Keesokan harinya. badanku tidak terlalu sakit, Setidaknya aku tidak berjalan jalan pincang seperti kemarin.
Sekarang hari rabu, Mia bilang akan memulai pencariannya denganku sepulang sekolah.
Bel istirahat berbunyi, guru pun menutup pelajarannya dengan memberi tugas pada kami. Keramaian kelas terbentuk seketika, padahal sebelumnya mereka sangat lemas. Masih jadi misteri yang membingungkan, walaupun murid sangat kelelahan ketika jam belajar, tapi mereka tetap bersemagat ketika bel sekolah terdengar.
"Aku makan dulu san"
"Ah, iya"
Latif sudah berhenti menawariku makan bersama lagi. Aku tidak tahu apa ini sesuatu yang baik atau tidak, tapi dia bilang, aku bisa datang menemuinya kapan saja.
Aku melangkah pergi keluar kelas, mungkin hari ini akan ada kemajuan.
Sesampainya di tempat bawah tangga, aku tidak langsung memakan roti. Sudah menjadi tradisiku untuk menunggu Mia datang sebelum makan. Ini bukan karena alasan kesopanan, tapi ini hanya masalah pribadiku. Akan timbul masalah ketika makananku habis jauh lebih dulu. Tempat ini tidak luas, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan. Ketika waktu kosongku banyak, tanpa sadar aku sudah memandangi Mia di sisa waktu tersebut.
Aku pernah mengalaminya sekali dan membuat suasana menjadi canggung, setidaknya itu yang kurasakan. Bukan berarti aku tidak ingin memandanginya, hanya saja aku tidak mau menghancurkan pandangannya padaku.
"...."
Aku menggerakan bola mataku pada gadis di depan. Mia telah datang, aku menggeser posisi duduk agar dia dapat duduk leluasa. Kami pun mulai memakan makanan kami masing masing.
Waktu berjalan lambat. Beberapa obrolan seperti pelajaran kelas dan guru kami buat agar suasana tidak terlalu sepi.
Hn?
Ketika santap makan hampir selesai, aku merasakan getar Handphone di saku celana. Itu adalah Hana, dia memintaku untuk mengembalikan payungnya kemarin. Beberapa pesan aku kirimkan dan kami pun sepakat untuk bertemu sekarang. Setelah makan kami sudah selesai, aku meminta Mia untuk membawakan payung tersebut, dialah yang memakainya sampai akhir. Aku sendiri tidak mengantar Mia ke kelasnya, karena dia tidak memperbolehkanku.
Dari tempat bawah tangga itu, aku pergi ke pinggir lapang untuk bertemu Hana. Belum sampai sepuluh menit dan Hana sudah sampai di tempat yang dijanjikan.
"Hu... kok lama? Terus mana payungnya?"
Aku tidak terlambat, kita tidak memasang batas waktu untuk ini. Kau saja yang datang terlalu cepat.
"Dibawa Mia, lagi diambil bentar"
"Hmn... Di Mia yah. Kok kamu gak pake?"
“Ya enggak lah, memang kamu serius suruh aku bawa payung itu?"
"Kan lucu, daripada kehujanan kan"
Memang benar, tapi benda-benda seperti itu harus kujauhi sebagai laki-laki. Aku tahu, jikapun memang terpaksa, aku akan memakai payung itu dan mengabaikannya masalah kecilnya.
Percakapan kami terhenti sampai di sana, aku melihat Mia berlari-lari kecil membawa payung di pelukannya. Melihatku yang memalingkan pandangan padanya, Hana dengan mudah mengetahui identitas Mia. Hanya satu gadis yang berlari membawa payung menuju kami. Tapi ketika Mia sampai, dia tidak mengembalikan payungnya, melainkan terdiam dan menjaga jarak dengan kami.
“Hn?”
Atau lebih tepatnya menjaga jarak dengan Hana. Aku bisa melihat penolakan mata dia berikan pada Gadis di sampingku. Meminta bantuan dengan sedikit melirik, dia pun berjalan dan bersembunyi di belakang tubuhku.
