Read More >>"> Kare To Kanojo (KANJOU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kare To Kanojo
MENU
About Us  

Sejak percakapanku dengan Nobusuke-san, perlahan-lahan kami menjadi dekat. Dia lebih sering mengajakku ngobrol, tidak lagi menghindariku. Saat di asrama juga, kami saling bertegur sapa. Kadang, ketika berpapasan akan berangkat kerja, kami memutuskan berangkat bersama. Perubahan kecil yang terlihat sangat besar. Yang paling menyadari adalah Tisha. Tiba-tiba, dia mengajak yang lain, berkunjung ke kamarku setelah pulang kerja. Aku yang dikunjungi tiba-tiba merasa terkejut, karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya.

                “Aku tidak ingat kita sedang merayakan sesuatu. Apa ada yang sedang ulang tahun?,” tanyaku sambil mengingat-ingat. Ulang tahun Kak Diana dan Tisha sudah lewat, bahkan sebelum kami berangkat ke Jepang. Yash dan aku masih beberapa bulan lagi. Jadi, rasanya bukan karena itu mereka datang ke mari.

                “Kami – tidak, hanya aku – ingin menginterogasimu,” ujar Tisha cepat. Aku menelengkan kepala bingung. “Tentang apa?,”

                “Tentang perasaanmu, of course,”

                “Hah?,” Aku hanya melongo, semakin bingung dengan arah pembicaraan ini.

                “Jadi, bagaimana perasaanmu dengan Nobusuke-san? Lalu, bagaimana dengan Okuoka-san, kau masih menyukainya, kan?,”

                Aku terdiam sejenak. Mencerna pertanyaan Tisha dengan baik. Berpikir dengan jernih. Tisha menatapku tajam, menunggu jawabanku tidak sabar. Aku memilih untuk nyengir.

                “Kau sendiri yang bilang, bisa saja perasaan sukaku pada Okuoka-san hanyalah salah paham. Tapi, aku mengakui kalau aku suka padanya. Sedangkan, Nobusuke-san, dia hanya teman, seperti kalian. Menurutku, ini bukan hal yang besar, kan?,”

                “Ini hal yang SANGAT BESAR. Aku sangat terkejut kau berubah jadi Cassanova begini,”

                “Hah?,” Cassanova? Bukankah itu julukan untuk pria yang suka tebar pesona? Apa hubungannya denganku coba?

                “Kalian juga berpikir begitu, kan?,” tanya TIsha kepada Yash dan Kak Diana, yang hanya mengangkat bahu, membuat Tisha semakin geram.

                Aku hanya nyengir kuda dengan sikap Tisha. Yash dan Kak Diana menatapku dengan senyum yang sama, tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Tisha yang senewen seperti ini. Kadang, Tisha bersikap seperti wanita dewasa yang anggun, elegan, dan dapat diandalkan, tapi kadang kala berubah 180 derajat seperti bocah, yang suka merajuk dan meraung-raung seperti ini. Aku sangat menghargai perhatian Tisha padaku, begitu juga dengan Yash dan Kak Diana. Bagiku, mereka teman terbaik. Tentu saja, teman sekelompokku juga baik. Yang itu sih tidak bisa dibandingkan.

                “Ng, aku juga berpikir, kau sudah banyak berubah, Moza,” ujar Kak Diana tiba-tiba. Aku menatapnya bingung. Tisha berasa seperti mendapatkan ilham, dia langsung memeluk Kak Diana dengan semangat. Kak Diana hanya tertawa geli dengan sikap Tisha yang memang selalu berlebihan.

                “Apa itu buruk?,” tanyaku was-was. Kata ‘berubah’ adalah kata yang paling menakutkan yang pernah ku dengar. Dulu mantan-mantanku selalu menggunakan kata itu saat mereka sedang marah atau saat ingin putus. Aku tidak pernah tahu, bagian mana dari diriku yang berubah. Aku merasa tidak ada perubahan yang signifikan dariku. Aku menjalani hidupku seperti biasa, dan bergaul dengan orang-orang yang biasanya bersamaku. Apa yang menjadikan aku berubah?

                “Sepertinya tidak. Menurutku, kau berubah jadi lebih baik,” jelas Kak Diana. Tisha semakin semangat dengan menyuruh Kak Diana membandingkan aku yang dulu dengan yang sekarang. Kak Diana menatapku ragu-ragu, tapi aku malah mengangguk dengan penuh semangat. Aku ingin tahu, bagaimana aku berubah.

               Kak Diana menjelaskan dengan detail setiap sifatku. Dulu, aku adalah tipe orang yang tidak peduli dengan orang lain. Selama orang itu tidak berhubungan baik denganku, aku hanya akan memandangnya sebelah mata. Untuk yang satu itu aku mengakuinya. Aku memang seperti itu.

                Sekarang, aku lebih peduli terhadap orang lain. Siapapun ku ajak ngobrol. Bersikap ramah dan lebih terbuka. Aku tidak sadar aku melakukannya. Aku hanya berpikir, aku harus membangun hubungan baik dengan karyawan lain di Hotel. Aku tidak tahu kalau itu terlihat begitu besar di mata orang lain. Kadang, kita tidak pernah menyadari apa yang telah kita lakukan. Kita baru bisa tahu dari sudut pandang orang lain.

