Keesokan harinya Amanda dan Sinta datang ke majelis taklim. Dan ternyata memang benar diadakan pertemuan untuk membentuk tim sukarelawan ke Syuriah. Mereka cukup membutuhkan banyak tenaga , yaitu 5 dokter, 15 perawat, 10 tenaga medis lainnya. Belum ditentukan lokasi tempat tujuan mereka , tapi sudah dipastikan bahwa tim sukarelawan akan membantu disana selama kurang lebih 1 bulan. Persiapan akan dilakukan selama 2 bulan sebelum keberangkatan. Setiap anggota sukarelawan harus mengikuti pelatihan dan simulasi penyelamatan yang diadakan panitia, serta mengumpulkan semua persyaratan yang diminta. Yaitu surat keterangan sehat jasmani rohani, surat persetujuan dari orang tua, surat pernyataan berangkat atas kehendak sendiri dan bersedia menanggung semua resiko bahkan kematian.
Amanda dan Sinta mantap untuk masuk dalam tim sukarelawan ini. Tapi mereka harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari orang tua masing – masing.
“ Apa ? Syuriah ? Sinta, apa yang kamu pikirkan ? berjihad tidak harus datang ke sana langsung. Kamu perempuan , kita bisa membantu sodara – sodara kita disana dengan berbagai cara lain. Sumbangan dana , doa ... kita bisa melakukan itu Nak “ Umi kaget mendengar ucapan Sinta yang meminta ijin untuk berangkat . Amanda duduk terdiam dibelakang Sinta
“ Kita memang bisa menyumbang dana atau mengirim doa dari sini Mi, tapi jika kita bisa melakukan lebih ... kenapa kita tidak lakukan ? ALLAH tidak mengenal pamrih , lalu kenapa kita harus pamrih, kita memang bisa membantu dari sini , tapi jika didepan mata memungkinkan untuk kita datang kesana .. kenapa tidak ? kesempatan tidak datang 2 kali Mi, setidaknya biarkan aku berjuang bersama agamaku, dan melakukan hal terbesar dalam hidupku untuk agama dan sodaraku disana. Biarkan aku merasakan kesengsaraan mereka sehingga aku tidak akan begitu berfoya dengan kenyamananku. “ Sinta berjongkok dan memegang erat tangan Umi, dia benar – benar yakin akan pilihannya dan insyaallah dia akan baik – baik saja
“ Mas mu sudah tidak ada nduk, apa Umi juga harus bersiap untuk kehilangan dua anak Umi yang tersisa ?” umi mengajukan pertanyaan dengan suara bergetar dengan uraian air mata
“ Jika memang kami ditakdirkan tidak akan kembali, anak mu ini akan mati syahid , dan insyaallah kami akan memakaikan mahkota terindah untuk Umi di hari akhir nanti. Banyak orang yang akan menjaga kami Mi, ini tidak separah yang Umi bayangkan . Lindungi kami dengan doamu , dan doamu juga yang akan membawa kami pulang dengan selamat” sinta menjelaskan dan berusaha meyakinkan.
Umi berdiri dan berpindah mendekati Amanda yang sedari tadi hanya diam.
“ Nak, berjanji 1 hal sama Umi. Kamu memutuskan pergi kesana hanya karena ketakwaaanmu pada ALLAH, berjanji bahwa kamu pergi bukan untuk mengantar kematianmu. Umi akan mengikhlaskan kalian setelah Umi mendapat janji itu dari mulutmu” umi memandang lekat Amanda dengan penuh kekhawatiran.
“ Manda janji Mi, aku berangkat karena ALLAH Ta’ala. “ Amanda mengucap janji itu dengan penuh kebimbangan . Dia juga tidak tahu pasti , apa yang dia inginkan dari Syuriah.
Setelah mendapat restu dari Umi dan Abah, dua sahabat itu meminta ijin dari Mama dan Papa Amanda. Ini sedikit sulit dari membujuk Umi, awalnya mama menentang mereka untuk pergi. Tapi akhirnya Amanda dan Sinta dapat meyakinkan Mama kalau mereka akan pulang dengan selamat.
Setelah mendapat ijin dari orang tua, Amanda dan Sinta mengajukan cuti tanpa agunan ke Rumah Sakit tempat mereka bekerja. Sinta terlihat mulus dan mendapatkan cuti selama 40 hari.
“ Kamu kan mau dipromosikan masuk ke tim Operasi lagi ... kalo ambil cuti sekarang , kemungkinan tempat kamu nanti diisi perawat lain. Aku sudah mempertahankan kamu selama ini lho ” kepala perawat memberikan penjelasan ke Amanda
“ Terima kasih bu, berkat ibu .. saya masih ada di rumah sakit ini. Tapi keinginan saya kesana lebih besar dari sekedar karir saya. Ijinkan saya membantu merawat saudara – saudara kita disana. Sepulangnya saya nanti ... saya berjanji akan membuat ibu tidak menyesal telah mempertahankan saya. Dan saya menerima segala yang telah diputuskan untuk saya nanti “ Amanda tetap bersiteguh dengan keputusannya.
