Jam 5.
Aku masih belum siap. Dan, aku malas beranjak dari depan laptop-ku. Anime yang sedang ku tonton lagi seru-serunya, sayang jika harus ku tutup sekarang. Argh!!! Ku lirik laptop dan jam bergantian. Aku benar-benar tidak rela jika harus beranjak sekarang untuk mandi dan bersiap-siap. Tapi, orang Jepang sangat disiplin terhadap waktu. Dan, aku masih sehari di sini.
Baiklah. Dunia nyata lebih penting sekarang.
Aku akhirnya beranjak dari tempatku setelah mematikan laptop. Melompat menuju kamar mandi. Jam 6 kurang seperempat, aku sudah siap dengan celana jins yang baru ku beli sebelum berangkat ke mari dan blus hijau lembut kesukaanku. Aku menguncir rambutku ke atas, detik kemudian, bel pintuku berbunyi. Aku mengambil ponselku dan berlari menuju pintu. Yash, seperti biasa, nyengir kuda di balik pintu, bersama Tisha dan Kak Diana.
“Apa kita perlu membawa sesuatu?,” tanya Yash.
“Ku pikir tidak,” jawabku sekenanya. Membuatku teringat dengan budaya di sini yang membawakan sesuatu kepada tetangga. Dan, soal tetangga, aku langsung menatap tajam ke arah pintu 401 yang tetap bergeming. Aku tidak sudi jika harus berdiri di balik pintu tersebut dan bertatap muka dengan penghuninya. Oh, lupakan.
“Apa kau sudah bertemu dengan tetanggamu?,” tanya Kak Diana. Aku hanya mengangkat bahu dan melangkah mendahului, tanpa berpikir untuk menoleh bahkan melirik pintu 401.
Kami turun menuju lantai 2 dan melangkah cepat menuju kamar 203. Aku langsung menekan bel, menunggu sebentar sampai pintu terbuka. Yofune-san langsung menyambut kami dan menyuruh kami masuk. Kami menurut. Di dalam, sudah berkumpul banyak orang. Ruangan yang cukup luas jika ditinggal sendiri menjadi terlihat sempit saat semua orang berkumpul di sini. Aku melihat beberapa orang yang telah berkenalan dengan kami tadi pagi.
“Irasshai (Selamat datang). Sini, duduk,” ucap seorang wanita. Aku merutuki diriku yang lemah terhadap nama orang. Akhirnya, aku hanya tersenyum sopan dan duduk.
Pesta penyambutan ini terlihat sama saja dengan acara penyambutan saat aku mahasiswa baru setahun lalu. Kami memperkenalkan diri kami masing-masing, kemudian mengobrol dan makan. Awalnya, memang terlihat menyenangkan, namun lama-kelamaan terasa sangat membosankan bagiku, karena aku bukan tipe orang yang suka berlama-lama berada dalam suasana ramai seperti ini. Aku hanya menjawab jika ditanya, selebihnya hanya memperhatikan.
Di ruangan pojok, berkumpul orang-orang kantor. Orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi di hotel, termasuk Yofune-san. Di ruang tengah, berkumpul para wanita yang bekerja di restoran. Yash, bergabung dengan para pria pejabat. Tisha dan Kak Diana bersama para wanita restoran. Lalu, aku, berada di pertengahan. Jadi, bisa dibilang, aku mengobrol dengan semua penghuni kamar ini. Aku ingin kabur dari sini.
Dua jam setelahnya, Yofune-san dan pejabat yang lainnya pergi keluar. Sepertinya, mereka sudah terlihat mabuk dan memilih untuk menghirup udara segar di luar sambil merokok. Yash terlihat sudah mulai brutal di tempatnya, ngobrol tidak jelas sambil tertawa. Aku hanya bisa mengernyit melihat pemandangan tersebut. Ini pertama kalinya, aku berurusan langsung dengan orang mabuk. Meskipun, memiliki sistem acara yang sama dengan penyambutan mahasiswa baru, bedanya di sini tersedia fasilitas minuman beralkohol, dengan berbagai jenis dan berbagai merk. Hanya dengan baunya saja aku sudah tidak tahan.
