya ke pelukanku. Aku mengelus punggung untuk membuatnya tenang.
"Sasha... memang iya aku sudah berubah. Kejadian itu merubahku tapi tenang saja. Semuanya baik- baik saja nyatanya aku masih di sini kan?"
"Bagaimana jika kau punya pikiran seperti itu lagi."
"Kita tidak akan pernah tahu kan?"
"Kau tidak membantu," katanya lalu menangis lebih kencang. Aku terkekeh mendengarnya. "Bagaimana kau bisa tertawa di saat seperti ini?"
"Maaf," kataku, "Maaf... Maaf sudah membuat kalian khawatir."
Sasha menghapus air matanya dan melihatku. Aku berusaha memberinya senyuman.
"Berjanjilah padaku," katanya, "Kau tidak akan punya pikiran seperti lagi."
"Tidak bisa berjanji," jawabku jujur, "Tapi jika terlintas. Kau akan jadi yang pertama untuk tahu."
"Kay..." katanya. Matanya masih berkaca- kaca.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita membuat janji yang lain?" Tanya Kos menghampiri kami berdua. Dia membalikkanku ke arahnya dan memegang kedua bahuku. "Berjanjilah pada kami kalau kau akan berbicara lagi. Tersenyum lagi. Tidak melihat orang seperti kau ingin membunuh mereka. Intinya kau akan menjadi Kay yang dulu lagi."
Aku menyeringai, "Apa Peter memberi tahumu apa yang ku beri tahu dia saat dia menyuruhku seperti itu? Saat dia bilang apa yang akan keluargaku bilang dari atas sana."
Kos mengangguk, "Dan dia benar Kay. Diantara mereka semua, memang kita yang mengenal dirimu yang asli."
"Itu tidak merubah apa- apa."
"Ahh," katanya menggoyangkan jari telunjuknya di depanku, "Di situlah kau salah. Apa yang kami katakan akan merubah segalanya. Kenapa? Karena kami sahabatmu dan kami kenal denganmu. Kami tahu kau tidak pernah mendengar kata orang yang asing, tapi kami itu sahabatmu."
"Tanteku pamanku? Mereka bukan orang asing?" Tanyaku bingung.
"Kau itu perempuan paling keras kepala yang aku kenal," katanya dan aku menyeringai padanya, "Okeh. Terserah kau saja. Tapi aku tahu kalau kau akan berubah."
"Bagaimana?" Tanyaku meledeknya.
Dia mengangkat bahu, "Aku hanya tahu."
Malamnya mereka harus kembali, karena besok masih hari sekolah. Mereka bilang kalau mereka bolos hari ini hanya untuk mengunjungiku. Kami mengobrol banyak, tentang masa- masa kita sekolah. Tentang kehidupan mereka sekarang. Pacar- pacar mereka dan teman baru mereka. Aku juga membicarakan tentang Pan dan yang lain. Jika waktu bisa dihentikkan pasti akan aku lakukan karena masih banyak yang belum kita bicarakan. Sepertinya ini pertama kalinya aku bahagia setelah sekian lama.