Angin sore yang sejuk, suhu ideal untuk manusia, pemandangan indah yang memanjakan mata, dan bahkan seorang gadis di sampingku. Tidak ada hal buruk di sini, sesuatu yang bisa dikatakan buruk adalah keadaanku. Banyak hal yang terjadi membuat kondisiku sangat kacau. Rasa lelah, letih, pegal dan kekurangan Aqua membuatku tidak bisa berpikir jernih.
"Ehmn..."
Aku masih bingung menjawab pertanyaan yang dia tujukan. Hal apa yang mungkin dilakukan seseorang di tempat seperti ini?
Aku memutar otak dan melihat sekeliling, berharap bisa menemukan sesuatu.
"Hmn... Aku? Aku sedang melihat detik-detik akhir cahaya bersinar"
“...”
Guakh... Sial, apa yang barusan kukatakan. Apa dia akan mengganggapku orang aneh? Tidak, tunggu, ini bisa dijadikan sumber lelucon. Tertawa ramah dan sedikit memberi alasan adalah hal baik. Tapi jika aku mengarahkannya begitu, dia mungkin akan menanyakan kembali pertanyaan yang sama. Pada saat itu hal apa yang harus aku katakan? Apa aku harus jujur saja? Bukankah jawaban seperti “Sedang jalan-jalan” atau “Mencari udara segar” itu sudah biasa.
"Hn ... Jadi? Gimana rasanya menikmati cahaya terakhir?"
Ha? Apa dia benar-bena? Atau karena dia tahu kebodohanku dan berusaha berbaik hati?
"Bukan, yang tadi itu bohong. Aku di sini gak sengaja waktu jalan-jalan. Jadi, gak lagi ngapa-ngapain"
"Hehe ... Aku juga gak anggap serius kok"
Tawa kecil dia tutupi dengan pergelangan tangan, membuatku melihat sebagian senyum dari wajahnya.
Tapi lepas dari masalah itu ...
"Kamu sendiri ngapain di sini?"
Raut wajahnya berubah, dari warna hijau cerah menjadi biru gelap. Ekspresi cerianya hilang, membuat dia menghapus senyum di wajahnya. Tapi hanya sesaat, dengan cepat dia membuat senyum baru.
"Kenapa kakak gak tebak saja? Kalau kakak sudah nyerah, aku kasih tahu"
Cih, Merepotkan.
Bukan berarti aku membenci hal ini, hanya saja waktunya yang tidak tepat.
"Oke, aku menyerah"
"... Belum juga mulai kak"
Aku mengela nafas singkat, layaknya mengendus ejek. Tidak ada yang bilang aku harus menebak namanya sebelum menyerah.
"..."
Aku melihat semangatnya memudar lagi, sepertinya dia tidak senang dengan jawabanku. Tapi apa boleh buat, kau dalam kondisi yang berbeda denganku. Ketika kita sedang bicara, aku bahkan bisa merasakan kakiku yang hampir keram akibat rasa letih seharian ini.
"Ya sudah sih, gak apa-apa"
Apanya yang tidak apa-apa? Memangnya apa kewajibanku untuk menebaknya?
"Hmn ... Kalau gitu, kakak tahu sinyal?"
"Ha? Telepon?"
"Bukan, sinyal ini beda kak"
Aku terdiam, sedikit menggerakan alis membuat ekspresi bingung.
"Sinyal, artinya isyarat atau tanda. Tanda yang bisa memanggil sesuatu. Aku di sini buat nyari itu"
Hn? Apa itu? Apa sinyal seperti itu adalah sesuatu yang bisa didapatkan di sini? Sebuah tempat berupa sisa tanah yang tidak digunakan.
"Aku gak ngerti"
"Hehe ... memang kalau aku ceritain malah jadi bingung, tapi nanti kakak juga ngerti. Terus kalau kakak mau tahu, namaku Mia"
Apapun itu, setidaknya dia tidak memiliki alasan yang sama denganku.
"Mia yah, namaku Hassan"
"Kak Hassan. Jadi, Umn ... Sudah ini kakak mau langsung pulang?"
Pulang? Hah ... Mungkin aku mau saja jika punya kemampuan teleport.
Bukan tidak ingin, aku hanya malas berjalan lagi. Rasa letih mengalahkan keinginanku untuk pulang. Lagipula setelah ditanya seperti itu, aku malah semakin segan untuk pergi.
"Enggak, entar saja kalau pulang"
Berbalik membelakangi gadis itu, aku pun mencari tempat beristirahat, tempat yang cukup bersih untuk duduk. Ada benda seperti batang pohon dan batu besar yang bisa kupakai, aku sendiri memilih batu besar.
Huft ... Rasanya sangat nyaman ketika duduk dalam kondisi pegal. Seperti kesemutan tapi sesuatu yang lebih positif dan segar.
Mia ada tepat di belakang, tapi dia tidak ikut duduk, dia hanya berdiri di sampingku. Padahal aku kira dia akan berkeliling dan mencari sesuatu yang disebutnya dengan sinyal, mengingat gadis ini datang membawa tujuan yang jelas.
"Kak, kakak haus? Aku bawa minum"
Ternyata kelelahanku sudah sampai ditingkat dia bisa menyadarinya.