                Dan, yang paling penting. Aku bersikap lebih netral. Tidak memihak siapapun dan tidak menyalahkan siapapun. Untuk yang satu itu, karena aku lebih mencari aman. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan orang lain. Seperti kejadian Tisha waktu itu. Aku memang sangat marah karena Tisha menyalahkanku secara sepihak, tapi tidak pernah menyalahkannya atas sikapnya yang berlebihan. Aku juga tidak menyalahkan Yash, karena Yash memang tidak bersalah dalam hal ini. Aku juga tidak kesal dengan Kak Diana. Aku juga tidak menyalahkan diriku.

                Setelah mendengar apa yang dikatakan Kak Diana tentang diriku dengan membandingkan diriku yang dulu, aku merasa lega. Paling tidak, aku berubah ke arah yang lebih baik. Meskipun begitu, diriku yang dulu juga tetap bagian dari diriku. Aku merasa nyaman dengan diriku. Aku menyukai diriku. Mungkin terdengar aneh, tapi inilah kenyataannya. Aku, bahagia dengan diriku.

                Tidak hanya aku. Mereka bertiga juga berubah. Yeah, bisa jadi memang inilah diri mereka yang sebenarnya. Kak Diana yang lebih terbuka, bersikap bijaksana, sangat dewasa, dan selalu ceria. Tipikal seorang Ibu. Yash yang seenaknya sendiri, bersikap lebih dewasa sekarang. Pria yang sangat bisa diandalkan. Lalu, Tisha. Penuh emosi dan beraura negatif, sekarang dia berasa seperti seorang putri ksatria. Sangat cocok dengan penampilannya. Melihat mereka, aku seperti mendapatkan keluarga baru. Seorang Ibu, kakak perempuan, dan adik laki-laki. Aku tertawa geli dengan pemikiranku.

                “Kau baik-baik saja? Tiba-tiba, kau tertawa sendiri,” ucap Tisha ngeri.

                “Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa senang,” jawabku sumringah.

                “Oh, baiklah. Kita kembali ke topik awal,” Aku langsung memutar bola mataku. Tisha yang keras kepala. Aku tidak bisa melawan untuk yang satu ini.

                “Aku mengantuk, jadi kalian pulanglah. Besok kita harus bekerja,” perintahku tegas, bangkit dan membukakan pintu. Tisha masih ingin berdebat, tapi diurungkannya. Akhirnya, mereka bertiga-pun menurut dan pulang.

                “Jangan harap kau bisa kabur dari ini,” bisik Tisha sebelum pulang. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.

                Aku mematikan semua lampu setelah mengunci pintu dan beranjak ke balik futon. Meskipun, musim panas, futon tetaplah yang paling nyaman. Sebelum tidur, aku mengecek ponselku. Seperti biasa, Okuoka-san mengirim Line ucapan selamat tidur. Setiap hari kami berkirim Line, rasanya jadi hal yang biasa. Perasaan berdebar-debar setiap kali mendapatkan Line darinya, sudah tidak ku rasakan lagi sekarang. Saat mengobrol langsung dengannya, tidak ada lagi perasaan gugup ataupun canggung. Gelenyar-gelenyar aneh di tubuhku juga sudah tidak ada lagi. Semuanya, berubah menjadi biasa. Sangat normal. Tapi, hatiku masih berkeras kalau aku menyukainya. Aku memang menyukainya. Dengan gamblang, aku bisa lancar mengatakannya.

                Apa benar ini hanyalah salah paham?

                Aku bangkit dari futon, menggeser jendela, melongokkan kepala menoleh ke arah balkon sebelah. Sepi. Aku kembali lagi ke balik futon setelah menutup jendela. Apa aku menyukai Nobusuke-san? Bagaimana bisa perasaan berubah haluan secepat itu? Tapi, aku tidak merasakan apapun saat bersama Nobusuke-san, berbeda dengan Okuoka-san. Aku hanya menganggap Nobusuke-san hanyalah teman. Hal yang ku paksakan dalam pikiranku tentang hubunganku dengan Okuoka-san.

                Aku menghela nafas panjang. Berpikir keras tentang perasaan tidak akan pernah ada habisnya. Gara-gara Tisha, aku jadi kepikiran. Lebih baik lupakan saja. Bersikap seperti biasa.

                Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengerutkan dahi saat membaca nama si penelepon. Jonathan. Mantan pacarku. Aku terkejut aku masih menyimpan nomornya, ku pikir aku sudah menghapusnya, atau mungkin tidak. Aku mengangkatnya dan menyapanya.

