Read More >>"> Kare To Kanojo (NIPPON) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kare To Kanojo
MENU
About Us  

Oh, rasanya badanku kaku. Pengalaman pertamaku naik pesawat. Aku tidak menduga akan seberat ini. Sangat merepotkan. Aku tidak pernah nyaman dengan kendaraan, apapun itu. Aku hanya bisa mentolerir motor, meskipun aku tidak ahli, tapi aku lebih nyaman dengan kendaraan yang satu itu.

                Dari Surabaya menuju Bali memang hanya ditempuh dalam setengah jam, tapi aku tidak bisa menahannya. Berada di ruangan ber-AC dan di ketinggian, bukanlah hal yang nyaman. Aku bukan phobia ketinggian, tapi aku tidak suka dengan goncangan yang naik turun di saat pesawat mulai bergerak naik atau pada saat melandas. Aku harap jantungku akan tetap bekerja seperti biasa setelah kejutan tersebut. Juga, telinga yang berdenging. Aku benar-benar ingin keluar dari pesawat saat itu juga. Oh, anggaplah aku ini udik, aku tidak masalah dengan itu.

                Kami – aku dan kakak tingkatku – mulai berjalan perlahan menuju gerbang kedatangan yang jaraknya sangat jauh. Oh, benar-benar menyebalkan dan sangat melelahkan. Aku hanya harus bersabar. Dan, itu yang ku lakukan. Ku lirik jam tanganku, jam 7. Ku hembuskan nafas panjang, mencoba mengusir kelelahan dan kepenatan, rasa berat tas ranselku, dan kecanggungan antara aku dan kakak tingkatku.

                Kampusku adalah kampus swasta yang cukup bergengsi di Surabaya. Meskipun, jurusan Bahasa Jepang tidak memiliki banyak peminat. Aku juga tidak terlalu dekat dengan teman seangkatanku sendiri, angkatan bawah ataupun angkatan atas. Kami hanya berinteraksi seperlunya saat melaksanakan acara organisasi ataupun mengikuti beberapa lomba yang sering diadakan di Surabaya. Tidak banyak dari angkatanku yang mengikuti program ini. Hanya 9 orang termasuk aku dan kakak tingkatku ini. Dan, kami berangkat dengan jadwal yang berbeda dan ke tempat yang berbeda. Tujuan kami adalah Hokkaido. Pulau paling utara di Jepang, dan kabarnya paling dingin. Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup di antara kedinginan. Apalagi, suhu yang berbanding terbalik dengan Surabaya yang panas. Aku merinding saat memikirkannya.

                Aku terpisah dari kelompokku – aku lebih suka menyebutnya begitu, daripada harus menyebutnya sebuah geng – kata itu lebih primitif dari maknanya yang sesungguhnya. Hanya aku dan Tika yang berangkat dari kelompokku. Tidak ada yang berani untuk melangkah melewati garis batas mereka. Tapi, aku tidak akan melewatkan kesempatan ini semudah itu. Begitu juga dengan Tika, meskipun kenyataannya kami berpisah. Dan, dia bergabung dengan kelompok yang lain. Yeah, angkatanku memang terdiri dari berbagai kelompok. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Tanpa sadar, kami telah menerapkannya selama setahun ini.

                Orang lain melihatku tipe yang tidak terlalu peduli orang lain. Sangat cuek dengan sekitarnya. Tapi, aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya tidak ingin berinteraksi dengan orang yang tidak dekat denganku. Seperlunya saja, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Aku selalu menganggap pemikiranku itu terlalu egois dan sombong, tapi aku tidak mau melewati zona nyaman yang telah ku terapkan. Bisa dibilang, aku buruk dalam berinteraksi dengan orang lain. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan ataupun katakan. Seperti sekarang ini. Seperti peribahasa, mulutmu harimaumu. Itulah yang ku rasakan sekarang.

                “Kita mau ke mana? Jam penerbangan kita selanjutnya masih 6 jam lagi,” Kakak tingkatku tiba-tiba berbicara padaku. Bukan berarti kami tidak bicara. Seperti kataku, hanya seperlunya saja.