"Haus sih, tapi itu kan punya kamu"
"Gak apa-apa, asal jangan dihabisin"
Aku menerima kemurahan hatinya, mengambil botol dan meminum beberapa teguk air. Setidaknya itu sudah cukup untuk mencegahku terkena dehidrasi.
Setelah selesai aku pun mengembalikan botol minumnya, mengucap terima kasih dan beberapa kali bertatap muka.
"Mia"
"Ya?"
Suatu hal terbesit di kepalaku.
"Tadi soal sinyal, itu gimana cara kamu nyarinya?"
"Hmn ... Aku juga gak tahu"
"Ha? Terus kamu ngapain saja di sini?"
"Aku ... Iya diam saja"
Hah... Aku sudah letih untuk bisa berpikir sekarang, tapi hal yang membingungkan malah terus berdatangan.
Bagaimana caranya mencari sesuatu yang tidak tahu cara menemukannya? Dan yang lebih aneh adalah tentang dia yang bisa tahu kalau benda itu ada. Apa dia sedang mencari Alien?
"Mia"
"Hn?"
"Aku ganti pertanyaannya. Kalau gitu apa yang kamu dapat waktu bisa nemuin sinyal itu?"
"Mungkin .... Sesuatu yang hilang"
Apa lagi itu? Apa ini teki-teki? Apa maksudnya mungkin? Kau bahkan tidak tahu pasti manfaat dari benda yang kau cari.
Aku semakin malas untuk menanyainya, tapi di sisi lain aku juga penasaran tentang apa maksud perkataan Mia. Apa ini semua hanya main-main? Jika dari fisiknya dia terlihat seperti anak kecil. Walaupun sedikit aneh karena dia terlalu tua untuk anak SMP tapi juga terlalu muda untuk anak SMA.
"Terus, kenapa kamu nyarinya di sini? Apa malaikat kasih tahu kamu kalau sinyalnya ada di sini?"
"Umn ... Gimana yah? Gak tahu kenapa kalau aku di sini, ada perasaan kalau sinyalnya mau ketemu"
"Ho ... Kayak gatal di dampal kaki tapi waktu kamu garuk-garuk gak hilang-hilang?"
"Hehe ... aku gak tahu gatal di dampal kaki, tapi kalau garuk-garuk gak ketemu gatalnya aku pernah"
Ini cukup aneh, apa mungkin alam bawah sadarnya merespons dan memanggilnya ke tempat ini? Aku benar-benar tidak mengerti.
"Kak?"
"Huh? Kenapa?"
"Kakak sendiri kenapa? Kakak mau bantuin aku? Kok kayaknya serius banget?"
Bantu? Tidak, aku tidak berniat seperti itu. Aku hanya ingin menemani obrolannya dan kebetulan dia memberiku teka-teki. Itu lebih baik dibanding saling diam tapi tetap berkumpul bersama, suasana seperti itu sangat menyebalkan.
"Mau bantu atau enggak, yang merasa gatal cuman kamu. Aku gak bisa rasain sinyal itu"
“Hehe...”
Mia mulai duduk di sampingku, jarak cukup lebar memisahkan kami. Pembicaraan kami terputus, sedikit diam dan membuat suasana di sini menjadi sunyi.
Aku mulai gugup, perasaan tidak enak muncul di pikiranku. Aku memang menyukai tempat tenang, tapi tidak untuk kesunyian ini.
"Jadi, kamu mau ngapain?"
"Hn? Kakak sendiri mau ngapain?"
"Kenapa kita kembali ke awal? Kamu gak punya ide apa-apa buat nyari itu sinyal?"
"Kalau memang segampang itu, harusnya sudah ketemu dari dulu"
Hmn ... Mungkin ada benarnya juga. Jika benda tersebut adalah benda yang mudah ditemukan, seharusnya dia tidak mencarinya seperti ini.
Hn? Tunggu, dari dulu?
"Mia"
Aku berbalik cepat menghadap wajahnya.
"Kapan kamu mulai nyari sinyal itu?"
Jika dia tahu seberapa sulit suatu benda ditemukan, itu artinya waktu yang dia habiskan untuk pencariannya tidaklah sedikit.
"Dari kapannya, sudah tiga bulan sih aku nyari di sini"
Itu sudah waktu yang wajar untuk dia menyerah. Apa selama ini dia mencarinya sendiri? Sudah berapa waktu dia buang hanya untuk hal yang tidak pasti. Apa dia juga punya hal yang sama denganku? Hal yang terjadi ketika zaman kegelapan dan kebodohan dari pertumbuhan manusia.
"Mia... Kenapa kamu gak berhenti saja?"
"He?"
"Tiga bulan itu sudah lama banget. Kalau gitu sih gak akan pernah ketemu"
Aku tidak ingin waktunya dibuang oleh hal bodoh. Penyesalan akan datang di akhir, ini akan semakin buruk jika terus dibiarkan.
Mia tidak membalas. Aku sendiri tidak memasang situasi serius, hanya bicara santai yang mungkin saja bisa menghentikan permainan konyolnya.
"Benda itu gak jelas, dan kamu cari pakai cara gak jelas, kamu sudah buang waktu dan tenaga buat hal yang sia-sia"
"..."
"Mungkin bukan sekarang, tapi kamu akan menyesal"
Karena aku sudah pernah menyesalinya.