Diapun akhirnya mendapatkan ijin cuti tanpa agunan.
Semua persyaratan sudah dilengkapi, sekarang Amanda dan Sinta perlu mengikuti pelatihan . Di pelatihan mereka diajari cara berkomunikasi dengan bahasa inggris , bahasa arab, simulasi tindakan, simulasi perlindungan dan ancaman jika terjadi serangan. Mereka juga harus memahami peraturan – peraturan yang diberlakukan.
Mendekati hari keberangkatan, Amanda memikirkan kembali tentang keputusan besar ini. Dalam beberapa hari lagi dia akan berada di tempat peperangan. Tempat yang mengerikan untuk banyak orang. Banyak sekali orang muslim yang membutuhkan bantuan disana. Dan banyak juga orang muslim yang mati disana . Mati membela agama kita.
“ Mati ? Aku tidak takut mati, aku memang ingin mati. Jika bunuh diri tidak membuatku bertemu suami dan anakku di surga ... bagaimana dengan mati syahid di medan perang ? mati syahid akan masuk surga bukan ? dengan begitu aku akan bertemu mereka bukan ? ” Amanda menatap menembus langit malam dari jendela kamar. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan pemikiran seperti itu. Dia memantapkan tujuannya atas nama jihad, dia begitu merindukan kematian, dan bersedia melanggar semua janji yang pernah dia ucapkan. Janji untuk hidup lebih baik.
Tim sukarelawan membawa 5 dokter, 15 perawat, 10 tenaga medis lain. Mereka telah tiba di Provinsi Idlib. Setelah itu akan dilanjutkan perjalanan darat menuju Idlib utara. Hampir separo dari kawasan itu berupa puing – puing bangunan yang hancur berserakan. Terdapat satu bangunan besar rumah salah seorang penduduk yang direlakan menjadi rumah sakit darurat. Amanda dan Sinta akan ditempat di rumah sakit darurat itu untuk membantu merawat pasien.
Tim sukarelawan yang dipimpin oleh dokter spesialis bedah Muhammad Abizar melakukan serah terima tenaga medis dengan Kepala Rumah Sakit. Setelah itu dr. Abizar membagi timnya dan memberi tugas untuk masing – masing tim.
Amanda berada dalam satu tim dengan dr. Abizar, Sinta berada di tim yang lain. Semua tenaga medis sudah menuju ke pasien, tapi Amanda hanya berdiri memandang orang – orang disekelilingnya. Dia melihat puluhan orang dewasa dengan luka – luka disekujur tubuh, anak – anak dan balita yang menangis menahan sakit dengan darah yang mengalir keluar dari tubuhnya. Banyak juga warga yang duduk menangis meratapi keluarganya yang tertutup kain berjejeran. Rupanya desa ini baru saja mendapat serangan sesaat sebelum timnya datang.
“ Hei kamu, ngapain berdiri disitu. Sini !” teriak dr. Abizar. Dia terlihat sedang bersiap - siap menjahit luka seorang pasien dan membutuhkan asisten
“ Iya dok, ada yang bisa saya bantu dok ?” Amanda mendekat ke pasien yang tergeletak didepan sang dokter.
“ Kamu bersihkan lukanya, saya yang jahit” kata dr. Abizar dan tetap fokus menatap pasiennya
“ Saya siapkan alatnya dulu dok “ Amanda bergegas menyiapkan alat – alat yang dibutuhkan . Luka pasien itu cukup dalam, jadi membutuhkan banyak jahitan untuk menutupnya.
Amanda membersihkan luka dan memperhatikan cara dr. Abizar menjahitnya. Tangannnya cukup terampil dan cepat. Dia berumur 31th, dan aktif mengikuti kegiatan yang diadakan majelis.
Dr. Abizar baru menjahit separo dari luka pasien, tapi ada pasien baru datang dengan kondisi kritis dan kejang. Pasien itu dibawa oleh seorang warga lain dan berteriak – teriak mencari dokter. Dr. Abizar berada paling dekat dengan pasien kritis itu.
“ Dokter mengurus pasien itu saja, biar saya yang lanjutkan jahitannya” Amanda menawarkan diri
“ Luka ini cukup dalam ... apa kamu bisa ? tutup saja dulu lukanya dan pastikan steril. Sebentar lagi saya lanjutkan “ perintah dr. Abizar. Lalu dia berlari ke arah pasien kritis tersebut, tapi dalam beberapa menit kemudian pasien meninggal karena terlalu banyak darah yang keluar. Dokter meminta seseorang untuk mengurus jasadnya dengan baik, lalu dia berbalik menuju ke pasien yang dia tangani sebelumnya .
