Setelah Golden Week di awal Mei lalu, sekarang menyambut awal musim panas. 2 minggu awal bekerja, kami disibukkan dengan Golden Week. Hari libur seminggu di awal bulan Mei. Di hari libur nasional seperti itu, hotel akan benar-benar ramai, karena banyaknya tamu yang sedang berlibur. Kami yang baru pertama kali bekerja, merasa kewalahan dengan kesibukan yang mencekik. Khususnya aku, yang benar-benar dipantau oleh Chief, menjadi beban tersendiri bagiku yang sering membuat kesalahan. Meskipun begitu, aku melewatkan seminggu tersebut dengan aman, dan akhirnya mendapat liburan setelah seminggu penuh bekerja.
Golden Week hanyalah seminggu. Libur musim panas berlangsung sebulan. Aku ngeri membayangkan akan betapa sibuknya nanti. Rasanya baru kemarin aku menikmati musim semi. Sakura juga sudah berguguran, yang memang hanya bertahan selama seminggu. Sekarang semua berubah menjadi hijau. Sejauh mata memandang, semua berwarna hijau dengan langit biru yang cerah. Tapi, aku harus bersyukur karena berada di Hokkaido. Musim panas di Hokkaido lebih sejuk dibanding dengan musim panas di wilayah lain.
Libur musim panas masih bulan Agustus nanti, tapi aku merasa tegang di awal bulan Juni ini. Merasa khawatir, apa aku bisa bertahan selama sebulan tersebut? Bahkan di bulan ini tamu yang terdaftar sudah lumayan banyak. Kami akan benar-benar sibuk di musim panas ini. Belum lagi, masalahku dengan Tisha yang semakin memanas. Haaa....
“Kalian masih belum berbaikan?,” tanya Nobusuke-san. Aku menoleh padanya, menatapnya memelas. “Jangan menatapku seperti itu,”
Aku langsung menunduk lemas. “Aku sudah mencoba segala cara, kau tahu. Dia tetap masih marah padaku. Aku menyerah,” Ku lanjutkan pekerjaanku mengelap meja Bar. Tidak ada lagi balasan dari Nobusuke-san di sampingku.
Aku sudah mencoba segala cara; bertamu ke kamarnya, tapi langsung ditutup saat dia melihatku dari balik pintu, selanjutnya dia tidak pernah membuka pintunya setiap kali aku memencet bel kamarnya. Aku bahkan menerornya lewat pesan Line, tapi tidak ada balasan, di-read saja tidak. Pernah juga aku memaksanya bicara padaku saat kami di kantin, dia langsung pergi begitu saja. Saat bekerja-pun, aku selalu mendekatinya dengan dalih untuk menolongnya, tapi dia malah pergi dan meninggalkan pekerjaannya untukku. Aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ku lakukan supaya bisa berbaikan dengannya.
Namun, paling tidak, dia hanya bersikap begitu padaku. Meskipun, dia juga menghindari Kak Diana dan Yash, tapi dia masih bersikap seperti biasanya kepada mereka. Dia masih bersikap profesional saat bersama mereka. Tapi, tidak saat bersamaku. Entah kenapa, aku merasa diskriminasi. Membuatku sesak napas setiap kali mengingatnya.
Sentuhan lembut di lenganku menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Aku menoleh. Okuoka-san sedang memegang bahuku dengan senyum menawannya. Saat itulah, bebanku langsung pergi begitu saja. Manusia lemah sepertiku ini, memang harus mendapatkan energi dari malaikat sepertinya. Sangat membantu.
“Daijoubu kai?,” (Kau baik-baik saja?) tanyanya khawatir. Aku langsung mengangguk cepat. Aku tidak suka membuatnya khawatir, apalagi sampai memengaruhi ekspresi wajahnya. Aku ingin dia tetap tersenyum, tanpa harus mengkhawatirkan orang sepertiku.
Moza, sadarkan dirimu. Memangnya kau siapa membuatnya khawatir seperti itu? Baka! (Bodoh!)
“Memikirkan Tisha?,” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk pelan. Tidak berdaya setiap kali nama tersebut terdengar di telingaku. Mengingatkan lagi akan kesalahanku dan masalah kami. Padahal beebrapa detik yang lalu, aku merasa lebih baik.
Kemudian, Yash dan Kak Diana masuk ke kantin. Menyapa kami. Aku merasa sedikit lega. Dengan begitu, percakapan tentang Tisha bisa di-pending sebentar.
“Oh, ya. Kapan kalian libur?,” tanya Okuoka-san tiba-tiba.
“Kalau tidak salah, tanggal 9,” jawab Yash.
“Aku masuk pagi tanggal itu,” ucap Kak Diana.
Okuoka-san menatapku. “Aku juga masuk pagi,”
“Bagus. Kebetulan aku juga libur hari itu. Aku berencana mengajak kalian jalan-jalan,”
“Oh, benarkah? Wah!,” seru Yash senang.
“Tentu saja. Lagipula, kalian turis di sini, sayang kan kalau tidak pergi ke mana-mana. Kalian jauh-jauh ke sini hanya untuk bekerja, pasti butuh refreshing. Yofune-san juga sangat sibuk. Membiarkan kalian berkeliaran sendiri rasanya mengkhawatirkan,”
“Bilang saja, kau takut kami kabur,” celetuk Kak Diana. Okuoka-san terkekeh.
“Bisa jadi. Kalian juga tanggung jawab kami. Oh, ya selama liburan kalian ngapain aja? Udah pergi ke mana?,”
“Aku menghabiskan waktuku di asrama. Kadang-kadang hanya berjalan di sekitar sini,” jawabku.