"Aku gak tahu benda itu penting atau enggak, kenapa kamu gak lupakan saja dan cari sesuatu yang lebih berhar-"
Sluurt ... Eh? Basah? Air?
Rasa dingin dari atas rambut mengalir ke bawah. Sensasi sejuk mendinginkan kepalaku yang berkeringat, tapi aku tidak merasa senang karena cara yang dia lakukan.
"Woi...!"
Tidak sengaja suaraku keluar cukup keras.
Kesampingkan tentang kepala, sangat menyebalkan ketika pakaian atasku basah karenanya.
Dengan spontan aku mengarahkan kepala ke arah Mia, tapi yang kulihat hanyalah udara kosong, tidak ada siapapun di sampingku sekarang.
Tunggu, apa aku membuatnya marah?
"..."
Sedikit terdiam dan termenung, berpikir dan melihat kilas balik kejadian yang terjadi barusan.
Dasar bodoh.
Dari sudut pandang Mia, hal yang kulakukan itu hanyalah menginjak-injak harapannya. Aku tidak tahu tentang arti siyal itu untuknya, yang menganggapnya permainan hanyalah pikiran sepihakku.
Beberapa detik aku shock karena tindakannya, tapi dengan cepat logika mengambil alih. Aku pun memutar badan untuk mencari gadis tadi.
Dimana? Seharusnya dia masih ada di sekitar sini, tadi itu terlalu singkat untuk seseorang bisa pergi. Jalan keluar di sini hanyalah satu, jadi...
“...”
Aku berhasil menemukannya. Dia ada di gang kecil dan sedang berjalan pergi.
Apa aku harus mengejarnya?
Hatiku berkata untuk mengejar, tapi logikaku tidak. Untuk apa? Kalau memang kulakukan, apa aku bisa menarik kata-kataku? Bagaimana kalau gagal? Apa aku sanggup menahan rasa malunya?
Berbagai pertanyaan muncul dikepalaku, menghalangi setiap gerak dan membekukan tubuhku. Tapi...
Rasa sakit yang kurasakan jauh lebih kuat dibandingkan perasaan lainnya. Lebih kuat dibanding logika yang mencegahku tadi. Aku tidak tahu kalau disiram air rasanya sesakit ini.
Heh, aku memang pengecut.
Pada akhirnya, aku hanya memandanginya terus, membiarkannya pergi sampai dia benar-benar cukup jauh untuk kukejar.
****
Jam menunjukkan pukul 6:55. Aku sampai di gerbang sekolah, meleset lima menit lebih lama dari waktu yang kuperkirakan. Mungkin karena pertemuanku dengan Ryan adalah salah satu yang tidak kuperhitungkan. Selama aku tidak terlambat, bukan masalah.
Pertama yang kulakukan adalah ke ruang guru. Sebagai perkenalan dan menunjukkan kepindahanku secara resmi di sekolah ini. Beberapa macam guru kutemui di sana, hampir semuanya ramah. Mereka menyapa dengan lembut dan membuatku nyaman dengan lingkungan sekolah.
Persoalan tentang ketidakhadiran kemarin bisa kuatasi dengan mengatakan sesuatu seperti kesalahan informasi atau semacamnya. Aku tahu memang bohong, tapi itu karena terpaksa, akan merepotkan sekaligus memalukan jika aku memberi tahu yang sebenarnya terjadi. Lagipula, semua guru juga tidak ada yang mempermasalahkannya.
Selesai dengan perkenalan dan basa-basi, aku pun keluar dari ruang guru. Mereka memutuskan untuk memberiku tour singkat karena tidak ada masa pengenalan sekolah resmi untukku.
Bu Ria, guru yang terpilih membimbingku berkeliling sekolah. Selain tidak terlalu sibuk, alasan dia dipilih adalah karena dia sudah mengenalku. Bu Ria adalah anak dari teman ayahku dulu, karena bantuan dialah aku bisa masuk ke sekolah ini dengan mudah.
Aku sendiri juga mengenalnya dalam berbagai kesempatan, beberapa kali aku bertemu dengannya ketika bermain di luar. Rumah kami cukup berdekatan waktu itu, pertemuan kami menjadi hal yang wajar. Tapi tentu saja itu cerita sewaktu aku masih SD.
Dulu dia adalah mahasiswa yang cukup menyukai anak anak. Tak terasa waktu berlalu dan dia telah menjadi guru di sini.
Aku tidak tahu selisih umurku dengannya. Tidak ada kesempatan bagus untuk menanyakan hal tersebut waktu kecil, atau lebih tepatnya aku sendiri tidak tertarik untuk bertanya. Begitupun dengan sekarang, akan sangat tidak sopan untuk menanyakan umurnya.
“...”
Tapi tidak ada salahnya untuk sedikit berpikir. Aku cukup penasaran dengannya kali ini.
Jika aku perkirakan, umurnya mungkin ada di antara 22 sampai 26. Ketika aku kelas enam SD dia sudah berstatus sebagai mahasiswa, aku tidak sengaja mendengarnya dulu dan mengingatnya barusan.
Kalau begitu, Hanya satu petunjuk lagi dan aku bisa mengetahui umurnya.
"Bu"
"Kenapa san? Kamu mau ke tempat lain?"
