Read More >>"> Kare To Kanojo (KINJO) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kare To Kanojo
MENU
About Us  

Mimpiku terganggu saat aku mendengar suara keras dari luar. Aku membuka mata karena kaget, terduduk panik di ruangan yang asing. Ku kerjapkan mataku untuk menyesuaikan diri dalam kegelapan yang perlahan mulai terlihat samar. Ini bukan kamarku. Otakku bekerja sejenak, memilah ingatan sebelum aku tidur. Tapi, tidak sempat aku menemukan petunjuk, suara keras itu terdengar lagi. Aku langsung bangkit, menarik benang lampu. Lampu menyala begitu terang, membuat mataku silau dan kepalaku pening. Aku segera keluar dari kamarku. Yeah, aku ingat sekarang.

                Ku nyalakan semua lampu dan berjalan cepat ke pintu. Suara itu masih bertahan di sana. Aku mengintip dari lubang pintu, tapi tidak ada siapapun di depan pintu kamarku. Jantungku mulai berdegup kencang dan berpikir aneh-aneh. Tidak mungkin aku diganggu setan, kan? Maling juga bukan, karena tidak ada siapapun di luar. Jadi, pasti orang. Tapi, siapa? Kak Diana pasti bukan, Tisha dan Yash, jelas sekali juga bukan. Mereka pasti berdiri di depan pintuku.

                Aku mencoba menenangkan diriku dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan secara berulang-ulang. Tanganku dengan gemetar memegang gagang pintu dan menariknya pelan. Are, aku belum mengunci pintuku ternyata. Ugh, kenapa aku bisa seteledor itu? Meskipun begitu, aku bersyukur ini bukan maling. Meskipun, jika memang ini adalah maling, paling tidak bukan ruanganku yang dituju. Moza, tenanglah.

                Aku membuka pintu perlahan. Udara dingin langsung menyapaku. Tubuhku bergidik, tapi ini bukan waktunya untuk mengeluh kedinginan. Aku melongokkan kepalaku keluar, menoleh ke arah lorong yang gelap. Lorong kamar Kak Diana dan yang lain sepi. Aku langsung menghembuskan nafas lega. Ku tolehkan kepalaku ke sisi yang lain dan langsung terkesiap saat aku melihat sosok bayangan yang berada di sana. Bayangan itu bergerak cepat dan terpental jatuh. Aku menahan mulutku untuk tidak berteriak. Aku melirik ke lorong Kak Diana, kenapa yang lain tidak ada yang kelaur untuk memeriksa? Aku tahu mereka pasti lelah dan sedang beristirahat, tapi mendengar suara keras begini memangnya mereka tidak sadar? Aku mendengus pelan. Mungkin mereka memang tipe seperti itu. Berbeda denganku, yang bisa terbangun kapan saja jika mendengar suara.

                Suara itu semakin keras, karena aku sedang berada di pintu, jadi terdengar semakin jelas. Terdengar suara pintu yang digedor. Berhubung, pintu yang digunakan pintu besi, jadi suaranya terdengar lebih berat. Lalu, disambung dengan suara berat yang merintih, ah bukan, memaki lebih tepatnya. Beneran maling nih? Aku baru beberapa jam di sini, dan aku harus mengalami hal seperti ini? Oh, Tuhan.

                Kakiku melangkah keluar dari kamar. Sangat perlahan, bahkan aku menahan napasku. Jarak tempatku dari bayangan besar itu hanya kurang dari 5 meter. Apa aku masuk saja dan pura-pura tidak mendengar apapun? Tapi, suara keras berikutnya menyadarkanku, bahwa aku tidak akan tidur tenang jika suara itu terus menggema. Tidak ada pilihan lain.

                “Dare da?!,” (Siapa?!)

Aku langsung menegang di tempat. Ya Tuhan, aku baru saja selangkah bergerak! Ku pikir, aku sudah sangat tidak bersuara. Dan, di sini gelap. Yang benar saja.

                “Dete koi yo! Dare da?!,” (Keluarlah! Siapa kau?!) Suara berat itu semakin keras dan mendesak. Jantungku semakin berdebar kencang. Apa aku kabur saja?

                “Sumimasen (Maaf). A-apa kau...baik-baik saja?,” tanyaku perlahan. Takut lebih tepatnya. 

                “Onna? (Wanita?) Sejak kapan ada orang di lantai ini?,” tanyanya curiga.

