Marsya, Fira, dan Lala sengaja datang lebih awal dari biasanya agar mereka bisa masuk ke gedung D tanpa dilihat oleh siswa lain. Kemarin mereka memutuskan untuk langsung pulang karena mereka merasa situasi dan kondisi sudah tidak mendukung untuk mereka. Dan rencananya, jika hari ini kertas itu tetap tidak ada, mereka akan mendatangi Arsen.
“Udah fix ini mah, kita harus datengi Arsen,” ujar Lala setelah mereka bertiga sudah berada di depan mading gedung D dan mereka tidak menemukan kertas itu.
Ujaran Lala itu mendapat balasan berupa anggukan dari Marsya dan Fira. Setelah pesan yang dikirimkan oleh Cindy kemarin, Marsya merasa tak ada salahnya jika ia bertemu dengan Arsen tanpa sepengetahuan Cindy.
“Ya udah, nanti waktu istirahat pertama kita temuin dia,” ucap Marsya.
“Kita gak mungkin ngomong sama dia di kelas atau di kantin,” ujar Fira.
“Nanti biar gue bilangin Cindy biar Arsen temuin kita di perpustakaan,” ucap Marsya.
Mereka bertiga pun berjalan menjauhi mading gedung D dan berjalan menuju kelas. Tanpa mereka sadari, sedaritadi seseorang memperhatikan mereka. Seseorang itu adalah penulis dari mading itu dan dia sudah tahu apa yang harus ia tulis di kertas selanjutnya.
Sesampinya Marsya di kelasnya, ia melihat Cindy sedang memainkan ponselnya dengan earphone tersumpal di kedua telinganya.
“Cindy!!!” teriak Marsya tepat di samping Cindy. Marsya berani berteriak karena dia tahu, volume lagu yang sedang didengar oleh Cindy setara dengan volume suara yang ia keluarkan untuk berteriak.
Cindy pun melepaskan earphone-nya. “Kok akhir-akhir ini lo sering dateng cepet, Sya?”
“Gue sekarang harus jemput Lala sama Fira dulu, jadi, gue percepat perginya,” jawab Marsya. “Oh, ya, Cin, gue boleh minta tolong gak?”
“Tolong apaan?” tanya Cindy.
“Hari ini Arsen datang gak?” tanya Marsya.
“Sekarang dia lagi di kantin, emangnya kenapa?” tanya Cindy balik.
“Tolong bilangin ke dia buat jumpain gue di perpustakaan. Gue minta tolong banget sama lo,” mohon Marsya.
Walaupun Cindy sedikit bingung dengan permintaan Marsya, Cindy tetap menganggukkan kepalanya. Dan walaupun Cindy penasaran dengan hubungan Marsya dan Arsen, ia tidak bertanya, karena ia tahu, cepat atau lambat Marsya akan memberitahukannya.
“’Makasih banget, Cin,” ucap Marsya, “Nanti kalau urusan gue sama Arsen udah selesai, gue pasti cerita ke lo.”
***
Tepat setelah bel istirahat pertama berbunyi dan setelah guru mereka keluar dari kelas, Marsya, Fira, dan Lala pun langsung keluar dari kelas mereka dan berjalan menuju perpustakaan.
“Cindy udah bilang ke Arsen, ‘kan?” tanya Lala saat mereka sudah duduk di kursi perpustakaan.
Marsya menganggukkan kepalanya.
Bertepatan saat Marsya ingin mengatakan sesuatu, Arsen mendatangi mereka dan duduk di kursi yang berada di samping Marsya.
“Lo bertiga ada perlu apa sama gue?” tanya Arsen seakan-akan ia tidak sedang menyembunyikan sebuah rahasia besar.
“Kita bertiga perlu kejujuran dari lo,” jawab Marsya. Kalau Marsya boleh jujur, saat ini ia merasa sangat gugup karena harus berbicara serius dengan Arsen. Walaupun ada Fira dan juga Lala, tetap saja, Marsya merasa gugup.
Arsen memandang mereka bertiga dengan tatapan bingung, ia tidak mengerti apa maksud dari kejujuran yang dikatakan oleh Marsya. “Kejujuran? Emangnya gue pernah bohong sama lo bertiga?”
Melihat Arsen sedikit mengalihkan pembicaraan dan bertingkah seperti orang tak bersalah, Lala pun merasa ia harus langsung memberitahukan Arsen apa maksud ia, Marsya, dan Fira mengajak Arsen untuk bertemu dengan mereka.
“Lo ‘kan yang nulis kertas yang ada di mading gedung D?” tanya Lala.
“Hah?” tanya Arsen sedikit terkejut, ia tidak menyangka bahwa dirinyalah yang dituduh sebagai penulis itu. “Lo nuduh gue yang nulis?”