"Bukan, aku cuman mau nanya, sudah berapa lama ibu jadi guru?"
Aku memisalkan kalau dia lulusan S1 dan langsung menjadi guru. Memang tidak sepenuhnya benar, ada kemungkinan kalau dia melewati beberapa tahun setelah lulus dengan menganggur, tapi aku abaikan faktor itu.
"Baru satu tahun sih, memang kenapa?"
Hmn ... Menurut teori tadi, umurnya sekitar 23 atau 24 tahun.
"Oh, gak apa-apa, cuman agak aneh saja, tiba-tiba kok sudah jadi guru"
"Hehe, kamu saja yang gak update kali, san"
Memang benar. Tapi Itu karena dia adalah salah satu orang yang tidak memiliki hak untuk aku cari tahu informasinya, tidak terlalu penting.
"Oh iya san, kamu juga boleh kok gak usah panggil ibu. Panggil saja teteh kayak dulu"
Bu Ria menggunakan logat bicara yang sedikit kekanak-kanakan, sama persis seperti dulu terakhir kami bertemu.
"Janganlah, nanti jadi gak sopan"
"Tapi kalau kamu panggil ibu, jadi aneh. Kayak yang tua banget gitu"
"Ibu kan guru, kalau aku panggil gitu, murid yang lain gimana?"
"Murid yang lain sih biarin saja"
"Enggak, nanti malah aku yang jadi aneh"
Terutama ketika orang-orang di sekitar melihatnya.
"Hehe ... tapi minimal panggil aku teteh waktu di kosan kamu"
Sepertinya pengalamannya mengajar selama satu tahun tidak membuatnya mengerti hubungan murid dan guru. Itulah yang kuharapkan, kemungkinan terburuknya adalah dia yang masih melihatku sebagai anak kecil.
Apa aku tidak terlalu berubah? Padahal aku cukup percaya diri dengan perubahan fisikku, dan apa tadi itu? Apa ayah memberi tahu alamat kontrakanku?
Oke, sekarang aku tahu kalau ayah tidak benar-benar melepaskanku sepenuhnya. Sepertinya aku dititipkan pada bu Ria sekarang. Walaupun sedikit kecewa dengan kenyataan ini, tapi keputusan itu cukup bijak.
Lepas dari masalah itu, ada sesuatu yang ganjil padanya. Sejak dari tadi aku benar-benar ingin menanyakan ini. Entah aku saja yang aneh dengan memperhatikannya, atau memang hal ini sesuatu yang wajar.
"Bu, kenapa ibu pake baju olahraga?”
Baju olahraga atau biasa disebut baju training. Dia memakai satu set baju tersebut lengkap dengan sepatunya. Orang normal akan mengira kalau guru tersebut adalah guru olahraga, tapi tidak baginya. Sesudah baju olahraga, dia memakai jas lab di atasnya. Pakaian cukup tebal berwarna putih dengan lambang sekolah di sakunya. Jadi yang pertama muncul dipikiranku adalah dia yang menjabat sebagai guru IPA di-.
"Kenapa? Soalnya ibu guru olahraga"
"Ha? Terus ngapain ibu pake jas lab?"
"Hehe, keren kan? Ibu sekarang jadi kelihatan pintar kan?"
Ah ... Aku benci mengakuinya, tapi sesaat aku berfikir demikian. Pengakuannya tadi sudah cukup untuk membuat gambaran tentang dirinya hancur. Sekarang aku menganggap bu Ria sebagai orang bodoh.
Aku muak karena karena tertipu dengan trik konyolnya. Kenapa dia bisa dengan santai melakukan hal ini di sekolah? Apa tidak ada yang menganggapnya aneh?
"Jadi, itu jas lab punya siapa bu?"
"Oh, Ini tuh punya bu Ratni. Ini juga ada namanya"
Bu Ria memperlihatkan nama di baju dada kanannya. Bisa kulihat, memang ada nama Ratni di sana.
"Memang gak apa-apa jas lab nya dipake? Bu Ratninya gimana?"
"Gak gimana-gimana, bu Ratni masih punya dua lagi kok"
Apa itu berarti ibu itu sudah menyetujui ide konyolnya. Apa tidak apa apa dia dibiarkan seperti ini? Secara teknis dia juga kan guru.
Hmn ...
Sebenarnya aku juga ingin mencoba memakainya, tapi itu tidak mungkin. Hal tersebut terlalu kekanak-kanakan dan hanya akan mengundang banyak tawa di sekelilingku. Jikapun aku bisa memakainya, tidak mungkin kutunjukkan pada orang lain.
Tour sekolahku sekarang sudah selesai. Bu Ria menawariku untuk pulang atau memulai sekolah hari ini. Walaupun cukup memalukan untuk hadir di tengah kegiatan belajar, tapi keinginan untuk menebus kejadian kemarin masih lebih kuat, hal tersebut membuatku memilih sekolah sekarang.
Aku diantar ke kelas baruku, menunggu di luar sesaat sampai jam pelajaran baru akan dimulai. Ibu Ria memberi tahu pada guru berikutnya tentang kedatanganku. Beberapa percakapan ringan seperti menitip anak, maaf mengganggu dan lain-lain mereka lakukan, setelahnya kami berpisah. Aku sekarang diserahkan pada guru itu, dibimbing masuk ke kelas, melakukan perkenalan singkat dan diberi tempat duduk. Dia menunjuk bangku yang ada di posisi paling belakang kanan sebagai tempat dudukku.