“Kau tipe hikikomori ya ternyata,” timpal Okuoka-san terkejut. Hikikomori adalah kegiatan mengurung di dalam kamar selama beberapa hari, bahkan bertahun-tahun. Tidak pergi keluar sama sekali, jug atidak berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan keluarga sekalipun.
“Memangnya aku tidak terlihat seperti itu?,” tanyaku. Dia hanya mengangkat bahu sambil tersenyum penuh arti. Aku memicingkan mata padanya, tapi dia langsung beralih kepada Yash dan mengobrol dengan asik bersama Kak Diana.
Apa maksud sikapnya barusan? Memangnya aku terlihat seperti orang yang suka berkeliaran di luar? Kenapa banyak sekali orang yang salah paham denganku? Aku menghela nafas panjang, memakan tomat ceriku yang tinggal satu. Setelah dipikirkan lagi, tidak hanya di Indonesia, di sini juga, aku selalu menghabiskan waktu liburanku di kamar sambil menonton anime seharian penuh. Apalagi jika liburannya hanya sehari dua hari, aku pasti akan mengurung diri di kamar. Jika memang sedang mood, aku akan keluar jalan-jalan ke mall. Biasanya, aku pergi menonton film, jika ada yang bagus. Atau belanja, jika aku punya uang. Ternyata, hidupku membosankan ya? Aku mendengus memikirkannya.
Di sini, aku juga melakukannya. Kadang-kadang, aku pergi ke Obihiro, hanya untuk membeli bahan makanan dan beberapa pakaian. Lalu, ke Tatsuya, membeli beberapa komik. Berbeda dengan Yash dan Kak Diana yang memang sering keluar dengan karyawan yang lain. Aku selalu berdalih jika diajak. Bukan karena aku tidak ingin keluar dengan mereka, tapi aku tidak ingin meninggalkan laptop dan juga futon-ku di asrama. Aku lebih mirip hikikomori memang.
“Moza sudah pernah ke Obihiro?,” tanya Okuoka-san tiba-tiba, menyadarkanku paksa dari lamunanku barusan. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. “Ke mana saja?,” Aku menjawab sejujurnya, persis seperti yang ku bayangkan barusan. Dia menatapku sejenak, pasti dia berpikir kalau hidupku membosankan. Hampir dua bulan aku di sini, tapi tidak ke mana-mana. Siapa saja akan beranggapan seperti itu.
Lalu, dia tersenyum. Jenis senyuman yang pertama kali ku lihat. Senyuman yang terlihat puas dan lega. Hah? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari senyumannya tersebut.
“Ah, tinggalkan saja piring kalian, biar aku yang mencuci,” ujar Okuoka-san saat Yash dan Kak Diana bangkit dari duduknya.
“Eh, tapi_,”
“Tidak apa-apa. Kalian jadi punya waktu sejenak sebelum bekerja. Moza juga bisa istirahat lebih awal,”
“Tapi, Okuoka-san_,” ucapku tidak enak yang langsung disela olehnya. “Tenang saja. Untuk pegawai yang punya jabatan sepertiku, terlambat sedikit tidak akan menjadi masalah,” kekehnya.
“Terima kasih,” ucap kami bertiga geli. Untuk kebanyakan orang Jepang, Okuoka-san memang sedikit berbeda. Yeah, dia malaikat sih! Kami-pun berpamitan. Aku langsung pulang ke asrama dan beristirahat.
***
Tanggal 8.
Kami memang sudah berencana akan pergi jalan-jalan bersama Okuoka-san besok. Karena aku dan Kak Diana masuk pagi, jadi kami akan berangkat sorenya. Masalahnya sekarang adalah, jadwal Tisha. Karena kami bertiga tidak bisa berbicara dengannya, jadi kami tidak tahu apa dia masuk kerja atau libur. Okuoka-san telah mengatakan maksud sebenarnya saat mengirim pesan Line padaku semalam. Katanya, dia ingin membantuku berbaikan dengan Tisha dengan mengajak kami jalan-jalan, jadi pasti tidak akan merasa canggung. Aku merasa berterima kasih dengan perhatiannya, jadi aku juga harus berusaha. Dan, di sinilah aku sekarang.
Di ruang ganti.
Aku berjalan pelan menuju meja di sudut. Di sana tertempel jadwal semua karyawan restoran. Aku memperhatikan dengan seksama dan cepat, karena siapa yang tahu kalau Tisha tiba-tiba muncul.
Oke, aku menemukannya. Tisha libur besok. Aku bersorak dalam hati. Bersyukur kepada Tuhan yang berpihak padaku. Aku segera kembali ke restoran. Tisha sudah berada di sana, Kak Diana dan Yash menatapku bertanya. Aku membalasnya dengan cengiran lebar penuh kemenangan. Mereka langsung tersenyum lega. Kami-pun bergerak untuk bekerja.
Aku sudah siap di lorong, menatap pintu kamar Tisha dengan khawatir. Aku sudah mengirim pesan di grup, dan Tisha juga membacanya meskipun tidak membalasnya. Satu hal yang ku syukuri karena Tisha tidak meninggalkan grup. Setengah jam lagi, Okuoka-san akan datang menjemput. Dan, kami harus memastikan Tisha memang benar akan ikut bersama kami. Jantungku berdegup kencang sekali.
Aku menghela nafas panjang. Dengan gemetar, jariku memencet bel kamar Tisha. Aku menunggu. Tidak ada jawaban. Ku coba sekali lagi. Tetap tidak ada jawaban. Aku meraih ponsel. Menghubungi Tisha, tapi tidak diangkat. Ku coba sekali lagi. Tetap tidak diangkat. Aku mulai panik. Bagaimana kalau Tisha tidak ikut? Rencana Okuoka-san akan gagal. Dan, aku akan tetap bermusuhan dengan Tisha. Bisa jadi sampai kami pulang nanti ke Indonesia.
