------- 4 tahun yang lalu -------
Duut, duut.
Hmn ...
Ryan : Yah, hebat san
Hehe ...
Aku menyeringai melihat pesan darinya. Sangat pendek dan tidak berbobot. Tidak ada yang istimewa dari pesan itu. Balasan yang sebanding dengan semua pesan-pesanku sebelumnya. Tapi, rasa senang ketika ada orang yang menanggapi obrolanku, itu sudah lebih dari cukup.
Aku meletakkan Handphone-ku dan kembali membaca buku di meja. Buku tentang hewan dan tumbuhan dengan pola hidup unik, mungkin itulah judulnya. Tidak terlalu tebal tapi cukup lebar, gambar yang menyertainya dan warna-warni di setiap sudut buku membuatku nyaman membacanya.
Hmn... Beruang air bisa hidup setelah dibekukan selama lebih dari dua puluh tahun, dan kembali hidup hanya dengan mengaktifkan cryptobiosis.
Keseharianku setiap hari diisi dengan buku-buku. Dengan membacanya aku bisa merasa tenang karena mengetahui banyak hal di dunia. Kebanyakan buku yang kubaca adalah tentang ilmu alam, tapi bukan berarti aku menolak buku lain. Perbandingan mereka yang cukup besar sudah cukup untuk aku sebut sebagai buku kesukaanku.
"San... Makan dulu sini"
Suara perempuan dari luar terdengar. Walaupun pintu kamarku tertutup rapat, rumahku tidak cukup besar untuk menghambat suara yang masuk.
"Iya bu"
Aku menjawab panggilan ibuku. Memakan sarapan, memakai seragam dan berpamitan untuk berangkat sekolah. Ini adalah waktu-waktu yang aku nikmati. Ayahku memang menyebalkan dan Ibuku cukup misterius, tapi mereka adalah salah satu orang yang benar-benar menyayangiku.
Aku dan ayah berangkat bersama menggunakan sepeda motor. Ini karena arah menuju sekolah sama dengan arah tempat kerjanya. Jarak sekolahku memang tidak jauh, tapi tidak ada salahnya dengan menerima tumpangan ayah.
Salam pamit aku berikan pada ayah, dan belaian di kepalalah yang kudapat setelahnya. Ruang Kelas cukup dekat dengan gerbang utama, berjalan sebentar dan aku sudah sampai di kelas.
"San, kamu bisa ngerjain soal ini?"
Seorang murid datang ke mejaku. Cukup pendek untuk seorang laki-laki, tapi wajar untuk anak seumurannya. Dandanan rapi dan ramput cepak, menunjukkan bahwa dia adalah murid teladan. Namanya Ravi, teman sekelasku.
Aku menerima buku yang dia berikan. Buku itu adalah buku latihan olimpiade. Semua itu dia lakukan karena keikutsertaanya di olimpiade IPA yang diadakan tiga minggu lagi.
Hmn... Ini adalah soal fisika. Cukup mudah mengatasi ini.
Fisika hanyalah teka-teki satuan dan logika, sedikit mirip dengan soal aljabar. Jika aku sudah mengetahui pola-pola setiap satuan, aku bisa mengerjakannya dengan mudah.
Dengan pulpen, aku menuliskan semua yang ada di kepala. Coret-coret dan angka tak jelas pun aku tulis. Tidak semua langkah tercatat di atas kertas, aku berhenti menulis jika akhir langkah sudah diketahui.
"Nih Rav, jawanannya b"
Aku mengembalikan buku soal bersama dengan tanda jawabannya. Pada intinya, angka hanyalah angka. Mereka hanya menebarkannya agar membentuk soal, dan aku hanya perlu menyambungkannya kembali.
"Caranya donk san, aku butuh caranya"
"Hehe... iya, iya"
Ravi adalah orang yang ambisius. Aku tidak tahu apa yang membuatnya melakukan itu, karena aku sendiri menolak untuk berkompetisi.
Setahuku olimpiade itu melelahkan dan tidak menghasilkan. Jadi berbeda dengannya, aku hanya ingin menikmati masa sekolahku dengan normal. Kalau hanya menjawab satu atau dua pertanyaan, aku sama sekali tidak keberatan.