                Kami mengobrol sekitar sejam. Menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. Jonathan adalah mantan pacarku saat SMP. Bisa dibilang dia adalah pacar pertamaku. Kami putus karena berbeda sekolah. Dia memutuskan untuk melanjutkan SMA ke luar negeri. Kami putus baik-baik, dan masih berhubungan baik, meskipun tidak pernah bertukar kabar. Mungkin ini pertama kalinya dia menghubungiku. Dari semua mantanku, Jonathan yang paling berkesan. Meskipun kami seumuran, tapi dia jauh lebih dewasa untuk ukuran anak SMP. Aku selalu merasa nyaman setiap kali bersamanya. Bahkan perasaanku jadi lebih baik setelah mengobrol dengannya tadi.

Jonathan adalah sosok kakak, teman dan juga pacar. Bagiku, dia tidak tergantikan. Saat kami memutuskan untuk berpisah, aku sampai tidak makan seminggu. Saat menjalin hubungan dengan pacarku berikutnya, aku masih terbayang-bayang sosok Jonathan. Aku selalu membandingkan pacar-pacarku dengan Jonathan. Tapi, aku tidak pernah punya niatan untuk menghubungi Jonathan terlebih dahulu. Aku masih berjalan di tempat di dalam kenangan kami berdua.

Tidak ada dalam pikiranku bahwa kami akan kembali bersama. Kenyataan bahwa dia berada di luar negeri sudah cukup menjadikan alasan terkuat bahwa kami tidak akan pernah bisa bersama. Hubungan jarak jauh seperti itu, aku merasa tidak sanggup menjalaninya. Menilik dari perbincangan kami barusan, tidak ada satupun ucapan yang menyinggung tentang hubungan kami dulu. Itu sudah menegaskan bahwa kami hanyalah sebatas teman lama sekarang.

Jonathan terkejut saat mengetahui bahwa aku berada di Jepang. Sekarang, dia menjalani hidup sebagai seorang model. Aku tidak menyangka dia akan lebih memilih modelling daripada kuliah. Jonathan yang dulu senang sekali belajar, sekarang memilih untuk meninggalkannya. Banyak yang telah berubah. By the way, cerita tentang aku dan teman-temanku yang penggemar anime dan manga, Jonathan juga termasuk di dalamnya. Dia sangat tergila-gila dengan Naruto. Itulah kenapa dia sangat terkejut aku berada di Jepang. Negara yang sangat ingin dia kunjungi sejak SMP. Aku merasa senang telah membuatnya iri. Dia berjanji akan datang berkunjung sebelum aku kembali ke Indonesia. Janji sederhana seperti itu, mampu membuatku berharap.

Aku ingin bertemu dengan Jonathan. Bagaimana ya dia sekarang? Apa dia bertambah tinggi? Dia pasti sangat tampan sekarang, menilik dia adalah seorang model. Membayangkan Jonathan dengan perubahan-perubahannya membuatku terlelap. Sebelum terlelap, aku sempat berdoa supaya bisa bertemu dengan Jonathan dalam mimpi.

                Keesokan paginya, aku bangun tanpa bisa mengingat apa mimpiku semalam.

***

                Udara semakin panas, meskipun tidak sepanas di Surabaya, tapi karena sudah terbiasa dengan hawa sejuk, panasnya perlahan terasa. Aku berjalan perlahan menuju halte bus. Pergi keluar di siang yang terik seperti ini adalah keputusan yang salah. Tapi, aku tidak ingin beranjak dari futon-ku yang nyaman. Kalau bukan karena sandal kerja ku rusak, aku tidak akan keluar dari kamar di hari liburku. Sepertinya, aku terlalu bekerja keras sampai sandalku rusak. Apalagi, aku mendapatkan libur dua hari berturut-turut, jadi aku ingin menghabiskan di kamar sambil menonton anime dan makan es krim.

                Bus datang 7 menit kemudian. Tidak ada yang naik bus selain aku dari halte ini. Penumpang bus juga hanya ada aku dan seorang wanita yang duduk di belakang sopir. Aku memilih duduk di bangku belakang. Bangku favoritku setiap kali naik bus. Setiap wisata sekolah, aku selalu meminta untuk duduk di belakang. Karena, berada di belakang, aku jadi bisa melihat apapun, tanpa harus penasaran. Berbeda jika duduk di depan, pasti akan menengok ke belakang, membuat leher sakit.

                Perjalanan menuju Obihiro ditempuh sekitar 40  menit dengan bus. Melewati beberapa daerah. Kadang aku penasaran dengan salah satu daerah, tapi karena aku buta arah, aku hanya bisa menahan diri untuk tidak berpetualang sembarangan. Bus melewati jembatan layang besar menyeberangi sungai yang jernih. Saat musim panas seperti ini, sungai adalah tempat yang terbaik. Aku jadi ingin pergi ke sungai. Mungkin besok.

                Bus sampai di halte terakhir. Aku turun dan langsung berjalan memasuki stasiun. Melewati stasiun, tapi tidak pernah naik kereta, rasanya sayang sekali. Tapi, aku tidak punya tempat yang ingin ku tuju. Saat minggu pertama kami di sini, aku dan Kak Diana iseng mengecek harga tiket kereta. Karena kami tidak tahu tempat yang ingin kami tuju, dan hanya mengenal Sapporo sebagai pusat kota Hokkaido, kami berencana ingin pergi ke sana. Tapi, ternyata harga tiket keretanya sangat mahal dengan waktu perjalanan yang cukup lama. Aku hanya bisa menelan ludah. Aku membatalkan keinginanku ke sana.