Tidak. Aku tidak bisa menanggung beban selama itu. Aku memberanikan diri, berharap Tuhan akan berpihak padaku sekali lagi. Tanganku menarik kenop pintu, meskipun kemungkinan pintu itu tidak terkunci adalah nol persen. Tapi, masih layak untuk dicoba.
Pintu terbuka. Aku melongo di tempatku, tapi segera mengendalikan diriku. Oh, Tuhan. Aku mencintaimu. Aku langsung masuk. Lampu depan tidak menyala.
“Tisha, apa kau di dalam?,” ucapku. Tidak ada jawaban. Apa dia sedang tidur? Aku menggeser pintu depan dan langsung terkejut saat melihat Tisha yang tergeletak tak berdaya di atas lantai.
“Tisha, kau baik-baik saja?,” Aku langsung berlari dan berlutut di samping tubuh Tisha. Ku sentuh tubuhnya. Membuatku terkesiap.
Aku kembali ke tasku yang ku jatuhkan begitu saja karena terkejut. Merogohnya mencari ponselku, tapi tidak kunjung ku temukan. Aku merasa geram dan panik, menumpahkan semua isi tasku di lantai kamar Tisha. Meraih ponselku dan menghubungi Yash.
“Yash, kemarilah! Tisha..dia...aku...,”
“Aku segera ke sana,” Aku mengangguk. Yash sudah menutup teleponnya. Kemudian, aku menghubungi Kak Diana.
Yash tiba terlebih dahulu, disusul Kak Diana. Mereka terkejut melihatku yang pucat di samping tubuh Tisha yang tergeletak tak berdaya di atas lantai, juga barang-barangku yang berserakan. Yash langsung masuk dan membopong tubuh Tisha ke kamar. Kak Diana membantuku berdiri, mengikuti Yash ke kamar Tisha. Kemudian, kembali lagi untuk membereskan barangku.
“Moza, apa yang terjadi?,” tanya Yash. Bersamaan dengan Kak Diana yang membawa tasku kembali. Aku menatap Tisha shock. Tubuhku mati rasa.
“Moza, sadarlah!,” Yash mengguncang tubuhku, mencengkeram lenganku dengan keras. Ekspresi wajahnya mengeras dan menatapku tajam. Aku menelan ludah. Ini pertama kalinya aku melihat Yash yang panik dan tidak terkendali seperti ini.
“Aku..tidak tahu. Aku memencet bel, tapi dia tidak keluar. Aku menelponnya, tidak diangkat. Lalu, aku...aku membuka pintu. Pintunya tidak terkunci. Lampu depan gelap. Aku memanggil Tisha, tidak ada jawaban. Jadi, aku masuk...dan melihat...dia sudah...,” jelasku panik. Kak Diana mengelus lenganku lembut.
“Baiklah, aku mengerti. Kau, baik-baik saja?,” tanya Yash khawatir. Aku mengangguk semampuku. Yash mengangguk mengerti. Dia berbalik, kembali kepada Tisha.
“Apa dia baik-baik saja?,” tanyaku khawatir.
“Biar ku periksa,” Kak Diana bergerak mendekat, menyentuh kening Tisha dan memeriksa denyut nadinya. “Sepertinya dia demam. Tubuhnya panas. Denyut nadinya normal. Dia sedang tidur sekarang. Bisa kau ambilkan kotak P3K?,”
Yash langsung bangkit dan memeriksa ruangan Tisha untuk mencari kotak P3K. Aku bergerak mendekat, merasa bersalah karena bersikap panik.
“Maaf, seharusnya aku tidak sepanik itu,” gumamku.
“Tidak apa-apa. Wajar sih, kau hanya khawatir,” balas Kak Diana sambil tersenyum menenangkan.
Sejak SMP, aku sudah mengikuti PMR. Aku sudah belajar banyak cara memberikan pertolongan pertama. Aku bahkan menjadi petugas UKS saat SMA. Seharusnya, aku bisa menangani ini dengan baik. Tapi, sangat berbeda jika dia adalah orang yang ku kenal. Melihat Tisha yang tergeletak di atas lantai, aku sudah membayangkan hal-hal yang menakutkan. Padahal, aku masih bisa mengendalikan diri jika ada temanku yang pingsan. Tapi, berbeda jika itu adalah orang yang membencimu, yang berminggu-minggu menghindarimu. Aku benar-benar terkejut.
Yash kembali dengan kotak P3K. Kak Diana langsung meletakkan termometer di mulut Tisha, menunggu sejenak. Panas Tisha mencapai 40 derajat. Yash pergi mengambil air dingin dan handuk. Saat dia kembali, aku mengelap tubuh Tisha yang berkeringat. Kak Diana menyuruh Yash untuk keluar, karena kami akan mengganti pakaian Tisha yang sudah basah karena keringat.
Aku dan Kak Diana keluar setelah mengganti pakaian Tisha dan menaruh handuk bersih yang dingin di keningnya. Lalu, ponselku berbunyi.
“Pasti Okuoka-san,” ujarku sambil mengangkatnya.
Okuoka-san sudah di bawah. Aku memberitahunya bahwa rencana kali ini harus dibatalkan karena Tisha yang sedang demam. Tidak lama kemudian, Okuoka-san datang ke kamar Tisha.
“Apa dia baik-baik saja?,” tanyanya. Kami mengangguk.
“Dia sedang tidur sekarang,” ucapku.
“Baiklah. Saat dia bangun, kita bawa ke rumah sakit,”
Kami menunggu di kamar Tisha dalam diam. Setengah jam kemudian, Tisha bangun.