Apa dia tidak pandai berhadapan dengan orang asing? Tapi itu aneh, mengingat dia bisa dengan santai menyapaku ketika pertama bertemu.
"Jadi ini Mia?"
"Iyah"
Mia masih tidak membuka hatinya, dia tidak mendekati Hana dan tetap di dekatku. Aku tidak mengerti situasi ini, jadi kuambil jalan pintas. Aku mengambil payung yang digenggaman Mia dan mengembalikannya pada Hana.
"..."
Tapi kali ini, Hana yang tidak memberikan hatinya padaku, dia terfokus pada Mia dan mengabaikan juluran payung yang kuberikan.
Aku pun mengambil langkah mundur, membuat penghalang antara Mia dan Hana hancur.
"Mia, Ini Hana. Terus Hana, kamu udah tahu kan, Ini Mia"
Aku memperkenalkan mereka berdua. Mungkin inilah solusi terbaik dari situasi ini.
"Temen kakak?"
"Bukan, pacarnya temen Hassan"
Mia bertanya padaku, tapi Hana yang menjawabnya.
Memang Perkataan itu murni atas inisiatif Hana, tapi yang muncul di hatiku adalah rasa dendam pada Ryan.
"Oh, iya” Teringat karena rasa kesalku barusan. “Kemana Ryan?"
"Ryan ada di kantin, dia males ikut katanya"
Itu memang menggambarkan Ryan, lagipula dia memang tidak dibutuhkan sekarang.
"Ya sudah, aku ke kantin lagi yah"
Hana dengan cepat mengambil payung yang kupegang dan berjalan menuju ke kantin. Aku sedikit terkejut, tapi yang lebih mengejutkan adalah kejadian selanjutnya.
Handphone-ku bergetar, tidak sampai satu menit dan dia sudah mengirimiku pesan.
Hana : Mia imut banget san, biar aku cubit pipinya nanti
Sedikit termenung melihat pesan itu, aku pun melihat wajah Mia untuk membuktikannya.
Pipi putih mulus, sedikit mengembung dan berwarna kemerahan seperti bantalan marshmallow yang berisi krim strawberry.
"...."
"Kenapa ka?"
“Hn? Enggak, gak apa-apa"
Aku mengerti, semua orang juga tidak tahan jika melihat pipi bayi itu. Hana saja sebagai wanita bisa memahami daya tariknya. Jika bisa, Aku ingin menyentuh pipi itu, mencubitnya, memainkannya, dan... Ah, oke, lupakan.
****
Bel pulang berbunyi. Awalnya aku ingin mengajak Ryan dan Hana untuk di pencarian hari ini, tapi aku tidak mendapat kesempatan yang bagus, mungkin akan kulakukan besok.
Mia sendiri sudah pulang untuk mengganti pakaian, tidak nyaman rasanya jika terus memakai seragam. Dia juga memintaku melakukan hal yang sama, memang aneh jika salah satu dari kita tetap memakai seragam, tapi aku punya alasan tersendiri untuk menolak permintaannya. Ketika aku sampai di rumah, semangat untuk berpergian akan hilang. Pulang sebelum kegiatan berat selesai adalah pilihan buruk bagiku. Tapi bukan berarti aku mau berkeliaran dengan seragam. Setiap hari aku selalu memakai baju santai di balik seragamku. Dengan membuka pakaian atas dan ditambah jaket hitam yang kupakai, aku bisa menghilangkan sedikit aura siswa.
Sekitar lima belas menit aku menunggu, akhirnya Mia datang.
“Ayo kak”
Kami berjalan menjauhi sekolah. Berbeda dengan tempat kami bertemu, pencarian kami selalu terpusat di taman kecil.
Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di sana. Di tengah taman ini ada meja dan kursi batu yang sudah berlumut, di samping meja tersebut ada pohon kersen yang daunnya berserakan dimana-mana. Kondisi taman ini begitu buruk, satu-satunya yang bagus adalah danau di depannya yang bersih tanpa sampah.
