KAY P.O.V
Aku pulang ke rumah dan langsung disambut dengan anjing- anjing kesayanganku. Aku mengangkat mengangkat Zapp dan langsung berjalan ke kamarku. Mereka semua mengikuti tentunya.
"Kau sudah pulang nak?" Tanya seseorang. Aku menengok dan melihat paman Jack sedang duduk di sofa ruang tamu. Aku mengangguk dan berjalan lagi ke tangga.
"Sudah kubilang kan Jack," kata tanteku tapi aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan selanjutnya. "Dia membaik. Sudah kubilang kalau sekolah bisa merubahnya."
Paman Jack mengangguk, "Semoga saja dia akan kembali."
Aku masuk ke kamarku dan menaruh Zapp di tempat tidurku. Aku mengganti bajuku dan duduk di ranjang. Aku bermain dengan keluarga Pan dan Rein sebentar. Lalu aku merasa kalau mataku semakin berat dan akhirnya tertidur.
~~~
Ketukan pintu di pintu kamarku membangunkanku, "Kay," suara tante terdengar dari depan pintu. Lalu dia masuk ke kamarku, "Makan malam sudah siap sayang. Ayok turun."
Aku jarang sekali makan di bawah. Biasanya jika aku dipanggil aku hanya akan diam di kamar. Tapi sesekali aku akan turun. Aku ingin menanyakan sesuatu jadi aku harus turun. Aku mengangguk ke tante dan dia tersenyum lalu keluar.
"Ayok kita turun," kataku pada anjing- anjingku.
Saat sampai bawah, hal yang pertama kulakukan itu memberi anjing- anjing makan. Baru setelah itu aku ke meja makan. Tante dan paman sudah menungguku jadi aku langsung duduk. Di pertengahan makan malam aku membuka mulut.
"Jadi," kataku mulai membuka topik, "Tentang kecelakaanku. Aku masih butuh penjelasan."
Mereka melihatku sepertinya terkejut dengan pertanyaanku. Paman menghela nafas, "Apa yang ingin kau tahu?"
"Detail," jawabku, "Semua detail yang bisa kau beritahu."
Paman menghela nafas lagi, "Jadi waktu itu kau sedang dalam perjalan ke bandara seperti yang kami bilang kemarin. Saksi mata bilang kalau mobil melaju kencang dan menabrak mobilmu. Orang yang menabrak mengaku kalau dia terburu- buru. Mobil menabrak sisi samping tepat di mana kau duduk. Jadi kau terkena benturan parah di kepalamu."
"Supirku?" tanyaku karena aku khawatir. Aku memang selalu begitu. Banyak yang bilang kalau aku lebih peduli dengan orang lain daripada diriku sendiri. "Bagaimana dengan dia?"
"Sudah kami bilang kemarin," kata paman, "Dia hanya patah tulang. Tapi apa kau ingin tahu sesuatu. Saat dia tahu kau terluka parah dia langsung mengangkatmu dan membawamu ke rumah sakit. Lalu dia langsung menelpon orangtuamu dan kami. Dia bahkan baru tahu kalau dia patah tulang sesudah menelpon kami."
"Bagaimana kau bisa tahu itu semua?" tanyaku.
"Banyak yang bilang," jawab paman, "Saksi mata, polisi, bahkan dokter. Saat kami datang dokter bertanya dia siapa. Saat kami bilang kalau dia supir dia langsung terkejut karena dia seperti keluargamu. Soalnya dokter bingung, saat dia datang dia langsung berteriak ’tolong tolong selamatkan anak ini.’ dan saat kau sudah di tangan dokter dia meminta tolong dokter untuk menyelamatkanmu sampai mengeluarkan air mata. Lalu dia menelpon kami, setelah itu suster juga mengeceknya karena dia berdarah. Tapi saat suster mengecek lengannya dia merasa sakit dan ternyata lengannya patah. Saat ditanya apa dia merasa sakit saat menggendongmu. Dia bilang tidak dan saat ditanya kenapa dia menjawab. ’Aku tidak berpikir kalau diriku terluka, aku hanya takut dia kenapa- kenapa.’. Dan jika dia tidak membawa ke rumah sakit atau telat sedikit saja, mungkin kau tidak akan selamat karena kehilangan banyak darah."
"Kenapa?" tanyaku.
"Mungkin dia sudah menganggapmu sebagai anak sendiri." jawab paman.
"Siapa dia?" tanyaku.
"Tuan Drew," jawab paman, "Dia sekarang berumur 53 tahun dan kecelakaan itu terjadi saat kau umur 7 tahun. Kau sekarang 16 tahun jadi kecelakaan itu saat dia umur 44 tahun? Wow, mengangkatmu ke rumah sakit di umur setua itu. Memang rumah sakitnya tidak terlalu jauh tapi untuk umur dia pasti terasa lelahnya."