“Apa yang...kalian lakukan...di kamarku?,” tanyanya. Dia berusaha bangkit dari futon, aku langsung bergerak membantunya, karena tubuhnya pasti masih sangat lemah.
“Bagaimana keadaanmu? Aku menemukanmu pingsan di pintu depan. Kau seharusnya bilang kalau kau demam,” ucapku.
“Aku..baik-baik saja,”
“Karena Tisha sudah bangun, ayo kita ke rumah sakit,” ucap Okuoka-san.
“Tidak. Aku...tidak apa-apa. Tidak perlu..ke rumah sakit,” tolak Tisha, yang langsung terbatuk-batuk.
“Kami tidak akan mendengarkanmu kali ini,” Yash mendekati Tisha dan langsung menggendongnya. Tisha berteriak meminta diturunkan. Tapi, Yash tidak peduli. Dia langsung keluar kamar dan menuruni tangga.
“Aku di sini saja. Harus ada yang mengurus ini kan?,” ucap Kak Diana sambil melirik kamar Tisha. Aku dan Okuoka-san mengangguk. Kami berdua menyusul Yash.
Okuoka-san bergerak cepak membuka pintu penumpang. Kami langsung masuk dan meluncur menuju rumah sakit.
***
Okuoka-san mengurus administrasi rumah sakit. Malam ini, Tisha akan menginap di rumah sakit. Okuoka-san akan mengurus ijin Tisha untuk besok. Aku menawarkan diri untuk tinggal, karena besok aku libur, sedangkan Yash harus bekerja pagi, dan Okuoka-san pasti sangat sibuk. Lagipula, aku tidak bisa meninggalkan Tisha sendirian di rumah sakit. Dia pasti tidak bisa melakukannya semuanya sendiri.
“Hubungi aku jika ada apa-apa,” pesan Okuoka-san. Aku tersenyum berterima kasih atas perhatiannya hari ini.
“Tolong jaga dia,” pinta Yash. Dia terlihat sangat khawatir, wajahnya berantakan. Aku hanya tersenyum dalam hati. Perasaan Yash pada Tisha benar-benar tulus, pasti Yash juga tidak menyadarinya. Aku harap, Tisha bisa melihatnya. Betapa Yash sangat mengkhawatirkannya.
Aku kembali ke kamar Tisha setelah mereka berdua pergi. Tisha masih terjaga.
“Kau merasa lebih enakan?,” tanyaku.
“Sedikit. Kenapa kau masih di sini?,”
“Untuk menjagamu. Pasti tidak nyaman kan sendirian di rumah sakit?,”
Tisha mendengus. “Jangan harap dengan ini kita bisa berbaikan,” Aku hanya tersenyum tipis. Aku memang tidak mengharapkan akan berbaikan dengan cara semudah ini.
“Kau mau sesuatu?,” tawarku. Tisha menggeleng. Aku mengedikkan kepala pelan, memilih duduk di sofa dan memakan puding momo – buah peach – yang tadi dibelikan oleh Okuoka-san setelah mengurus administrasi rumah sakit. Dia bahkan membelikan roti dan bento, berjaga-jaga jika aku kelaparan malam-malam. Aku tersenyum geli mengingatnya.
“Hubunganmu berjalan baik dengan Okuoka-san?,” tanya Tisha tiba-tiba.
“Hm? Apa maksudmu?,”
“Kalian masih belum jadian atau apapun lah itu?,” ujar Tisha kesal. Aku membelalak, membuatku tersedak. “Oh, hati-hati lah,” Aku mengangguk, meraih botol air putih dan segera meminumnya. “Dasar!,” keluh Tisha.
“Kau sih, tanya aneh-aneh padaku. Tentu saja aku kaget,” protesku.
“Ku anggap, belum,”
“Hah?!,”
“Diamlah. Aku butuh istirahat. Kalau kau lupa, aku pasien di sini,” Tisha bergerak meringkuk di balik selimut, membelakangiku. Aku hanya menatapnya bingung, memutuskan untuk diam dan melanjutkan memakan pudingku.
Setelah pudingku habis, aku bergerak menuju kamar mandi. Menyikat gigi dan membasuh wajahku. Rumah sakit ini benar-benar berkelas, bahkan menyediakan sikat gigi dan handuk. Pasti harganya mahal. Tapi, apa gaji Tisha akan dipotong untuk membayar biaya rumah sakit? Apa ini masuk tagihan hotel? Aku harus menjaga tubuhku supaya tidak harus menginap di rumah sakit. Lumayan, kan uangnya. Aku masih bisa menabung.
Aku keluar dari kamar mandi, merebahkan tubuhku di sofa. Bahkan disediakan selimut juga. Ini sih lebih seperti hotel ketimbang rumah sakit. Aku memejamkan mataku dan membukanya lagi saat mendengar sesuatu.
“Kau masih bangun?,” tanyaku saat mendapati Tisha yang mendekatiku. Aku langsung duduk di pinggir. Tisha duduk di sampingku.
“Setelah ku pikirkan lagi, sepertinya sikapku terlalu kekanak-kanakan. Maaf,” ujarnya pelan.
Aku menatapnya shock. Tisha minta maaf padaku adalah salah satu keajaiban. Tisha menatapku, ekspresinya berubah kesal. Aku segera merapikan raut wajahku sebelum dia mengamuk.
“Aku juga minta maaf. Lagipula, awalnya adalah salahku,” ucapku buru-buru.
“Tidak. Aku yang terlalu emosi. Padahal, itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan,”
“Kau pantas untuk marah. Aku mungkin juga akan begitu,”
Tisha tersenyum. “Kau baik sekali. Ng, mungkin juga tidak. Aku terkejut saat kau membentakku waktu itu. Kau...menakutkan,”
“Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu sebenarnya. Tapi, pada dasarnya, aku orangnya emosian, sih. Maaf,”
“Kau, sangat berbeda dengan penampilanmu,” ucarnya sambil terkekeh.