Mia membersihkan sedikit tempat di sini. Aku pun ikut membantunya, terutama untuk kursi yang akan kududuki.
"Huft..."
Padahal tidak lelah, tapi selalu menjadi kebiasaanku menghela nafas di waktu-waktu seperti ini.
"Jadi, sekarang ngapain?”
"Hmn... Ngapain yah kak?"
Jawaban yang sudah kuperkirakan. Ini membuat semangatku semakin hilang, aku sudah tidak peduli dengan pencarian sinyal itu, sepertinya dia juga tidak terlalu serius mencarinya.
Aku menghela nafas, berusaha menemukan kondisi yang sesuai. Melipat tangan di atas meja dan menaruh kepalaku di sana. Karena tidak ada yang bisa dilakukan, mungkin aku bisa memanfaatkan waktu sekarang untuk beristirahat.
Beberapa kali aku mengintrogasinya, mengalirkan logika, petunjuk dan permainan kata yang mungkin dia lakukan, tapi semua percuma. Ini seperti dia menjauhiku dari jalan lurus. Tidak ada penjelasan yang pasti, semuanya sangat bias dan bertele-tele.
Maksudku ayolah... Dia perah bilang kalau aku tidak boleh mengetahui benda tersebut untuk menemukannya. Persyaratan macam apa itu? Aku yakin itu hanya berlaku untuk sesuatu yang tidak nyata seperti inspirasi dan cinta. Tapi jika aku hubungkan dengan tempat yang dia tujukan, semua itu cukup bertentangan.
Mungkin jawabannya adalah sesuatu yang jika dicari dengan serius akan semakin menjauh.
"..."
Aku melirik Mia, tapi arah pandangannya tidak mengarah padaku melainkan ke arah danau. Apa dia juga sedang berpikir tentang sinyal itu?
"Kenapa langit sore tuh warnanya oren yah?"
"Hn?” Aku menegakkan kepalaku karena ucapannya. “Apa itu ada hubungannya sama sinyal?"
"He? Ah, enggak, enggak, aku cuman penasaran aja"
Oh, ternyata bukan.
"Langit sore kelihatan oren tuh karena efek Rayleigh scattering yang gak sampe ke kita waktu mataharinya di pinggir"
Aku menjawab pertanyaannya, itu sesuatu yang pernah kubaca dulu.
"Re... Apa?"
"Rayleigh scattering"
"Jadi?"
"Jadi, pembiasan warna biru sama partikel atmosfir habis, terus sisa warna oren yang kelihatan"
"Oh..."
Reaksi ini, aku sudah sering melihatnya. Dia membentuk wajah datar dengan sedikit jeda di suara Oh-nya. Kebanyakan orang melakukan hal ini untuk menutupi kekurangan atau untuk menghargai orang yang menjelaskan.
"Kamu boleh jujur kok Mia"
"Aku gak ngerti kak"
"Ya sudah”
Mungkin penjelasanku memang kurang jelas dan dia menutupinya dengan berlagak mengerti barusan.
"Ah, kak, jangan bikin penasaran. Jelasin dari awal donk"
Mia yang bertanya sambil memegang lengan bajuku lagi.
Kurasa perkataanku tadi sudah memecah dinding pembatas, sekarang rasa penasarannya malah lebih kuat.
"Kamu bisa cari sendiri kan, bahasan tentang in ada banyak di buku"
"Kalau kakak tahu kenapa gak kasih tahu?"
Karena aku tidak terlalu mengerti tentang gelombang sinar, sifat mereka dan perhitungan cahaya itu. Sesuatu yang kutahu hanyalah efek yang terjadi dari langit biru.
"Kalau kamu cari sendiri mungkin lebih paham"
"Gak usah paham banget kok, kakak juga kayaknya sudah tahu kan"
Yah, lagipula yang dia tanyakan hanya tentang langit sorenya. Bagian ini masih bisa kumengerti.
"Ya, aku kasih tahu"
"Hn..."