                Selama 2 minggu ini, aku sering berinteraksi dengannya untuk mengurus berbagai hal. Meskipun begitu, masih ada kecanggungan di antara kami. Dan, aku tidak tahan. Tapi, apa yang bisa ku lakukan dengan situasi ini.

                “Aku lapar. Mungkin, kita bisa mencari makan di sekitar sini,” jawabku.

                “Tapi, pasti mahal harga di bandara,”

                “Ah, benar sekali. Ng, mungkin kita bisa nongkrong di suatu tempat, aku butuh sumber kehidupan,” tawarku. Ponselku mati sejak di pesawat, dan aku tidak mempersiapkan power bank. Aku harus mengubungi rumah, orang tuaku pasti khawatir. Putrinya bepergian sendiri ke negeri orang untuk pertama kalinya. Mereka pasti menunggu kabar dariku.

                “Mau mencoba keluar bandara?,”

                “OK. Ah, aku juga harus menukar uang,”

                “Kau benar,”

Paling tidak, dia bisa ku andalkan. Aku tipe orang yang buta arah. Aku bersyukur tidak sendirian.

                Kami berjalan beriringan keluar bandara. Mungkin lebih tepatnya, masih di area bandara. Bandara Ngurah Rai benar-benar besar, berbeda dengan Bandara Juanda. Paling tidak, kami masih bisa mengandalkan petunjuk arah. Akhirnya, kami menemukan CK yang bersebelahan dengan Money Changer. Sungguh suatu keberuntungan.

                Kami beristirahat di dalam CK, membeli makan dan minum, serta men-charge ponselku, menghubungi keluargaku. Aku merasa lega setelah menghubungi Ibuku. Masih ada 3 jam lagi. Aku harus naik pesawat lagi. Tidak hanya setengah jam, tapi berjam-jam menuju Tokyo. Aku harap bisa mengatasi ini.

                Ponsel Kakak tingkatku berdering – aku lupa mengenalkannya. Namanya Diana. Setahun di atasku. Kak Diana menerima telpon, aku menunggu sambil menikmati keripik yang ku beli.

                “Kenapa?,” tanyaku.

                “Kita akan bertemu di depan pintu Check-In jam 11,” jawabnya.

                “Dengan anak Bali itu?,” Kak Diana mengangguk.

                Program ini memang bukan untuk Kampusku. Awalnya, untuk Kampus di Bali, tapi karena mereka masih kekurangan orang, akhirnya ditawarkan ke Kampusku. Jam 11 nanti, kami akan bertemu dengan anak Bali yang akan berangkat bersama kami.

                Sekitar jam 10 lebih, kami keluar dari CK dan bergerak menuju Money Changer untuk menukar uang dari Rupiah ke Yen – mata uang Jepang. Setelah itu, kami berpindah menuju ke pintu Check-In, tempat kami akan bertemu.

                Saat berada di sana, bayanganku sangat berbeda dengan kenyataannya. Hanya ada dua anak Bali, cowok dan cewek. Aku berpikir mereka akan lebih banyak. Kami berkenalan satu sama lain. Kemudian, berfoto-foto. Tradisi di jaman sekarang. Setelah itu, kami mulai masuk ke ruang tunggu. Pesawat kami akan berangkat jam 1 dini hari nanti. Sekarang, yang ku inginkan hanyalah tidur.

***

                Aku terlelap selama di dalam pesawat dan terbangun saat matahari mulai menyapa di antara jendela pesawat yang sebagian terbuka. Suara pemberitahuan yang menggema membuatku semakin terjaga. Para pramugari mulai bersiap di ujung lorong dengan mendorong troli dan menyodorkan sarapan. Aku baru tahu jika pesawat juga menyediakan sarapan. Pramugari yang sedang berdiri di sampingku, menawarkan makanan Jepang atau Indonesia padaku. Aku memilih makanan Jepang, hanya karena tertarik. Kak Diana juga memilih menu yang sama.