“Ah, kau juga berpikir begitu?,” seruku.
Tisha mengerutkan dahi. “Juga?,” Aku mengangguk terlalu bersemangat dan menceritakan semuanya tanpa ada filter sama sekali tentang apa yang dikatakan Nobusuke-san dan Okuoka-san tempo hari. Tisha hanya melongo menatapku.
“Kau orang yang seperti itu? Tidak ku sangka,” ujarnya sambil geleng-geleng.
“Apa itu buruk?,” tanyaku lesu.
“Oh, tidak. Bukan itu maksudku. Siapapun yang melihatmu pasti akan berpikiran sama. Kau gadis normal dengan kehidupan yang normal. Kau tipe gadis riang, lincah, apa adanya. Apalagi dengan tubuh mungilmu, orang-orang akan berpikir ingin melindungimu. Ditambah, kau berpenampilan modis, wajar saja kalau Okuoka-san berpikir kau tipe gadis yang suka bersenang-senang. Tidak ku sangka, kau punya kegelapan dalam dirimu,” jelas Tisha
“Apa maksudmu dengan kegelapan dalam diriku? Memangnya aku ini apa?,” gerutuku. “Tapi, aku tidak tahu kalau orang-orang berpikiran begitu padaku. Apa kau juga begitu?,”
“Tentu saja. Itulah kenapa aku mau bicara denganmu,”
Mataku menyipit padanya. “Jadi, karena kau sudah tahu, apa kau tidak mau berbicara padaku sekarang?,”
“Kau, bodoh ya. Tentu saja, aku masih mau bicara denganmu. Lagipula, apa yang ku lihat, kau memang seperti itu. Kau orang yang baik, Moza. Berbeda denganku,”
“Apa maksudmu? Kau juga orang baik. Hanya terlalu menjaga jarak. Semua orang juga mau berteman denganmu. Yash bahkan menyukaimu, pastinya kau orang baik,” Aku langsung menutup mulutku. Merutuki diri sendiri. Aku baru saja berbaikan dengan Tisha, tapi malah menyebut nama Yash di sini. Pasti Tisha akan marah lagi padaku.
Aku menatap Tisha yang terdiam. Tuh, kan. Dia pasti kesal lagi padaku.
“Soal Yash...,” Tisha menarik nafas panjang. “Aku bisa melihat perasaan Yash tulus padaku. Tentu saja, aku merasa senang. Hanya saja...aku sudah punya pacar di Bali. Itulah kenapa aku merasa kesal, karena sepertinya aku terpengaruh,”
“Kau, suka sama Yash?,” tanyaku hati-hati. Tisha menatapku sedih.
Ah, ini benar-benar dilema. Tisha sudah punya pacar di Bali. Di sini Yash mendekatinya, dan sepertinya dia juga menyukai Yash. Ini seperti seolah-olah, Tisha sedang berselingkuh dari pacarnya. Ini sulit. Aku tidak mungkin menyuruhnya untuk memilih. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan saran yang terbaik. Apa yang sebaiknya ku katakan?
“Apa hubunganmu dengan pacarmu baik-baik saja?,” tanyaku. Tisha mengangguk. “Kami saling berkabar setiap hari. Setiap malam, dia menelponku. Aku merasa bersalah padanya. Dia pacar yang baik. Yash juga pria yang baik. Aku tidak tahu bersikap bagaimana, jadi aku memilih untuk menghindari Yash. Dengan begitu, perasaanku akan tetap seperti biasa,”
“Tapi, kau merasa bersalah pada Yash,” lanjutku. Tisha mengiyakan.
“Aku, tidak tahu harus memberimu saran yang bagaimana. Tapi, mungkin ada baiknya kau berbicara jujur dengan Yash, bahwa kau sudah punya pacar dan kau memilihnya. Dengan begitu, Yash akan melangkah mundur secara perlahan. Kalian masih bisa berteman. Aku yakin, Yash akan mengerti,”
“Akan ku coba. Terima kasih,” Tisha tersenyum, aku membalas dengan tersenyum juga sambil menggenggam erat tangannya, memberikan dia kekuatan. “Ng, kau benar-benar tidak ingin jadian dengan Okuoka-san?,”
“Hei!,” seruku kesal. Tisha tertawa. “Aku tidak ada pikiran seperti itu. Lagipula, kita hanya setahun di sini. Dan, usia kami terpaut jauh, kau tahu. Aku yakin dia hanya menganggapku anak-anak yang harus dia jaga,”
“Kau berpikiran begitu? Syukurlah,”
“Hah? Kenapa kau yang bersyukur?,”
“Karena, aku tidak ingin kau menyalah artikan perasaanmu. Bisa jadi, kau hanya kagum padanya. Selayaknya, terhadap orang dewasa. Banyak kan yang seperti itu. Aku tidak ingin kau menyesal saat kau jadian dengannya, seperti aku contohnya,”
“Kau, menyesal jadian dengan pacarmu?,”
“Bodoh! Tentu saja bukan. Aku membicarakan aku dan Yash,”
“Oh,”
Setelah dipikir-pikir, aku memang menyadari kalau aku menyukai Okuoka-san. Karena dia baik dan sangat perhatian, dan juga kami bertambah dekat. Awalnya, aku kesal padanya karena sikapnya yang sinis, kemudian berganti kagum karena terpesona dengannya, lalu menjadi menyukainya seiring bertambah dekatnya kami. Kami juga hampir tiap hari berkirim Line, membicarakan banyak hal, tentang diriku dan juga dirinya. Aku merasa nyaman dengan hubungan seperti ini. Tidak ada niatan untuk merubah hubungan kami lebih dari ini.