“Siapa namamu tadi?,” Aku langsung menoleh ke depan. Seorang pria yang sepertinya masih terlihat sadar menatap tajam padaku. Aku mengerutkan dahi, masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi dan kepada siapa pria itu berbicara.
Mata pria itu semakin tajam menatapku di balik frame kaca mata separuhnya. Tubuhku bergidik ditatap setajam itu, oleh pria yang tidak ku kenal. Aku bahkan tidak sadar ada pria itu di ruangan ini. Aku mencoba mengingat-ingat lagi keberadaan pria itu, tapi otakku tidak bekerja dengan baik. Tidak ada pria tersebut dalam ingatanku.
“Kau bisa bahasa jepang, kan?,” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk singkat.
“Siapa namamu?,”
“Moza,” Aku tidak berniat untuk menanyakan balik namanya.
Tatapan tajam pia tersebut sedikit demi sedikit mulai menghilang. Dan aku menunggu pertanyaannya selanjutnya. Tapi, selama 10 menit, dia tidak kunjung bertanya. Perlahan dan pasti, aura kecanggungan mulai mencekikku. Aku benar-benar ingin pulang sekarang.
Pria itu menuangkan bir ke gelasnya, meminumnya seteguk, kemudian memakan karaage – ayam goreng tepung – yang tersisa. Aku mengalihkan pandangan ke ruang tengah, melihat Yash yang mulai bernyanyi. Kebisingan yang memekakkan telinga. Ku perhatikan Kak Diana yang sepertinya telah melebur ke dalam pesta. Hal yang tidak terduga, melihat kepribadian Kak Diana yang sehari-harinya selalu menyendiri dengan dunianya sendiri. Tisha yang awalnya enggan dengan Kak Diana, terlihat ikut bersenang-senang bersama. Andaikan aku juga bisa seperti itu. Tanpa sadar, aku menghela nafas.
“Apa kau lelah?,” Aku kembali menatap pria tersebut dan memilih tersenyum sopan.
“Sepertinya,” Pria itu hanya mengangguk mengerti.
“Berapa lama kau belajar bahasa jepang?,” tanyanya. Aku terdiam sejenak. Bukan bermaksud untuk tidak sopan, tapi aku mulai bosan dengan pertanyaan itu, yang sudah ke sekian kalinya selama 2 jam ini.
“Setahun lebih. Di kampus dan juga tempat les,” Aku mulai les sejak liburan sebelum aku menjadi mahasiswa baru. Jika hanya mengharapkan dari Kampus, aku tidak mungkin nekat ke Jepang dengan modal bahasa yang pas-pasan. Aku tidak ingin dibunuh secara perlahan di sini.
“Bahasa Jepang-mu bagus,” pujinya. Aku membalas sekenanya dengan sopan. Entah kenapa, pujian seperti itu tidak membuatku senang. Ini pasti karena tetangga menyebalkan itu! Cih, aku jadi teringat lagi dengannya.
“Bagaimana menurutmu Jepang, sesuai dengan bayanganmu?,”
“Entahlah. Aku baru sehari di sini,” Yeah, aku masih belum sempat membandingkan suasana di sini dengan apa yang selama ini ku bayangkan. Orang-orangnya juga sangat ramah dan bersahabat. Suasana di sini lebih tenang dengan hawa dingin yang menggigit kulit. Terasa menyenangkan sebenarnya, tapi aku masih sehari di sini, masih ada 364 hari lagi sampai setahun.
“Apa kau ingat namaku?,”
“Tidak,” jawabku cepat, karena aku tidak ingat sudah berkenalan dengannya. Pria itu terkekeh di hadapanku, membuatku bingung.
“Omoshiroi na omae,” (Kau, menarik) ujarnya sambil masih terkekeh.
“Sore wa doumo,” (Terima kasih) balasku bingung.
Pria itu kembali menegak bir-nya, menyodorkan ika – cumi – kering padaku. Aku menerimanya dengan sopan, dan memakannya. Agak keras, berbau amis, tapi rasanya enak. Mengingatkanku dengan masakan nenekku yang sudah meninggal. Beliau selalu memasakkanku cumi kering yang digoreng dan dicocol dengan sambal pedas. Mengingatnya saja membuatku lapar, juga merindukan Beliau.