                Sejam kemudian, kami mendarat di bandara Narita, Tokyo. Dari atas, aku bisa melihat hamparan Sakura yang bermekaran, berwarna pink yang indah. Sekejap, perasaan lelah dan penat terpuaskan hanya dengan pemandangan tersebut. Kebetulan, ini adalah musim semi di Jepang. Bunga Sakura bermekaran sebagai penanda musim semi. Aku sudah cukup puas dengan pemandangan saja, karena bunga Sakura tidak termasuk favoritku.

                Setelah keluar dari pesawat, kami berempat mengurus imigrasi kami dan mengambil barang. Cukup canggung. Kak Diana sudah cukup membuatku canggung, ini ditambah lagi dengan dua orang yang sama sekali baru ku kenal. Aku harap bisa segera akrab dengan mereka, karena aku akan hidup bersama mereka selama setahun ke depan. Penerbangan kami masih nanti sore, dan ini masih pagi. Oh, aku harus menunggu seharian unuk benar-benar bisa terlepas dari kelelahan ini. Aku ingin berada di tempat yang nyaman. Kami hanya bisa duduk sembari menunggu.

                Kami berempat adalah orang awam di negeri ini. Hal yang sangat ganjil. Orang-orang yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan budaya yang berbeda. Meskipun, aku sudah mempelajari hal-hal dasar di Kampus, tapi sangat berbeda dengan pengalaman lansung seperti ini. Pelajaran yang tertumpuk di otakku, menguap begitu saja. Apa aku akan baik-baik saja selama setahun? Aku harap, aku tidak menyesali keputusanku yang terbilang cukup gegabah.

                “Aku ingin membeli sesuatu, apa kalian mau juga?,” tanya Yash, cowok Bali yang bersama kami. Ini pertama kalinya, kami berbicara sejak perkenalan di bandara Bali.

                I Nyoman Yash Urdha. Panggilannya Yash, mahasiswa tingkat pertama, usianya sama denganku. Aku cukup kagum dengan kenekatannya pergi ke Jepang di tahun pertamanya kuliah. Perawakannya lebih tinggi dariku, berkulit sawo matang, dan berwajah anak-anak. Bibirnya selalu tersenyum, tipe yang ramah. Karena dia laki-laki sendiri di grup kami, ku pikir dia merasa bertanggung jawab atas kami. Di saat seperti ini, ada cowok bersama kami rasanya sedikit menenangkan.

                “Mau beli apa?,” tanyaku.

                “Fast food aja sih. Burger mungkin, lumayan buat mengganjal perut,” jawabnya dengan aksen Bahasa Indonesia yang asing di telingaku, masih tertinggal aksen Bali dalam setiap ucapannya. Terdengar lucu sih, tapi bukan berarti Bahasa Indonesia ku bisa dibenarkan. Aku bahkan tidak tahu standard Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu seperti apa. Aku lebih sering mendengar aksen Jakarta karena mendengarnya di TV, tapi entah kenapa rasanya berbeda saat mendengar langsung. Aksen Surabaya lebih ramah di telingaku. Yeah, selama bisa Bahasa Indonesia, anggap saja semua aksen itu benar.

                “Mungkin tidak. Aku membawa beberapa cemilan di tas. Aku akan bertahan dengan itu. Terima kasih,” tolakku halus. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan makan fast food yang pastinya berbeda dengan yang dijual di Indonesia. Lagipula, aku masih kenyang karena sarapan di pesawat tadi.

                “Baiklah,”

                “Kak Di, mau titip juga tidak? Yash mau beli Burger,” tawarku ke Kak Diana yang fokus dengan ponselnya. Kak Diana menoleh padaku.

                “Kamu beli juga?,” tanyanya. Aku menggeleng. “Mungkin aku juga tidak,”

                “Baiklah, aku mau beli sama Tisha. Titip tas, ya,” Aku mengangguk.

Yash pergi bersama Tisha. Ni Kadek Tisha Vishaka, mahasiswa tingkat kedua sama denganku. Cewek cantik khas Bali. Kulit eksotis, berambut panjang bergelombang, tinggi semampai, dan berisi di tempat yang tepat. Membuat semua cewek iri padanya, termasuk aku. Tapi, dia benar-benar cantik. Dia tidak banyak bicara, mungkin memang tipe pendiam dan sulit untuk didekati. Yeah, mungkin dia butuh waktu. Sama sepertiku.