Ravi adalah teman pertama dan terdekatku semenjak awal masuk SMP. Dia adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan dan menyanggahku ketika diajak bicara. Jika aku membicarakan sesuatu yang luar biasa, dia bisa membalas dan mengerti apa yang kuucapkan. Hubungan kami selalu diisi dengan kesediaannya menemaniku dan aku yang terus membantu tujuannya.
Itulah yang kuharapkan. Namun, tidak ada akhir bahagia dalam kisah ini. Awal dari semuanya adalah pada hari itu.
****
"San, Plis lah..."
Ravi mengikuti langkahku dari samping menuju kantin. Hampir tiga hari sudah dia terus melakukan ini.
"Gak bisa cari orang lain napa?"
Sudah satu tahun berlalu. Kami sekarang di kelas yang berbeda, tapi hubungan kami masih sama. Kali ini dia memohon padaku untuk sesuatu yang berbeda. Bukan membantu lagi, tapi sesuatu yang lebih besar. Dia ingin aku masuk ke dalam timnya untuk lomba berikutnya.
"Cuman kamu yang aku kenal pinter san"
"Itu gara-gara kamu gak gaul saja rav"
Aku yang sampai di kantin langsung mengantri untuk membeli roti makan siangku. Hanya karena berbicara dengannya, aku tidak ingin mengganggu aktifitas makanku.
"Makanya san, aku gak tahu harus minta ke siapa lagi"
"Memangnya itu lomba penting banget rav?"
Setelah mendapat makanan, aku duduk di salah satu kursi kantin dan Ravi mengikutiku setelahnya.
"Semua lomba itu penting san"
"Bukannya kamu sudah ikut banyak lomba, lewat sekali gak apa-apa kan"
"Baru juga tiga san"
Baru tiga? Itu sudah banyak jika dibandingkan dengan satu tahun masa sekolahmu. Apalagi di mataku yang tidak pernah mengikutinya sama sekali. Berapa banyak target pencapaianmu?
Hn? Tunggu. Kalau tidak salah, dia belum pernah meraih juara satu. Jika memang itu tujuannya, mungkin aku bisa memberi sedikit dorongan.
"Hgmn..."
"..."
"Ya sudah, aku ikut, tapi ada satu sya-"
"Wah serius san? Ahaha... Makasih banget kalau gitu"
"Tunggu Rav, aku belum selesai ngomong"
"Kenapa? Syarat tadi? Kamu mau aku beliin buku yang kemarin?"
Buku? Hn... Buku yang waktu itu memang cukup mahal. Jika melihat kondisiku sekarang, kurasa akan sulit untuk membelinya dalam waktu dekat. Sebenarnya bukan itu tujuanku sebelumnya, tapi...
"Oke, aku minta dua syarat"
"Ha? Kok malah nambah?"
***
Setelah hari itu, aku dan Ravi selalu berkumpul di istirahat. Ada waktu dua bulan untuk berlatih. Perkumpulan ini bertujuan untuk terus menajamkan kemampuan kami.
Syarat yang kuberikan padanya adalah untuk tidak mengganggu jam kosongku, aku hanya akan berlatih di jam istirahat. Tidak seperti Ravi, aku tidak mau kegiatan ini merusak kehidupanku.
Soal, buku, soal, buku. Selama hampir dua bulan aku hampir dilanda kebosanan. Aku tidak mengerti kenapa dia masih melanjutkan kegiatan ini. Entah aneh atau tidak, dia tidak menunjukan sedikit pun kemalasan di wajahnya. Aku saja sudah muak dengan soal-soal ini.
Setelah sekian lama kami berlatih, sampai pada hari dimana kejuaraan itu dimulai. Hal mengejutkan pun terjadi, kami lolos dengan mudah. Babak penyisihan tidak terlalu sulit, soal yang dikeluarkan masih sering kulihat di buku-buku latihan. Namun, bukan berarti kami bisa mengisi semua soal tersebut. Entah ini trik dari penyelenggara atau bukan, ada sekitar dua puluh dari enam puluh soal yang kukerjakan tidak memiliki jawaban sama sekali. Ini masuk akal, karena akan aneh jika ada orang yang bisa menjawab semua benar, ini bertujuan untuk menghindari tubrukan skor maksimal antar peserta. Aku tidak tahu apa orang lain menyadari atau tidak fakta ini, tapi hal tersebut juga berguna untuk untuk mematikan peserta yang hanya mengandalkan keberuntungan dari sistem pilihan ganda.