Sebenarnya penjelasan ini cukup panjang, tapi itu tergantung sampai dimana pemahaman dia tentang dasar ini.
"Oke, pertama kamu tahu cahaya kan?"
"Mn, tahu"
Lagi-lagi ekspresi mencurigakan.
"Ho... Jadi apa itu cahaya?"
"Sesuatu yang dihasilkan dari sumber cahaya, bergerak tegak lurus, dapat dipantulkan dan dibiaskan"
“Oke, aku mengerti"
Jadi aku harus jelaskan dari awal. Tapi itu memang wajar, sepengetahuanku fisika SMP dulu tidak membahas terlalu jauh tetang ini.
"Jawaban tadi memang gak salah, tapi gak bener juga. Jawaban yang lebih tepat, cahaya itu partikel yang bergerak bergelombang"
Aku mulai menjelaskan, Mia melihatku dan mendengarkan dengan seksama.
"Cahaya warna putih adalah campuran dari warna pelangi"
"Ah, kalau itu aku tahu kak" Potongnya.
"Sebelum ke warna oren, kamu harus tahu dulu kenapa langit warnanya biru”
Tapi aku mengabaikannya, itu hanya menghambat penjelasan jika kujawab.
"Langit yang kita lihat itu atmosfir, hampir semuanya Nitrogen"
"Bukannya 78% Nitrogen, 21% Oksigen?"
Aku tidak mengingat detailnya, tapi mungkin memang benar. Untuk yang satu ini memang sudah diajarkan di sekolah.
"Iyah, tapi Oksigen numpuk di bawah dan Nitrogen ngambang di atas, jadi hampir semua langit itu Nitrogen"
"Kenapa gak nyatu kak? Kayak garam di air?"
"Karena Oksigen berat, kalau kamu nyamainnya sama air garam, itu salah banget"
Karena mereka sangat berbeda dari sifat, bentuk dan ikatan yang terjadi. Aku tidak memberitahunya karena itu hanya akan memperluas pembahasan yang tidak perlu.
"Waktu cahaya masuk dan ketemu Nitrogen, yang terpantul tuh warna biru. Gara-gara panjang gelombangnya kecil jadi kehalang sama Nitrogen, tapi warna lainnya bisa tembus jadi yang kelihatan itu biru. Kamu ngerti kan? Barang-barang di sini juga ada warnanya karena mereka mantulin cahaya yang warnanya begitu”
"Hmn... Tapi kalau gitu kenapa matahari gak warna biru? Kalau cahaya lewat dan warna biru yang dipantulin, Kenapa matahari masih kelihatan putih?"
"Cahaya warna biru yang dipantulin atmosfir tuh cuman sebagian, masih ada sisa dari warna biru yang berbentuk cahaya putih. Kamu tahu kan, cahaya itu tegak lurus. Cahaya biru yang gak kepantul masih bersatu sama cahaya lain yang tegak lurus, jadi warnanya masih putih"
"Hmn..."
Sekali lagi, ekpresi tidak mengerti. Ini hanya instingku, karena jika dia memang mengerti, seharusnya kalimat balasan tentang pengulangan penjelasan tadi akan dia ucapkan. Aku tidak ingin mengakhiri ini, jika memang kulakukan, aku ingin melakukannya sampai akhir.
Untuk menjelaskannya lebih mudah aku mengeluarkan buku catatan dan membukanya di halaman terakhir.
"Oke, kita misalkan saja. Putih itu adalah pasukan campuran yang bergerak lurus. Biru adalah pasukan badan kecil dan oren adalah pasukan badan besar"
Aku menggambar beberapa ilustrasi di buku tersebut, memang sangat abstrak tapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Waktu pasukan biru melewati rintangan, mereka gagal dan akhirnya berpencar, sedangkan pasukan oren, mereka bisa dengan mudah melewati rintangan dan terus bergerak lurus"
"Jadi warna biru itu lemah?"
Memang benar jika kau mengikuti teori tadi, tapi aku sedikit tersinggung dengan warna favoritku yang dibilang lemah.