                Aku mengecek ponselku, meminta tolong pada Kak Diana untuk menyambungkan wifi bandara. Setelah tersambung, aku menghubungi Ibuku. Di Indonesia masih jam 6 pagi. Jarak waktu Indonesia dengan Jepang berselang 2 jam, lebih cepat Jepang. Mulai sekarang, aku harus terbiasa dengan perubahan mencolok ini.

                Yash dan Tisha kembali dengan membawa bungkusan Burger, french fries, dan Cola. Yash menawarkan french fries padaku. Aku menerimanya. Rasanya tidak masalah jika hanya makan french fries. Kak Diana juga menerima tawaran french fries Yash dan kembali asik dengan ponselnya. Aku hanya bisa menopang dagu dengan grup canggung kami.

                Kak Diana memang tipe pendiam. Di Kampus, dia memang jarang bicara, hanya seperlunya saja. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Banyak orang yang terlalu enggan untuk mendekatinya, karena dia terlalu diam dan berpenampilan seadanya; celana jins setumit, kaos lengan pendek, rambut ikal dikuncir yang terlihat lebih berantakan dari yang seharusnya, dan kaca mata yang terlihat berat karena wajahnya yang selalu menunduk. Aku penasaran, apa dia punya teman dekat di Kampus, karena aku selalu melihatnya sendirian, meskipun dia bersama teman seangkatannya, dia terlihat sangat menjaga jarak. 

                Ku akui memang, mahasiswa jurusan Bahasa Jepang memang terlihat freak. Sangat freak, malah. Karena aku sangat awam tentang Jepang, aku tidak terlalu mengerti dengan hobi mereka yang mengoleksi anime, kata-kata yang tidak ku pahami, dan kecintaan mereka pada Idol Grup. Itulah kenapa, aku menganggap freak dengan cara mereka sendiri, karena aku tidak mengerti dunia mereka. Dan, aku tidak ingin bersusah payah untuk mencoba memahami dunia mereka.

                Ku perhatikan Yash dan Tisha. Aku juga tidak terlalu tahu bagaimana budaya di Bali. Apalagi, budaya Bali cukup kental dan terkenal, seperti budaya Jawa, meskipun begitu, aku tidak terlalu paham dengan adat dan budaya Jawa. Meskipun, sama-sama Indonesia, berasal dari daerah yang berbeda, mungkin akan cukup canggung. Itu yang terjadi sekarang. Bahkan yang satu daerah seperti aku dan Kak Diana saja masih bisa membuat canggung. Kepalaku mulai pening memikirkannya. Aku ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan kami dan beristirahat.

                “Sudah berapa lama kau belajar Bahasa Jepang?,” tanya Tisha tiba-tiba. Aku menoleh padanya. Bisa kubayangkan wajahku yang melongo. Sangat terkejut cewek cantik ini bicara padaku.

                “Hah?,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Tisha dengan sabar mengulangi pertanyaannya. “Ah. Yang benar-benar belajar sih baru setahun ini saat kuliah,” jawabku.

                Dahi Tisha berkerut. “Berarti sebelumnya kau juga pernah belajar?,”

                Aku mengangguk. “Hanya setahun sih, pas kelas 10. Waktu SMP coba-coba belajar nulis, tapi kagak paham sama sekali,” ujarku nyengir. Tisha mengangguk-angguk mengerti.

                “Udah berapa kali ke Jepang?,”

                Aku menelengkan kepala, bingung. “Ini pertama kalinya aku ke luar negeri, otomatis aku baru ini ke Jepang,”

                “Oh, ya? Ku pikir ini ke sekian kalinya kamu ke Jepang. Bawaanmu tidak terlalu banyak soalnya,” Aku menoleh ke koperku, arah Tisha menatap.