Pria itu tidak lagi mengajakku bicara, lebih sibuk dengan bir-nya dan merokok. Untungnya, dia membuka jendela, sehingga bau rokok tidak terlalu menyebar ke dalam ruangan, tapi sebagai gantinya, udara dingin membuatku menggigil. Aku tidak suka dengan bau rokok. Setiap kali ada orang yang merokok, aku akan memilih untuk angkat kaki. Tapi, aku tidak bisa melakukannya di sini. Aku hanya bisa berharap acara ini cepat selesai.
Aku kembali menatap pria tersebut yang menghadap ke jendela dengan rokok yang terselip di antara bibirnya. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa masuk dalam dunia anime shoujo – anime khusus cewek – yang biasa ku tonton. Pria yang sedang duduk di pinggir jendela, tatapan mata di balik kaca mata yang menatap kosong keluar jendela, rambut yang terbang berantakan karena terhembus angin, wajah tampan yang berekspresi datar, lengan kemeja yang digulung sampai siku dan memperlihatkan otot lengan yang kuat, bahu yang tegap, punggung yang tegak.....
Aku langsung mengalihkan pandangan saat mata pria itu melirik ke arahku. Aku merasa ingin melompat dari jendela jika dia sampai tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Aku yakin wajahku sudah memerah sekarang, karena menahan malu. Dalam hati, aku merutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku terpesona di saat yang tidak tepat pada pria yang tidak ku kenal dan terkesan aneh ini. Aku teringat lagi dengan bayangan liarku tentang pria ini. Sejak kapan aku tertarik dengan pria ini? Ini pasti karena angin. Anggap aja seperti itu.
Aku melirik kembali ke arah pria itu yang sekarang dengan lurusnya menatapku. Oh, sial! Kenapa dia malah menatapku? Sekarang, apa yang harus ku lakukan? Bersikap biasa saja, dengan wajah merah dan gugup? Oh, tidak. Bukan pilihan yang bagus. Atau kabur dari sini? Itu sama sekali tidak membantu. Tanganku bergerak mengambil gelas minumanku yang tinggal sedikit, langsung menenggaknya sampai habis. Tiba-tiba saja, udara menjadi panas di sini, padahal jendela masih terbuka.
“Nee (Hei), Moza_,”
“Tadaima,” (Kami kembali) Kami langsung menoleh ke arah pintu. Yofune-san dan yang lain sudah kembali. Aku bernafas lega, dengan begini aku tidak perlu berurusan dengan pria itu. Aku menyempatkan melirik kembali kepada pria itu yang masih menatapku. Ah, apa yang harus kulakukan selanjutnya?
“Okuoka-san_,”
Aku menoleh ke arah Yofune-san yang sdang mengobrol dengan pria itu. Ah, namanya Okuoka. Ternyata benar, aku baru pertama kali mendengarnya. Jadi, aku belum diperkenalkan padanya. Atau mungkin sudah, tapi aku tidak memperhatikan. Aku mengelus leherku, aku tidak yakin akan mengingat semua nama orang di sini. Aku mulai ngeri saat melihat penghuni ruangan ini. Aku harap aku akan baik-baik saja.
“Kau baik-baik saja?,”
“Aku ingin cepat pulang,” jawabku menyerah saat Kak Diana duduk di sampingku. “Kakak terlihat.....nyaman,” Kak Diana langsung menatapku, tatapannya terlihat sedang berpikir.
“Terlihat begitu kah? Aku tidak nyaman dengan keramaian seperti ini. Tapi, ini kesempatan supaya aku bisa mengobrol dengan mereka,”
“Yeah, kakak sudah membuktikannya,” Kami menatap ke arah kerumunan yang terbagi dua tersebut. Yash semakin menggila karena mabuk, dan malah semakin parah saat para wanita itu menyorakinya – para ibu yang terlalu bersemangat. Tisha menangkap pandanganku, dia terlihat begitu lelah, tapi berusaha untuk tetap bertahan. Aku hanya meringis, merasakan hal yang sama. Ku lirik jam tanganku, hampir tengah malam. Seharusnya, pesta ini segera selesai.