Aku bernafas lega. Bisa ku simpulkan, dia bukan maling. Ku anggap begitu. Aku melangkah pelan mendekat. “Aku baru pindah hari ini. Penghuni 402,” sapaku.

                Aku memang tidak melihat wajahnya dengan jelas. Tapi, dari suaranya, dia adalah seorang pria. Mungkin, penghuni 401 yang tadi dibicarakan oleh Yofune-san. Dalam keadaan seperti ini, aku merutuk lampu lorong yang padam. Dari penjelasan Yofune-san tadi, karena penghuni lantai 4 hanya 1 orang, jadi lampu lorong tidak dinyalakan. Tapi, karena sudah menambah beberapa penghuni, Yofune-san akan berjanji mengurusnya. Paling tidak, baru besok pagi diurus. Aku akan bersabar dengan mengandalkan mataku yang mulai terbiasa dalam kegelapan.

                Pria di hadapanku ini lebih tinggi dariku. Rata-rata tinggi orang Jepang. Dia hanya mengenakan kaos lengan panjang dan celana jins. Aku mengerutkan dahi karenanya. Di udara dingin seperti ini, dia hanya mengenakan kaos. Ah, tentu saja. Ini musim semi. Orang Jepang pasti sudah terbiasa dengan dingin seperti ini, berbeda denganku yang datang dari negeri tropis. Bahkan sekarang aku, mengenakan sweater dan dilapisi jaket, kaos kaki tebal, dan sarung tangan. Aku bahkan memakai tudung kepala, untuk melindungi telingaku dari kedinginan. Aku merasa salah kostum jika dibandingkan dengan pria ini.

                “Oh, orang asing itu?,” tanyanya, membuyarkan pikiranku sejenak.

                “Ah, hai,”

Aku bisa merasakan pandangan menusuk darinya. Tapi, karena gelap, jadi aku berani menatapnya langsung. Tersenyum padanya. Sekilas, aku bisa mencium bau alkohol dari tubuhnya. Aku mengernyit, menahan diri untuk melangkah mundur. Demi kesopanan. Meskipun begitu, aku tidak terlalu suka dengan orang yang kerjaannya minum-minum. Aku pernah memutuskan mantanku hanya karena masalah ini. Orang mabuk, bagiku, makhluk bar-bar yang tidak punya etika dan kewarasan.

“Apa kau baik-baik saja? Aku melihatmu menggedor pintu. Tapi, ku dengar penghuni kamar ini sedang keluar,” ujarku. Meskipun, awalnya aku menganggap dia penghuni kamar itu, tapi melihat dia yang menggedor pintu, sepertinya bukan.

“Aku penghuni kamar ini,” jawabnya.

“Hah? Tapi... Kau menggedor pintu,”

Bisa ku dengar dia memaki pelan. Benar-benar tidak sopan. “Pintunya tidak mau terbuka,” jawabnya pelan. Apa?

“Tunggu sebentar. Apa maksudmu dengan pintunya tidak mau terbuka? Kau cukup membukanya dengan kunci. Kau punya kuncinya, kan?,”

“Berisik. Tentu saja aku punya. Aku sudah memasukkan kuncinya, tapi dia tidak mau terbuka,” jawabnya sambil memalingkan muka, kesal.

Ku picingkan mataku, menatapnya tajam. Pria itu masih bertahan dengan tidak mau menatapku. Sepertinya, dia tidak berbohong. Ku pikir, dia sedang mengigau karena mabuk. Aku beralih ke arah pintu, meraba lubang kunci. Benar, kuncinya di sana. Ku coba untuk memutarnya, tapi tidak bisa. Ku tarik kunci tersebut dan mencoba memasukkannya kembali dengan membaliknya, tapi tidak berhasil juga. Ku perhatikan kunci tersebut lekat-lekat. Bentuknya berbeda dengan milikku, dan tidak ada nomornya.

“Ini bukan kuncinya. Kau memasukkan kunci yang salah,” ujarku tenang. Sekali orang mabuk, tetaplah orang mabuk. Dia sedang tidak dalam keadaan waras.

“Tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kesalahan sepele seperti itu,” bantahnya.

Aku mencoba untuk bersabar. “Tapi, itu kenyataannya,”

Pria itu langsung merogoh saku celananya. Kemudian berhenti sejenak. Dia menatapku datar, aku masih menatapnya tajam. Pasti ini sama dengan yang ku pikirkan. Pria itu langsung mengambil kunci dari tanganku, dan memasukkan kunci lain ke lubang pintu. Pintupun terbuka.