Aku tidak percaya ini orang yang sering menjemput dan mengantarku ternyata sangat berjasa di hidupku. Tapi parahnya, aku baru saja mengetahui hal ini. Dan dia tidak pernah memberitahuku tentang ini, bahkan dia baru saja menjemputku 2 hari yang lalu. Dia tidak bercerita apa- apa dan saat dia bicara padaku aku tidak menjawabnya. Aku bahkan tidak bicara apa- apa dengannya sejak tragedi keluargaku terjadi. Setelah dipikir- pikir dia selalu menjagaku dari dulu. Bahkan sejak orangtuaku meninggal, dia juga jadi sosok ayah untukku.
Aku diam sejenak. Aku menghela nafas, "Apa yang dokter bilang?"
"Tentang? Tentang kau?" tanya paman dan aku mengangguk. "Tanganmu terluka sedikit dalam dan butuh 3 jahitan," jawab paman, "Tapi yang paling parah adalah benturan di kepalamu sampai meenyebabkanmu amnesia."
"Itu yang ingin aku tanyakan, "potongku, "Kenapa aku tidak pernah merasa amnesia?"
"Saat itu kau masih kecil sayang," kata tante tiba- tiba. Dari tadi aku sadar kalau dia hanya diam dan tidak bicara apa- apa. Wajahnya muram.
"Tante kau tak apa?" tanyaku khawatir.
Dia menggenggam tanganku dan tersenyum kecil, "Aku tak apa. Hanya masih sedih jika mengingat kejadian itu."
Aku mengangguk, "Kenapa aku tidak ingat kejadian itu?"
"Seperti yang kami bilang," jawab tante, "Kau masih terlalu kecil. Jadi mungkin yang hilang itu memori- memorimu saat kecil. Manusia selalu lupa memori saat dia kecil."
Aku mengangguk. Tapi aku tidak mengingat apa- apa tentang masa kecilku. Apa itu normal?
"Bagaimana dengan sekolahku?" tanyaku, "Apa saja yang aku lupakan? Apa aku lupa dengan kalian? Keluargaku?"
"Kenapa kau tiba- tiba sangat ingin tahu?" tanya tante.
"Aku hanya perlu tahu," jawabku langsung, "Aku sudah lupa untuk terlalu lama. Iyakan? Bukannya sudah waktunya aku untuk tahu?"
Tante mengangguk, "Iya memang benar. Iya kau melupakan kami. Tapi kau tahukan kau itu gadis yang pintar, sudah mengalir di keluarga. Jadi hanya dalam waktu 3 bulan kau sudah seperti biasa. Ceria dan bahagia seperti biasanya. Kau juga baru masuk sekolah saat itu. Jadi kau tidak tertinggal pelajaran apa- apa dan juga kau tidak melupakan temanmu karena kau belum kenal mereka."
Tante salah. Aku sudah melupakan temanku. Dia juga teman pertamaku,
"Kau tahu Pan," kataku versi kecil, "Kemarin teman mama datang ke rumahku. Tante dan om itu bawa anak kecil. Umurnya sama dengan kita. Mama bilang dia itu temanku. Padahal aku tidak pernah bertemu dengannya dan saat aku sapa, dia langsung membuang muka. Mama menyuruhku mengajak dia bermain. Tapi dia malah tidak mau. Apa itu teman namanya?"
Pan tertawa, "Tidak."
Aku menyipitkan mataku ke arahnya, "Kau tahu dari mana? Memang teman- temanmu tidak seperti itu?"
"Aku hanya punya satu teman," jawabnya, "Dan dia tidak seperti itu padaku. Dia selalu baik dan mau mendengar ceritaku. Dia juga selalu bercerita padaku."
"Siapa dia?" tanyaku.
Dia melihat ke arahku, "Kau. Kau satu- satunya teman yang aku punya Kay."
"Ohhh," kataku dan aku tersenyum, "Kau juga satu- satunya teman yang aku punya Pan. Kau juga teman pertama yang aku punya. Dan selama ada kau, aku tidak perlu yang lain lagi."
Dia juga tersenyum padaku, "Kau tahu Kay. Sepertinya kita terlalu banyak baca buku dan menonton film. Kita baru berumur 6 tahun dan kita sudah bicara seperti orang dewasa. Aku tidak mau tua secepat itu."
Aku tertawa, "Mungkin itu kau. Ahahahah. Dan umurku juga bukan 6 tahun. Umurku 6 tahun 5 bulan kau tahu? Aku juga seperti Peter Pan tidak akan tumbuh dewasa. Tapi kenapa membaca buku dan menonton film bisa membuat kita semakin tua? Kita kan baca buku anak- anak dan nonton film anak- anak."
"Memang kita nonton film anak- anak," balas Pan, "Tapi kitakan juga sering nonton film fantasi. Mungkin itu kenapa sepertinya bahasa kita sedikit puitis."
Aku tertawa lagi, "Sekali lagi. Itu hanya kau. Aku sih tidak merasa."
Aku tersenyum mengingat memori itu di kepalaku. Suara paman memanggilku langsung membawa ku kembali ke realita.
"Kenapa kau senyum- senyum Kay?" tanyanya.
Aku menggeleng, dan menghabiskan makananku.