                Lampu untuk penyeberang jalan berubah hijau. Aku langsung berjalan cepat menuju seberang. Sistem lalu lintas di sini sangat teratur. Saat lampu hijau untuk penyeberang jalan menyala, semua kendaraan akan berhenti di belakang zebra cross. Kadang, mereka berhenti sendiri dan membiarkan penyeberang jalan lewat terlebih dahulu. Sangat sopan.

                Daerah di mana aku tinggal ini memang terkesan sepi. Tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang ataupun orang yang berjalan. Sangat berbeda dengan yang ku lihat di anime. Di anime, aku melihat banyak orang yang berjalan dan menyeberang jalan. Terlihat sangat padat. Mungkin, karena di sini bukan kota besar, berbeda dengan Tokyo, jadi penduduknya tidak terlalu banyak. Aku harus puas hanya dengan ini.

                Sesampainya di mall, aku langsung menuju toko sepatu dan sandal, mencari sandal yang mirip dengan milikku sebelumnya, karena aku membelinya di sini sebelum aku masuk kerja. Setelah membelinya, aku berjalan-jalan sebentar mengelilingi mall. Mall ini tidak terlalu besar, tapi cukup lengkap. Ada toko pakaian, sepatu, elektronik, supermarket, game center, dan restoran. Harga barang di sini juga sangat murah.

                Saat melewati toko pakaian di belakang, aku melihat jejeran yukata – baju tradisional Jepang saat musim panas, biasa dipakai saat pergi ke festival –  yang dipajang. Haa, benar. Ini musim panas. Musimnya festival dan yukata. Hanya saja di sekitar hotel tidak ada perayaan festival, jadi aku agak kecewa. Tapi, di Obihiro katanya selalu mengadakan festival setiap tahun. Aku jadi bersemangat kembali.

                Ku langkahkan kaki menuju deretan yukata yang dipajang begitu cantik dengan berbagai warna. Ada yukata yang sepaket dengan obi – sabuk lebar dari kain tebal yang diikat di pinggang dan dibentuk seperti pita di belakang – yang sudah jadi dan geta – sandal yang terbuat dari kayu. Ada juga yang dijual terpisah. Tapi, harganya lebih murah jika beli sepaket, tapi aku ingin membuat obi sendiri. Beli obi saja harganya juga semahal ini. Mungkin, aku harus menyerah untuk membeli obi, lagipula aku tidak bisa memasangnya untuk diriku sendiri. Lebih mudah memasangkan ke orang lain. Baiklah, aku beli yang sepaket saja.

                Ku telusuri setiap yukata. Motifnya beragam. Ada motif Sakura, kembang api, bunga, garis-garis, awan, dedaunan, dan lain sebagainya. Aku ingin membeli yukata dengan motif Momiji – daun maple, dengan warna merah orange yang cantik, tapi tidak ada. Warna-warna cerah tidak cocok untuk kulitku, warna gelap akan terlihat sangat membosankan. Akhirnya, aku memutuskan membeli warna yukata berwarna pink, dengan paduan warna merah, putih dan hitam, bermotif Sakura dengan obi dan geta berwarna merah. Meskipun, Sakura bukan bunga favoritku, tapi yukata ini yang paling cantik di antara semuanya. Dan, aku menyukainya.

                Seorang pegawai mendatangiku, aku langsung menyerahkan yukata padanya dan mengikutinya ke kasir. Selama pegawai tersebut membungkus yukataku, aku melihat-lihat tas jinjing dengan bentuk yang unik. Berbentuk kotak dengan kerutan di atasnya, terbuat dari kain bermotif. Aku pernah melihatnya di anime. Saat mengenakan yukata, biasanya juga membawa tas jinjing seeprti ini. Aku mengambil salah satu tas yang cocok dengan yukataku, berwarna pink dan merah, bermotif Sakura dan bertali hitam. Aku meletakkannya di meja kasir supaya dibungkus dengan yukataku.

                Setelah membayar, aku berjalan menuju supermarket. Ku letakkan belanjaanku di dalam troli, dan berjalan menuju bahan makanan. Ku ingat-ingat lagi bahan makanan yang masih tersisa di kulkas. Aku masih punya bawang bombay, telur, kaleng tuna, kentang dan sosis. Mungkin, aku akan membeli daging ayam dan jamur. Setelah mengambil dua bahan tersebut, aku menuju ke tempat lain, membeli tomat ceri dan buah momo. Aku mengingat lagi, apakah aku membutuhkan perlengkapan toilet dan kamar mandi. Sepertinya, masih ada pasokan. Snack di lemari masih ada beberapa, kulkas juga masih terisi penuh dengan es krim dan purin. Aku hanya akan mengambil sebotol jus jeruk dan apel.

                Aku belanja banyak hari ini.

