Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like Butterfly Effect, The Lost Trail
MENU
About Us  

Pernahkah kamu berpikir kalau kamu bukanlah dirimu yang sekarang?

Manusia percaya, bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atlet pandai berolahraga, Ilmuwan pandai meneliti, seniman pandai berkarya dan bahkan politikus yang pandai berbohong.

Apa yang terjadi jika kita bisa bertukar posisi dengan orang-orang tersebut? Dengan pikiran dan perasaan yang sama, apa kita masih diri kita yang sekarang? Lalu, tindakan apa yang akan kita pilih? Akankah sama dengan orang tersebut? Atau justru sebaliknya, kesadaran yang kita miliki bisa membuat pilihan yang berbeda. Ketika semua itu terjadi, apa masa depan akan berubah?

Banyak orang yang berpikir jika menjadi berbakat adalah suatu kelebihan. Diantara mereka bahkan berharap kalau dirinya dilahirkan sebagai seorang yang genius.

Yah, orang-orang yang seperti itu sudah menunjukkan kalau dirinya tidak pintar.

Mereka pikir kepintaran itu dapat menggapai apapun dengan mudah. Meraih prestasi , menjadi terkenal, dan disukai banyak orang.

Heh, Apa-apaan itu? Apa aku aneh? Aku berada di posisi yang terbalik dengan mereka.

Sama halnya ketika anak kecil yang ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Hanya melihat dari luar dan menganggap betapa hebatnya menjadi besar. Tapi setelah itu semua terjadi, pola pikir mereka pun menjadi terbalik.

Semua sama saja, hanya bentuknya yang berbeda. Kelebihan tidak selamanya berbuah manis, dan kekurangan bukanlah penghalang kesuksesan.

Aku tidak pernah menginginkan kekuatan, aku tidak pernah memilih terlahir seperti ini.

****

Sebuah tempat di dataran tinggi. Kota yang cukup padat jika dibandingkan dengan kampung halamanku. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, atau lebih tepatnya memang begitulah ciri khas kota ini.

Saat ini aku sedang berjalan menuju sekolah baruku. Walaupun ini hari pertama, nyatanya tidak ada satupun yang mengantarku pergi ke sana. Ayah yang sudah mengurus semua dokumen telah kembali karena pekerjaannya, sedangkan ibuku tidak datang sama sekali.

Menurut informasi yang kudapat, sekolah itu berada di pinggir pusat kota, tapi ayahku juga bilang sesuatu seperti “Di tengah perumahan”. Aku tidak tahu maksud jelasnya seperti apa, tapi itulah yang kuingat. Banyak hal yang dia katakan padaku tidak tertanam dengan baik. Mungkin waktu itu aku sedang malas, jadi aku mengnyetujui semua penjelasannya.

Aku tahu, melihat masa lalu tidak akan merubah keadaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha mengingat.

Jam menunjukkan pukul 6:45, sudah empat puluh menit aku berjalan. Padahal ayah bilang sekolah itu dapat ditempuh dalam waktu tiga puluh menit.

Apa aku mengambil jalan yang salah?

Kota ini masih terlalu asing untukku, alamat sekolah yang kupegang menjadi tidak berguna. Aku terlanjur berjalan jauh, sudah terlambat untuk kembali dan mengulanginya dari awal. Kalau begini, menanyakan jalan adalah pilihan yang bijak.

Aku mengeluarkan Handphone dari sakuku, menekan tombol kontak dan melihat nama ayahku di dalamnya.

"..."

Tidak, lupakan. Aku tidak ingin menanyakannya pada ayah sekarang.

Kembali mengantungi Handphone dan kulanjutkan langkah lebih jauh. Seharusnya ini menjadi tugas mudah dan sesuatu yang tidak perlu keahlian.

Beberapa Jalan sempit dan bercabang kutemui, tapi aku tidak peduli. Sampai beberapa saat aku menemukan keramaian, pandanganku tiba-tiba saja dipenuhi oleh pedagang. Aku heran, apa kota ini memang ramai dengan kegiatan jual beli, karena di daerah sekitar kontrakanku tidak seperti ini.

Pergerakan kakiku tidak berhenti. Tidak peduli ke arah mana, aku hanya memilih jalan yang cenderung lurus.

Suasana ramai semakin kuat. Obrolan kecil dan teriakan besar saling bertumpang tindih, mengganggu satu sama lain sampai membentuk dengungan di telingaku.

Tunggu dulu ...