Kursi yang terbuat dari kombinasi besi dan kayu ringan dengan gantungan tas di sisinya. Desain kursi itu tidak lebar, karena memang dikhususkan untuk satu orang, tapi penataannya yang menghimpitkan dua kursi di satu baris membuat kami bisa duduk bersebelahan. Biarpun begitu, kedatanganku membuat jumlah anak laki-laki menjadi ganjil, akulah yang tidak memiliki teman sebangku.
Laki-laki di depanku bernama Latif, seorang anak sekolah biasa. Satu hal darinya yang menarik perhatianku adalah gaya rambutnya yang modelis menggunakan minyak tebal. Mengkilap dan terlihat cukup keras, disisir sedikit ke belakang dan membentuk belahan sempurna. Aku tidak tahu apa yang keren dari itu, karena pendapatku bilang kalau gaya rambut seperti itu lebih mirip dengan punggung kecoa.
Tapi aku tidak menghinanya, orang punya cara dan selera masing-masing agar tampil percaya diri. Orang tersebut juga ramah, terkadang dia mengajakku bicara. Hal umum seputar sekolah lama, tempat tinggal, dan alasan kepindahanku ia tanyakan. Selebihnya tidak ada percakapan produktif antara kami, tentu saja kami tidak akan akrab semudah itu.
Bel istirahat berbunyi, semua siswa beramai-ramai keluar kelas.
"San, kamu makan dimana? Mau bareng?"
"Enggak, entar nyusul saja"
Latif mengajakkku, tapi kutolak. Kemungkin besar dia akan pergi dengan anak-anak lain yang lebih tidak kukenal. Aku tahu ini kesempatan bagus untuk saling mengenal, tapi ada masalah yang lebih penting.
Gruuk. Sial, perutku sakit...
Atau lebih tepatnya mulas. Sebenarnya aku sudah menahannya sejak pertengahan kelas, tapi dengan berbagai perjuangan dan tekad, entah bagaimana aku bisa menahannya. Aku sendiri tidak izin ke toilet saat itu, hal tersebut sangat memalukan karena keberadaanku yang masih mencolok.
Belakangan ini pola makanku tidak teratur. Kehidupan mandiri, kebebasan, dan kemalasan telah menahanku untuk mengurus diri. Tidak kusangka hidup beberapa hari tanpa ayah sudah berefek buruk bagiku.
Ketika Latif mulai meninggalkan kelas, aku segera keluar dan menuju kamar mandi. Aku tidak mengerti kenapa ada orang yang meminta diantar ke kamar mandi, menurutku sesuatu berbau toilet itu sangat privasi. Oleh karena itu, sebisa mungkin aku mengendalikan langkah dan menenangkan raut wajahku untuk kerahasiaan.
Hah, kisah yang tidak menyenangkan untuk kukenang di hari pertama sekolah.
Sesuatu yang berharga akan kita sadari nilai keberhargaannya ketika hilang. Ayahku yang selalu mengingatkanku akan hidup sehat sudah tidak ada, aku harus bisa membangun kesadaran tanpa dirinya.
Setelah eksekusi yang kulakukan di kamar mandi, rasa lapar menyambutku. Roti dan bahan pangan lain kubeli di kantin. Tapi begitu sampai di kelas, aku melihat kursiku sudah berganti formasi dan dipakai oleh siswa perempuan. Dalam sekejap tempat ini sudah menjadi sarang wanita. Tidak ada satupun siswa laki-laki, semua sudut ruang dipenuhi oleh tawa obrolan gadis.
Aku langsung mengurungkan niat dan melangkah pergi. Makan di sana akan membuatku menjadi titik hitam, datang dengan menahan rasa malu dan membuat canggung seluruh ruangan. Sepertinya memang sudah menjadi tradisi dimana perempuan memakai seluruh kelas dan laki-laki makan di luar.
Aku tidak ambil pusing, mencari tempat menyendiri untuk sementara adalah pilihan yang tersisa. Tapi mau bagaimanapun aku tetap orang baru, tempat sepi yang kutahu hanyalah kamar mandi. Tentu saja aku menolak makan di sana, apalagi ketika aku baru saja menggunakannya.
Aku berjalan dan mencari tempat sunyi lain. Sudut demi sudut, ujung demi ujung semua aku telusuri, dan sepertinya aku beruntung. Instingku membimbingku ke tempat yang sepi, suatu ruang kecil di bawah tangga yang ada di pojok sekolah. Tempat ini jarang dilewati orang karena ada tangga lain yang lebih strategis untuk dilewati.
Aku langsung mengambil posisi duduk dan memakan Roti yang kubeli.
Huamn...
Akibat aktifitas buang airku tadi, rasanya nafsu makanku hilang. Bukan berarti aku tidak lapar, ini seperti suasananya jadi buruk dan makanan terlihat tidak lezat. Waktu istirahat sendiri adalah satu jam, kurasa tidak masalah jika aku memakannya dengan tenang.
Gum, mum... Gluk, gluk...