Nihongo ga umai da ne, omae,” (Kau, bahasa Jepangmu bagus) ucapnya dan langsung masuk, menutup pintu di depan mukaku, menyisakan suara ‘bam’ pelan.

What the.....?! Joudan ja nai wa yo! (Jangan bercanda!)

***

                Aku terbangun kaget karena bunyi alarm dari ponselku yang sedang mengisi daya. Ruangan masih agak gelap, meskipun tidak segelap semalam. Aku tidak perlu menyalakan lampu. Aku menggeliat pelan sebelum benar-benar bangkit dari futon. Badanku lebih enakan setelah tidur selama 5 jam. Aku keluar dari kamar dan melangkah menuju kamar mandi. Aku menatap bath thub dengan ragu. Orang Jepang biasanya tidak mandi di pagi hari saat berangkat kerja ataupun ke sekolah. Mereka mandi saat akan tidur. Berbeda dengan orang Indonesia yang mandi minimal dua kali sehari, pagi dan sore. Karena, aku sedang di Jepang, akan ku coba kebiasaan mereka. Lagipula, udaranya dingin sekali, meskipun penghangat ruangan menyala, tubuhku masih menggigil. Aku tidak yakin akan tetap hidup setelah mandi, meskipun menggunakan air panas sekalipun.

                Baiklah, ayo gosok gigi dan mencuci muka.

                Setelah melakukannya, aku langsung bersiap-siap. Memilih pakaian yang pantas. Kami akan bertemu Yofune-san jam 7. Meskipun, kami tidak langsung bekerja, tapi hari ini kami akan diperkenalkan kepada karyawan hotel. Anggap saja kami sedang menyapa. Dan, ngomong-ngomong soal menyapa, aku jadi teringat dengan kejadian semalam.

                Jika dipikirkan lagi, rasanya aku ingin mencekik pria itu. Apa katanya, bahasa Jepang-ku bagus? Tentu saja, aku senang dipuji begitu dengan orang Jepang, ya, tapi tidak jika kejadiannya seperti semalam. Pria itu tidak meminta maaf atas kesalahannya ataupun berterima kasih karena aku sudah membantunya. Baiklah, aku tidak terlalu mengharapkannya, tapi paling tidak seharusnya dia melakukannya. Itu salah satu bentuk kesopanan, kan? Apalagi dengan orang asing sepertiku. Itupun juka dia punya sopan santun.

                OK, Moza, lupakan.

                Benar. Lupakan saja. Memikirkan hal yang menyebalkan seperti itu akan membuatku mood-ku buruk dan bisa menjadi sial. Meskipun, kami bertetangga, belum tentu kami akan berpapasan lagi. Dan, meskipun kami bekerja di tempat yang sama, belum tentu kami berada dalam wilayah yang sama. Benar. Tidak perlu dipikirkan. Semua akan baik-baik saja.

                OK. Aku sudah siap.

                Aku tersenyum melihat penampilanku. Blus putih, celana kain hitam, blazer hitam. Tidak ku sangka, aku cukup cocok dengan setelan ini. Ku taburkan bedak tipis di wajahku dan memakai lipstik peach kesayanganku. Lalu, menggelung rambutku dengan rapi. Tidak terlalu buruk. Gelunganku terlihat rapi, meskipun rambutku hanya sebahu. Mungkin aku akan memanjangkan rambutku lagi. Aku merindukan rambut panjangku.

                Aku berbalik menuju kulkas, mengambil roti isi telur yang dibelikan Yofune-san semalam, memasukkannya ke dalam microwave. Aku mengambil gelas untuk menuangkan jus jeruk, tapi mataku tertahan pada keran. Orang Jepang biasa meminum air dari keran, dan sehat. Berbeda dengan Indonesia yang tidak mungkin minum dari keran, karena tidak bisa menjamin airnya bersih atau tidak. Seperti yang sebelumnya, aku akan mencobanya. Ku minum air tersebut dengan ragu. Rasanya dingin dan...enak. Aku baik-baik saja. Benar-benar praktis.

                Microwave berbunyi. Ku ambil roti isi telur ku dan pindah ke depan TV. Ku nyalakan TV. Rasanya agak aneh. Semuanya berbahasa Jepang dengan tulisan huruf Jepang. Aku yang tidak pernah menonton chanel apapun tentang Jepang selama di Indonesia, merasa gagal paham saat melihat layar kotak tersebut. Aku harus mencobanya. Itu keahlianku.