Sesi selanjutnya kami dihadapkan dengan soal easay dan riddle dari permasalahan lewat praktek. Dengan sedikit usaha, aku mulai serius untuk memecahkan soal-soal ini. Banyak soal yang aneh bertebaran, aku juga tidak mengisi semua soal. Ini masih trik yang sama di babak sebelumnya.
Dan yang terakhir adalah lomba cerdas cermat dengan tiga tim yang mengikutinya. Reflek tanganku terlalu lambat, jadi aku menyerahkan tombol jawab pada Ravi.
Soal di sini hanyalah variasi dari soal di sesi sebelumnya. Tentu saja mudah bagiku untuk menjawab pertanyaan di sini.
Tak disangka, kami memenangkan posisi pertama. Untuk pertama kalinya aku dipuji dan disenangi oleh banyak orang. Sorak riuk para penonton dan panitia membuat hariku semakin berwarna. Rasa puas yang sudah lama tidak kurasakan kembali mekar di hari itu.
Perlombaan ini adalah acara dari suatu organisasi. Itu berarti, walaupun aku sudah menjuarainya, tidak ada tingkat yang lebih tinggi untuk kami melanjutkan perlombaannya.
Hari itu begitu meriah, para guru dan siswa di sekelilingku merubah pandangannya padaku. Hanya saja...
"...."
Sejak hari itu berakhir, Ravi berhenti mendatangiku.
***
Sebulan berlalu dari kejadian itu. Prestasiku sudah menyebar ke seluruh sekolah. Layaknya selebritis, namaku diagung-agungkan di sini. Upacara yang ditutup dengan beritaku, pidato yang menggunakanku sebagai rujukan dan fotoku yang mulai beredar di sekolah.
Sudah wajar bagi sekolah kecil untuk menghargai muridnya yang berprestasi. Karena dari awal sekolah ini hanyalah sekolah biasa, tidak banyak orang pintar.
"...!”
Aku tidak tahu ini kebetulan atau karena aku yang tidak pernah mencari. Setelah sebulan, wajah Ravi akhirnya terlihat kembali. Cukup lama waktu sudah berlalu, dan dia masih tidak pernah menghubungiku. Aku yakin kalau tidak ada hal buruk diantara kami, hasil perlombaan sebelumnya sudah memuaskan.
Jika memang bukan pujian, setidaknya hargailah aku yang sudah membuang dua bulan waktu istirahatku.
Belanja Ravi sepertinya sudah selesai, isyarat tubuhnya menunjukkan kalau dia ingin pergi. Aku memang mempunyai urusan juga di kantin, tapi hal tersebut bisa aku tunda untuk sesuatu seperti ini.
"Rav...!"
Aku memanggil dan berjalan mendekat. Dia tidak menghindar tapi juga tidak menyambutku. Gerak mata yang dia tunjukan sudah cukup untuk memberi tahu kalau dia menyadariku.
"Tunggu Rav, kamu kemana saja? Kenapa jarang kelihatan? Terus SMS-ku, kenapa gak di bales? Ganti nomor?"
Ravi terus berjalan. Gerakan tubuhnya masih menunjukkan kalau dia masih meresponsku. Biarpun begitu, mulutnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Kenapa dia terdiam? Kenapa dia berhenti menghubungiku? Aku tidak mengerti sama sekali. Apa dia membenciku sekarang? Kenapa?
Aku tadinya ingin menyerah karena tindakannya itu. Tidak ada gunanya berbicara lembut dengan orang yang tidak ingin bicara. Tapi...
"San..."
Sesaat ketika aku berhenti dan ingin mengubah arah, Ravi malah berbalik memanggilku.
"Kenapa kamu masih di sini?"
"Kenapa? Bukannya sudah biasa kalau kita kumpul bareng. Malah kamu yang kenapa, kok tiba-tiba ngilang sih"
"Sorry san, semua itu sudah gak ada"
Ravi berbalik menghadapku. Aku baru sadar kalau ternyata aku digiring ke tempat sepi. Ujung dari tanah sekolah yang memiliki dinding pembatas disekitarnya.
"Kenapa Rav? Kalau memang belum ada lomba, kita masih bisa kumpul kan"
"Haha, dari awal gak pernah ada kata kita san"
Ravi memalingkan wajahnya dan berdiri bersandarkan dinding di sampingku. Kata-katanya sangat dingin dan datar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi marah maupun sedih. Hanya saja, dia selalu menghindari tatapan denganku. Aku kembali dibingungkan dengan tingkahnya.