Setiap sudut, tidak ... lebih tepatnya setiap bangunan adalah pedagang. Pikiranku menjadi kacau, leher dan kepala bergerak dengan cepat, Semakin kulihat semakin banyak orang berlalu lalang.

... Apa aku tidur sambil berjalan? Aku tidak begitu ingat jalan mana yang kulalui barusan.

Di arah depan ada pedagang sayur dan buah, di samping pedagang rempah-rempah dan di belakangku ada pedagang beras.

Melihat hal tersebut, jiwaku serasa ditarik dari dalam, aku tidak mengerti bagaimana dunia ini berjalan. Rasa bingung dan heran memenuhi kepala, tapi kesimpulan yang kudapat sudah jelas. Aku ada di pasar tradisional.

"Sial"

Aku menenangkan diri dengan menanamkan pernyataan “Mungkin ini memang rute menuju sekolah”.

Melihat ke langit dan berpikir. Setidaknya aku tahu kalau arah sekolah itu ada di utara. Beberapa detik berlalu dan perasaan tercerahkan pun datang, arah tersebut sesuai dengan jalanku selama ini. Walaupun perjalan terhambat kondisi pasar, setidaknya aku bisa datang tepat waktu dengan berjalan keluar menembus pasar sekaligus menuju sekolah.

Tapi kenyataan tidak semanis itu.

Pasar ini cukup luas, menjulur ke semua arah dengan kondisi bangunan yang mirip. Sangat membingungkan untuk orang luar sepertiku. Ketika aku berjalan lurus ke utara, entah mengapa aku selalu menemukan jalan buntu. Sudah kucoba beberapa kali dengan sedikit memutar jalan, tapi tetap berakhir sama.

“Huft ... ”

Aku merasa rendah dan hina, anak laki-laki berumur delapan belas tahun tersesat di pasar dalam perjalanan sekolahnya.

Jam Handphone-ku menunjukkan pukul 6:55. Tentu saja ini sudah waktunya untuk pasar mereda. Tidak seperti barusan, kondisi sekarang memungkinkanku untuk menanyakan arah pada pedagang.

Berjalan mengitari pasar sekali lagi, mengusir rasa lelah dan kecewa dengan menyibukkan dri sendiri. Sampai pandanganku terkunci oleh satu pedagang di persimpangan jalan.

"Bu, gehunya empat"

Ibu itu langsung membugkus dengan plastik, memberikannya padaku dan kutukar dengan sejumlah uang. Percakapan kecil lainnya aku lakukan untuk mencairkan suasana. Tentu saja, semua ini hanya umpan. Niat sesungguhnya adalah untuk bertanya, karena aku sudah muak dengan pasar ini.

“Bu, kalau mau keluar pasar lewat mana yah?"

"Keluar? Adek masuk lewat mana?"

"Dari sana bu" Jawabku sambil menunjuk arahku datang.

"Iya, di sana juga ada jalan keluarnya dek"

“...”

Aku tahu, bukan itu yang ingin kucari. Perasaan kalah luar biasa jika aku melewati jalan tersebut. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui fakta itu.

"Gak ada jalan lain gitu bu?"

 

****

Aku bingung kenapa hal ini bisa terjadi. Hari pertama tersesat, aku ingin menyembunyikan fakta ini dari siapapun, terutama ayah. Bisa kubayangkan tawa lebarnya ketika mengetahui hal tersebut.

Cih, membayangkannya saja sudah membuatku kesal.

Ibu tadi menjelaskan arah menuju sekolah dengan jelas. Alasan kenapa aku tidak bisa menemukan jalan keluar adalah sekolah itu sendiri. Tempat itu bersebelahan dan tepat di utara pasar, pondasi dan tembok besar sekolah memutus jalan utara. Kita tidak bisa masuk ke sekolah lewat pasar, maka arah utara adalah satu-satunya jalan yang tidak bisa dilalui.

"Sial, sial banget"

Aku akhirnya keluar dari pasar. Perasaan kecewa dan lega aku rasakan, karena saking mudahnya aku keluar membuat perjuanganku tadi jadi kecil nilainya. Tidak lama setelah itu, aku juga bisa melihat sekolahku. Jika aku gambarkan, sekolahku ini diapit oleh perumahan di setiap arahnya kecuali arah selatan yaitu pasar tadi. Akses jalan menuju sekolah dari tempat tinggalku adalah memutari pasar dan masuk melalui perumahan. Jadi sejak awal, aku yang mengambil jalan lurus ke utara adalah tindakan yang salah.