Aku tidak menyangka akan berada dalam posisi seperti ini, berhura-hura dan menggila. Pesta minum-minum bersama sesama teman kerja. Aku hanya menonton hal seperti ini di anime, manga, dan film jepang. Hanya saja, aku tidak pernah menginginkan terjebak dalam situasi ini. Kehidupanku sehari-hari selalu berjalan normal dan biasa. Meskipun, pernah berurusan dengan teman-teman berandalan yang suka mabuk, aku tidak akan terjerumus. Tapi, sepertinya tidak akan berlaku di sini. Kehidupan seperti ini yang akan menyambutku selama setahun ke depan. Aku harap aku masih kuat iman.
Tanpa sadar, saking asiknya merenung dengan pikiranku sendiri, ika goreng yang disodorkan oleh Okuoka-san tadi sudah ludes dari plastiknya. Aku menghela nafas saat menyadarinya, menuangkan koucha – teh – ke gelasku dan menenggaknya. Dengan gerakan pelan, aku beringsut menuju meja, mengambil beberapa makanan. Lalu, mataku menangkap sebungkus roti, seperti roti tawar dengan ukuran mini. Aku mengambilnya dan mencobanya. Hmmm, rasanya gurih dan enak, tidak terlalu keras atau lembut, sangat berbeda dengan roti tawar, namun lebih enak. Saking enaknya, aku menghabiskan semuanya.
Aku menghela nafas kecewa, sekali lagi, karena makanan enak itu habis. Ku teguk lagi koucha-ku sampai habis. Sudah berapa kali aku kecewa hanya karena makanan dan minumanku habis? Yeah, tapi ini lebih baik daripada harus merasakan kebosanan di tengah hiruk pikuk ini, mengalihkan fokus pada makanan dan minuman, yang hanya bisa ku makan di sini. Dengan begitu, aku tidak harus berpura-pura merasa senang di pesta ini, yang ku harap segera selesai.
Aku menatap tajam makanan yang tersisa di meja, memakannya dengan bahagia. Semakin malam, perutku berontak minta diisi. Peduli amat dengan diet atau gendut. Nikmati saja makanan enak yang ada. Sayang sekali, jika harus memalingkan muka. Namun, perasaan bahagia ini harus terganggu saat aku merasakan hawa dingin di sekitarku. Bukan karena cuaca dingin di luar, tapi lebih karena perasaan yang sangat tidak enak. Perasaan yang sepertinya akan menghantuiku, jika aku tidak segera meluruskannya.
Aku menoleh, menangkap tatapan Okuoka-san yang sedang menatapku datar sambil menopang dagu. Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat garis tipis di bibirnya agak naik, senyum mencemooh.
Oke, fine.
Aku memalingkan muka dengan kesal. Apa-apaan senyum mencemooh itu? Dia sedang mengejekku sekarang? Atas dasar apa, hah? Dengan kesal, aku menyambar karaage dan tamagoyaki – telur goreng – yang tersisa. Hmmm, enak. Sejenak, aku merasa terhibur dari kekesalanku. Tapi, hanya sejenak. Hanya beberapa detik. Aku mendengar dengusan dari ujung sana. Aku langsung menatap tajam Okuoka-san yang terkekeh. Apanya yang lucu, sih? Detik kemudian, aku tersadar. Dia menertawakanku yang sedang makan dengan lahapnya. Ck, memangnya dia tidak pernah melihat seorang wanita yang sedang makan karena kesal? Saat sedang kesal, makan adalah obat yang terbaik.
Okuoka-san kembali menatapku. Dia sudah meredakan tawanya. Tiba-tiba, dia bangkit dari duduknya, berjalan pelan melewatiku menuju toilet. Tapi, aku bisa mendengar apa yang dia bisikkan padaku saat dia lewat tadi. Dan, itu cukup membuatku semakin mendidih saking kesalnya. Aku bisa membayangkan dia pasti sedang tertawa penuh kemenangan di toilet sana.