"Ra-Rav, tapi kamu gak usah gini juga. Kemana semangat kamu waktu itu?"
"Semangat?"
"Iya? Bukannya kita kemarin menang?"
"...."
Kali ini Ravi mulai mengerutkan wajahnya. Menutup mata dan menundukkan kepalanya. Botol plastik yang sejak tadi dia pegang bergemerisik oleh genggamannya. Aura di sekitarku menjadi mencekam.
Apa ini? Kenapa? Apa aku salah? Kenapa kau tidak senang? Apa yang salah dengan kemenangan ini? Bukankah kamu sendiri yang memintaku? Tapi kenapa sekarang kau malah tidak mengakuiku. Bukankah kita ini teman?
"Huft... Hah... San"
"...”
Puluhan kata bermunculan di benakku waktu itu. Aku tidak sempat menjawab panggilan Ravi, tapi suaranya sudah cukup untuk membersihkan pikiranku sesaat.
"Kamu pernah ngerasain gagal?"
"Gagal?"
Jika aku ingat-ingat, aku tidak pernah gagal dalam hidupku. Tapi...
"Enggak sih Rav. Tapi itu cuman gara-gara aku gak pernah ikut lomba kayak kamu. Yang kemarin tuh yang pertama"
"Pertama yah"
Ravi kembali menunjukkan wajah muram. Ekspresinya semakin lama semakin gelap. Perkataannya memang datar, tapi itulah yang terasa sangat sakit. Aku yang tidak mengerti hanya bisa melihat kebingungan.
Kenapa Rav? Bukankah kamu sendiri yang bertanya? Apa jawabanku ini salah? Lalu apa lagi yang bisa kulakukan? Kemana perginya perasaan senang yang kita habiskan bersama? Apa hanya aku yang menganggap hubungan kita ini berharga?
"Rav, kamu gak akan ikut lomba lagi? Bukannya sekarang ada lomba baru buat tiga bulan nanti?"
"Lomba? Darimana kamu tahu?"
"Ada guru yang kasih tahu, dia minta aku buat ikut lagi, tapi aku gak mau"
"Terus, kamu minta aku buat ikut lombanya?"
"Iya... Bukannya kamu suka?"
Ravi merubah posisinya, berdiri tegak dan berhenti bersandar. Kali ini dia menatap lurus, tegas menatap mataku. Tidak ada rasa terbuka darinya, yang kulihat hanyalah pandangan penuh kekosongan. Wajah penuh senyum dan gembira tidak bersisa sedikitpun.
"San, kamu mungkin gak akan tahu. Rasanya hancur, hancur dari tembok terkuat yang sudah lama kamu bikin"
"Kamu ngomong apa daritadi Rav?"
"Hah... Ya sudah gak apa-apa, paling enggak aku tahu kalau kamu masih bodoh dalam satu hal. Terus soal lomba tadi, aku gak pernah denger dari guru manapun. Jadi kamu aja yang ikut"
Ravi mengatakan itu sambil berjalan ke belakangku. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dia ucapkan. Walaupun ekspresinya tidak berubah, perasaan hitam pekat terus kurasakan, keluar meledak-ledak darinya. Bingung, bingung dan bingung, aku masih tidak mengerti apa yang membuatnya marah. Sampai akhir, aku hanya berdiri kaku melihat punggung Ravi yang menjauhiku.
Jika saja, jika saja waktu itu aku tahu, aku mungkin tidak akan mendapat perlakuan ini. Jika saja waktu itu aku mengerti, aku mungkin bisa mengubah perkataan dan tindakanku. Aku orang terdekatnya yang bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan.
Kenapa aku punya kekuatan seperti ini? Apa gunanya ini? Apa ini sesuatu yang patut dibanggakan? Apa yang kudapat darinya?
Semenjak pertemuan itu berakhir, aku merasa kalau pertemanan kami berakhir. Dia tidak pernah mendekatiku dan aku juga merasakan hal berat ketika ingin menyapanya.
Kehidupan sekolahku kembali gelap. Semua orang yang datang padaku hanya ingin memanfaatkanku. Bagai Sumur air, mereka hanya datang ketika haus. Aku hanya berguna ketika ujian berlangsung dan ditinggal setelahnya. Tidak ada orang yang ingin terus bersamaku. Dan hal paling menyebalkan adalah ketika aku menolak, mereka akan sangat marah dan beramai-ramai memusuhiku.