                Ku tenteng tas belanjaanku dengan susah payah, lumayan berat. Melewati toko pakaian yang memajang mode musim panas. Aku menatapnya sejenak. Menimbang-nimbang, apakah aku harus beli pakaian. Aku sudah cukup banyak membeli pakaian di minggu pertama ku di sini, dan di setiap kesempatan di hari liburku, aku akan pergi berbelanja pakaian. Karena aku hanya membawa sedikit pakaian dari Surabaya. Tapi, aku jarang keluar kamar dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, mungkin lain kali. Aku tinggal membeli mantel dan sepatu boots untuk musim dingin. Dari Surabaya, aku sudah membeli syal, sarung tangan, tudung kepala, penutup telinga, dan beberapa kaos kaki tebal, yang langsung ku pakai saat tiba di sini karena belum terbiasa dengan suhu udara di sini. Waktu itu padahal sudah masuk musim semi tapi masih terasa dingin.

                Aku melirik jam tanganku. Bus masih akan datang sejam lagi. Aku akan beristirahat sejenak sambil memakan crepe. Aku memesan crepe manis dengan tumpukan krim, saus kacang, parutan keju, dan stroberi. Aku menikmatinya sambil bermain game di ponselku. Lalu, tiba-tiba Okuoka-san mengirim Line.

                Aku tersenyum geli melihat pesan yang dia kirim. Dia mengirim foto sedang makan sore di kantin bersama Yash, Tisha, Kak Diana, dan juga Nobusuke-san. Nobusuke-san terlihat kesal di foto tersebut. Dia tidak menatap ke kamera. Aku mengirimkan stiker berbentuk hati sebagai balasannya dan menyimpan foto tersebut.

                Aku menghela nafas panjang. Hampir 4 bulan aku berada di sini, dan kami semakin dekat. Tisha dan Yash sudah bersikap seperti biasa. Meskipun, aku tahu Yash masih menyukainya. Dia menyembunyikan perasaannya dengan baik. Kak Diana lebih banyak bicara sekarang, dan mulai sering membuat lelucon, membuat kami tertawa. Nobusuke-san juga sering tersenyum sekarang, dan mudah untuk diajak bicara. Kami bahkan pernah makan ramen bersama di luar. Hubungannya dengan Okuoka-san juga mulai membaik. Ku dengar, mereka bahkan pergi minum bersama.

                Pekerjaan di restoran menjadi lebih mudah dan ringan dari sebelumnya. Chief sudah tidak pernah lagi membentak atau marah padaku. Beliau sekarang lebih sering bergabung dengan karyawannya dan lebih mudah diajak bercanda. Situasi restoran berubah menjadi hangat. Hayami-san tidak perlu lagi menenangkan kami setiap kali Chief memarahi kami.

                Aku menyukai mereka.

               Aku bangkit setelah crepe ku habis dan berjalan menuju halte bus sambil membawa tas belanjaan yang cukup berat. Aku masih harus menaiki tangga 4 lantai untuk benar-benar sampai di kamarku. Ini akan menjadi perjalanan yang berat.

***

                Aku berpapasan dengan Nobusuke-san saat akan turun menuju tempat laundry. Setelah pulang dari Obihiro, membereskan belanjaanku, aku membersihkan kamarku dan berakhir dengan tumpukan pakaian kotor. Akupun turun menuju lantai 1 ke ruang laundry. Asrama ini menyediakan tempat laundry, jadi aku tidak perlu repot-repot mencuci pakaianku.

                “Baru pulang?,” tanyaku

                “Emh. Kau mau ke mana?,”

                “Mengambil cucian,”

Aku melambaikan tangan dan bergegas menuju ruang laundry, tapi tiba-tiba dia memanggilku. Aku menoleh padanya, menunggu.

                “Mau ke sungai bersamaku besok?,”

Aku menelengkan kepalaku, bingung. Dia sedang mengajakku?

                “Kau besok masih libur, kan? Aku juga libur besok. Jadi, ku pikir_,”

                “OK. Jam berapa?,” tanyaku. Dia malah menatapku terkejut. Aku menatapnya balik seolah-olah itu bukan hal yang mengejutkan.

                “Jam 11,” Jawabnya akhirnya.

                “Baiklah. Kita bertemu di lorong ya,” ujarku sambil beranjak pergi, tanpa kembali menoleh ke belakang.

                Aku menutup pintu ruang laundry dengan pelan. Menarik nafas panjang. Berapa lama aku tidak bernafas tadi? Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Gara-gara ucapan Tisha tempo hari, aku jadi merasa canggung saat bersama dengan Nobusuke-san. Kembali lagi seperti awal. Dan, apa itu tadi? Dia mengajakku ke sungai, berdua saja? Tidak, kan? Apa yang akan aku katakan jika hanya berdua saja dengannya? Seingatku, aku tidak pernah berdua saja dengannya dalam waktu yang lama.

                Aku mengambil tumpukan bajuku yang sudah kering dari mesin cuci, melipatnya rapi dan memasukkannya ke dalam keranjang, masih memikirkan Nobusuke-san. Aku benar-benar bisa gila kalau begini terus.

                Sadarkan dirimu, Moza!