5 menit kemudian, Okuoka-san kembali, masih dengan senyum mengejeknya.
ARGH!
***
Tengah malam. Lewat 10 menit. Akhirnya, pesta menyesakkan ini selesai juga. Karena makanan dan minuman yang sudah habis. Para penghuni yang sudah sangat mabuk. Udara yang semakin dingin. Rasa ngantuk yang teramat sangat. Ditambah besok harus bekerja. Aku, langsung bersorak gembira dalam hati. Langsung bangkit, berpamitan cepat, dan melompat cepat keluar kamar. Disusul Kak Diana dan Tisha. Yash bergabung bersama kami, dengan tubuh yang sudah tidak lagi tegak, kesadaran yang menghilang perlahan, kami membantunya sampai menuju kamarnya. Setelah itu, kami berpisah di lorong, masuk ke kamar masing-masing.
Aku langsung masuk kamar dan membanting tubuhku di atas futon. Ah, rasanya menyenangkan. Hangat dan lembut. Tanpa dikomando, kesadaranku sudah menghilang.
Aku terbangun keesokan paginya dengan badan yang sudah segar. Hawa dingin langsung menusukku saat aku membuka pintu geser kamarku. Dengan gerakan cepat, aku langsung mengenakan slipper supaya kakiku tidak bersentuhan dengan lantai kayu yang pasti sangat dingin. Ku nyalakan penghangat ruangan, saking ngantuknya aku sampai lupa menyalakannya. Bersyukur karena futon dan selimut yang hangat, aku jadi bisa tidur nyenyak tanpa harus membeku.
Aku menatap jam dinding. Masih jam 6. Kami akan berkumpul nanti siang untuk melakukan training kilat supaya bisa bekerja Senin depan. Dan, sekarang hari Jumat. Sekarang, apa yang harus ku lakukan?
Aku membuka kulkas untuk mencari camilan. Perutku benar-benar tidak terkontrol. Padahal semalam, aku sudah cukup banyak makan, tapi pagi ini aku merasa kelaparan. Mungkin efek dari cuaca dingin, tubuhku mencari kehangatan dengan mengharuskan ususku bekerja. Jadi, aku harus segera memasok makanan di kulkasku yang tidak berpenghuni. Ku tatap cuaca di luar, cahaya matahari memang bersinar, tapi tidak terik, juga kaca pintu geser balkon yang berembun sudah cukup membuktikan bahwa udara di luar sangat sangat dingin. Aku menghela nafas panjang dan beranjak mengambil jaketku.
Aku memeluk diriku sendiri saat udara dingin menyelimutiku. Bahkan, aku belum menuruni tangga, tapi kakiku sudah tidak mau bergerak. Gigiku sudah bergemeletuk dan setiap nafasku sudah mulai berasap. Saat melihatnya, aku jadi teringat dengan salah satu anime yang pernah ku tonton. Sang tokoh utama wanita sedang menunggu teman kencannya di bawah jam taman sambil mengusap tangannya dan menghembuskan nafas ke tangannya supaya tetap hangat. Hembusan nafas itu keluar seperti asap dari mulutnya. Aku yang sedang menontonnya waktu itu tidak bisa membayangkan betapa dinginnya cuaca dingin yang bersalju. Bayanganku saat itu bahwa pemandangan putih penuh salju sangatlah cantik. Tapi, merasakannya sendiri sekarang, pemandangan cantik itu terasa sangat mengerikan. Untunglah, aku datang bukan di saat musim dingin.
Hokkaido adalah pulau paling utara di Jepang. Jadi, suhu di sini lebih rendah dibanding wilayah Jepang yang lain. Bahkan di musim semi yang seharusnya hangat, masih terasa sangat dingin di sini. Aku tidak membayangkan bagaimana nasibku nanti saat musim dingin. Ku harap, aku tidak mati karena kedinginan.