                “Kata Sensei-ku, tidak perlu bawa banyak barang. Aku bisa membelinya di sini. Ku pikir itu jauh lebih praktis, sih,”

                “Oh..... Aku harap kita bisa berteman baik. Karena menurutku, hanya kau yang bisa ku ajak ngobrol,” Tisha menatap Kak Diana sebentar lalu beralih ke Yash yang tersenyum padanya. Tisha langsung kembali menatapku. Aku hanya menatapnya bingung. “Aku tidak yakin bisa ngobrol dengannya, dia terlihat tidak...asik. Lalu, cowok itu, membuatku merinding, kentara sekali dia lagi flirting sama aku,” Tanpa dicegah, aku melirik ke arah Kak Diana yang masih asik dengan ponselnya dan Yash yang tersenyum padaku.

                “Sepertinya, kau benar,” ujarku membenarkan.

                Kak Diana memang sibuk sendiri dengan dunianya, tapi bukan berarti dia tidak asik, kan? Dan, Yash. Cowok normal mana yang tidak tergoda dengan Tisha yang cantik. Apalagi dalam ketiga pilihan di sini, Tisha sangatlah mencolok. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman.

                “Kau terlalu blak-blakan ya orangnya,” ujarku. Tisha menoleh padaku dan tersenyum. “Aku hanya mencoba untuk tidak munafik,”

                Oh, baiklah. Kadang cewek cantik memang memiliki kepribadian yang agak unik. Tisha, hanya terlalu berterus terang dengan caranya sendiri.

                Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu yang menarik.

                “Kak Di, ayo beli es krim. Aku ingin mencoba jidouhanbaiki,” ujarku bersemangat. Kak Diana teralihkan dari ponselnya dan mengangguk. Wajahnya terlihat bersemangat. Tuh kan, dia cukup asik kok.

                “Kalian mau nitip?,” tawarku. Yash dan Tisha menggeleng. “Baiklah,”

Aku dan Kak Diana langsung menghambur menuju benda kotak itu. Mesin penjual es krim. Ku pikir hanya minuman saja, ternyata ada es krim juga. Sangat praktis.

                Aku merogoh dompetku, mengambil beberapa uang koin yang sesuai dengan harga yang tertera untuk es krim yang ingin ku beli. Es krim macha choco. Dari dulu, aku sangat penasaran dengan rasa machagreen tea – asli Jepang, meskipun di Indonesia cukup banyak dijual, tapi pasti rasanya berbeda dengan di negeri asalnya. Benda kotak itu mengeluarkan suara, menandakan es krim ku jatuh ke bawah. Aku mengambilnya dengan tidak sabar. Es krim itu masih utuh dan dingin. Aku segera memakannya. Rasanya lebih dingin dari kelihatannya dan sangat enak.

                “Enak,” ucapku pada Kak Diana yang sudah mengambil es krimnya. Es krim mint choco. Kak Diana hanya mengangguk sambil tersenyum. “Icip dong,” ucapku. Kak Diana menyodorkan es krimnya, sebagai gantinya aku juga menyodorkan es krimku. “Enak,” sahutku.

                Dari kecil sampai sekarang, es krim adalah favoritku. Rasanya ada kepuasan tersendiri mencicipi es krim Jepang, di negaranya. Sepertinya, keputusanku tidak salah-salah amat. Aku akan menikmati setiap waktuku di sini.

                Kami kembali ke tempat Yash dan Tisha. Entah kenapa, suasana di antara mereka agak berbeda. Yash terlihat lebih sumringah dan bersemangat, kontras dengan Tisha yang kelihatan kesal. Tisha langsung berlari ke tempatku saat dia menyadari kehadiran kami.

                “Ng, ada masalah?,” tanyaku bingung. Kak Diana hanya diam di sampingku.

                “Aku tidak nyaman berdua dengannya,” jawabnya singkat.

                “Ah...,” Aku dan Kak Diana hanya saling tatap, mencoba untuk menghiraukannya.

                Tisha memang sudah bilang kalau Yash terang-terangan suka padanya. Tapi, entah kenapa rasanya agak keterlaluan jika Tisha menghiraukan Yash dan memperlakukannya dengan kasar. Aku benar-benar tidak paham dengan orang Bali ini.

                Kami kembali duduk. Tisha menjaga jarak dari Yash, sedangkan Yash masih di tempatnya, tetap tenang dan tersenyum. Aku heran ada orang yang bisa terus tersenyum setiap detik. Dan, Kak Diana, kembali dengan ponselnya dan memasang earphone-nya. Oh, benar-benar.