“ Apa ini ?” tanya dr. Abizar kepada Amanda. Dia melihat luka pasien sudah dijahit tertutup, Amanda melanjutkan pekerjaan dr. Abizar yang belum selesai tadi.
“ Maaf dok, saya melanjutkan menjahit lukanya. Luka tadi masih terlalu terbuka lebar dan saya pikir saya bisa melakukannya. Anda boleh mengeceknya dok” kata Amanda
Dr. Abizar mengamati hasil jahitan Amanda , lukanya tertutup dan dijahit rapi. Sang dokter melihat Amanda seperti perawat muda dengan keterampilan biasa, tapi ternyata bisa melakukan tindakan yang cukup sulit.
“ Di bagian mana kamu bekerja ?” tanya sang dokter
“ Saya pernah menjadi asisten operasi bedah dok” jawab Amanda singkat
“ kamu boleh melakukan tindakan jika dirasa perlu tanpa pengawasan dokter” dr. Abizar tidak menyangka akan kemampuan Amanda. Dia hanya mengangguk – angguk melihat wanita muda kurus tertutup hijab besar didepannya itu.
Amanda melanjutkan memberi perawatan pada pasien – pasien lainnya. Dia mendengar tangisan dan rintihan anak - anak. Dan tiba – tiba Amanda mulai berhalusinasi bahwa suara - suara rintihan itu adalah suara Raka. Suara Raka yang mengeluh sakit kepadanya. Sinta melihat Amanda yang terjatuh lemas dan seperti merasakan nyeri pada dadanya.
“ Nyeri lagi Man ? istirahat dulu ya .. kamu sudah kerja keras dari tadi. Kita jaga bergantian dengan perawat lain aja.”
Amanda menuruti kata Sinta. Dia mencari tempat yang tersisa untuk duduk dan menyandarkan kepalanya ke tembok. Amanda mengelus-elus dadanya dan mengatur nafas. Nyeri yang selalu datang saat dia mengingat suami dan anaknya. Tapi tempat itu terlalu penuh dan membuatnya semakin sesak bernafas. Amanda memilih keluar gedung untuk mencari udara sebentar. Dia berjalan dan terus berjalan menjauhi keramaian, dilihatnya sebuah pohon besar dengan bebatuan di bawahnya. Amanda beristirahat sebentar di bawah pohon itu, kembali mengatur nafasnya yang terengah – engah. Dia kembali berhalusinasi, dia mendengar suara Raka yang merintih kesakitan “ Sakit Bun ... Sakit bun ... “
“ Ahhhh ..... “ Amanda menangkupkan tangan ke wajahnya dan air mata keluar deras , untuk sekian kalinya tangisan itu tidak bisa pergi dari mata wanita malang ini. Dia menangis dalam kesendirian bersama angin malam yang berhembus membawa ketenangan.
Keesokan paginya Amanda sudah merasa lebih baik. Dia kembali bekerja melakukan perawatan kepada beberapa pasien. Sejenak dia sempat bersyukur karena dia tinggal di negara yang jauh dari peperangan. Tapi adakalanya juga dia menanti waktu yang tepat saat dia dapat menjemput kematian.
Menjelang sore hari terdengar suara ledakan dari luar gedung. Suara bom yang dilemparkan ke perkampungan tidak jauh dari rumah sakit darurat. Para tentara Idlib berhamburan mendekati lokasi bom jatuh , mereka menelusuri lokasi mencari korban karena ada beberapa warga sipil yang belum mau mengungsi. Terkadang beberapa warga sengaja untuk kembali ke rumah – rumah mereka untuk mencari sesuatu yang tertinggal.
Amanda terdorong untuk mengikuti masuk ke lokasi pengeboman. Dia mencari – cari di puing reruntuhan jika ada korban yang bisa ditemukan. Tidak berselang lama dia bertemu dengan tentara Idlib. Tentara itu melihat bendera PMI melingkar di lengan Amanda dan memperingatinya untuk segera kembali ke rumah sakit. Mereka akan mengirim korban yang ditemukan sesegera mungkin untuk mendapat pertolongan. Mau tidak mau Amanda menuruti dan kembali ke rumah sakit darurat.
Beberapa hari kemudian serangan kembali diluncurkan. Suara ledakan kembali mewarnai panas terik matahari di siang hari. Amanda yang kebetulan berada di luar gedung , spontan berlari menyusul beberapa tentara yang bersiap – siap memasuki lokasi pengeboman. Salah seorang tentara menghentikan langkah Amanda dan kembali memberi peringatan keras padanya. Amanda juga tidak tahu apa yang mendorongnya seberani itu masuk ke lokasi yang sangat berbahaya.
Apakah memang tulus untuk memberikan pertolongan atau hanya untuk melancarkan niatnya saja ?
Terima kasih untuk like dan coment.nya mb. Dede_pratiwi
Comment on chapter aku