Niatanku ke mari, hanya untuk bekerja, belajar, sambil mencari pengalaman. Menikmati setiap momen yang ku rasakan selama di sini. Aku tidak berpikir untuk membuat hubungan dengan siapapun di sini. Hubungan relasi, bagiku sudah cukup. Mendapatkan banyak teman, saling berbagi cerita kehidupan. Itu yang ku inginkan. Keberadaan Okuoka-san, di luar dugaanku.
Seperti yang Tisha bilang. Aku mungkin mneyalah artikan perasaanku. Bisa jadi, aku mengaguminya selayaknya orang dewasa yang bisa diandalkan. Merasa nyaman dengan perhatiannya, karena aku yang jauh dari keluargaku. Okuoka-san juga pasti menganggapku hanyalah orang asing, turis yang sedang menikmati liburan setahun di sini, dan dia punya tanggung jawab untuk menjaga kami. Karena, akan jadi masalah bagi mereka jika terjadi apa-apa dengan kami. Kedekatan kami hanyalah formalitas. Seorang teman yang memberikan perhatian.
Aku harus menata ulang hatiku. Harus ada batasan. Aku tidak boleh merepotkan Okuoka-san, jika dia sampai tahu kalau aku menyukainya. Pasti akan merasa canggung. Bisa jadi, dia akan menghindariku. Tapi, karena dia orang baik, dia akan terpaksa bertahan untuk tetap dekat denganku. Pasti akan canggung sekali rasanya. Tidak akan yang terjadi di antara kami. Aku harus menjaga hubungan pertemanan kami, supaya bisa bertahan seterusnya nanti.
Aku hanya setahun di sini. Tidak boleh membuat masalah hanya karena perasaan salah paham ini. Benar. Aku dan Okuoka-san hanya berteman. Tidak apa-apa di antara kami. Aku harus menegaskan itu.
***
Kami kembali ke asrama keesokan paginya. Okuoka-san menjemput kami sebelum berangkat kerja. Yash tidak ikut karena dia masuk pagi. Lagipula, akan sangat merepotkan jika Okuoka-san menjemput Yash ke hotel dan ke rumah sakit, kembali lagi ke hotel. Akan membuang-buang waktu. Okuoka-san yang mau menjemput saja, aku sudah sangat bersyukur.
Kami berpisah di parkiran. Okuoka-san langsung bekerja setelah memberikan bingkisan makanan pada kami. Aku mengantar Tisha ke kamarnya. Kak Diana sudah menunggu di dalam.
“Kalian sudah pulang. Bagaimana keadaanmu?,” tanya Kak Diana.
“Sudah lebih baik,” jawab Tisha.
Kak Diana tersenyum lega, mengambil tas bingkisan yang diberi Okuoka-san tadi dariku. Membukanya dan menatanya di meja. Kami terkesiap melihat bingkisan bento mewah tersebut. Bento yang tidak akan kau temukan di Konbini atau supermarket. Okuoka-san pasti memesannya di salah satu restoran mahal, melihat bingkisannya yang mewah dan isi bento yang menggiurkan.
“Ini, unagi (belut),” ujar Kak Diana takjub. Aku hanya bisa melongo. Unagi di sini termasuk mahal harganya. Okuoka-san memperhatikan kami secara berlebihan. Aku jadi tidak enak.
Mengesampingkan perasaan tersebut sejenak, kami langsung memakannya. Karena penasaran akan rasanya, yang dulu aku pernah melihat di salah satu anime, di mana ada adegan salah satu tokoh yang ingin makan unagi. Aku jadi ingin memakannya juga.
“Hmm, enak,” ujarku bahagia. Rasanya benar-benar enak. Dagingnya lembut dan dipadu dengan bumbu manis asin yang pas, ditambah nasi yang masih hangat. Aku berasa di surga.
“Kita harus berterima kasih sekali lagi padanya,” ujarku, yang diamini mereka berdua. Okuoka-san bahkan menyiapkan bagian Yash juga. Ah, dia benar-benar baik. Mana mungkin aku tidak terpikat dengannya? Galau.
Kak Diana berpamitan untuk kembali ke kamar, karena dia harus masuk kerja siang ini. Aku masih berada di kamar Tisha setelah percakapan ngalor ngidul kami bertiga. Sorenya, Yash datang. Masih memakai seragam kerja. Aku tersenyum geli melihat ekspresi kelegaan Yash saat melihat keadaan Tisha. Tisha bahkan bersikap kikuk saat Yash datang tiba-tiba, sepertinya dia belum siap hati dan mental bertemu dengan Yash secepat ini. Aku mengalihkan perhatian Yash dengan nasi unagi yang diberi oleh Okuoka-san setelah memanaskannya di microwave. Tisha menatapku penuh terima kasih karenanya. Aku hanya meringis menatapnya.
“Wow, enak. Apa ini?,” seru Yash takjub dan menghabiskannya dalam sekejap. Aku takjub dengan kecepatan makan para pria, yang cepat tanpa bersisa. Berbeda denganku yang makan perlahan dan bersisa jika aku tidak kuat menghabiskannya. Meskipun, aku doyan makan, tapi aku tahu batasan perutku.
“Baiklah, aku pulang sekarang. Kalian bisa mengobrol leluasa,” ujarku.
“Kau mau meninggalkanku berdua dengannya?,” seru Tisha kaget. Lebih terdengar kesal, meskipun aku tahu dia tidak bermaksud begitu.
“Aku juga akan pulang. Melihat kau baik-baik saja, aku sudah merasa tenang,” sahut Yash sambil berdiri. Aku menatap Tisha tajam, berbicara dengan tatapan padanya. Dia menatapku kalut. Namun, akhirnya mengangguk juga.