Akhirnya, aku turun dengan selamat, meskipun panca indraku sudah berteriak karena kedinginan. Aku terus melangkahkan kaki secara perlahan menuju Konbini sambil memperhatikan sekelilingku. Tempat ini benar-benar sepi, meskipun ada beberapa rumah, tapi tidak menjelaskan dengan baik bahwa rumah itu berpenghuni. Apalagi, daerah yang dikelilingi hutan, gunung, dan sungai ini, sangat terasa seperti di pedesaan yang jauh dari peradaban. Bersyukurlah di sini masih ada listrik dan kendaraan umum. Bukan tipe pedesaan yang bakal sering dijumpai di Indonesia.
Setelah berbelok di tikungan dan berbelok lagi, akhirnya aku sampai di Konbini dengan penuh perjuangan. Aku segera berlari masuk, disambut dengan penghangat ruangan dan juga sapaan hangat dari pegawai Konbini. Pegawai yang sangat ramah dan selalu tersenyum. Ini adalah salah satu hal yang cukup membuatku takjub. Mereka benar-benar melayani pembeli dengan penuh perhatian. Jika itu aku, sangat tidak yakin aku akan bersikap sehangat itu.
Aku mengambil keranjang dan memasukkan beberapa makanan yang menarik perhatianku; tiramisu cake, cheese cake, purin, karaage, yakisoba pan – roti isi mie goreng, tamago pan – roti isi telur, onigiri – nasi kepal, bento – bekal makanan, beberapa kotak jus buah, tomat ceri, potato chips calbee, kit kat, es krim, dan secangkir kopi americano panas. Seharusnya ini bisa menjadi persediaanku selama seminggu, jika aku tidak sedang kalap. Setelah itu, aku membayarnya di kasir, mengobrol sejenak dengan karyawan yang bertugas, yang menyambut dengan hangat dan ramah tadi. Obrolan basa-basi yang senantiasa ditanyakan jika bertemu dengan orang baru, apalagi orang asing sepertiku, yang sepertinya sangat jarang di sini, kecuali tamu hotel. Dan, aku jelas bukan tamu hotel manapun.
Aku-pun berjalan pulang, kembali menembus udara dingin.
***
Ku letakkan makanan yang telah ku beli ke dalam kulkas dan lemari. Langsung memakan bento sambil menonton TV. Seperti biasa, tidak ada acara yang menarik hati. Saat itulah, aku teringat dengan anime yang terpaksa ku jeda kemarin gara-gara harus segera bersiap-siap ke acara soubetsukai. Ku tinggalkan bento sejenak, mengambil laptop dan menyalakannya. Menikmati kembali anime sambil memakan bento. Tanpa terasa, dua jam kemudian, anime itu telah selesai ku tonton dengan perasaan puas.
Aku beralih ke folder anime selanjutnya. Tapi, mungkin aku bisa melakukannya lain kali. Sejak masuk kuliah, aku kembali melanjutkan hobiku menonton anime, yang dulunya sering ku sebut kartun. Ternyata kartun dan anime sangatlah berbeda. Tentu saja, aku juga menyukai kartun, tapi lebih menyukai anime. Beruntungnya, teman-teman seangkatanku, sebagian adalah otaku – penggemar fanatik hal-hal tentang Jepang – jadi aku bisa meminta beberapa rekomendasi anime yang bagus. Lumayan sebagai hiburan dan juga belajar. Dari anime, aku cukup belajar banyak hal dan sepertinya akan sangat berguna selama aku di sini. Berguna dalam komunikasi sehari-hari.
By the way, aku masih belum terdaftar dalam daftar otaku. Meskipun, aku sangat menyukai anime, menontonnya tiap hari, terjerumus perlahan dalam kehidupan di dalamnya, tapi aku masih dalam taraf normal. Aku punya teman-teman yang lebih parah dari ini, dan aku tidak ingin menyebutkannya secara rinci. Tidak perlu jauh-jauh. Kak Diana termasuk contoh nyata otaku yang aku tahu. Sibuk dengan ponselnya demi melihat idol grup kecintaannya, tidak peduli dengan sekelilingnya. Kadang aku berpikir, apa aku bisa mencintai sesuatu sedalam itu? Entah itu suatu keberuntungan atau malah sebaliknya, aku merasa lebih nyaman seperti ini.