Tujuanku sekarang terpenuhi, aku bisa menemukan sekolah. Tapi tidak ada rasa puas karena pencapaian ini, itu karena target utamanya tidak kugapai. Waktu sudah terlalu siang, akan sangat canggung jika aku masuk ke sekolah sekarang. Jikapun toleransi mereka berikan, sesuatu yang rumit seperti alasan keterlambatan akan sulit kusampaikan. Tapi di sisi lain, ini juga masih terlalu pagi untukku pulang ke rumah. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berkeliling lebih jauh demi mengetahui sudut kota ini lebih detail. Tentu saja agar kejadian ini tidak terulang lagi.

Aku mulai menjelajahi perumahan, ini juga sebagai referensi tempat berbelanja. Warung makan, jasa fotocopy, dan penjual pulsa akan sangat bermanfaat nanti. Memang agak memalukan ketika ada orang yang melihatku, tapi aku sedikit tertolong dengan jaket hitam yang menutupi seragam.

Banyak waktu kuhabiskan, terkadang aku juga tertarik mengunjungi tempat seperti toko buku dan toko aksesoris kecil. Kepahaman tentang wilayah ini sudah meningkat seiring waktu berjalan. Sampai siang, atau bahkan sore, tidak terasa kalau perjalananku sudah cukup jauh. Dan sampai aku sadar, sepertinya aku tersesat lagi.

"Hah ... Seburuk inikah kemampuan navigasiku?"

Sekarang aku ada di sebuah tempat terpencil dengan satu jalan masuk. Sebuah lahan yang dikelilingi oleh tembok, kecuali arah barat. Di arah tersebut ada sebuah aliran air yang cukup besar dan didepannya lagi tidak ada apa-apa selain ilalang.

Sebelumnya aku tertarik melangkah lebih jauh untuk mencari toko buku yang lebih lengkap, tapi semakin kuberjalan lingkunganku malah semakin sepi.

Apa tersesat sudah menjadi kemampuan khususku?

Tentu tidak sebingung di pasar, aku hanya tidak tahu posisiku sekarang. Jika aku ingin pulang aku bisa mengambil jalan mundur sesuai ingatanku, tapi itu terlalu jauh dan akan sangat melelahkan.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi itu bukan masalah besar. Karena hari ini aku sudah hidup mandiri, tidak ada yang khawatir menunggu kepulanganku sekarang.

Hmn...

Aku suka dengan lahan hijau luas yang melentang sampai ujung penglihatanku, melihat matahari terbenam dan merasakan angin sore di setiap detiknya. Sebuah potret yang menenangkan jiwa. Aku sendiri suka berdiam diri di tempat sempit dan sunyi yang biasa kusebut kamar tidur, apa yang ada di depan mataku sekarang adalah sesuatu yang jarang kulihat.

Lima menit berlalu, pikiranku hampir saja dicuci karena keindahan alam tersebut. Tapi sebelum itu terjadi, aku lebih dulu disadarkan oleh suara di belakangku.

Shrek. Indra pendengaranku menajam karena suasana sepi , suara getar dan gemerisik daun terdengar jelas.

Tunggu? Apa ada orang yang datang? Oh sial, akan sangat memalukan jika dia melihatku.

"Kak?" 

Hn? Suara yang lembut. Apa dia wanita?

Walaupun bukan namaku, sangat jelas kemana panggilan itu ditujukan.

“...”

Aku menenggak air liurku, rasa gugup dan gelisah seketika datang ketika aku memandang arah suara tersebut.

Seorang gadis dengan mata coklat terang, bibir kemerahan, hidung mungil, kulit cerah dan tinggi sekitar 155 sentimeter. Gadis dengan pakaian terusan berwarna pucat dan tas kecil yang dibawanya, dia melihatku dengan wajah penasaran.

Apa yang harus kujelaskan padanya? Apa aku harus langsung pergi? Tidak, itu akan lebih memalukan.

"Kakak ngapain?"

Dia bertanya sekali lagi, suara halusnya tersebut seperti membelai telingaku.

“Huft ... ”

Kakiku pegal, keringatku banyak, kepalaku penat, dan hatiku remuk karena kecewa. Semua itu sangat menyebalkan, ingin rasanya aku berteriak marah pada diriku yang lalai di masa lalu.

Tapi, mungkin tersesat juga bukan hal buruk.