“Lo jujur aja kali, Sen, kita gak bakalan ngasih tau yang lain,” ucap Fira.
“Tunggu, tunggu, kenapa lo bertiga nuduh gue?” tanya Arsen. “Gue gak sekurang kerjaan itu kali, gue masih punya kerjaan yang lebih penting daripada nulis tulisan dukun itu.”
“Jadi, lo juga tau tentang tulisan itu?” tanya Marsya.
Arsen menganggukkan kepalanya. “Tapi jujur, bukan gue yang nulis. Sumpah.”
“Terus, kalau bukan lo siapa lagi? Cuma lo satu-satunya orang yang pernah lihat Marsya keluar dari gedung D. Gue yakin gak ada murid lain yang berani ke sana,” ucap Lala.
“Sen, lo gak lagi bohong, ‘kan?” tanya Marsya.
“Ya ampun, Sya, gue serius. Walaupun gue suka cerita misteri, bukan berarti gue mau buat yang kayak gituan,” jawab Arsen, “Kalau gue memang bisa prediksi masa depan, pasti gue kasih tau kalau ada sesuatu yang buruk akan terjadi langsung sama orangnya. Mana mau gue buat orang lain sibuk hanya karena mencari tau apa yang gue tulis.”
“Kalau lo tau, kenapa lo gak cerita ke orang lain?” tanya Fira.
“Buat apa? Buat bikin sekolah kita jadi ramai?” tanya Arsen balik. “Kalau lo bertiga gak keberatan, gue bisa bantu lo bertiga buat nemuin penulis itu.”
“Kita gak keberatan kok, Sen,” ujar Marsya. “Kita minta maaf, ya, Sen, udah nuduh lo dan ngebuang waktu istirahat lo.”
Arsen menganggukkan kepalanya. “Santai aja kali, Sya. Gue balik ke kelas duluan, ya? Mau ngerjain tugas.”
“’Makasih, ya, Sen,” ujar Fira dan Lala hampir bersamaan saat Arsen bangkit dari kursinya.
Arsen membalas ujaran Fira dan Lala dengan anggukan lalu berjalan menjauhi mereka bertiga.
“Kalau bukan Arsen siapa coba?” tanya Lala.
Marsya menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak mempunyai kandidat untuk dijadikan pelaku karena setahunya, tidak ada orang yang peduli dengan mading gedung D.
“Ya ampun, gue baru ingat,” ucap Marsya yang baru saja ingat akan sesuatu.
“Apaan, Sya?” tanya Fira dengan bersemangat karena ia mengira Marsya ingat sesuatu tentang gedung D.
“Gue baru ingat kalau gue seharusnya datengin Kenzo, gue mau minta artikel yang udah dia print,” jawab Marsya.
“Astaga, Sya, gue kira lo ingat sesuatu tentang gedung D,” ucap Lala.
“Gue ke kelas IPS 3 dulu, ya?” pamit Marsya.
“Gak mau kita temenin?” tawar Lala.
Marsya menggelengkan kepalanya. “Gue bisa sendiri, kok.”
“Iya, deh, iya, yang mau ketemu gebetan baru,” sindir Fira.
“Gue pergi dulu, ya, bye,” ujar Marsya sembari beranjak dari kursinya dan berjalan keluar dari perpustakaan.
***
Sesampainya Marsya di kelas Kenzo, ia langsung meminta kepada salah satu murid XII IPS 3 yang sedang duduk di bangku yang berada di depan kelas XII IPS 3 untuk memanggilkan Kenzo.
“Bentar, ya,” ucap murid itu lalu ia beranjak dari bangku dan memasuki kelasnya.
Tak berapa lama, keluarlah murid itu bersama dengan Kenzo.
“’Makasih, ya,” ujar Marsya kepada murid itu.
“Oh, iya, bentar, biar gue ambil artikelnya,” ucap Kenzo lalu ia kembali masuk ke dalam kelasnya dan mengambil artikel yang sudah ia print setelah itu kembali menemui Marsya.
“’Makasih, ya, Ken,” ujar Marsya setelah artikel buatannya dan Kenzo sudah berada di tangannya.
Kenzo menganggukkan kepalanya. “Lo baca lagi deh, nanti kalau ada yang salah lo bilang sama gue. Biar gue edit terus print ulang.”
“Lo kirim aja file-nya sama gue, Ken, biar gue yang edit kalau ada yang salah,” ucap Marsya, “Ya kali lo lagi yang ngedit dan nge-print.”
“Oke, ntar gue kirim,” ujar Kenzo.
“Gue balik dulu, ya, Ken,” pamit Marsya dan tanpa balasan dari Kenzo, Marsya langsung berjalan kembali ke kelasnya.