                Setelah makan, aku memasukkan beberapa barang ke dalam tas jinjingku. Ku cek Line grup – Yash yang membuatnya saat kami masih berada di bandara Narita kemarin – langsung ada chat dari Yash, kemudian bel pintuku berbunyi. Sepertinya itu mereka. Aku mematikan penghangat ruangan dan segera mengenakan sepatu pantofel hitam yang sudah ku siapkan semalam sebelum tidur. Lalu, membuka pintu. Yash berdiri dengan cengirannya yang mengalahkan sinar mentari. Terlalu bersemangat.

                “Morning,” sapanya. Aku membalasnya. “Tidurmu nyenyak? Aku seperti orang mati, kau tahu. Syukurlah, aku masih bisa bangun,” Aku hanya tersenyum tipis. Pantas saja.

                Aku menatap Kak Diana yang berpenampilan sangat rapi. Aku cukup terkejut, karena sangat berbeda dengan penampilannya yang biasanya ku lihat di Kampus. Lalu, Tisha, yang entah kenapa semakin cantik dengan setelan yang pas badan dan rambut yang digelung rapi. Terlihat seperti wanita karir. Sangat dewasa dan menawan. Ku lirik Yash yang sepertinya tidak menyembunyikan kekagumannya. Sepertinya, dia memang tidak kapok.

                “Ayo, turun,” ajakku.

Kami berjalan menuju tangga. Ku sempatkan melirik sebentar ke arah pintu 401 yang tertutup. Semoga, aku tidak bertemu dengannya.

                Menuruni tangga 4 lantai memang perkara mudah, tapi aku tidak yakin saat nanti harus menaikinya. Naik tangga 3 lantai di Kampusku saja sudah cukup membuat kakiku nyeri, apalagi ini 4 lantai, yang harus ku tempuh setiap hari. Ku harap, kakiku tidak copot saat aku pulang ke Indonesia nanti.

                Yofune-san masih belum datang. Kami menunggu sekitar 5 menit, saat mobil Yofune-san datang dan berhenti di dekat tempat kami. Setelah memarkirkan mobilnya, Yofune-san mendekati kami dengan langkah cepat dan bersemangat. Sepertinya, budaya Jepang memang selalu seperti itu, ya. Benar-benar dinamis.

                “Ohayou, minna. Yoku neteta ka?,” (Pagi, semuanya. Tidur kalian nyenyak?)

                “Hai,” jawab kami serempak, terlalu bersemangat.

Yofune-san terkekeh. Lalu, mengajak kami ke hotel.

                Kangetsuen Hotel. Itu yang tertulis di atas bangunan tersebut.  Warna tembok seperti warna batu kerikil dengan sentuhan warna krem, coklat kayu dan merah bata, terlihat begitu klasik. Seperti penampakan bangunan Jepang pada umumnya. Yofune-san menjelaskan bahwa Kangetsuen Hotel lebih kepada ryoukan, penginapan ala Jepang dengan adat Jepang yang kental. Juga, semi hotel seperti hotel bisnis pada umumnya.

                Tempatku berada sekarang berada di Kota Otofuke daerah Tokachigawa. Terdapat beberapa hotel di daerah ini, termasuk Kangetsuen Hotel. Daerah ini dikelilingi oleh gunung, sungai, sawah, dan juga hutan. Bukan hutan yang lebat, lebih seperti taman dengan bermacam pohon tinggi. Kangetsuen Hotel memanfaatkan pemandangan sungai dan gunung untuk memanjakan tamu. Sebelum mengenalkan kepada karyawan, kami diajak berkeliling hotel.

                Kangetsuen Hotel terdiri dari 5 lantai. Lantai 1 dan 2 digunakan untuk lobi, restoran, onsen – pemandian air panas, ruang rapat dan hall. Lantai 3 sampai 5 baru digunakan kamar. Kamar VIP dan VVIP berada di lantai 5. Benar-benar mewah, dan terasa sekali Jepang-nya. Untuk orang asing sepertiku, menjelajahi penginapan adalah pengalaman yang bagus. Selama ini, aku hanya melihatnya di anime dan manga, tapi melihatnya sendiri seperti ini benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terutama onsen, aku benar-benar ingin mencobanya. Pemandian air panas dengan menikmati cahaya bulan. Terdengar sangat romantis.