                Aku segera kembali ke ruanganku, meletakkan keranjang bajuku asal, dan berlari menuju kamar. Ku raih ponselku dan mengirim pesan Line ke grup. Tidak lama kemudian, mereka datang, dengan panik.

                “Ada apa? Ada masalah?,” sembur Tisha saat memasuki kamarku, disusul Kak Diana dan Yash di belakangnya yang juga terlihat khawatir. Aku menaikkan alis, bingung. Kenapa mereka bisa sepanik itu?

                “Ku rasa ini bukan hal yang besar,” ujarku memastikan.

                “Hei, kau mengirim pesan S.O.S di grup! Kau pikir kami tidak akan panik?!,” seru Tisha geram. Aku hanya nyengir kuda karena salah mengirim stiker. Lagipula, tidak akan ada orang yang sedang dilanda emergency masih sempat mengirim stiker. Mereka terlalu berlebihan.

                Aku menyuruh mereka untuk duduk dan mengatakan keluh kesahku. Tisha menatapku dengan tatapan seolah-olah dia sudah menduganya. Aku berpaling dari tatapan tersebut. Rasanya aku telah melakukan kesalahan besar.

                “Baiklah. Biar aku bertanya,” ucap Yash mendahului. Aku memperhatikannya dengan saksama. “Saat kau bertemu dengan mereka berdua, siapa yang paling membuatmu gugup?,”

                “Dulu atau sekarang?,” tanyaku memastikan.

                “Sekarang,”

Aku menarik nafas panjang. Apapun jawaban yang ku lontarkan, aku tetap tidak akan selamat.

                “Nobusuke-san,”

Mereka bertiga langsung menatapku terkejut.

                “Kenapa kau plin plan sekali dengan perasaan, hah? Aku tidak menyangka,” sahut Tisha, membuatku semakin terpuruk.

                “Aku hanya menjawab satu pertanyaan. Memangnya bisa dijadikan sebagai jawaban?,” protesku tidak terima. Paling tidak, mereka memberiku beberapa pertanyaan, jadi baru bisa dibandingkan. Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku yang ternyata gampang goyah ini. Aku merasa gagal jadi seorang manusia.

                “Satu jawaban itu sudah cukup,” timpal Kak Diana memihak Tisha. Oh, percuma aku mengundang mereka ke mari. Lalu, aku teringat tujuan awalku.

                “Jadi, aku harus bagaimana besok?,”

                “Terima nasib sajalah. Lagipula, kita bertiga masuk pagi besok. Tidak bisa membantu. Sori,” jawab Yash sambil mengangkat bahu tidak peduli. Ugh, menyebalkan! Aku memang tidak punya pilihan lain.

                “Satu hal lagi,” ujarku panik.

“Apa?!,” seru mereka bertiga kompak. Apa yang ku katakan selanjutnya adalah yang paling emergency. Belum ku katakan saja, aku sudah berkeringat dingin begini.

“Aku berhubungan kembali dengan mantanku,”

“HAH?!,” Aku langsung menutup telingaku dengan kekompkan teriakan mereka bertiga. Tuh, kan! Aku akan disantap hidup-hidup setelah ini.

***

                Saking gugupnya atau terlalu bersemangat, aku sudah siap sejam sebelum waktu janjianku dengan Nobusuke-san. Aku mondar-mandir di kamarku, memikirkan percakapan yang terkesan tidak canggung, mencoba bersikap biasa saja. Tapi, debar jantungku tidak mau berhenti. Aku sampai menghabiskan segelas air, yang ku sesali setelah gelas itu kosong. Bagaimana jika aku ingin ke toilet nanti saking gugupnya? Ah, bodohnya!

                Aku berhenti di depan pintu, menarik nafas panjang. Menenangkan debaran jantungku. Mencoba merilekskan tubuh dengan melakukan sretching ringan. Hal yang sangat tidak diperlukan. Aku melirik jam tanganku, menatapnya ngeri, bahkan jarum panjang itu tidak bergerak dari tempatnya. Oh, shit! Mungkin aku harus mengalihkan perhatian ke hal lain.

                Aku menatap laptop-ku yang bertengger manis di atas meja. Sejam, aku bisa melihat dua episode anime. Yups, itu ide yang sangat brilian. Dengan begitu, saat waktu pertemuan kami, aku sudah tidak lagi gugup. Aku-pun duduk dan memulai menonton. Anime yang ku pilih adalah Sakamoto desu ga, anime yang bergenre komedi yang tayang musim semi kemarin. Di awal episode, aku tidak berhenti tertawa.

                Bel pintuku berbunyi saat aku menonton pertengahan episode ke 3. Aku menoleh ke pintu dengan panik. Tunggu! Jam berapa ini? Aku melirik jam tanganku, jam 11 lewat 5 menit. Oh, sial! Aku langsung menutup laptop-ku, dan berlari menuju pintu. Saat membukanya, Nobusuke-san sudah berdiri di sana dengan ekspresi dinginnya yang seperti biasa. Aku hanya nyengir, menutupi kesalahanku yang sangat fatal.