Tempat ini memiliki luas tiga meter dengan satu jalan masuk. Pencahayaan di sini cukup baik, tembok di depanku memiliki jendela kaca kecil permanen sebagai sumber cahaya.
Ada beberapa set meja yang disusun rapi di sini. Dua baris meja di tumpuk, meja pertama berdiri dan meja di atasnya dibalik. Tapi, ada dua buah meja dalam posisi terguling di bawah tangga dengan punggung meja mengarah ke luar dan membentuk sandaran yang sempurna. Tempat duduk yang bagus, membelakangi jalan masuk dan arah pandang agar menjaga privasi.
Hn? Tunggu, bukankah ini aneh.
Tempat ini terlalu sempurna untuk bisa kutemukan begitu saja. Meja disusun rapi mungkin memang wajar, tapi tidak dengan meja dibekang yang dipakai duduk olehku, pasti ada orang yang mengatur ini. Dan tidak hanya itu, lantai alas duduk di sini juga sangat bersih, tidak mungkin angin sore yang membersihkannya.
Aku punya firasat buruk.
Segera menelan sisa roti, aku pun bergegas pergi dari tempat ini. Melipat bungkus makanan, mengambil remah-remah dan menyatukan sampah di satu tempat. Tapi belum selesai semua kulakukan, suara hentakan keras terdengar olehku.
Langkah kaki?
Suara itu terus mendekat dan semakin keras. Aku yang mendengarnya mendadak membeku.
Apa itu pemilik tempat ini? Apa aku harus keluar sekarang juga? Tidak, ada kemungkinan kalau orang tersebut hanya kebetulan melewati tangga.
Aku menahan posisi di setengah berdiri, memejamkan mata dan menajamkan pendengaranku.
Suara keras terus kudengar, mungkin sepatu orang itu masih baru. Terus mendekat dan semakin keras, membuatku semakin panik. Tapi di suatu titik, suara itu mulai menjauh dan memudar.
Perasaan lega pun kurasakan, jantungku yang sudah terlajur terpacu membuat ringan seluruh tubuhku sekarang.
“Huft ... “
Kebetulan seperti ini memang mustahil terjadi. Aku beruntung menemukan tempat ini, bahkan terlalu beruntung. Seperti menemukan santap makan lengkap di rumah tak berpenghuni, mustahil. Itu mungkin terjadi jika kita mengabaikan pernyataan tak berpenghuni-nya yang secara sepihak kusimpulkan barusan. Jika ini film horror, aku sudah bertemu dengan hantu atau monsternya sekara-.
"...."
Mia?
Posisi setengah duduk membuatku melihat bagian bawah tubuhnya lebih dulu. Dia berdiri tepat di depan jalan masuk dan datang membawa bekal buatan rumah.
Dejavu?
Sudah kuduga, memang dia pemilik tempat ini. Tapi bagaimana dengan suara tadi? Apa itu bukan miliknya?
"Mi-"
Sebelum mulutku memanggil, kakinya lebih dulu bergerak. Aku segera bangun, mengambil dua langkah cepat dan menggapai tangannya.
“Hiks!”
Bahunya sedikit terangkat, tanganku yang menggapai tangannya ikut bergetar, tapi yang membuatku mundur adalah suara kecilnya yang seperti cegukan.
Apa aku membuatnya takut?
Aku tidak ingin menjadi penjahat, jadi dengan perlahan kulepas genggaman tangan tadi.
"Maaf..."
Untuk sementara itulah yang bisa kukatakan. Aku sendiri bingung dari mana aku harus bicara dan darimana aku harus memulainya.
"..."
Mia terdiam tidak membalas perkataanku. Kurasa memang keberadaanku tidak diinginkan.
"Ehm ... Aku pergi dulu deh"
Melangkah pergi di atas ubin, aku meninggalkan dia bersama tempat makannya. Itulah yang kupikirkan, tapi...
“Hn?”
Belum sempat langkahku menjauhinya, Mia lebih dulu menarik ujung bajuku dari belakang.
“Mia?"
Aku tidak tahu apa maksudnya? Karena ketika namanya kusebut, dia malah membuang wajah dariku.
Aku juga tidak ingin terjebak dalam perasaan bersalah ini. Semakin lama kesalahan ditutupi akan semakin sulit pula untuk diobati.
Kami kembali ke bawah tangga itu, Mia juga melepas tangannya ketika aku berbalik. Tak lama setelah itu, kami berdua duduk di bawah tangga dengan bersandarkan meja terguling tadi.
"..."
Hmn ... Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa aku langsung saja meminta maaf dan mengaku salah?
Aku melihat keaadan Mia, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi beberapa saat setelahnya, dengan perlahan dia membuka misting bekal. Gerak tubuh yang dia tunjukan begitu lambat dan ragu-ragu.
"..."
Apa ini? Ada apa dengan atmosfir berat ini?
Waktu terus berjalan. Aku sendiri sudah menghabiskan bekalku tadi, jadi tidak ada yang tersisa selain minuman. Tidak ada hal yang bisa kulakukan selain menunggu sesuatu terjadi, karena dia sendiri yang memulainya. Tapi, jika sudah seperti ini, dia mungkin akan terus diam sampai akhir.
"Mia..."
"Y-YA!?"
Ow-wow, ada apa?