Aku mengambil ponselku, mengenakan headset dan membuka folder musik, kumpulan dari beberapa ost anime yang ku suka. Menatap keluar pintu kaca yang berair. Sepertinya, udara sudah cukup terik. Aku memutuskan untuk keluar ke balkon, menikmati udara yang mulai hangat, jika dibandingkan dengan 3 jam lalu. Dari atas sini, aku bisa melihat kehidupan di ujung sana. Kangetsuen Hotel, tempatku akan bekerja minggu depan. Terlihat begitu sibuk dengan beberapa tamu yang mulai check out dari hotel dan karyawan yang bersiap di pintu untuk menyapa para tamu sebagai rasa terima kasih atas kunjungan mereka.
Aku akan bekerja seperti itu.
Ku dongakkan kepalaku menatap langit biru yang cerah. Menikmati lagu Elisa yang sedang mengalun lembut. Bibirku-pun ikut bergerak mengikuti lirik lagu. Aku-pun bernyanyi sampai lagu-lagu berikutnya, sampai hotel benar-benar sepi. Mobil para tamu mulai hilang satu per satu, karyawan yang siaga di pintu juga sudah masuk kembali ke dalam hotel. Aku berbalik akan kembali masuk ke dalam. Saat itulah, mataku membelalak.
Pria tetangga.
“Sejak kapan kau di sana?,” seruku sambil melepas headset-ku. Saking kagetnya, aku langsung bertindak gegabah seperti itu. Siapa yang menyangka dia akan berada di balkon, menatapku dengan tatapan yang aku tidak tahu maknanya, di pagi hari, di cuaca yang hangat seperti ini? Aku bahkan lupa dengan keberadaannya sebagai tetanggaku, sehingga aku dengan sangat teledor tidak menyadarinya dan menikmati pagi hariku yang menyenangkan di balkon, yang dalam sekejap menjadi pagi yang buruk karena dia berada di sana. Tanpa ku sadari.
“Aku sudah berada di sini sebelum kau keluar, dan bernyanyi,” jawabnya santai.
Apa?!
Dia mendengarku bernyanyi? Oh, tidak!
“Kau ini...otaku, ya?,” tanyanya masih dengan sikap santai. Dia bahkan masih bersandar di balkon dan menatapku lurus. Dan, apa tadi pertanyaannya?
“Bukan urusanmu, kan?,” jawabku ketus.
“Memang sih. Tapi, melihat penampilanmu, sangat tidak cocok sebagai otaku. Dan, ku pikir, orang asing tidak bisa menjadi otaku,” Setelah mendengar penjelasannya, reflek aku melihat penampilanku. Aku masih memakai pakaianku semalam, dan tentu saja aku belum mandi. Tanganku bergerak merapikan rambutku yang berantakan akibat angin dan juga akibat yang lain. Pasti wajahku sudah memerah sekarang. Ini memalukan.
“Memangnya aku tidak cocok sebagai otaku dengan penampilan seperti ini? Lagipula, banyak temanku yang otaku, asal kau tahu,”
Bola mata pria itu membelalak lebar, kemudian dia tertawa. Dengan sangat keras.
Apalagi ini? Memangnya ada yang lucu dari ucapanku? Kenapa pria di sini senang sekali menertawakanku? Ah, aku jadi teringat dengan Okuoka-san. Itu sudah cukup memalukan, ditambah lagi dengan pria satu ini. Aku yakin bersembunyi di balik futon tidak akan membantu sama sekali.
“Biasanya nih ya. Tidak akan ada orang yang mau mengakui bahwa dia otaku. Kau ini aneh sekali,” ucapnya setelah tawanya reda.
“Sore wa doumo,” balasku sarkastik. Aku sangat yakin itu bukanlah pujian.
“Jadi, kapan kau memberiku sesuatu?,” Aku langsung melongo. “Kau pasti tahu kan, kebiasaan memberikan sesuatu kepada tetangga setelah pindahan. Dengan begitu, kita bisa saling membantu, sebagai sesama tetangga,” tambahnya. Aku benar-benar melupakan yang satu ini.