                Setelah menjelajahi kamar, kami berkumpul di restoran. Kangetsuen Hotel menyediakan 3 fasilitas restoran. Restoran ala buffet, ala Jepang, dan ala pertemuan. Kami akan ditugaskan bekerja di restoran ala buffet di lantai 1, karena kami orang asing, dan restoran ala buffet memang lebih ringan pekerjaannya. Ditambah, Yash dan Tisha memang mahasiswa perhotelan bisnis, jadi buffet lebih akrab dengan mereka.

                Kami berkenalan dengan para karyawan restoran. Ada beberapa orang, dan otakku lemah soal mengingat nama mereka. Apalagi menurutku, wajah mereka semua mirip dengan nama Jepang yang asing di lidah, jadi susah untuk mengingatnya. Nama Indonesia saja masih bisa membuatku bingung apalagi nama Jepang. Menyamakan nama dengan wajah adalah pekerjaan sulit bagiku. Yeah, aku akan terbiasa nanti. Setelah itu, kami diperkenalkan kepada karyawan kantor. Kebetulan, Yofune-san adalah Kepala Bagian.

                Setelah itu, Yofune-san mengajak kami ke Kantor Pemerintahan untuk mengurus berkas-berkas surat ijin tinggal kami. Kemudian, mengurus kartu asuransi kesehatan, membuat ATM di Kantor Pos, menunjukkan Konbini – toko swalayan, dan mengajak kami berbelanja di 100 yen shop. Pertama kali aku datang di 100 yen shop, aku dan Kak Diana seperti orang norak yang baru datang ke kota. Lebih tepatnya datang ke 100 yen shop. DI sana, semua dijual dengan harga 100 yen, dari peralatan mandi, masak, alat tulis, sampai gantungan kunci. Tanpa sadar, keranjang belanjaanku penuh dengan barang-barang.

                Tisha menatapku ngeri. Aku hanya nyengir kuda. Mau bagaimana lagi, kan? Mumpung ada kesempatan. Di saat seperti ini, aku merasa cocok dengan Kak Diana yang emang pakar tentang Jepang. Tidak peduli dengan Tisha yang berusaha menghindar dari Yash dan Yash yang selalu berada 1 meter di sekitarnya. Aku memang merasa bersalah, tapi ego-ku lebih memilih untuk berburu barang-barang yang memang kubutuhkan dan barang-barang yang menarik perhatianku, seperti buku catatan, dompet kecil, gantungan kunci, sampai ke alat make up.

                Setelah membayar, kami kembali ke asrama. Menurutku, itu lebih disebut dengan apartemen. Bayanganku tentang asrama adalah untuk anak sekolah, dan memiliki ruang berkumpul sendiri, kamar mandi dan dapur yang digunakan bergantian. Tapi, ini semuanya dilakukan sendiri dengan fasilitas yang terpenuhi untuk setiap individu. Sangat pribadi.

                “Aku tidak menyangka kau tipe yang boros seperti itu,” ujar Tisha saat kami berada di mobil. Aku hanya nyengir. “Mumpung murah sih. Ada kesempatan juga, belum tentu kita bisa ke sana lagi,”

                100 yen shop memang terletak cukup jauh dari wilayah hotel. Karena aku juga buta arah, aku tidak yakin bisa menemukannya lagi lain kali. Aku belum terbiasa dengan posisi tempat di sini.

                Tisha hanya menggelengkan kepala. Dia memang tidak membeli terlalu banyak barang. Lebih tepatnya, dia hanya membeli sandal slipper. Karena kebutuhan yang lain dibelikan oleh Yofune-san, jadi seharusnya kami tidak membeli apapun. Tidak hanya Tisha, bahkan Yofune-san juga tercengang dengan apa yang aku dan Kak Diana beli. Yash juga membeli cukup banyak barang, bahkan dia membeli sebuah tanaman bonsai.

                Kami sampai di depan asrama.

                “Nanti jam 6 datang ke 203 ya. Kami akan mengadakan pesta penyambutan untuk kalian,” ujar Yofune-san sebelum kembali ke Hotel.