                “Tisha bilang, dia tidak suka padamu,”ujarku pelan. Yash menoleh padaku. “Aku tahu,”

                “Lalu?,”

                “Tapi, aku tertarik padanya. Bagaimana dong?,” ujarnya enteng.

                “Hah?,” Aku hanya melongo dengan respon Yash yang tidak terlalu peduli. Apa semua orang Bali seperti ini? Ku lirik jamku, masih jam 12 siang, masih 4 jam lagi sampai penerbangan kami yang terakhir. Oh, God. Lebih baik, aku menikmati es krimku.

***

                Setelah penantian beberapa jam, akhirnya aku berada di pesawat terakhir menuju Hokkaido. Penderitaanku akan segera berakhir. Aku cukup khawatir dengan Yash dan Tisha. Aku harap, mereka tidak bertengkar atau apalah. Ku harap, Yash tidak melakukan hal-hal yang membuat Tisha kesal. Lebih baik aku tidur. Kepalaku mulai pening gara-gara memikirkan mereka.

                Selama 2 jam penerbangan kami. Setelah keluar dari pesawat dan mengambil barang, kami berjalan keluar menuju gerbang kedatangan. Di sana, sudah menunggu dua pria berjas yang menyambut kami.

                “Konbanwa. Yofune desu,” (Selamat malam. Perkenalkan, aku Yofune) Pria berjas yang agak gemuk menyambut kami dan mengenalkan dirinya sambil membungkukkan badannya. Aku dan Kak Diana langsung merespon dengan cara yang sama. Yash dan Tisha hanya mengikuti kami.

                “Kalian pasti lelah. Ayo, ke mobil,”

Kami langsung mengikuti Yofune-san – sebutan untuk menghormati seseorang – dan pria berjas satunya sudah melangkah jauh di depan kami. Aku memang belajar budaya Jepang, di mana orang-orangnya memang selalu bergerak cepat, tapi tidak ku sangka secepat ini. Aku sudah ngos-ngosan saat sampai di mobil. Aku harus kerja ekstra untuk bisa mengikuti alur di sini.

                Kami masuk mobil. Yofune-san langsung membagikan roti dan minuman dingin. Aku langsung meminumnya, merasakan sensasi dingin yang mengalir di tenggorokanku. Rasanya menyegarkan. Mobil melaju perlahan meninggalkan bandara menuju asrama kami yang katanya berdekatan dengan hotel tempat kami akan bekerja. Besok akan menjadi hari yang panjang. Selama perjalanan, hanya kegelapan yang menyambut kami. Lengang dan gelap.

                “Gelapnya. Yakin nih kita bakal tinggal di tempat ini?,” celetuk Yash di belakangku. Ok, aku juga mulai merasa agak parno. Bayanganku tentang Jepang, dan apa yang ku lihat selama ini di anime dan manga – sebutan untuk komik Jepang, sangat jauh berbeda. Kami berada di mana?

                Mobil berhenti. Yofune-san menyuruh kami untuk turun. Kami langsung disambut dengan bangunan hotel yang berdiri menjulang. Tidak juga sebenarnya. Aku menaksir, hanya terdiri dari 5 atau 6 lantai. Hotel tersebut terlihat klasik, dengan warna coklat kerikil yang kalem dan elegan. Selama setahun ke depan, aku akan bekerja di sana.

                “Sebelah sini asrama kalian,” panggil Yofune-san.

Kami berbalik. Asrama tersebut jauh lebih klasik dari hotel. Berdiri berseberangan dengan 4 lantai. Begitu gelap. Aku mengerutkan dahi.

                “Banyak karyawan yang pulang ke rumah. Jadi, agak sepi. Lagipula, tidak semua kamar terisi penuh,” jelas Yofune-san.

                Koper kami sudah turun dari mobil. Yofune-san mengajak kami untuk menaiki tangga. Dengan susah payah, aku mengangkat koperku sampai ke lantai empat. Yofune-san memberikan kami kunci kamar masing-masing. 402 adalah nomor kamarku. Terletak berdekatan dengan tangga. Kak Diana berada di sampingku, kemudian Tisha, lalu Yash. Paling tidak, kami masih bertetangga. Aku tidak harus sendirian.