Hal serupa terjadi ketika aku di dalam kelompok, terkadang mereka menyerahkan banyak tugas padaku. Rasa terima kasih hanya kudapatkan satu kali dan setelahnya mereka menghilang.
Apa memang ini? Inikah yang mereka sebut bakat? Apa yang hebat dari ini? Aku tidak merasakan kalau aku benar-benar manusia. Persetan dengan makhluk sosial, mereka hanya ada ketika butuh. Tapi aku, tidak ada yang mau membantu, mereka pikir aku adalah makhluk serba bisa.
Yah, kalian benar, aku memang berbakat, lalu apa? Apa yang bagus darinya? Apa orang berbakat sepertiku tidak perlu teman? Apa orang berbakat harus sendiri? Aku memang bisa melakukan tugas-tugas itu, tapi kenapa kalian tidak coba menemaniku? Kenapa kalian membuangku? Apa nilai dari keberadaanku? Kenapa? Kenapa...!? Apa aku menyeramkan? Apa aku ini berbahaya? Aku hanya ingin teman.
Ravi... Maafkan aku. Jika saja aku tahu lebih awal. Kamu mungkin tidak akan merasa hancur. Jika saja waktu itu aku menolak ajakanmu, kita tidak akan berakhir seperti ini. Tidak, lebih jauh lagi, semua ini tidak akan terjadi jika aku tidak pernah menunjukkan taringku. Kemampuan ini hanya sampah, apa yang didapat darinya hanyalah kehancuran. Layaknya api, hanya bermanfaat jika kecil dan bencana jika besar. Bakat? Apa itu? Aku tidak pernah memintanya.
Memang sudah terlambat untuk mengerti, tapi aku sudah tahu apa yang dimaksud Ravi.
Bakat itu, hanyalah pedang bermata dua.
****
Hgmn... Hgunm...
Sensasi pegal dan perih kurasakan di mataku. Melihat kamar kekuningan dengan langit-langit berwarna putih. Badanku terasa kaku dan kepalaku masih pusing.
Mimpi?
Gerak mata kearah kamar aku lakukan. Menganalisis dan memastikan kalau ini memang kamarku.
Hmn... Itu lebih seperti flashback daripada mimpi, sangat jelas dan berurutan. Tidak seperti mimpi pada umumnya. Jika aku bisa bermimpi sampai seperti itu, berarti masa laluku sudah memberi lubang sangat dalam, walaupun aku tidak ingin mengingatnya.
Aku tidak pernah mengungkit kejadian itu, aku juga tidak ingin mengingat perasaan sakitku. Entah kutukan atau bukan, aku selalu dihantui olehnya.
Aku kelelahan, memejamkan mata dan tidur sekali lagi adalah tujuanku. Berusaha menenangkan pikiran dengan kembali melepas ketegangan.
Nafasku terasa panas, tenggorokan maupun kerongkonganku juga mengering. Aku tidak bisa bernafas dengan nyaman, rasa perih dan gersang terasa setiap kali udara lewat. Walaupun begitu, aku berusaha untuk tidur.
Hn?
Tunggu, kamar? Langit-langit?
Aku menyadari kejanggalan telah terjadi. Kembali membuka mata dan membangkitkan bagian atas tubuhku. Rasa berat dan pegal serasa hilang sesaat tertutup oleh sekelibat pikiran tadi.
Plok. Tiba-tiba handuk basah jatuh ke dadaku. Aku sedikit terkejut karena sesaat terlintas di pikiranku kalau timun laut yang jatuh. Tapi yang lebih mengejutkan, aku melihat sesuatu di atas pinggangku.
Hmn... Enggak, enggak, Ini pasti mimpi.
Makhluk misterius di atas tubuhku, dia sedang tertidur. Aku tidak dapat melihat seluruh wajahnya karena tertutup oleh lipatan tangan. Duduk dengan posisi emok ke samping dan tertidur dengan menjadikan perutku sebagai bantal utamanya.
Aku pernah mengalami mimpi terbangun dari mimpi. Dan entah ini normal atau tidak, aku juga pernah sadar kalau aku sedang bermimpi. Sesuatu yang terjadi sekarang ini mungkin adalah hal yang serupa.
Aku tahu, karena seharusnya ini tidak mungkin terjadi.
****