Tiba-tiba saja dia sedikit berteriak dan menggetarkan misting bekalnya. Akibat responsnya, aku juga ikut kaget.
Memalingkan pandangan ke arah Mia lagi, aku melihat gerak tangannya berhenti dan wajahnya membeku. Beberapa saat setelahnya dia menggigit sedikit bibir dan mulai menutup matanya.
Apa benar seperti itu?
Kurasa dia tidak marah atau kesal karenaku. Justru sebaliknya, dia sangat tertekan atas hal yang dia lakukan dan menganggap aku yang sedang marah.
Cih, aku benar-benar terlihat jahat sekarang.
Berbeda dengan wanita kebanyakan, ekspresinya cukup jelas tergambar. Ini cukup unik, karena bagiku semua wanita itu munafik.
"Umn... Soal kemarin itu, aku gak marah kok”
Aku menghadapkan pandanganku ke depan, berharap bisa mengurangi ketegangan dengan memalingkan wajahku darinya. Bicaraku sedikit gugup, itu karena aku tidak pernah mengalami hal semacam ini, jadi apa boleh buat.
"Aku, minta maaf"
Ua ...
Entah kenapa kalimat tersebut sangat berat keluar dari mulutku. Berbeda dengan satu kata Maaf yang lebih sering kusebut, kalimat barusan sangat memalukan.
"He?"
"Iya, tentang sinyal itu, kamu punya alasan sendiri kan, tapi aku malah jadi sok bijak"
"Enggak kok, kakak bener. Semua cuman ego aku saja. Sinyal atau apapun itu, memang sesuatu yang gak jelas"
Mia sekarang membalas dengan lancar, memecah semua keraguan dan kegugupan yang mungkin dia rasakan sebelumnya.
"Haha, kamu sudah sadar ternyata?”
“I-Iya...”
Hn?
Ekspresinya kembali menurun. Seperti kembang api yang indah sesaat, wajahnya menjadi murung setelah ekspresi ceria yang dia buat sebelumnya. Jika memang ini hanya sebuah permainan, seharusnya tidak akan membuatnya sampai seperti ini.
Apa aku bisa membantunya?
Jika itu aku? Apa yang akan kulakukan? Sesuatu yang hilang dan sangat berharga sehingga membuatku mencarinya selama berbulan-bulan.
“ ... Mia”
Aku tidak tahu apa ini benar atau salah.
“Kalau memang kamu mau ... "
Aku mungkin tidak akan berguna, tidak akan melakukan apapun, tapi sesuatu yang mungkin bisa kulakukan adalah mengubah status pencarian ini.
“Aku bakal ada di sini, setidaknya sampai lulus"
Mengawasi agar tidak ada yang mengganggu jalanmu.
“Jadi, tenang saja...”
Aku akan membantu menaikan motivasi dan menjauhkan pengaruh buruk dari luar. Jika ini baik untukmu, aku akan ada dipihakmu.
“...”
Oi, katakan sesuatu, aku jadi merasa konyol karena kalimat barusan juga memalukan.
"Gimana kak?"
Ha? Bukanah sudah jelas?
“Jadi, iya... Gitu”
“Gitu?”
“Iya, gitu, jadi aku bakal ada di sini sampai lulus”
“Memangnya kakak mau pindah sekolah?”
Bukan itu...
Ck, apa aku harus benar-benar mengatakannya? Itu bukan kata yang sulit dimengerti kan. Dari arah pembicaraannya harusnya sudah sangat jelas.
"Kamu sudah ngerti kan"
Aku menghadapkan wajahku ke arah Mia sekali lagi, ini untuk memastikannya sendiri.
"Hn?"
Sedikit memiringkan kepalanya, Mia melihatku dengan tatapan kosong.
Yang benar saja, apa benar-benar harus kusebut?
"Jadi ... Intinya, aku mau bantuin kamu ... soal sinyal itu"
Cih, kenapa aku harus mengatakan sesuatu seperti ini. Ini berbeda dengan pribadiku yang lebih memilih diam daripada bicara terlalu banyak. Tapi ...
"Aku gak bisa bantu kamu nyari, aku gak bisa ngerasain sinyal itu, tapi kalau ikut mikir sama ngobrol, kamu bisa panggil kapan aja. Tiga bulan itu masih sebentar, kita masih punya banyak waktu. Setidaknya sampai aku lulus... Aku bakal ada terus di sini"
Jika memang harus kulakukan, akan kulakukan sampai akhir. Seperti terkena air, lebih baik diguyur sekujur tubuh dibanding di cipratkan sedikit-sedikit ke muka. Kata-kata itu keluar begitu saja, ini seperti logikaku hilang sesaat.
“...”
Lagi-lagi diam, kenapa aku harus menderita akan perasaan ini. Sial, aku malu sampai ingin mati. Untung saja tidak ada orang lain di sini.
“Un ... Makasih kak”
Hn?
Wajah yang sempat bingung dihapus dengan senyum kecil. Tapi semua itu dia lakukan tanpa melihat ke arahku.
Terima kasih, yah.
Aku sendiri sering mendengar kata itu, mereka yang mengatakannya bertujuan agar bisa lepas dari beban timbal balik jasa. Berterima kasih lalu pergi, itulah yang biasa terjadi. Tapi, kali ini mungkin berbeda, terima kasih yang mengawali semuanya.