                “Ada yang mendiami 401?,” tanyaku pada Yofune-san.

                “Ya. Seorang pria. Dia bekerja di sini sudah dua tahun setelah lulus SMA. Sepertinya, dia sedang keluar,” Aku hanya mengangguk. “Besok, akan jadi hari yang panjang. Kita bertemu jam 7 di bawah. OK?,”

                “Hai,” (Iya) jawabku dan Kak Diana.

                “Ja, oyasumi,” (Baiklah, selamat malam)

Yofune-san berlalu dari hadapan kami. Aku dan Kak Diana membungkuk mengantar kepergiannya. Tisha sudah membuka pintu kamarnya, diikuti oleh Yash.

                “Selamat malam,” ucap mereka.

                Kak Diana juga menyusul detik kemudian, meninggalkan aku yang berada di lorong sendirian. Aku menarik nafas panjang dan mulai membuka pintu. Ku lirik kamar 401 sejenak. Dalam tradisi Jepang, tetangga yang baru pindah akan memberikan oleh-oleh untuk tetangganya, tapi karena penghuni 401 tidak ada di tempat, mungkin aku bisa memberikannya lain kali. Lagipula, besok kami akan mulai bekerja. Training lebih tepatnya.

                Aku memasuki kamarku, menyalakan lampu, menampakkan ruangan yang cukup luas dengan dua ruang kamar, kamar mandi, toilet, dapur, penghangat ruangan, kipas angin, meja dan zabuton – alas untuk duduk, kulkas serta TV. Ku lepas sepatuku, menaiki lantai kayu yang dingin. Sepertinya, aku butuh sandal slipper. Ku naikkan koperku dan memasuki ruang kamar ber-tatami – tikar. Ada lemari dengan pintu geser. Ku geser pintu besar itu dan mendapatkan futon – alas untuk tidur. Beralih ke lemari di sebelahnya. Aku melangkah menuju pintu geser, membukanya perlahan. Angin malam langsung menyambutku, dingin. Aku menengok sebentar. Hotel bisa terlihat dengan jelas dari sini. Aku kembali masuk dan menutup pintu, karena udara yang sangat dingin. Sassuga Hokkaido wa ne (Seperti yang diharapkan dari Hokkaido). Dalam musim semi yang seharusnya hangat, di sini masih sangat dingin. Bahkan Sakura pun masih belum mekar. Tokyo jauh lebih hangat.

                Aku menjelajahi ruanganku. Setelah itu, baru memutuskan untuk membongkar koper, menata barang-barangku ke lemari dan kamar mandi. Sebelum menata futon, aku memutuskan untuk mandi. Sudah 2 hari aku tidak mandi, baru kerasa badanku lengket. Aku segera mandi dengan air hangat. Ah, rasanya nyaman. Tubuhku merasa lebih rileks.  Dengan begini, aku merasa bisa tidur nyenyak. Pertama kalinya, aku tidur di atas futon. Begitu tebal dan hangat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sampai Kau Jadi Miliku
1207      626     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Ojek
795      544     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Sekilas Masa Untuk Rasa
3581      1157     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Sebuah Penantian
2347      821     4     
Romance
Chaca ferdiansyah cewe yang tegar tapi jauh didalam lubuk hatinya tersimpan begitu banyak luka. Dia tidak pernah pacaran tapi dia memendam sebuah rasa,perasaanya hanya ia pendam tanpa seorangpun yang tau. Pikirnya buat apa orang lain tau sebuah kisah kepedihan.Dulu dia pernah mencintai seseorang sangat dalam tapi seseorang yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Muh.Alfandi seorang dokt...
When Home Become You
403      301     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Terpatri Dalam Sukma
647      427     0     
Short Story
Bukan mantan, namun dia yang tersimpan pada doa
Phased
5534      1672     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
North Elf
1901      856     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
RAIN
571      391     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
The Red Haired Beauty
446      303     1     
Short Story
Nate Nilton a normal senior highschool boy but when he saw a certain red haired teenager his life changed