"Iyah, karena mereka berpencar, pemandangan sekitar menjadi biru. Biarpun begitu, ada sebagian pasukan biru yang masih bisa melewati rintangan dan tetap bergerak lurus. Jadi, warna putih masih ada walaupun birunya berkurang”
"Hmn... Aku ngerti kak"
Huft... Cukup melelahkan menjelaskan sesuatu pada orang lain, tapi rasa puas setelahnya menutupi lelahku sekarang.
"Terus orennya?"
Oh iya, aku lupa tema utama yang dia tanyakan.
"Waktu sore, posisi matahari ada di pinggir, panjang atmosfir yang ditembus semakin besar dan semua warna biru sudah habis terpencar. Beda kayak siang, kalau sore mataharinya juga warna oren, cahaya tegak lurus dan cahaya di sekelilingnya sama-sama gak ada warna biru"
“Hmn... Ngerti-ngerti"
Kali ini Mia mengangguk mendengar penjelasanku.
"Kalau warna biru di laut juga sama?"
"Laut? Bukan, hasilnya memang sama, tapi kejadian aslinya itu terbalik"
"Terbalik?"
"Kalau biru di langit tuh karena biru yang di pantulkan, kalau biru di laut itu karena warna selain biru yang di serap air laut. Makanya kalau di laut, semakin dalam maka semakin biru dan kalau terlalu dalam bukannya warna oren tapi malah jadi gelap"
"Kenapa atmosfir dipantulin tapi air laut diserap?"
“...”
Oh sial, dia menanyakan sesuatu yang tidak kutahu.
Di buku yang kubaca, aku tidak menemukan alasan jelasnya. Mereka hanya menuliskan sesuatu yang bertele-tele dan jika aku simpulkan maksudnya buku itu berkata “Memang begitu dari sananya”.
Mungkin tidak apa-apa jika salah, lagipula sangat menjengkelkan jika aku mengakhirinya tanpa jawaban.
"Karena partikel air laut yang jauh lebih rapat dibanding udara"
Aku menggambarkan seluruh penjelasanku di kertas. Satu demi satu pertanyaan dia terus tanyakan. Beberapa opini aku masukan tapi tentu dengan penjelasan yang masuk akal. Sampai akhirnya dia mencapai batas dan puas atas jawabanku.
"Hmn... Gitu yah”
Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat itu.
“Yang kayak gini dipelajarin di kelas dua kak?"
"Enggak"
"Terus kakak tahu darimana?"
"Baca sumber"
"Hn... Kakak tahu banyak yah" Ucapnya sambil membuat senyum kecil.
Aku sudah lama tidak dipuji oleh gadis seumuranku. Entah kalimat itu pujian atau bukan, itu sudah terlanjur terlukis di ingatanku.
"Biasa saja, yang kayak gini sih kamu cari sebentar juga ketemu"
"Tapi, aku tetap saja belum tahu. Terus apalagi yang kakak tahu?"
"Apa saja yang kutahu itu susah dijawab, aku punya perasaan buruk kalau kamu tahu jawabannya"
"Hehe..."
Semakin berjalannya waktu Mia pun menanyakan beberapa pertanyaan seperti kenapa kayu di bakar menjadi arang, kenapa bisa merasakan gatal, kenapa besi yang dipanaskan meleleh, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Aku menjawabnya sesuai kemampuanku, tapi sepertinya itu sudah cukup membuat puas hatinya.
Hari berikutnya kami melakukan hal yang sama, kami hanya makan dan berbincang sepanjang waktu. Kali ini dia menanyakan tentang bagaimana deterjen dan sabun bisa membersihkan kotoran, sedangkan di hari lain dia bertanya tentang warna api yang berbeda-beda.
****
"Hgn..."
Tak terasa sekarang sudah hari minggu. Selama ini aku tidak menemukan kemajuan berarti. Kegiatan pencarian malah berubah menjadi sesi tanya jawab.
Apa aku sekarang ini guru privatnya?