                “Ah, maaf. Aku terlambat,” ujarku merasa bersalah, melirik Nobusuke-san yang masih lempeng wajahnya. Oh, apa dia marah?

                “Tidak masalah. Karena aku yang mengajak,” ujarnya cuek, langsung berbalik mendahului. Aku mengikutinya dari belakang setelah mengunci pintu.

                Kami menuruni undakan tangga dalam diam. Membuatku semakin merasa bersalah. Entah kenapa aku bisa melihat kekesalannya dari balik punggungnya. Lain kali aku akan memasang alarm, supaya tidak terlambat janjian. Itu-pun jika ada yang kedua kali. Aku harap ini pertama dan terakhir kali aku bersamanya, berdua saja.

                Mataku menangkap sesuatu yang ganjil saat kami berjalan ke arah sungai. Nobusuke-san membawa keranjang kotak, sedangkan aku hanya membawa tas selempang. Aku mengerutkan dahi, berpikir. Sebenarnya, kami mau melakukan apa di sungai?

                “Apa yang kau bawa?,” tanyaku sambil melompat kecil ke sampingnya. Dia menatapku dan keranjang yang ia bawa.

                “Kita akan piknik,” jawabnya sambil berjalan lebih cepat.

                Piknik? Aku berjalan cepat untuk bisa mengimbanginya.

                Aku melirik padanya. Hari ini dia berpenampilan kasual, lebih rapi dari pertama kali bertemu. Karena aku terbiasa melihatnya dengan seragam, jadi agak takjub melihat penampilannya dalam baju bebas. Dia mengenakan celana jins hitam yang robek di area lutut, kaos V-neck berwarna putih yang dilapisi dengan kemeja kotak berwarna biru cobalt. Rambutnya disisir rapi, sepertinya baru dipotong. Dia terlihat lebih segar, ditambah dia mengenakan kaca mata frame kotak berwarna hitam. Kaca mata yang pernah ku lihat saat pertemuan kami yang ke dua.

               “Kau pakai kaca mata saat di luar?,” tanyaku. Dia menoleh dan mengangguk singkat. “Minus?,” Dia mengangguk lagi. “Kenapa saat kau bekerja tidak memakainya?,”

                “Mengganggu. Lagipula minusku tidak terlalu tinggi, jadi tidak mengganggu pekerjaanku,”

Aku hanya ber-oh panjang mendengarnya sambil mengangguk-angguk paham.

                “Kebalikan dari Okuoka-san, ya?,” gumamku.

                “Milik Tsuki-san adalah kaca mata baca. Kau tahu kan dia sudah tua, lagipula pekerjaannya mengurus dokumen-dokumen penting,” Aku ingin tertawa saat dia berkata bahwa Okuoka-san sudah tua, meskipun kenyataan memang jarak usia mereka terpaut jauh. “Dia juga bilang, pria berkaca mata dengan memakai setelan jas akan terlihat lebih seksi, jadi dia tidak memakainya saat berpakaian kasual,” tambahnya sambil terkekeh, membuatku ikut tersenyum.

                “Kalian dekat, ya,”

                “Bisa dibilang begitu,”

Aku menatapnya. Nobusuke-san tersenyum saat menjawabnya. Dia mengakui hubungan mereka, berbanding terbalik saat mereka sedang berdua. Mereka berdua selalu beradu mulut setiap ada kesempatan, meskipun mereka sudah menjadi dekat, tapi tetap saja percekcokan itu selalu terjadi. Aku penasaran dengan hubungan mereka. Mereka terlihat sangat dekat dari yang ku bayangkan. Apalagi melihat ekspresi Nobusuke-san yang terlihat sangat mengagumi Okuoka-san. Tapi, mungkin akan tidak sopan jika aku bertanya.

                Kami sampai di lapangan pinggir sungai. Lapangan berumput yang sangat hijau. Nobusuke-san melangkah mendekati tempat di pinggir sungai, meletakkan keranjang yang dia bawa, membukanya. Aku terkejut saat dia mengambil karpet dari keranjang, menggelarnya rapi, kemudian mengeluarkan beberapa makanan dan minuman dari dalam keranjang, meletakkannya di tengah karpet, kemudian duduk. Aku hanya bisa mematung di tempatku saat melihatnya melakukan semuanya dalam waktu tidak sampai 5 menit.

                Apa ini? Piknik beneran? Tunggu!

                Aku segera duduk setelah melepas sandal saat Nobusuke-san menyuruhku untuk bergabung dengan tatapan mata dan kedikan kepala. Dia memberiku sekotak jus buah yang masih dingin dan sandwich. Mataku membulat saat melihat sandwich tersebut. Rasanya, ini bukan sandwich yang dijual di Konbini. Apa dia membuatnya sendiri? Dan, jus buah? Pria mana yang berpikiran membawa jus buah di kotak keranjang saat piknik?

                Aku menatapnya tidak percaya, yang duduk tenang sambil menyeruput kaleng bir. Dan, BIR?! Aku harus menyebut jenis piknik apa yang sedang kami lakukan? Berdua saja, di pinggir sungai, di cuaca yang cerah? Apa aku boleh menganggap ini adalah_

                STOP! Jangan memikirkannya, Moza! Kendalikan dirimu!