“Tinggallah sebentar. Aku ingin bicara denganmu,” ucap Tisha tegas. Yash menatap Tisha terkejut, kemudian menatapku bingung. Aku hanya mengangkat bahu dan tersenyum penuh miserius, melangkah cepat menuju pintu. Mereka harus diberi privasi.
Aku menghela nafas lega yang panjang saat sudah berada di lorong. Kemudian, menatap ke langit yang cerah. Tersenyum senang, karena semuanya kembali seperti biasa. Kami akan semakin dekat ke depannya. Aku menoleh ke depan, melangkah menuju kamarku. Bersamaan dengan kemunculan Nobusuka-san dari balik tangga. Tanpa dikomando, aku langsung menghentikan langkahku. Menahan nafas saat dia menatapku. Aku langsung menunduk gugup, berjalan pelan menuju pintuku. Kak Diana bilang tidak mengunci kamarku pagi tadi, jadi aku bisa langsung membukanya tanpa harus berlama-lama mencari kunci di tas, bersamanya di lorong.
“Kau baik-baik saja?,” Aku menoleh cepat padanya, membuat leherku sakit.
“Ng, yeah, aku baik-baik saja. Kenapa?,” Aku merutuki diriku karena balas bertanya padanya. Seharusnya aku hanya menjawab saja dan segera menghilang dari hadapannya.
“Tisha?,”
“Dia, sudah mendingan. Aku baru saja dari kamarnya,”
Nobusuke-san menatapku lurus. Aku berdoa dalam hati supaya dia tidak mengajakku bicara lagi. Aku masih belum terbiasa bersikap bagaimana dengannya jika berada di asrama, atau tidak sengaja berpapasan seperti ini. Di tempat kerja, dia kadang-kadang berbicara padaku, tapi karena dalam keadaan bekerja, jadi aku masih bersikap biasa padanya. Aku bisa mengalihkan perhatian dengan kesibukan sambil berbicara padanya. Tapi, sekarang. Kami bahkan tidak melakukan apapun. Hanya berdiri saling menatap di lorong, di depan pintu kamar masing-masing.
“Ja,” (Bye) Nobusuke-san menghilang ke balik pintu kamarnya. Aku langsung terduduk lemas di tempatku, mengambil nafas banyak-banyak, baru masuk kamar. Ku pikir aku akan pingsan karena kehabisan nafas tadi. Sedetik lebih lama saja, aku pasti sudah pingsan di depannya. Oh, tidak! Itu tidak boleh terjadi.
***
Hari berjalan dengan cepat diiringi dengan kesibukan. Tanpa terasa, sudah memasuki bulan Juli. Tamu mulai bertambah setiap harinya. Kesibukan yang sangat gila. Kami bahkan harus lembur. Ini baru Juli, belum Agustus nanti. Puncak dari kekacauan musim panas. Aku bahkan tidak bisa menikmati liburanku. Hanya meringkuk seharian di balik futon. Badanku rasanya mau patah dengan dinamika kekacauan ini.
Aku membuka pintu dengan keras. Aku butuh udara segar sekarang. Kesibukan di restoran membuatku sesak nafas. Tapi, ternyata aku tidak sedang sendiri. Nobusuke-san sedang duduk santai di undakan bawah tangga sambil merokok dan meminum kopi kaleng. Ini kebetulan yang mengerikan aku bertemu dengannya. Tapi, aku tidak mungkin berbalik pergi, kan? Akan sangat kentara kalau aku menghindarinya. Tidak ada cara lain selain menghadapinya.
“Kau, di sini juga?,” ucapku. Dia hanya mengangguk singkat. Sepertinya ini tidak akan berhasil. Lebih baik aku diam saja.
Aku duduk di undakan tangga pertama, menarik nafas panjang-panjang. Mengisi tubuhku dengan udara segar. Supaya aku bisa bekerja lagi dengan semangat. Akhir-akhir ini, Chief tidak terlalu sering memarahiku. Mungkin karena kesibukan, jadi dia tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan kinerjaku. Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat kesalahan dan bergerak lebih cepat.
“Sepertinya, kau sudah terbiasa dengan pekerjaanmu,” ujar Nobusuke-san sambil menatapku.
“Kau pikir begitu? Oh, syukurlah. Aku berusaha untuk tidak melakukan kesalahan, kau tahu. Chief menakutkan saat marah,” cerocosku. Detik kemudian, dia tertawa. “Kenapa kau tertawa?,”
“Kau ini polos sekali. Sama sekali tidak sesuai dengan penampilanmu,”
“Apa yang kau pikirkan tentangku?,” tanyaku serius. Dia menatapku, menghentikan tawanya. Aku menatapnya tajam, menunggu jawaban. Setelah curhat dengan Tisha waktu itu, aku jadi penasaran apa yang pria ini pikirkan tentangku. Mungkin, aku juga harus bertanya kepada Okuoka-san.
“Kau serius bertanya begitu padaku?,” tanyanya. Aku mengangguk cepat. Dia menatap ke arah lain, menghisap rokoknya pelan. Ah, kenapa aku selalu berurusan dengan pria yang suka merokok. Okuoka-san juga merokok. Haaa....