Aku memcuci muka, membereskan sedikit kamar dan pergi mencari makan. Menu hari ini adalah bubur ayam, aku membelinya karena kebetulan pedagang itu tepat ketika aku keluar rumah.
Aku sedikit berpikir dan merenung. Jika terus seperti ini, sinyal itu benar-benar tidak akan ditemukan. Disaat seperti ini, tindakan apa yang orang lain akan ambil?
Aku menatap Handphone-ku dan membuka kontak telepon. Tidak banyak nama orang di sana, ada beberapa kontak teman SMP, beberapa guru...
Hn? Bu Ria? tidak, aku tidak akan bicara dengannya, pasti ujungnya akan kacau. Ryan dan Hana juga tidak terlalu berguna, terutama Ryan.
Kontak yang tersisa tinggal keluarga...
"...."
Aku terdiam dan berpikir untuk melakukan hal merepotkan, tapi itu lebih baik dibandingkan tidak melakukan apa-apa. Lagipula aku sudah janji akan meneleponnya seminggu sekali.
Membulatkan tekad, aku menekan kontak tersebut dan mulai memanggilnya. Hanya sekali nada khas tersambung kudengar, dengan cepat suara itu diganti oleh jawaban si penelpon.
"Hassan? Kamu kangen ayah?"
"Kenapa tiba-tiba sudah nyebelin"
"Haha... Bercanda, Jadi gimana kabarmu di Bandung?"
"Kalau soal kesehatan sama sekolah, semuanya lancar"
"Hmn... Syukur kalau gitu"
"Ayah sendiri? Gimana kabarnya di tasik?"
"Hah... Sekarang ayah tuh lagi bingung"
"Bingung?"
"Entah cara yang ayah lakukan benar atau tidak, entah tahap yang disebutkan sudah selesai atau belum"
"Huh?"
"Sebelumnya ayah bingung menentukan pilihan, Ibumu bilang yang mana saja bebas, tapi ayah rasa karena ada kau, ayah lebih memilih perempuan"
"Ha? Tung-"
"Selama seminggu ini belum ada tanda-tanda, mungkin karena bukan masa suburnya"
"Tunggu, tunggu yah! Ayah lagi ngomongin apa?"
"Kabar ayah, bukannya kamu sendiri yang nanya"
"Kan masih banyak jawaban normal untuk itu. Kenapa tidak ceritakan tentang hal lain seperti makanan, keuangan atau pekerjaan"
"Semua itu berjalan normal"
"Kalau gitu jawablah dengan normal!"
Aku membentak halus di telepon. Ayahku tidak mempermasalahkan tata bahasaku saat ini, tapi lain dengan ibuku yang pernah marah karenannya. Menurut ayah, aku lebih baik jujur pada perasaan sendiri dan lebih merasakan keterbukaan keluarga.
"Masih ada lagi san?"
"Bukannya ayah sendiri yang memintaku menelepon"
"Memang iya, tapi kalau gak ada bahasan lagi ayah juga bingung"
Aku terdiam sesaat, memikirkan sesuatu yang bisa kubicarakan.
"Kamu gak akan cerita san?"
"Cerita?"
"Jangan gitu, kamu ada masalah kan"
Apa itu? Aku tidak tahu bagaimana ayah memahamiku, terkadang dia bisa mengintip isi kepalaku.
"Masalah atau bukan, mungkin ini agak aneh"
"Aneh?"
"Kalau ayah disuruh nyari barang tapi gak di kasih kesempatan buat tahu barangnya apa, ayah bakal gimana?"
"Apaan itu? Teka-teki? Asal kamu tahu aja, ayah gak sepintar kau dan ibumu"
Tidak perlu diberi tahu pun aku sudah tahu.
"Kalau gitu gak jadi yah"
"Jangan gitu lah san, kamu belum selesai kan, atau kamu mau aku tanya ibumu?"
"Ibu? Enggak, gak usah"
Pertanyaan ini terlalu bodoh untuk kepintaran ibu. Aku merasa dia akan mengintrogasiku tentang sumber masalah ini.
Mungkin pertanyaan tadi memang terlalu rumit untuk otak ayah. Hn...