                Ku lirik jam tanganku, jam 2.30. Paling tidak, aku bisa istirahat sebentar. Dan seperti dugaanku, aku tidak sanggup menaiki tangga 4 lantai dengan membawa belanjaan. Kenapa tidak disediakan lift saja sih? Aku berpisah dengan yang lain. Mereka langsung masuk ke kamar masing-masing, meninggalkan aku yang bergelut dengan tas-ku untuk mencari kunci. Ini adalah salah satu tabiat burukku; memasukkan semuanya ke dalam tas. Sudah berulang kali aku mencoba untuk bersikap sedikit rapi dan tertata, tapi pasti akan tetap berakhir berantakan.

                Akhirnya, ku temukan kunci itu. Bersamaan dengan pintu sebelah yang terbuka. Bukan pintu Kak Diana. Pria itu terlihat terkejut melihatku, saat dia keluar ruangan akan menutup pintu. Dia memakai kemeja hitam yang lengannya digelung sampai siku, tidak mengancing penuh kemejanya dan celana jins. Rambutnya masih seberantakan semalam, mungkin bahkan lebih berantakan, dan dia mengenakan kaca mata frame hitam penuh berbentuk kotak. Aku berpikir sejenak, rasanya semalam dia tidak memakai kaca mata.

Sepertinya, doaku tidak terkabul. Aku bertemu dengannya dalam keadaan dia sangat berantakan. Aku mengulum senyum se-normal mungkin dan menyapanya, mengusir jauh-jauh ekspresi malas ku yang bertemu dengannya.

                “Konnichiwa,” (Selamat siang) Dia hanya mengangguk sekilas. Aku harus puas hanya dengan itu. Aku beralih kembali ke pintu. Memasukkan kunci dan menarik kenop pintu.

                “Aku akan pergi sekarang. Semalam sangat menyenangkan. Kapan-kapan panggil aku lagi,” ujar seorang wanita. Aku kembali menoleh ke tempat pria itu. Seorang wanita cantik muncul dari balik pria itu, kemudian mencium bibirnya. Wha-t? Apa yang telah ku lihat?!

                Wanita itu melenggang pergi dengan cepatnya, meninggalkan aku yang melongo dan pria itu yang menatapku menilai. Tanpa penjelasan, pria itu langsung menutup pintu, meninggalkanku sendirian, mematung di lorong.

                Apa-apaan itu?!

                Aku langsung masuk ke ruanganku, mengunci pintu, dan melepas sepatu dengan kesal. Apa-apaan sikapnya itu? Dan, wanita itu, siapa? Pacarnya? Kapan wanita itu datang? Aku baru meninggalkan asrama beberapa jam yang lalu, dan dia.... Oh, kepalaku pusing memikirkannya. Lagipula, itu sebenarnya bukan urusanku, kan? Hal seperti itu sudah biasa di sini. Sangat biasa.

                Aku mengalihkan pikiranku dengan membongkar belanjaanku, menatanya dengan rapi. Memasukkan bahan makanan ke kulkas. Setelah itu, berganti pakaian, menonton anime dari laptop-ku sambil menikmati purin – puding. Sekejap, aku sudah melupakan semuanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LOVEphobia
360      233     4     
Short Story
"Aku takut jatuh cinta karena takut ditinggalkan” Mengidap Lovephobia? Itu bukan kemauanku. Aku hanya takut gagal, takut kehilangan untuk beberapa kalinya. Cukup mereka yang meninggalkanku dalam luka dan sarang penyesalan.
SATU FRASA
14004      2811     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
LUKA TANPA ASA
6634      1961     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
IDENTITAS
668      451     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
EXPOST
10225      2169     3     
Humor
Excecutive people of science two, mungkin itu sebutan yang sering dilayangkan dengan cuma-cuma oleh orang-orang untuk kelas gue. Kelasnya excecutive people, orang-orang unik yang kerjaannya di depan laptop sambil ngapalin rumus kimia. So hard. Tapi, mereka semua ngga tau ada cerita tersembunyi di dalam kelas ini. Di sini ada banyak species-species langka yang hampir ngga pernah gue temuin di b...
With you ~ lost in singapura
391      268     2     
Fan Fiction
Chaeyeon, seorang siswi SMA yang sangat berani untuk pergi menyusul Tae-joon di Paris. Chanyeol, seorang idol muda yang tengah terlibat dalam sebuah skandal. Bagaimana jika kedua manusia itu dipertemukan oleh sebuah takdir?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Farewell Melody
238      163     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Begitulah Cinta?
16038      2327     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Shane's Story
2134      832     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?