 

****

Hari kedua, dan hari pertamaku ke sekolah.

Aku menyadari fakta konyol ketika aku pulang kemarin. Seharusnya aku tidak perlu tersesat, bahkan hampir semua yang kukakukan itu sia-sia, kebodohan terbesar telah kulakukan di zaman modern ini. Aku memang tidak pernah menggunakannya, tapi itu adalah sesuatu yang bahkan bisa kumengerti dengan sekali pakai. Jika aku menelpon ayah, solusi tersebut mungkin dia usulkan padaku.

Handphone-ku sebenarnya sudah mendukung fitur google map. Tempat umum seperti sekolah pasti dimuat di dalamnya. Entah apa yang ada di kepalaku sampai bisa melupakan hal sederhana ini.

Apa mungkin karena keadaanku yang tidak fit?

Kalau begitu tidur selama empat jam itu memang kurang, mungkin aku akan menambah dua jam lagi untuk keselamatan.

Tidak seperti kemarin, hari ini jauh dari kata tersesat. Kali ini aku bisa berpapasan dengan anak-anak lain. Walaupun masih canggung untuk aku bisa menyapa orang-orang tersebut.

Kepindahanku dimulai pada bulan Oktober, ketika sekolah sudah berjalan sekitar tiga bulan. Aku juga masuk di tahun kedua, dimana hampir semua murid sudah memiliki temannya masing-masing. Ini mempersulitku untuk memulai komunikasi.

Lima belas menit berlalu, banyak siswa lain yang mengambil jalur berbeda dalam perjalanannya. Rute menuju sekolah adalah perumahan itu sendiri, jalannya pun menjadi beragam, tidak masalah untuk sedikit memutar dari jalur utama.

Selang beberapa menit setelah melewati persimpangan, aku melihat seorang pria. Laki-laki dengan tubuh tinggi dan jaket berbahan taslan berwarna gelap. Orang itu memakai celana sekolah, kemungkinan besar kalau dia juga siswa yang sama denganku.

"Hn?"

Aku melihat dengan lebih teliti, sepertinya aku kenal pria tersebut. Rambut tebal dan sedikit bergelombang, cara berjalan yang unik dengan sedikit membungkuk. Laki-laki itu adalah Ryan, entah mengapa instingku bilang seperti itu. Walaupun banyak perubahan terjadi pada bentuk fisiknya, tapi aku masih bisa mengenalinya dengan jelas.

Mempercepat langkah demi mengejar orang tersebut, Aku terdiam sesaat untuk bisa melihat sedikit wajahnya. Ketika aku benar-benar yakin tidak salah orang, tepukan pundak aku berikan padanya.

"Yan? Kamu sekolah di sini ternyata"

"..."

Tapi bukan jawaban melainkan penolakan. Dia membuang wajah dan mempercepat langkahnya.

"Oi, oi, gak usah gini juga lah, yan"

Menghadapi sikapnya, aku juga mempercepat langkah sehingga memiliki phase yang sama dengannya. Tapi dia tidak kunjung berhenti, tetap menjauh dan tidak meresponsku. Sebelum dia terlalu jauh untuk kukejar aku menghentikkannya dengan memegang erat pundaknya. Serentak dia pun berhenti, terdiam sesaat dan memalingkan wajahnya padaku.

"Hah ... Kenapa lu balik lagi?"

Sedikit terkejut ketika kalimat pertama yang dia lontarkan padaku adalah pertanyaan yang dingin.

Tapi ...

Mungkin hanya candaan, karena semua laki-laki tidak akan mengungkapkan pujian dan perasaan rindu pada laki-laki lain.

"Yah, aku gak mau kelamaan di sana, aku juga mau sekolah di kota. Jadi sekarang aku nge-kos sendiri"

"Oh ..."

Ryan kembali mengambil langkah untuk pergi. Sepertinya bukan perasaanku kalau dia memang bersikeras untuk menjauh.

"Enggak, enggak, enggak, hari ini kamu kenapa, yan? Pendiam gak segininya juga"

"Gua gak apa-apa"

Ryan memang bukan tipe orang yang ramah. Biarpun begitu, dia akan membalas obrolan dengan baik. Dan responsnya kali ini berlawanan dengan semua yang kuingat.

"Haha ... Sekarang kamu malah ngasih teka-teki pekain cewek. Ini beneran gak apa-apa yang gak apa-apa, atau gak apa-apa yang kenapa-napa?"