                Aku memutuskan untuk meminum jus buah. Mataku membulat saat merasakannya. Ku perhatikan kotak tersebut dengan seksama. Ini adalah merk yang biasa ku beli dan menjadi salah satu pasokan wajib di kulkas, selain jus jeruk dan apel. Aku memicingkan mata padanya, curiga. Bagaimana dia tahu jus buah kesukaanku? Lebih tepatnya, kenapa dia tahu? Apa aku harus bertanya? Tapi, jika aku bertanya, apa dia akan berpikir aku aneh? Apa aku bersikap bodoh saja dengan mengatakan ini adalah jus buah favoritku?  Ah, lupakan! Lebih baik ku nikmati saja.

                Aku mengambil sepotong sandwich. Tampilannya begitu indah, berbentuk kotak, dilapisi roti tawar putih yang lembut, dengan isian scramble egg, potongan alpukat, selada, irisan tomat dan parutan keju. Hmm, enak. Aku sangat yakin ini buatan sendiri. Aku kembali meliriknya, benar-benar curiga. Tidak hanya sandwich, ada juga kentang goreng, salad dan onigiri. Siapa yang akan memakan semua ini?

                Dia, bahkan tidak bicara. Menatapku juga tidak. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dengan kecanggungan ini. Padahal ku pikir, kami sudah mengobrol biasa tadi. Pertunjukan piknik ini benar-benar membuatku merasa canggung dan gugup.

                “Bagaimana? Apa kau menyukainya?,” tanyanya tiba-tiba. Aku menoleh padanya. Untung aku sedang tidak makan atau minum, jadi aku tidak harus tersedak karena kaget.

                “Ng, ya. Semuanya enak,” jawabku jujur.

                “Ini ucapan terima kasih atas pemberianmu tempo hari,”

Alisku naik. Pemberianku tempo hari? Kapan? Yang mana?

                “Nasi goreng,”

Ah, yang waktu pindahan itu?

                “Kau tidak perlu repot-repot melakukan ini. Aku jadi tidak enak,” ujarku.

                “Anggap saja sebagai bentuk sopan santun. Juga sebagai permintaan maaf, karena bersikap buruk. Aku akan sennag kalau kau mau menerimanya,”

                Baiklah, aku menyerah. Padahal dia sudah meminta maaf karena sudah berprasangka buruk tentangku. Bagiku itu sudah cukup. Menerima lebih dari ini rasanya sangat berlebihan. Tapi, menolak juga tindakan yang tidak sopan. Terima sajalah. Rejeki ini.

                “Kau membuatnya sendiri?,” tanyaku, penasaran.

                “Kenapa?,” tanyanya balik, terlihat waspada. Aku menahan diri untuk tidak tertawa.

                “Terima kasih. Kau sangat perhatian. Aku sudah berpikir yang aneh-aneh bahwa ini kencan,” ucapku sambil tertawa geli. Tapi, tidak ada balasan yang sama darinya. Yang ada dia hanya menatapku dengan tatapan yang membuatku menelan ludah. Apa aku sudah menyinggungnya? Entah kenapa, mood pria ini gampang sekali berubah setiap kali aku berbicara.

                “Ini memang ajakan kencan dariku,” ujarnya gamblang, menatap lurus-lurus ke dalam mataku. Aku tidak melihat dia sedang bercanda. Aku menelan ludah. Tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya. “Karena aku menyukaimu,”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tentang Hati Yang Patah
474      348     0     
Short Story
Aku takut untuk terbangun, karena yang aku lihat bukan lagi kamu. Aku takut untuk memejam, karena saat terpejam aku tak ingin terbangun. Aku takut kepada kamu, karena segala ketakutanku.bersumber dari kamu. Aku takut akan kesepian, karena saat sepi aku merasa kehilangan. Aku takut akan kegelapan, karena saat gelap aku kehilangan harapan. Aku takut akan kehangatan, karena wajahmu yang a...
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1029      560     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...
complicated revenge
19487      2988     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."
Should I Go(?)
9658      2263     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Dialogue
8658      1800     1     
Romance
Dear Zahra, Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika. With love, Abu (Cikarang, April 2007) Kadang, memang cinta datang di saat yang kurang tepat, atau bahkan pada orang yang...
Guguran Daun di atas Pusara
451      306     1     
Short Story
When I Met You
607      343     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Attention Whore
203      170     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
Kamu VS Kamu
1689      928     3     
Romance
Asmara Bening Aruna menyukai cowok bernama Rio Pradipta, si peringkat pertama paralel di angkatannya yang tampangnya juga sesempurna peringkatnya. Sahabatnya, Vivian Safira yang memiliki peringkat tepat di bawah Rio menyukai Aditya Mahardika, cowok tengil yang satu klub bulu tangkis dengan Asmara. Asmara sepakat dengan Vivian untuk mendekatkannya dengan Aditya, sementara ia meminta Vivian untu...
Special
1367      743     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.