Mia sekarang kembali dengan bekalnya. Wajah yang dibuatnya sekarang sama dengan ketika pertama kali bertemu, penuh kebahagiaan di setiap gerak geriknya—itulah yang kurasakan.
"..."
Aku memandanginya lagi, baru kali ini aku merasakan senang ketika melihat orang makan. Apa dia akan lebih bahagia ketika sinyal itu ditemukan?
Jari kecilnya yang mencomot-comot bekal, gerakan tangan untuk mengarahkan makanan ke mulutnya, semua itu terasa kecil dan rapuh.
"Hn? Ada apa kak?"
A, sial, aku terlalu lama memandanginya. Tentu saja semua orang merasa terganggu dengan itu. Walaupun, tidak melihat langsung, manusia punya sensor khusus terhadap pandangan orang lain.
Sesaat setelah kusadari, aku dengan cepat membalik kepalaku ke arah lain.
"Eh, yak, gak apa-apa"
Bicaraku terbata-bata, kalimatku sedikit terpotong dan terdengar kaku.
"...”
Dia memandangiku, itulah yang kurasakan. Aku tidak bisa berbalik sekarang, untuk sesaat itu adalah tindakan beresiko tinggi.
“Kak, bisa tutup mata sebentar?"
"Ha?”
Apa itu?
“Kenapa?"
"Tutup mata saja, bentar doank kok"
Beberapa detik terdiam tak mengerti, sedikit demi sedikit aku mulai berbalik, menyusuri pandangan dari tubuh sampai wajahnya hingga kami saling bertatap mata.
Gluk.
Sampai akhirnya aku pun menuruti apa kata Mia. Masih banyak bantahan yang bisa kulakukan, tapi tekanan yang dia berikan membuatku menyerah.
Beberapa detik setelah pandanganku gelap, Udara di sampingku terasa bergerak. Bisa kurasakan kalau Mia bangkit dari tempat dudukknya.
Ha? Apa ini? Tunggu-tunggu, Mia, itu terlalu cepat. Bukan, salah, aku tidak bermaksud akan melakukannya nanti. Maksudku, Kau tidak bisa menaikkan bendera di event ini, hal yang kulakukan tidak sampai ke tahap itu. Kita bahkan belum memulai apapun.
Detak jantungku mendadak menjadi cepat, keringat dingin mulai keluar, ujung tangan dan kakiku merasa kaku.
"Kakak gak lihat kan?"
Aku menjawab dengan menganggguk kecil.
Ah, sial karena aku menutup mata, indraku yang lain jadi menajam. Sekarang aku bisa merasakan aroma tubuhnya, dia tepat di hadapanku.
Nafasku menjadi berat, tubuhku rasanya mengeras, setiap gerakan kecil bisa kurasakan. Sampai pada saatnya...
Hmn? Basah?
Bukan basah yang pernah kurasakan sebelumnya, perasaan ini tidak memberikan nostalgia. Sensasi basah dan benda lembut licin kurasakan di bibirku sekarang. Akibatnya badan dan tanganku semakin tegang, aku tidak bisa memikirkan apapun.
Wajahku? Bagaimana rupa wajahku sekarang? Apa aku membuat wajah konyol?
Beberapa sensasi bergeraknya benda licin itu dapat kurasakan dengan jelas. Dia sesaat seperti menari di bibirku, sampai...
Hn?
Perasaan itu hilang, sensasi tersebut ditarik menjauh.
Apa tadi itu benar-benar itu? Apa aku bisa membuka mataku sekarang?
Detak jantungku mereda, nafasku mulai meringan, tapi pikiranku tidak. Semua otakku dipenuhi tentang bayang-bayang kejadian di luar sana. Dan pada saat itu...
Hng? Ronde dua?
Perasaan dan sensasi serupa bisa kurasakan lewat bibi-.
"Duh kak, buka mulutnya dong"
"Ha?"
Bukan mulut, tapi mataku yang terbuka karena reflek. Begitu terkejutnya ketika fakta dan pikiranku dijungkirbalikkan.
"Sosis?"
"Iya kak"
Sosis rebus sebesar setengah jari telunjuk tertusuk kayu kecil seukuran tusuk gigi. Sekarang benda tersebut dia pegang di tangannya untuk kemudian disuapi padaku.
Jadi yang tadi?
"Mia, kenapa sosis?"
"He? Bukannya kakak yang mau? Soalnya dari tadi kayak ngeliatin terus"
“...”
Bodoh, apa yang aku pikirkan.
Tentu saja gadis seperti dia tidak akan melakukan hal itu. Aku sudah menyangka kalau sesuatu seperti itu mustahil, ini terlalu luar biasa sehingga fantasy-ku bercampur dengan logika.
"Hah ..."
Seperti obat bius, semua keteganganku menghilang dan diganti oleh rasa lemas.
Jadi, aku hanya kegirangan sendiri? Kenapa segala yang di kota ini terus membuatku terlihat bodoh?
Tidak.
Hal ini wajar terjadi karena aku juga laki-laki. Satu atau dua kali tidak apa-apa jika aku berharap.
"Kenapa kak? Kakak gak suka sosis?"
"Enggak, aku suka kok”