"Kalau gitu aku ganti pertanyaan yah. Kalau ayah mau ngebantu tapi gak sanggup, ayah bakal gimana?"
"Ini tentangmu san?"
"Jawab aja yah"
"Hmn... Kalau kamu ingin terlihat keren, bertahanlah sampai akhir"
"Bukannya malah bikin situasi tambah ribet"
"Kamu gak akan tahu hasilnya sampai akhir kan"
Jadi, aku hanya perlu menemaninya sampai akhir. Aku tahu aku sudah memutuskan, tapi ada perasaan campur yang muncul ketika aku tidak dapat menyelesaikannya.
"Jadi... Siapa cewek cantik ini?"
"Cewek?"
"Cewek cantik yang kamu mau bantu?"
"Aku gak pernah bilang dia cewek cantik"
"Jadi bukan?"
Rasa berat menghadang mulutku. Aku tidak ingin membetulkan perkataan ayah, tapi aku akan berbohong jika mengatakan Mia itu tidak cantik. Sial...
"Oke... memang cewe cantik, kenapa ayah mikir gitu?"
"Haha, ternyata bener"
"Tadi ayah cuman nebak?"
"Enggak, enggak, ayah juga punya alasan kok"
"Alasan?"
"Asal kamu tahu san, semua pria punya kesamaan. Mereka itu cuman serius demi cewe"
"Jangan samakan aku dengan ayah"
"Apa? Kamu gak percaya?"
"Cuman sedikit dari perkataan ayah yang bisa dipercaya"
"Haha... Kalau gitu ayah tanya, kapan terakhir kamu serius?"
"Setiap ujian aku selalu serius"
"Serius yang lain, serius yang sampai bikin kamu keluarin banyak waktu dan tenaga"
Kalau dipikir-pikir, apa aku pernah seserius itu?
"Entahlah"
"Lho... Kamu malah gak inget"
"Gak inget? Memangnya pernah?"
"Pernah san, dulu kamu bener-bener serius waktu ujian nasional"
"Semua orang juga pasti serius!"
"Haha... Kata siapa san, banyak orang nyerah dan kerjain apa adanya, atau malah pasrah dan beli contekan"
Mungkin itu hanya mereka yang tidak mau berusaha dan tidak mementingkan masa depan. Mereka yang mengakui kelemahan tapi tidak mau memperbaikinya.
Hn? Kalau begitu bagaimana denganku?
"Kamu tahu, waktu itu kamu belajar sampai ngerjain banyak buku soal, padahal ayah gak pernah suruh"
Aku sendiri tidak begitu ingat kejadian itu.
"Yang bikin kamu kayak gitu tuh ibumu san"
"Kalau cuman itu, bukan berarti teori ayah benar. Mungkin ibunya saja yang hebat dan ayah yang payah"
"Kamu masih ga percaya?"
"Contoh ayah tadi itu gak nyambung"
"Hgn... Gimana kalau misalnya ayah suruh kamu ranking satu. Kalau kamu bisa, ayah bakal kasih hadiah"
“Hadiah?”
“Ayah kasih dua pilihan, mana yang kamu pilih, uang seratus juta atau istri cantik?"
“...”
Suaraku terputus, tenggorokanku tersendat. Aku tidak bisa bicara dengan benar. Perasaan melayang, logika terapung dan otakku yang sedikit melambat.
Perkataan tadi, entah kenapa wajah Mia yang terlintas di kepalaku. Apa aku memang orang yang seperti itu? Jika aku pikir dengan baik, uang seratus juta itu menggiurkan, tapi yang muncul pertama dan terus terbayang di pikiranku adalah pilihan kedua.
"San? Jadi gimana?"
Apa harus kujawab? Jika aku menjawab pilihan kedua, berarti aku menyutujui semua perkataan ayah. Aku tidak mau itu, rasanya sangat rendah ketika kalah dari orang ini.
"Oke yah, aku kebelet, sudah dulu"
"Ha? Woi san, jaw-"
Tit.
****