Mungkin dia masih canggung karena kedatanganku yang tiba-tiba. Sedikit candaan kulontarkan, aku kira ini bisa mencairkan suasana, tapi ternyata tidak. Ryan malah mengeluarkan aura dingin, dia bahkan tidak mengubah garis dahi di mukanya.

"Yan? Seriusan kamu kenapa?"

"..."

Masih tetap diam. Kali ini aku sedikit khawatir.

"Yan?"

"Cukup!"

Aku terkejut, suaranya cukup tajam.

Apa aku membuatnya marah? Kenapa? Bukankah belum ada kesempatan untukku bisa membuatnya marah.

Aku mengambil satu langkah mundur, penolakan kuat dia keluarkan dari dalam tubuhnya. Wajah yang Ryan tunjukkan bukan wajah yang menyenangkan.

"Sorry, yan "

Mengurungkan niat untuk bicara, aku bergerak menjauh. Ryan sendiri yang memutuskan benangnya denganku.

"..."

Lagi lagi tanpa jawaban. Memang sepi rasanya jika harus mengakhiri reuni tanpa sapaan dan pamitan sama sekali. Entah siapa yang salah kali ini, tapi aku tidak sepenuhnya menyerah. Aku masih menunggu reuni sesungguhnya.

Semua orang punya urusan dan privasinya masing-masing. Aku tidak berhak ikut campur jika Ryan sendiri tidak memperbolehkanku. Bisa saja aku berinisiatif menawarinya bantuan, tapi dengan hubungan kami sekarang dan sikapnya yang begitu sudah menunjukkan kalau itu tidak mungkin.

Setelah itu kami berpisah. Aku mengambil langkah lurus ke sekolah, sedangkan Ryan segera mengubah arahnya. Beberapa menit berlalu dan tanpa aku sadari Ryan sudah menghilang dari penglihatanku.

Dulu aku pernah ke kota ini. Ryan adalah teman sekaligus tetanggaku waktu SD, pertemuan kami terputus oleh kepindahanku. Semua itu disebabkan oleh Ayah yang mengalami mutasi jabatan, kami sekeluarga terpaksa mengikutinya. Tapi selang aku dewasa, aku meminta untuk hidup mandiri dan memindahkanku ke sekolah di kota. Entah kebetulan atau takdir, sekarang aku kembali bertemu Ryan.

Aku tiba di sekolah, begitu melewati gerbang aku melihat gadis yang kutemui kemarin sore. Sekarang dia tampil dengan seragam sekolah. Perubahan terbesar terletak di bagian wajah, dia memakai kacamata dengan frame berwarna hitam yang lebih besar dari bola matanya.

Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat, aku hanya memandanginya dari jarak yang cukup jauh.

Gadis itu berjalan layaknya siswa biasa, menyisir halaman depan sekolah sampai tiba saatnya dia untuk berbelok. Tatapan kami bertemu, gerak tubuh dan kepalanya membuat dia tidak sengaja memandang ke arahku. Tapi hanya sekejap, dengan cepat dia membalikkan wajah dan kembali melanjutkan langkahnya.

“...”

Sekarang aku harus bagaimana?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
1364      665     1     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
Cinta Tiga Meter
722      446     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
Rain, Coffee, and You
538      379     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
Je te Vois
708      459     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Oscar
2266      1093     1     
Short Story
Oscar. Si kucing orange, yang diduga sebagai kucing jadi-jadian, akan membuat seorang pasien meninggal dunia saat didekatinya. Apakah benar Oscar sedang mencari tumbal selanjutnya?
REVIVE TIME
4295      1339     9     
Mystery
Kesalahan ada pada setiap orang. Kesalahan pernah terjadi pada setiap orang. Bagaimana caramu memperbaiki kesalahan di masa lalu? Yah, mungkin memang tidak bisa diperbaiki. Namun, jika kamu diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lalu akankah kamu memperbaikinya?
Oh, My Psychopaths CEO!
1052      694     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Crashing Dreams
264      222     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Palette
6169      2229     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Confession
567      415     1     
Short Story
Semua orang pasti pernah menyukai seseorang, entah sejak kapan perasaan itu muncul dan mengembang begitu saja. Sama halnya yang dialami oleh Evira Chandra, suatu kejadian membuat ia mengenal Rendy William, striker andalan tim futsal sekolahnya. Hingga dari waktu ke waktu, perasaannya bermetamorfosa menjadi yang lain.