“Saat pertama kali kita bertemu, ku pikir kau gadis yang suka ikut campur. Gadis yang angkuh, karena lancar berbahasa Jepang. Tapi, ternyata otaku,” Dia tertawa geli. Aku tidak tahu harus senang atau kesal. “Pertama kali bekerja, kau sangat kikuk dan merepotkan. Pembuat masalah. Tapi, kau sangat beekrja keras dalam pekerjaanmu. Sangat bertanggungjawab. Lalu, kau dekat dengan Tsuki-san_,” He, dia memanggil Okuoka-san dengan nama belakangnya. Ku pikir hubungan mereka buruk. Tapi, karena mereka saling memanggil nama belakang, sepertinya tidak seburuk itu. “_jadi, ku pikir kau gadis yang suka menggoda pria dewasa. Tapi, kau juga dekat dengan karyawan pria yang lain. Yash, contohnya. Kau, gadis yang tidak sesuai dengan pikiranku. Kau selalu berpikir optimis, berusaha sebaik mungkin, peduli dengan temanmu, bergaul dengan banyak orang. Aku juga berpikir, kau tipe gadis yang suka bersenang-senang, menghabiskan liburan dengan jalan-jalan misalnya. Tapi, ternyata kau malah hikikomori,” ucapnya sambil terkekeh.
Pasti wajahku sudah memerah sekarang. Mendengarnya memujiku membuatku malu. Ditambah dia menyebutku hikikomori. Eh?!
“Kenapa kau tahu kalau aku hikikomori?,” tanyaku kaget. Dia malah tertawa.
“Beneran deh, baru kali ini ada yang bangga menyebut dirinya sendiri hikikomori,”
“Sore wa doumo,” ujarku kesal. Dia masih tertawa.
“Aku bisa mendengarnya tahu. Kau yang bernyanyi dan berteriak. Aku yakin seratus persen kau pasti sedang menonton anime, dan ikut bernyanyi saat lagu opening dan endingnya,”
“Kau bisa mendengarnya?!,” Dia bisa mendengarnya? Bagaimana bisa?
“Suaramu terdengar sampai pintu, kau tahu. Pasti kau tidak menutup pintu depan,”
“Ah, karena akan merepotkan membuka dan menutupnya setiap kali mau ke toilet. Jadi, aku membiarkannya terbuka. Maaf, apa aku terlalu berisik? Kak Di tidak pernah menegurku, jadi ku pikir tidak akan terdengar,” ucapku menyesal.
“Tentu saja. Jika berada di dalam kamar tidak akan terdengar apapun memang. Tapi, orang yang berada di lorong pasti bisa mendengarnya. Lagipula, aku sering keluar, jadi aku pasti aku mendengarnya,”
“Maaf. Aku akan berhati-hati,”
“Tidak masalah. Menurutku, bukan hal yang besar. Teman-temanmu juga tidak keberatan, kan? Di lantai empat, hanya aku orang Jepang yang tinggal di sana. Jadi, kau bisa santai,” ujarnya menenangkan.
“Terima kasih,” Aku benar-benar tulus menagtakannya.
Aku tidak menyangka, Nobusuke-san bisa se-bijaksana itu. Memang sih, kita tidak bisa menilai orang dari penampilan luarnya saja. Seperti saat dengan Okuoka-san. Setiap orang pasti punya dua sisi yang berbeda, tinggal kita-nya aja yang mau menerima kedua sisi tersebut atau hanya menerima salah satunya.
Saat orang hanya menerima satu sisi orang lain, mungkin akan susah saat mengetahui sisi yang lain. Karena melihat sisi baiknya, jadi tidak bisa meenrima sisi buruknya. Apalagi, fenomena sekarang banyak yang seperti itu. Contohnya artis. Dia begitu dielu-elukan saat dia berprestasi, tapi ketika dia melakukan kesalahan, semua orang langsung mencibirnya. Aku juga seperti itu, tapi kadang aku juga miris melihatnya. Seperti peribahasa, habis manis sepah dibuang. Orang tidak akan pernah puas dan akan mencari kesalahan sekecil apapun. Sifat dasar manusia.
Namun, melihat Okuoka-san, Nobusuke-san, Kak Diana, Tisha, Yash, Chief juga. Aku bisa melihat lebih gamblang. Tidak semua orang punya sisi baik sepenuhnya, pasti ada sisi buruknya. Aku merasa senang saat melihat kedua sisi tersebut. Karena, mereka juga melihatku dari berbagai sisi. Aku jadi bisa melihat dunia yang sebenarnya. Tidak semua hal sesuai dengan apa yang kita lihat. Bahkan uang saja memiliki dua sisi. Dan, semua orang menyukainya. Kenapa tidak dengan manusia?
Aku bersyukur menekatkan diri ke Jepang. Aku bisa melihat dan belajar banyak hal. Kadang, Tuhan punya rencananya sendiri. Aku jadi sadar, sikapku selama ini sangat buruk. Hanya melihat dari satu sisi. Sisi baik yang diterima banyak orang. Tanpa peduli dengan sisi yang lainnya. Bertemu dengan banyak orang, dengan sifat yang berbeda, budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda, menjadikan aku bisa sedikit memahami tentang manusia.
Manusia diciptakan berbeda. Kelebihan dan juga kekurangannya. Tuhan memang selalu adil, tidak pernah pilih kasih. Jika dilihat lebih saksama, perbedaan itu indah, seperti pemandangan yang ku lihat sekarang; warna hijau dari pepohonan, langit biru yang cerah, kumpulan abu-abu kerikil dan juga sosok Nobusuke-san. Semuanya terlihat berbeda. Saat berada di tempat yang sama dan dilihat dari sudut pandang manapun, mereka terlihat sangat indah dan juga menakjubkan. Hanya dengan melihatnya membuatku tersenyum, rasanya bahagia saat kau bisa melihat betapa luasnya dunia. Betapa agung ciptaan Tuhan.
Nobusuke-san menatapku penuh arti, kemudian tersenyum hangat. Aku membalasnya dengan senyuman paling tulus yang ku punya. Kami-pun kembali ke restoran.
Memulai hidup dengan pandangan terbuka. Sepertinya, akan menjadi motto-ku mulai sekarang.